Al-Maidah, ayat 5

Al-Maidah, ayat 5

الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ (5)

Pada hari ini dihalalkan bagi kalian yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagi ka­lian, dan makanan kalian halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalal­kan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di an­tara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang men­jaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab se­belum kalian, bila kalian telah membayar maskawin mereka de­ngan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikan gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam), maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.

Setelah Allah Swt. menyebutkan hal-hal kotor yang diharamkan-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin, juga setelah menyebutkan hal-hal yang baik-baik yang dihalalkan untuk mereka, sesudah itu Allah Swt. berfirman:

{الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ}

pada hari ini dihalalkan bagi kalian yang baik-baik. (Al-Maidah: 5)

Kemudian Allah Swt. menyebutkan hukum sembelihan dua Ahli Ki­tab. Yaitu orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani, melalui fir­man-Nya:

{وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَبَ حِلٌّ لَكُمْ}

Dan makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu dihalalkan bagi kalian. (Al-Maidah: 5)

Ibnu Abbas, Abu Umamah, Mujahid, Sa’id ibnu Jubair, Ikrimah, Ata, Al-Hasan, Mak-hul, Ibrahim An-Nakha’i, As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan mengatakan, yang dimaksud dengan makanan di sini adalah sembelihan mereka (orang-orang Ahli Kitab).

Masalah ini telah disepakati di kalangan para ulama, bahwa se­sungguhnya sembelihan Ahli Kitab itu halal bagi kaum muslim, kare­na mereka pun mengharamkan sembelihan yang diperuntukkan bukan selain Allah dan dalam sembelihan mereka tidak disebutkan kecuali hanya nama Allah, sekalipun mereka berkeyakinan terhadap Allah hal-hal yang Allah Swt. Mahasuci lagi Mahaagung dari apa yang mereka katakan.

Telah disebutkan di dalam kitab sahih, dari Abdullah ibnu Mugaffal yang menceritakan bahwa dia memenuhi timba dengan lemak pada hari Perang Khaibar, lalu lemak itu ia bawa sendiri seraya ber­kata, “Pada hari ini aku tidak akan memberi seorang pun lemak ini.” Lalu ia menoleh dan ternyata ada Nabi Saw. yang memandangnya se­raya tersenyum.

Dari hadis ini ulama fiqih menyimpulkan, boleh mengambil ma­kanan dan sejenisnya yang diperlukan dari kumpulan ganimah sebe­lum dibagikan, tetapi sebatas yang diperlukan secara wajar. Hal ini masalahnya jelas.

Tetapi ulama fiqih dari kalangan mazhab Hanafi, mazhab Syafii, dan mazhab Hambali menyimpulkan dalil dari hadis ini sebagai ban­tahan terhadap mazhab Maliki yang melarang memakan apa yang me­nurut keyakinan orang-orang Yahudi haram dari sembelihan mereka, seperti lemak dan lain-lainnya yang diharamkan atas mereka. Mazhab Maliki mengharamkan kaum muslim memakannya dengan berdalilkan firman-Nya: Dan makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagi kalian. (Al-Maidah: 5)

Mereka (mazhab Maliki) mengatakan bahwa lemak dan sejenisnya bukan termasuk makanan mereka (Ahli Kitab). Sedangkan jumhur ulama membantah pendapat mereka (mazhab Maliki) dengan berdalilkan hadis di atas. Akan tetapi, hal ini masih perlu dipertimbangkan, mengingat masalahnya berkaitan dengan masalah ‘ain (barang), ka­rena barangkali lemak tersebut merupakan lemak dari bagian yang diyakini oleh mereka (Ahli Kitab) halal, seperti lemak yang ada pada bagian punggung dan usus serta lain-lainnya.

Dalil lain yang lebih baik daripada ini ialah sebuah hadis yang disebutkan di dalam kitab sahih, bahwa penduduk Khaibar mengirim­kan seekor kambing panggang kepada Rasulullah Saw., sedangkan mereka telah membubuhi racun pada kakinya. Nabi Saw. menyukai kaki kambing, maka Nabi Saw. memakan sebagian darinya sekali suap. Tetapi kaki kambing itu memberitahukan kepada Nabi Saw. bahwa ia telah diracuni. Maka Nabi Saw. memuntahkannya kembali. Tetapi tak urung hal tersebut mempunyai pengaruh pada gigi seri dan urat nadi jantung beliau. Pada saat itu yang ikut makan bersama beliau adalah Bisyr ibnul Barra ibnu Ma’rur, tetapi ia tidak tertolong lagi dan meninggal dunia. Maka wanita Yahudi yang membubuhkan racun itu dibunuh. Ia bernama Zainab.

Segi pengambilan dalil dari hadis ini ialah bahwa Nabi Saw, dan orang yang menemaninya bertekad untuk memakan kiriman tersebut, tanpa bertanya apakah mereka membuang darinya hal-hal yang menu­rut keyakinan mereka diharamkan, berupa lemak atau tidak?

Di dalam hadis lain disebutkan bahwa Rasulullah Saw. dijamu oleh seorang Yahudi yang menyuguhkan makanan kepadanya berupa roti yang terbuat dari tepung jewawut dan lemak.

Ibnu Abu Hatim meriwayatkan bahwa pernah dibacakan kepada Al-Abbas ibnul Walid ibnu Mazyad, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Syu’aib, telah menceritakan kepadaku An-Nu’man ibnul Munzir, dari Mak-hul yang mengatakan bahwa Allah Swt. me­nurunkan firman-Nya:

{وَلا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ}

Dan janganlah kalian memakan binatang-binatang yang tidak di­sebut nama Allah ketika menyembelihnya. (Al-An’am: 121)

Kemudian Allah Swt. me-nasakh-nya karena belas kasihan kepada kaum muslim. Untuk itu Allah Swt. berfirman:

{الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ}

Pada hari ini dihalalkan bagi kalian yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagi kalian. (Al-Maidah: 5)

Dengan demikian, ayat ini me-nasakh ayat tersebut dan makanan (sembelihan) orang-orang Ahli Kitab dihalalkan. Apa yang dikatakan oleh Mak-hul ini masih perlu dipertimbangkan. Karena sesungguhnya dibolehkan-Nya sembelihan Ahli Kitab bukan berarti memastikan bo­lehnya memakan sembelihan yang tidak disebutkan nama Allah atas­nya, mengingat mereka (Ahli Kitab) selalu menyebut nama Allah atas sembelihan mereka, juga atas kurban-kurbannya, sedangkan mereka menganggap hal ini sebagai sesuatu yang ritual. Karena itulah dila­rang memakan sembelihan selain mereka (Ahli Kitab) dari kalangan orang-orang musyrik dan orang-orang yang serupa dengan ahli musy­rik. Mengingat ahli musyrik tidak menyebut nama Allah atas sem­belihan mereka, bahkan dalam memakan daging yang biasa mereka makan tidak bergantung sama sekali kepada hasil sembelihan. Bahkan mereka biasa memakan bangkai, lain halnya dengan selain mereka dan orang-orang yang serupanya dari kalangan orang-orang Samirah dan Sabi-ah serta orang-orang yang mengakui dirinya memegang aga­ma Nabi Ibrahim, Nabi Syis, dan nabi-nabi lainnya, menurut salah sa­tu pendapat di antara dua pendapat yang dikatakan oleh para ulama. Lain pula halnya dengan sembelihan orang-orang Nasrani Arab, se­perti Bani Taglab, Bani Tanukh, Bani Buhra, Bani Juzam, Bani Lukhm dan Bani Amilah, serta lain-lainnya yang serupa; sembelihan mereka tidak boleh dimakan, menurut jumhur ulama.

Abu Ja’far ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada ka­mi Ya’qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, dari Ayyub, dari Muhammad ibnu Ubaidah yang menceritakan bahwa sahabat Ali r.a. pernah mengatakan, “Janganlah kalian mema­kan sembelihan Bani Taglab, karena sesungguhnya mereka meme­gang agama Nasrani hanya kepada masalah meminum khamrnya saja.” Hal yang sama dikatakan oleh ulama Khalaf dan ulama Salaf yang bukan hanya seorang.

Sa’id ibnu Abu Arubah meriwayatkan dari Qatadah, dari Sa’id ibnul Musayyab dan Al-Hasan, bahwa keduanya berpandangan mem­bolehkan memakan hasil sembelihan orang-orang Nasrani Bani Tag­lab.

Mengenai orang-orang Majusi, sekalipun dipungut jizyah dari mereka karena disamakan kedudukannya dengan Ahli Kitab, tetapi sesungguhnya hasil sembelihan mereka tidak boleh dimakan dan kaum wanita mereka tidak boleh dinikahi. Lain halnya dengan pen­dapat Abu Saur Ibrahim ibnu Khalid Al-Kalbi, salah seorang ulama fiqih pengikut mazhab Imam Syafii dan Imam Ahmad ibnu Hambal. Ketika Abu Saur mengatakan pendapatnya ini dan dikenal sebagai su­atu pendapat darinya, maka ulama fiqih mendebatnya, sehingga Imam Ahmad yang dijuluki dengan sebutan Abu Saur —juga sama dengan namanya— mengatakan sehubungan dengan masalah sembelihan ahli Majusi, seakan-akan Ibrahim ibnu Khalid berpegang kepada ke­umuman makna hadis yang diriwayatkan secara mursal dari Nabi Saw. yang mengatakan:

Perlakukanlah mereka (orang-orang Majusi) sama dengan perlakuan terhadap Ahli Kitab.

Akan tetapi. hadis dengan lafaz ini masih belum terbukti kekuatannya. mengingat yang terdapat di dalam kitab Sahih Bukhari dari Abdur Rahman ibnu Auf hanya disebutkan seperti berikut:

Bahwa Rasulullah Saw. memungut jizyah dari orang-orang Ma­jusi tanah Hajar.

Sekiranya kesahihan hadis ini dapat dipertanggungjawabkan, maka pengertian umumnya di-takhsis oleh pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:

{وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ}

Dan makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagi kalian. (Al-Maidah: 5)

Mafhum mukhalafah dari ayat ini jelas menunjukkan bahwa makanan atau sembelihan selain Ahli Kitab dari kalangan pemeluk agama lain­nya tidak halal.

****

Firman Allah Swt.:

{وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ}

dan makanan kalian dihalalkan (pula) bagi mereka. (Al-Maidah: 5)

Artinya, dihalalkan bagi kalian memberi mereka makan dari hasil sembelihan kalian. Hal ini bukan merupakan berita mengenai hukum untuk mereka, kecuali bila dipandang dari segi makna sebagai berita tentang apa yang pernah diperintahkan kepada mereka, yaitu harus memakan sembelihan yang disebutkan nama Allah atasnya, baik dari kalangan mereka sendiri ataupun dari kalangan agama lain.

Akan tetapi, makna yang pertama lebih kuat, yang mengatakan bahwa kalian diperbolehkan memberi mereka makan dari hasil sem­belihan kalian, sebagaimana kalian pun boleh memakan hasil sembe­lihan mereka. Hal ini termasuk ke dalam Bab ‘Timbal Balik dan Sa­ling Memberi”. Perihalnya sama dengan masalah ketika Nabi Saw. memberikan pakaiannya kepada Abdullah ibnu Ubai ibnu Abu Salul (seorang munafik militan) ketika mati, lalu baju Nabi Saw. dipakai­kan kepadanya sebagai kain kafannya. Mereka mengatakan bahwa da­hulu Abu Salul pernah memberi pakaian kepada Al-Abbas (paman Nabi Saw.) ketika tiba di Madinah dengan pakaiannya, maka Nabi Saw. membalas kebaikannya itu dengan kebaikan lagi.

Mengenai sebuah hadis yang disebutkan di dalamnya hal berikut, yaitu:

Janganlah kamu berteman kecuali orang mukmin, dan janganlah memakan makananmu kecuali orang yang bertakwa.

Maka makna hadis ini diinterpretasikan sebagai anjuran dan sesuatu yang disunatkan, bukan perintah wajib.

***

Firman Allah Swt.:

{وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ}

Dan (dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehor­matannya di antara wanita-wanita yang beriman. (Al-Maidah: 5)

Yakni dihalalkan untuk kalian menikahi wanita-wanita merdeka yang memelihara kehormatannya dari kalangan wanita-wanita yang ber­iman. Ayat ini merupakan pendahuluan bagi firman Selanjutnya, yaitu firman-Nya:

{وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُم}

dan wanita-wanita yang menjaga kehormatannya di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kalian. (Al-Maidah: 5)

Menurut suatu pendapat, yang dimaksud dengan al-muhsanat ialah wanita-wanita merdeka, bukan budak belian. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Mujahid, bahwa sesung­guhnya yang dimaksud Mujahid dengan istilah muhsanat adalah wanita-wanita merdeka. Dengan demikian, berarti barangkali yang di­maksud oleh Ibnu Jarir ialah apa yang dia riwayatkan darinya (Muja­hid). Dapat pula diinterpretasikan bahwa yang dimaksud dengan al-hurrah (wanita merdeka) ialah wanita yang menjaga kehormatannya, seperti yang disebutkan di dalam riwayat lainnya yang bersumber dari Mujahid. Hal ini merupakan pendapat jumhur ulama dan pendapat yang lebih mendekati kebenaran. Karena dengan pengertian demikian akan terhindarlah gabungan pengertian yang menunjukkan kepada wanita zimmi, sedangkan dia tidak memelihara kehormatannya. Se­hingga keadaannya rusak sama sekali dan mengawininya berarti akan terjadi hal seperti yang disebut di dalam peribahasa “dapat kurma buruk dan takaran yang rusak”.

Menurut makna lahiriah ayat, makna yang dimaksud dengan muhsanat ialah wanita-wanita yang menjaga kehormatannya dari per­buatan zina. Sama halnya dengan makna yang terdapat pada ayat lain, yaitu firman-Nya:

{مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ}

sedangkan mereka pun wanita-wanita yang memelihara diri, bu­kan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki se­bagai piaraannya. (An-Nisa: 25)

Kemudian para ulama dan ahli tafsir berselisih pendapat mengenai makna yang dimaksud dengan firman-Nya: dan wanita-wanita yang menjaga kehormatannya di antara orang-orang yang diberi Al-Kltab sebelum kalian. (Al-Maidah: 5)

Apakah yang dimaksud adalah mencakup semua wanita Ahli Kitab yang memelihara kehormatannya, baik yang merdeka ataupun budak? Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari ka­langan ulama Salaf yang menafsirkan muhsanah dengan pengertian wanita yang memelihara kehormatannya.

Menurut pendapat lain, yang dimaksud dengan Ahli Kitab adalah wanita-wanita israiliyat, seperti yang dikatakan oleh mazhab Syafii.

Menurut pendapat yang lainnya lagi, yang dimaksud dengan wanita Ahli Kitab yang muhsanah ialah yang zimmi, bukan yang harbi, karena berdasarkan firman-Nya yang mengatakan:

قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلا بِالْيَوْمِ الآخِرِ

Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan ti­dak (pula) kepada hari kemudian. (At-Taubah: 29), hingga akhir ayat.

Sesungguhnya Ibnu Umar berpendapat, tidak boleh mengawini wanita Nasrani, dan ia mengatakan, “Aku tidak mengetahui suatu kemusyrik­an yang lebih besar daripada wanita yang mengatakan bahwa Tuhan­nya adalah Isa. Sedangkan Allah Swt. telah berfirman:

{وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ}

‘Dan janganlah kalian nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman’ (Al-Baqarah: 221).”

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayah­ku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Hatim ibnu Su­laiman Al-Muaddib, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim ibnu Malik (yakni Al-Muzanni), telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Sami’, dari Abu Malik Al-Gifari, dari Ibnu Abbas yang menga­takan bahwa diturunkan firman-Nya: Dan janganlah kalian nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. (Al-Baqarah: 221) Maka orang-orang menahan dirinya dari mereka hingga turunlah ayat berikutnya dalam surat Al-Maidah, yaitu firman-Nya: dam wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kalian. (Al-Maidah: 5) Maka orang-orang mulai menikahi wanita-wanita Ahli Kitab.

Sesung­guhnya ada segolongan di antara sahabat yang menikahi wanita-wani­ta Nasrani dan mereka memandangnya diperbolehkan karena ber­dasarkan firman-Nya: dan wanita-wanita yang memelihara kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kalian. (Al-Maidah: 5)

Mereka menilai ayat ini mentakhsis pengertian yang terkandung di dalam ayat surat Al-Baqarah, yaitu firman-Nya: Dan janganlah kalian nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. (Al-Baqarah: 221) sekalipun bila dikatakan bahwa wanita kitabiyah termasuk ke dalam pengertian umum makna yang dikandungnya; bila tidak, berarti tidak ada pertentangan antara ayat ini dan ayat yang sebelumnya.

Orang-orang Ahli Kitab disebutkan secara terpisah dari orang-orang musyrik dalam berbagai tempat, seperti yang disebutkan di da­lam firman-Nya:

{لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنْفَكِّينَ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ}

Orang-orang kafir yakni Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agama­nya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata. (Al-Bayyinah: 1)

{وَقُلْ لِلَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَالأمِّيِّينَ أَأَسْلَمْتُمْ فَإِنْ أَسْلَمُوا فَقَدِ اهْتَدَوْا} الآية

Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al-Kitab dan kepada orang-orang yang ummi, “Apakah kalian (mau) ma­suk Islam?” Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka te­lah mendapat petunjuk. (Ali Imran: 20), hingga akhir ayat.

****

Adapun firman Allah Swt.:

{إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ}

bila kalian telah membayar maskawin mereka. (Al-Maidah: 5)

Yaitu maskawin mereka. Dengan kata lain, sebagaimana mereka menjaga kehormatannya, maka berikanlah kepada mereka maskawin­nya dengan senang hati.

Jabir ibnu Abdullah, Amir Asy-Sya’bi, Ibrahim An-Nakha’i, dan Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa seorang lelaki bila menikahi seorang wanita, lalu wanita itu berbuat zina sebelum digaulinya, maka keduanya harus dipisahkan, dan pihak wanita diharuskan mengem­balikan maskawin yang telah diberikan oleh pihak laki-laki kepada pi­hak laki-laki. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir, dari mereka.

***

Firman Allah Swt.:

{مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ}

dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. (Al-Maidah: 5)

Sebagaimana disyaratkan ihsan, yakni menjaga diri dari perbuatan zi­na pada pihak wanita, hal yang sama disyaratkan pula pada pihak la­ki-laki, yaitu hendaknya pihak laki-laki pun menjaga kehormatannya dari perbuatan zina. Karena itulah disebutkan ‘tidak dengan maksud berzina’ dengan kata musafihina yang artinya laki-laki tukang zina yang tidak pernah kapok melakukan maksiat dan tidak pernah meno­lak terhadap wanita yang datang kepadanya.

Tidak pula menjadikannya gundik-gundik, yakni para kekasih hidup bagaikan suami istri tanpa ikatan nikah. Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan di dalam surat An-Nisa. Karena itulah Imam Ahmad ibnu Hambal rahimahuliah berpendapat bahwa tidak sah menikahi wanita pelacur sebelum ia bertobat dari perbuatannya. Bilamana wanita itu masih tetap sebagai pelacur, tidak sah dikawini oleh lelaki yang menjaga kehormatannya. Dikatakan tidak sah pula menurut Imam Ahmad bila seorang lelaki pezina melakukan akad ni­kah kepada seorang wanita yang memelihara kehormatannya, sebe­lum lelaki yang bersangkutan bertobat dan menghentikan perbuatan zinanya, karena berdasarkan ayat ini. Juga berdasarkan sebuah hadis yang mengatakan:

Lelaki pezina yang telah dihukum dera tidak boleh kawin kecuali dengan orang (wanita) yang semisal dengannya (yakni pezina lagi).

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Harb, telah menceritakan kepada kami Abu Hilal, dari Qatadah, dari Al-Ha­san yang telah menceritakan bahwa Umar ibnul Khattab r.a. pernah mengatakan, “Sesungguhnya aku berniat tidak akan membiarkan se­seorang yang pernah berbuat zina dalam Islam menikahi wanita yang menjaga kehormatannya.” Maka Ubay ibnu Ka’b r.a. berkata kepadanya, “Wahai Amirul Mu’minin, syirik lebih besar (dosanya) daripada perbuatan itu, tetapi terkadang diterima bila ia bertobat.”

Hal ini akan dibahas secara rinci pada tafsir firman-Nya:

{الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ}

Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzi­na atau laki-laki yang musyrik, dan yang demikian itu diharam­kan atas orang-orang yang mukmin. (An-Nur: 3)

Karena itulah dalam surat ini Allah Swt. berfirman:

{وَمَنْ يَكْفُرْ بِالإيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ}

Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hu­kum-hukum Islam), maka hapuslah amalannya, dan ia di hari ki­amat termasuk orang-orang merugi (Al-Maidah: 5)

We will be happy to hear your thoughts

Leave a reply

Amaliyah
Logo