{أَوَلَمْ يَهْدِ لَهُمْ كَمْ أَهْلَكْنَا مِنْ قَبْلِهِمْ مِنَ الْقُرُونِ يَمْشُونَ فِي مَسَاكِنِهِمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ أَفَلا يَسْمَعُونَ (26) أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا نَسُوقُ الْمَاءَ إِلَى الأرْضِ الْجُرُزِ فَنُخْرِجُ بِهِ زَرْعًا تَأْكُلُ مِنْهُ أَنْعَامُهُمْ وَأَنْفُسُهُمْ أَفَلا يُبْصِرُونَ (27) }
Dan apakah tidak menjadi petunjuk bagi mereka, berapa banyak umat-umat sebelum mereka yang telah Kami binasakan, sedangkan mereka sendiri berjalan di tempat-tempat kediaman mereka itu. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Tuhan). Maka apakah mereka tidak mendengarkan (memperhatikan)? Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwasanya Kami menghalau (awan yang mengandung) air ke bumi yang tandus, lalu Kami tumbuhkan dengan air hujan itu tanam-tanaman yang darinya (dapat) makan binatang-binatang ternak mereka dan mereka sendiri. Maka apakah mereka tidak memperhatikan?
Allah Swt. berfirman bahwa tidakkah menjadi pelajaran bagi mereka yang mendustakan para rasul keadaan umat-umat terdahulu yang telah dibinasakan oleh Allah karena telah mendustakan para rasul dan menentang jalan yang lurus yang didatangkan oleh para rasul kepada mereka, sehingga tiada yang tersisa dari mereka, dan tidak ada bekas atau mata air pun bekas peninggalan mereka.
{هَلْ تُحِسُّ مِنْهُمْ مِنْ أَحَدٍ أَوْ تَسْمَعُ لَهُمْ رِكْزًا}
Adakah kamu melihat seorang pun dari mereka atau kamu dengar suara mereka yang samar-samar? (Maryam: 98)
Karena itulah dalam surat ini disebutkan melalui firman-Nya:
{يَمْشُونَ فِي مَسَاكِنِهِمْ}
sedangkan mereka sendiri berjalan di tempat-tempat kediaman mereka itu. (As-Sajdah: 26)
Yakni mereka yang mendustakan para rasul itu berjalan di tempat-tempat kediaman orang-orang terdahulu yang telah mendustakan-para rasul, maka pastilah mereka tidak akan melihat seorang pun dari kalangan orang-orang yang dahulu menghuni dan membangunnya. Mereka semuanya telah tiada darinya,
{كَأَنْ لَمْ يَغْنَوْا فِيهَا}
seolah-olah mereka belum pernah berdiam di tempat itu. (Al-Araf 92, Hud: 68 dan 95)
Ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
{فَتِلْكَ بُيُوتُهُمْ خَاوِيَةً بِمَا ظَلَمُوا}
Maka itulah rumah-rumah mereka dalam keadaan runtuh disebabkan kezaliman mereka. (An-Naml: 52)
Dan firman Allah Swt.:
{فَكَأَيِّنْ مِنْ قَرْيَةٍ أَهْلَكْنَاهَا وَهِيَ ظَالِمَةٌ فَهِيَ خَاوِيَةٌ عَلَى عُرُوشِهَا وَبِئْرٍ مُعَطَّلَةٍ وَقَصْرٍ مَشِيدٍ. أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الأرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الأبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ}
Berapalah banyaknya kota yang Kami telah membinasakannya, yang penduduknya dalam keadaan zalim, maka (tembok-tembok) kota itu roboh menutupi atap-atapnya dan (berapa banyak pula) sumur yang telah ditinggalkan dan istana yang tinggi, maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi. (Al-Hajj: 45-46) sampai dengan firman-Nya: tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada. (Al-Hajj: 46)
Karena itulah dalam surat ini disebutkan:
إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ}
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Tuhan). (As-Sajdah: 26)
Yaitu sesungguhnya lenyapnya kaum tersebut, kebinasaan mereka, serta azab yang menimpa mereka disebabkan mereka mendustakan para rasul; dan selamatnya orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Allah, benar-benar terdapat pelajaran, nasihat, dan bukti-bukti yang terang (yang menunjukkan kekuasaan Tuhan).
{أَفَلا يَسْمَعُونَ}
Maka apakah mereka tidak mendengarkan (memperhatikan)? (As-Sajdah: 26)
Berita-berita orang-orang yang terdahulu, bagaimanakah kesudahan urusan mereka.
******
Firman Allah Swt.:
{أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا نَسُوقُ الْمَاءَ إِلَى الأرْضِ الْجُرُزِ}
Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwasanya Kami menghalau (awan yang mengandung) air ke bumi yang tandus. (As-Sajdah: 27)
Allah Swt. menjelaskan kasih sayang-Nya kepada makhluk-Nya dan kebaikan-Nya kepada mereka, yang antara lain Dia menghalau air yang adakalanya diturunkan dari langit (hujan) atau dari hulu-hulu sungai yang diturunkan dari atas bukit, lalu mengalir ke dataran-dataran rendah yang memerlukannya tepat pada waktunya. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya:
{إِلَى الأرْضِ الْجُرُزِ}
ke bumi yang tandus. (As-Sajdah: 27)
Yaitu tanah yang tidak ada tetumbuhannya. Sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
{وَإِنَّا لَجَاعِلُونَ مَا عَلَيْهَا صَعِيدًا جُرُزًا}
Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya menjadi tanah rata lagi tandus. (Al-Kahfi: 8)
Yakni kering, tidak dapat menumbuhkan sesuatu pun.
Dan bukanlah yang dimaksud oleh firman-Nya: ke bumi yang tandus. (As-Sajdah: 27) tanah Mesir saja, bahkan itu adalah sebagian dari makna yang dimaksud, Sekalipun banyak kalangan ulama tafsir yang menjadikannya sebagai contoh, tetapi sebenarnya bukan hanya tanah Mesir saja yang dimaksud oleh ayat ini.
Ditakwilkan demikian karena memang tanah Mesir itu sendiri merupakan tanah yang datar lagi luas serta keras. Ia memerlukan air, tetapi bukan berupa air hujan; karena seandainya diturunkan hujan yang lebat padanya, tentulah bangunan-bangunannya akan roboh. Karena itulah maka Allah menghalau air ke negeri Mesir melalui Sungai Nil yang membawa air hujan dari negeri Habsyah, yang mengandung lumpur merah, dan lumpur merah itu menutupi sebagian tanah Mesir yang merupakan tanah yang berpasir lagi tandus dan sangat memerlukan lumpur itu. Berkat adanya lumpur itulah maka tanah Mesir dapat menumbuhkan tetumbuhan. Dengan demikian, berarti setiap tahunnya para penduduk negeri Mesir dapat memanfaatkan air dari hujan yang diturunkan bukan di negerinya, juga beroleh lumpur dari bumi yang bukan berasal dari buminya. Mahasuci Allah Yang Mahabijaksana, Mahamulia, Maha Pemberi anugerah, lagi Maha Terpuji selama-lamanya.
Ibnu Lahi’ah telah meriwayatkan dari Qais ibnu Hajjaj, dari seseorang yang menceritakan asar ini kepadanya, bahwa ketika negeri Mesir ditaklukkan, maka para penduduknya datang menghadap kepada Amr ibnul As yang saat itu menjabat sebagai amir di negeri Mesir; mereka datang menghadap kepadanya saat menjelang tiba suatu bulan yang menurut mereka disebut Ba’unah. Mereka berkata, “Wahai Amirul Mu-minin, sesungguhnya Sungai Nil kami setiap tahunnya ada suatu bulan yang ia tidak mau mengalirkan airnya pada bulan itu.” Amr ibnul As bertanya, “Mengapa begitu?” Mereka menjawab, “Apabila telah berlalu dua belas hari dari bulan ini, maka kami mencari seorang gadis yang menjadi anak pertama dari kedua orang tuanya. Lalu kami membujuk kedua orang tuanya hingga dapat kami bawa untuk tumbal. Dan kami pakaikan kepada anak gadis itu segala macam pakaian dan perhiasan yang terbaik yang ada di masa sekarang, sesudah itu kami lemparkan dia ke Sungai Nil (sebagai tumbal agar mau mengalir).” Amr ibnul As berkata’ kepada mereka, “Hal seperti itu tidak ada dalam Islam, sesungguhnya Islam itu menghapus apa yang biasa dilakukan sebelumnya.” Maka mereka diam saja di bulan Ba’unah itu tanpa mengadakan korban, sedangkan Sungai Nil tidak mengalir, sehingga hampir saja mereka berniat akan meninggalkan negeri Mesir. Kemudian Amr ibnul As berkirim surat kepada Khalifah Umar ibnul Khattab untuk menceritakan perihal tradisi tersebut. Maka Khalifah Umar menjawab suratnya yang isinya mengatakan, “Sesungguhnya apa yang kamu lakukan itu benar, dan sekarang aku kirimkan bersama surat ini kepadamu suatu kartu yang padanya tertulis surat dariku. Lemparkanlah kartu ini ke Sungai Nil.” Setelah surat Khalifah Umar tiba dan dibaca oleh Amr ibnul As, ternyata di dalamnya tertulis kalimat berikut: Dari hamba Allah Umar Amirul Mu-minin, ditujukan kepada Sungai Nil penduduk negeri Mesir. Amma Ba’du: Sesungguhnya kamu jika memang mengalir karena kehendakmu sendiri, maka janganlah kamu mengalir. Dan sesungguhnya jika memang Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasalah yang mengalirkanmu, maka kami memohon kepada Allah semoga Dia membuatmu mengalir. Maka Amr ibnul As melemparkan surat itu ke Sungai Nil. Pada pagi hari Sabtu Allah telah membuat Sungai Nil menjadi mengalir sedalam enam belas hasta hanya dalam waktu satu malam. Dan Allah telah menghapuskan tradisi itu dari negeri Mesir sampai sekarang.
Al-Hafiz Abul Qasim Al-Lalka’i At-Tabari telah meriwayatkan asar ini di dalam Kitabus Sunah-nya.
Karena itulah dalam surat ini disebutkan oleh firman-Nya:
{أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا نَسُوقُ الْمَاءَ إِلَى الأرْضِ الْجُرُزِ فَنُخْرِجُ بِهِ زَرْعًا تَأْكُلُ مِنْهُ أَنْعَامُهُمْ وَأَنْفُسُهُمْ أَفَلا يُبْصِرُونَ}
Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwasanya Kami menghalau (awan yang mengandung) air ke bumi yang tandus, lalu Kami tumbuhkan dengan air hujan itu tanam-tanaman yang darinya (dapat) makan binatang-binatang ternak mereka dan mereka sendiri. Maka apakah mereka tidak memperhatikan? (As-Sajdah: 27)
Semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat lain:
{فَلْيَنْظُرِ الإنْسَانُ إِلَى طَعَامِهِ. أَنَّا صَبَبْنَا الْمَاءَ صَبًّا }
maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya. Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit). (‘Abasa: 24-25)
Karena itulah dalam surat ini disebutkan:
{أَفَلا يُبْصِرُونَ}
Maka apakah mereka tidak memperhatikan? (As-Sajdah: 26)
Ibnu Abu Nujaih telah meriwayatkan dari seorang lelaki dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: ke bumi yang tandus. (As-Sajdah: 27) Yaitu bumi yang tidak mendapat air hujan dalam kadar yang mencukupinya terkecuali melalui banjir yang melewatinya.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Mujahid, bahwa yang dimaksud adalah tanah yang ada di negeri Yaman.
Al-Hasan rahimahullah telah mengatakan, yang dimaksud adalah kota-kota yang ada di antara negeri Yaman dan negeri Syam.
Ikrimah, Ad-Dahhak, Qatadah, As-Saddi, dan Ibnu Zaid mengatakan bahwa tanah yang tandus ialah tanah yang tidak ada tetumbuhannya lagi berdebu (berpasir).
Menurut kami, ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat lain, yaitu:
{وَآيَةٌ لَهُمُ الأرْضُ الْمَيْتَةُ أَحْيَيْنَاهَا}
Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah bumi yang mati Kami hidupkan bumi itu. (Yasin: 33), hingga akhir ayat.