Adz-Dzariyat, ayat 15-23

Adz-Dzariyat, ayat 15-23

{إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍ (15) آخِذِينَ مَا آتَاهُمْ رَبُّهُمْ إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِينَ (16) كَانُوا قَلِيلا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ (17) وَبِالأسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ (18) وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ (19) وَفِي الأرْضِ آيَاتٌ لِلْمُوقِنِينَ (20) وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلا تُبْصِرُونَ (21) وَفِي السَّمَاءِ رِزْقُكُمْ وَمَا تُوعَدُونَ (22) فَوَرَبِّ السَّمَاءِ وَالأرْضِ إِنَّهُ لَحَقٌّ مِثْلَ مَا أَنَّكُمْ تَنْطِقُونَ (23) }

Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Tuhan mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik. Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah). Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian. Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan? Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu. Maka demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan.

Allah Swt. berfirman, menceritakan perihal orang-orang yang bertakwa kepada Allah Swt., bahwa sesungguhnya mereka di hari mereka dikembalikan kepada-Nya dimasukkan ke dalam surga yang penuh dengan taman-taman dan mata air-mata air. Berbeda halnya dengan nasib yang dialami oleh orang-orang yang celaka; mereka mengalami azab, pem­balasan, dibakar di dalam neraka, dan dirantai dengan belenggu-belenggu.

Firman Allah Swt.:

{آخِذِينَ مَا آتَاهُمْ رَبُّهُمْ}

sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Tuhan mereka. (Adz-Dzariyat: 16)

Ibnu Jarir mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah mereka mengamalkan fardu-fardu yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. atas diri mereka.

{إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِينَ}

Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik. (Adz-Dzariyat: 16)

Yakni sebelum diperintahkan untuk mengerjakan amal-amal fardu, mereka adalah orang-orang yang berbuat baik dalam amal perbuatannya.

Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Mahran, dari Sufyan, dari Abu Umar, dari Muslim Al-Batin, dari ibnu Abbas r.a. sehubungan dengan makna firman-Nya: sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Tuhan mereka. (Adz-Dzariyat: 16) Yakni amal-amal fardu yang telah diwajibkan atas mereka oleh Tuhan mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik. (Adz-Dzariyat: 16) Maksudnya, sebelum ada amal-amal fardu itu mereka juga telah beramal baik. Tetapi sanad riwayat ini tidak sahih sampai kepada Ibnu Abbas.

Usman ibnu Abu Syaibah telah meriwayatkan dari Mu’awiyah ibnu Hisyam, dari Sufyan, dari Abu Umar Al-Bazzar, dari Muslim Al-Batin, dari Sa’id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas r.a., lalu disebutkan hal yang semisal.

Dan tafsir yang dikemukakan oleh Ibnu Jarir masih perlu diteliti kembali, mengingat firman Allah Swt., “Akhizina” merupakan kata keterangan keadaan dari firman-Nya:

{فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍ}

berada di dalam taman-taman (surga) dan di mata air-mata air. (Adz-Dzariyat: 15)

Maka orang-orang yang bertakwa, di dalam surganya mereka menerima pemberian dari Tuhan mereka berupa kenikmatan dan kegembiraan serta kesenangan.

*******************

Dan firman Allah Swt.:

{إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِينَ}

Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik. (Adz-Dzariyat: 16)

Makna ayat ini senada dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya:

{كُلُوا وَاشْرَبُوا هَنِيئًا بِمَا أَسْلَفْتُمْ فِي الأيَّامِ الْخَالِيَةِ}

(kepada mereka dikatakan), “Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu.” (Al-Haqqah: 24)

Kemudian Allah Swt. menjelaskan kebaikan amal perbuatan mereka melalui firman-Nya:

{كَانُوا قَلِيلا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ}

Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. (Adz-Dzariyat: 17)

Ulama tafsir berbeda pendapat sehubungan dengan i’rab kalimat ayat ini, ada dua pendapat di kalangan mereka mengenainya. Salah satunya menyebutkan bahwa huruf ma adalah nafiyah, artinya mereka sedikit menjalani malam harinya karena mereka tidak tidur.

Ibnu Abbas r.a. telah mengatakan, bahwa tiada suatu malam pun yang mereka lalui, melainkan mereka mengambil sebagian darinya, walaupun sedikit (untuk mengerjakan salat malam hari).

Qatadah telah meriwayatkan dari Mutarrif ibnu Abdullah, bahwa sedikit sekali malam hari yang mereka lalui, melainkan mereka mengerjakan salat padanya, adakalanya dari permulaannya atau dari tengahnya.

Mujahid mengatakan, sedikit sekali mereka tidur malam hari sampai subuh tanpa mereka jalani salat tahajud.

Hal yang sama telah dikatakan oleh Qatadah. Anas ibnu Malik dan Abul Aliyyah mengatakan bahwa mereka selalu mengerjakan salat (sunat) antara magrib dan isya.

Abu Ja’far Al-Baqir mengatakan bahwa mereka tidak tidur sebelum mengerjakan salat ‘atamah (isya).

Pendapat yang kedua menyebutkan bahwa ma adalah masdariyah, yang artinya mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir.

Al-Hasan Al-Basri mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. (Adz-Dzariyat: 17) Mereka jalani salat malam hari dengan keteguhan hati, karenanya mereka tidak tidur di malam hari kecuali hanya sedikit. Mereka mengerjakannya dengan penuh semangat hingga waktunya memanjang sampai waktu sahur, sehingga bacaan istigfar mereka dilakukan di waktu sahur.

Qatadah mengatakan bahwa Al-Ahnaf ibnu Qais telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. (Adz-Dzariyat: 17) Mereka tidak tidur kecuali sedikit. Kemudian Al-Ahnaf mengatakan bahwa dirinya bukan termasuk ahli ayat ini.

Al-Hasan Al-Basri mengatakan, Al-Ahnaf ibnu Qais pernah mengatakan bahwa ia membandingkan amalnya dengan amal penghuni surga, maka ia menjumpai suatu kaum yang berbeda jauh dengannya. Mereka adalah kaum yang amal perbuatan kami tidak dapat mencapai tingkatan amal mereka, mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan aku (Al-Ahnaf) membandingkan amal perbuatanku dengan amal penghuni neraka, ternyata ia menjumpai mereka adalah kaum yang tiada kebaikan pada diri mereka; mereka adalah orang-orang yang mendustakan Kitabullah dan rasul-rasul Allah, serta mendustakan adanya hari berbangkit sesudah mati. Dan aku menjumpai orang yang terbaik di antara kami adalah kaum yang mencampur amal saleh dan amal yang buruk.

Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa seorang lelaki dari Bani Tamim bertanya kepada Ubay r.a., “Hai Abu Usamah, ada suatu sifat yang tidak dijumpai di kalangan kami, Allah Swt. telah menyebutkan perihal suatu kaum melalui firman-Nya: ‘Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam’ (Adz-Dzariyat: 17). Dan kami, demi Allah, sedikit melakukan salat di malam hari.” Maka Ubay r.a. menjawab, “Beruntunglah bagi orang yang tidur bila mengantuk dan bertakwa kepada Allah apabila terbangun.”

Abdullah ibnu Salam r.a. mengatakan, “Ketika Rasulullah Saw. tiba di Madinah, maka orang-orang bersegera menemuinya, dan aku termasuk salah seorang yang datang menemuinya. Ketika aku melihat wajahnya, ternyata menurut keyakinanku beliau bukanlah seorang yang pendusta. Dan kalimat yang mula-mula kudengar darinya ialah:

Hai manusia, berilah makan, hubungkanlah tali persaudaraan, sebarkanlah salam, dan salatlah di malam hari pada saat manusia lelap dalam tidurnya, niscaya kalian masuk surga dengan selamat’.”

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasan ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi’ah, telah menceritakan kepadaku Yahya ibnu Abu Abdur Rahman Al-Habli, dari Abdullah ibnu Umar r.a. yang mengatakan bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya di dalam surga terdapat gedung-gedung yang bagian luarnya dapat dilihat dari bagian dalamnya, dan bagian dalamnya dapat dilihat dari bagian luarnya. Abu Musa Al-Asy’ari r.a. bertanya, “Wahai Rasulullah, untuk siapakah gedung-gedung itu?” Rasulullah Saw. menjawab: Untuk orang yang lembut dalam tutur katanya, dan gemar memberi makan (fakir miskin), serta melakukan salat malam harinya karena Allah di saat manusia lelap dalam tidurnya.

Ma’mar mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. (Adz-Dzariyat: 17) Bahwa menurut Az-Zuhri dan Al-Hasan, keduanya sering menyebutkan bahwa mereka banyak tidur di malam harinya tanpa mengerjakan salat (sunat malam hari).

Ibnu Abbas r.a. dan Ibrahim An-Nakha’i mengatakan sehubungan dengan firman Allah Swt.: Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. (Adz-Dzariyat: 17) Yakni mereka tidak tidur.

Ad-Dahhak mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik, mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. (Adz-Dzariyat: 16-17) Kemudian menganggap firman berikutnya sebagai kalimat baru: Di waktu sebagian malam mereka tidak tidur dan di waktu akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah). (Adz-Dzariyat: 17-18)

Pendapat ini jauh dari kebenaran dan dianggap menyimpang.

*******************

Firman Allah Swt.:

{وَبِالأسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ}

Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah). (Adz-Dzariyat: 18)

Mujahid dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa makna istigfar di sini adalah salat sunat. Ulama lainnya berpendapat bahwa mereka mendahulukan salat sunat di malam hari, sedangkan istigfarnya mereka akhirkan sampai waktu sahur. Seperti yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: dan yang memohon ampun di waktu sahur. (Ali Imran: 17) Dan bilamana istigfar itu dilakukan dalam salat, maka lebih utama.

Di dalam kitab-kitab sahih disebutkan dari sejumlah sahabat dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda:

Sesungguhnya Allah Swt. turun di setiap malam ke langit yang paling dekat, hingga malam hari tersisa sepertiganya lagi, maka Allah Swt. berfirman, “Apakah ada orang yang bertobat, maka Aku akan menerima tobatnya; apakah ada orang yang memohon ampun, maka Aku memberi ampun kepadanya; dan apakah ada orang yang meminta, maka Aku akan memberinya apa yang dimintanya?” Hingga fajar terbit (yakni waktu subuh datang).

Banyak ulama tafsir yang mengatakan sehubungan dengan firman Allah Swt. yang menceritakan perkataan Nabi Ya’qub kepada anak-anaknya:

{سَوْفَ أَسْتَغْفِرُ لَكُمْ رَبِّي}

Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. (Yusuf: 98)

Bahwa Nabi Ya’qub mengakhirkan bacaan istigfarnya untuk mereka sampai waktu sahur.

*******************

Firman Allah Swt.:

{وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ}

Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian. (Adz-Dzariyat: 19)

Setelah Allah Swt. menyifati mereka sebagai orang-orang yang rajin mengerjakan salat malam hari, lalu menyebutkan sifat terpuji mereka lainnya, yaitu bahwa mereka selalu membayar zakat dan bersedekah serta bersilaturahmi. Untuk itu Allah Swt. berfirman:

{وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ}

Dan pada harta mereka ada hak. (Adz-Dzariyat: 19)

Yaitu bagian yang telah mereka pisahkan, sengaja disiapkan untuk diberikan kepada orang yang meminta-minta dan yang tidak mendapat bagian. Adapun pengertian sa’il sudah jelas, yaitu orang yang mulai meminta-minta dan dia punya hak untuk meminta-minta, seperti yang disebutkan oleh Imam Ahmad dalam riwayatnya yang menyebutkan bahwa:

telah menceritakan kepada kami Waki’ dan Abdur Rahman, keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Mus’ab ibnu Muhammad, dari Ya’la ibnu Abu Yahya, dari Fatimah bintil Husain, dari ayahnya Al-Husain ibnu Ali r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Orang yang meminta-minta mempunyai hak, sekalipun ia datang dengan berkendaraan di atas kuda.

Imam Abu Daud meriwayatkannya melalui hadis Sufyan As-Sauri dengan sanad yang sama. Kemudian Abu Daud menyandarkannya melalui jalur lain, dari Ali ibnu Abu Talib r.a. Telah diriwayatkan pula melalui hadis Al-Hurmas ibnu Ziad secara marfu’ hal yang semisal.

Adapun pengertian orang yang mahrum, maka menurut Ibnu Abbas r.a. dan Mujahid, artinya orang yang beruntung karena tidak mempunyai jatah dari Baitul Mal, tidak mempunyai mata pencaharian, tidak pula mempunyai keahlian profesi yang dapat dijadikan tulang punggung kehidupannya.

Ummul Mu’minin Aisyah r.a. mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Muharif (orang yang tidak mendapat bagian atau tidak beruntung) ialah orang yang sulit dalam mencari mata pencaharian. Ad-Dahhak mengatakan bahwa orang yang mahrum ialah orang yang tidak sekali-kali mempunyai harta melainkan habis saja, dan itu sudah menjadi takdir Allah baginya.

Abu Qilabah mengatakan bahwa pernah ada banjir melanda Yamamah yang merusak harta seseorang, maka seseorang dari kalangan sahabat mengatakan bahwa orang ini adalah orang yang mahrum.

Ibnu Abbas r.a. mengatakan pula —demikian juga Sa’id ibnul Musayyab, Ibrahim An-Nakha’i, Nafi’ maula Ibnu Umar, dan Ata ibnu Abu Rabah— bahwa yang dimaksud dengan orang yang mahrum ialah orang yang tidak mendapat bagian (tidak beruntung).

Qatadah dan Az-Zuhri mengatakan bahwa orang mahrum adalah orang yang tidak pernah meminta sesuatu pun dari orang lain.

Az-Zuhri mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

Orang yang miskin itu bukanlah orang yang berkeliling meminta-minta ke sana dan kemari yang pergi setelah diberi sesuap dua suap makanan, atau sebiji dua biji buah kurma. Tetapi orang yang miskin (sesungguhnya) ialah orang yang tidak mendapatkan kecukupan bagi penghidupannya, dan tidak pula diketahui keadaannya hingga mudah diberi sedekah.

Hadis ini telah disandarkan oleh Syaikhain dalam kitab sahih masing-masing melalui jalur lain. Sa’id ibnu Jubair mengatakan bahwa orang yang miskin adalah orang yang datang, sedangkan ganimah telah habis dibagikan dan tiada yang tersisa lagi untuknya.

Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku sebagian teman-teman kami yang mengatakan bahwa kami pernah bersama Khalifah Umar ibnu Abdul Aziz di tengah jalan ke Mekah, lalu datanglah seekor anjing, maka Umar r.a. memberikan kepadanya sepotong paha kambing yang ia comot dari kambing panggangnya, dan orang-orang yang bersamanya mengatakan bahwa sesungguhnya anjing itu mahrum.

Asy-Sya’bi mengatakan, “Aku benar-benar kepayahan dalam mencari makna yang dimaksud dari lafaz mahrum.” Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa orang yang mahrum adalah orang yang tidak memiliki harta lagi karena sesuatu penyebab, semua hartanya telah lenyap. Baik hal itu karena dia tidak mampu mencari mata pencaharian atau karena hartanya telah ludes disebabkan musibah atau faktor lainnya.

As-Sauri telah meriwayatkan dari Qais ibnu Muslim, dari Al-Hasan ibnu Muhammad yang menceritakan bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw. pernah mengirimkan suatu pasukan, lalu mereka mendapat ganimah, maka datanglah kepada Nabi Saw. suatu kaum yang tidak menyaksikan pembagian ganimah itu. Maka turunlah ayat ini, yaitu firman-Nya: Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian. (Adz-Dzariyat: 19)

Hal ini menunjukkan bahwa ayat ini adalah Madaniyah, padahal kenyataannya tidaklah demikian: ia Makkiyyah yang juga mencakup peristiwa yang akan terjadi sesudahnya.

*******************

Firman Allah Swt.:

{وَفِي الأرْضِ آيَاتٌ لِلْمُوقِنِينَ}

Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. (Adz-Dzariyat: 20)

Yakni di bumi banyak terdapat tanda-tanda yang menunjukkan kebesaran penciptanya dan kekuasaan-Nya yang mengagumkan. Yaitu melalui apa yang telah disebar oleh-Nya di bumi ini berupa berbagai macam tetumbuhan dan hewan-hewan, serta bumi yang menghampar, gunung-gunung, hutan belukar, sungai-sungai, beraneka ragam warna kulit manusia dan bahasa mereka. Juga pembawaan yang telah diciptakan di dalam diri manusia berupa berbagai kehendak dan kekuatan, serta perbedaan yang ada pada mereka dalam hal akal, pemahaman, gerakan, kebahagiaan, dan kecelakaan. Pada susunan tubuh mereka banyak pula mengandung hikmah karena Allah telah meletakkan tiap-tiap anggota tubuh pada mereka di tempat-tempat yang tepat dan diperlukan. Karena itulah maka disebutkan oleh firman-Nya:

{وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلا تُبْصِرُونَ}

dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan? (Adz-Dzariyat: 21)

Qatadah mengatakan bahwa barang siapa yang memikirkan penciptaan dirinya, niscaya dia akan mengetahui bahwa sesungguhnya dirinya dan sendi-sendi tulang-tulangnya diciptakan hanyalah untuk beribadah. Kemudian disebutkan oleh firman-Nya:

{وَفِي السَّمَاءِ رِزْقُكُمْ}

Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu. (Adz-Dzariyat: 22)

Yakni hujan.

{وَمَا تُوعَدُونَ}

dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu. (Adz-Dzariyat: 22)

Yaitu surga.

Demikianlah menurut apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas r.a. dan Mujahid serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang.

Sufyan As-Sauri mengatakan bahwa Wasil Al-Ahdab membaca ayat berikut, yaitu firman Allah Swt.: Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu. (Adz-Dzariyat: 22) Lalu Wasil Al-Ahdab berkata, “Mengapa kalau rezekiku berada di langit, lalu aku mencarinya di bumi?” Maka ia memasuki sebuah tanah kosong dan tinggal padanya selama tiga hari tanpa menjumpai suatu makanan pun. Dan pada hari yang ketiganya, tiba-tiba ia menjumpai sekeranjang buah kurma. Tersebutlah pula bahwa dia mempunyai seorang saudara laki-laki yang lebih baik niatnya daripada dia, lalu saudaranya itu ikut masuk bersamanya di tanah kosong itu, sehingga keranjang kurmanya ada dua. Demikianlah kehidupan keduanya terus-menerus hingga keduanya dipisahkan oleh kematian.

*******************

Firman Allah Swt.:

{فَوَرَبِّ السَّمَاءِ وَالأرْضِ إِنَّهُ لَحَقٌّ مِثْلَ مَا أَنَّكُمْ تَنْطِقُونَ}

Maka demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan. (Adz-Dzariyat: 23)

Musaddad telah meriwayatkan dari Ibnu Abu Addi, dari Auf, dari Al-Hasan Al-Basri yang mengatakan bahwa telah sampai kepadanya suatu berita yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

We will be happy to hear your thoughts

Leave a reply

Amaliyah
Logo