Al-Baqarah ayat 106-107

Al-Baqarah ayat 106-107

{مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (106) أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا نَصِيرٍ (107) }

Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu? Tidakkah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah! Dan tiada bagi kalian selain Allah seorang pelindung maupun seorang penolong.

Ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. sehubungan dengan tafsir firman-Nya, “Ma nansakh min ayatin,” artinya ayat apa pun yang Kami ganti.

Ibnu Juraij meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan tafsir ayat ini, artinya “ayat apa pun yang kami hapuskan.”

Ibnu Abu Nujaih meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna ayat ini, yaitu: Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan. (Al-Baqarah: 106) Arti nasakh ialah ‘ayat apa pun yang Kami tetapkan khat (tulisan)nya, sedangkan hukumnya telah Kami ganti’. Mujahid mengetengahkan tafsir ini dari murid-murid Abdullah ibnu Mas’ud r.a.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan hal yang semisal dari Abul Aliyah dan Muhammad ibnu Ka’b Al-Qurazi.

Menurut Ad-Dahhak, makna ma nansakh min ayatin ialah ayat apa saja yang Kami buat engkau lupa padanya.

Menurut Ata, makna ma nansakh ialah apa saja dari Al-Qur’an yang Kami tinggalkan. Menurut Abu Hatim, makna yang dimaksud ialah apa pun yang ditinggalkan (oleh Allah) dan tidak diturunkan kepada Muhammad Saw.

As-Saddi mengatakan, makna ma nansakh ialah ayat apa pun yang dicabut oleh Allah.

Menurut Ibnu Abu Hatim maksudnya adalah dicabut dan diangkat oleh Allah Swt., seperti firman-Nya:

«الشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ إِذَا زَنَيَا فَارْجُمُوهُمَا الْبَتَّةَ»

Kakek-kakek dan nenek-nenek (laki-laki dan perempuan dewasa yang sudah kawin) apabila keduanya berzina, maka rajamlah keduanya sebagai suatu kepastian.

Seandainya anak Adam mempunyai dua lembah yang penuh dengan emas, niscaya dia menginginkan lembah lain yang ditambahkan kepada kedua lembah itu.

Ibnu Jarir mengatakan, makna ma nansakh min ayatin ialah hukum ayat apa saja yang Kami pindahkan ke yang lainnya dan Kami ubah serta Kami ganti hukumnya. Misalnya, Kami ganti halal menjadi haram, haram menjadi halal, mubah menjadi dilarang, dan dilarang menjadi mubah (boleh).

Hal ini hanya terjadi dalam masalah perintah, larangan, cegahan, mutlak, larangan dan ibahah (perbolehan). Yang menyangkut masalah-masalah berita dan kisah-kisah, tiada nasikh dan mansukh padanya.

Kata nasakh berasal dari naskhul kitab, yakni menukilnya dari suatu salinan ke salinan yang lain. Demikian pula makna me-nasakh hukum ke hukum yang lainnya, hanya makna yang dimaksud ialah memindahkan hukumnya dan menukil suatu ibarat ke ibarat yang lainnya —yakni merevisinya— tanpa membedakan apakah yang di-nasakh itu hukumnya atau khat (tulisan)nya saja, mengingat dua keadaan tersebut tetap dinamakan nasakh.

Sehubungan dengan definisi nasakh, ulama ahli Usul berbeda-beda dalam mengungkapkannya. Tetapi kesimpulan dari semua pendapat mereka saling berdekatan (tidak jauh berbeda), mengingat makna nasakh menurut istilah syara’ sudah dimaklumi di kalangan ulama. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa nasakh artinya menghapuskan suatu hukum dengan dalil syar’i yang datang kemudian. Termasuk ke dalam pengertian definisi ini me-nasakh hukum yang ringan dengan hukum yang berat dan sebaliknya, juga nasakh yang tidak ada gantinya. Rincian mengenai hukum-hukum nasakh, jenis-jenis serta syarat-syaratnya dibahas di dalam kitab Usul Fiqh.

Imam Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Subail (yaitu Ubaidillah ibnu Abdur Rahman ibnu Waqid), telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Al-Abbas ibnul Fadl, dari Sulaiman ibnu Arqam, dari Az-Zuhri, dari Salim, dari ayahnya yang menceritakan bahwa ada dua orang lelaki membaca suatu surat yang pernah diajarkan oleh Rasulullah Saw. kepada keduanya, dan kedua lelaki itu selalu membaca surat tersebut dengan bacaan itu. Maka di suatu malam keduanya berdiri mengerjakan salat, tetapi keduanya tidak mampu membaca surat tersebut barang satu huruf pun. Lalu pada pagi harinya keduanya datang menghadap Rasulullah Saw. dan menceritakan hal tersebut. Maka Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya surat itu termasuk surat yang dinasakh atau aku dijadikan lupa kepadanya. Karena itu, lupakanlah ia.

Az-Zuhri membacanya ma nansakh min ayatin au nunsiha. Akan tetapi, Sulaiman ibnul Arqam orangnya daif.

Tetapi Abu Bakar ibnul Ambari meriwayatkan hal yang semisal dari ayahnya, dari Nasr ibnu Daud, dari Abu Ubaidillah, dari Abdullah ibnu Saleh, dari Lais, dari Yunus dan Uqail, dari Ibnu Syihab, dari Abu Umamah ibnu Sahl ibnu Hanif secara marfu’. Riwayat ini diketengahkan oleh Al-Qurtubi.

Firman Allah Swt, “Au nunsiha” (Kami jadikan manusia lupa kepadanya) dibaca menurut dua segi bacaan, yaitu nansa-uha dan nunsiha. Orang yang membaca nansa-uha artinya Kami menangguhkannya.

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai tafsir firman-Nya, “Ma nansakh min ayatin au nansa-uha,” ialah apa saja ayat yang Kami ganti atau yang Kami tinggalkan tanpa menggantinya.

Mujahid meriwayatkan dari teman-teman (murid-murid) sahabat Ibnu Mas’ud r.a. tentang makna au nansa-uha: Kami tetapkan khat-nya, sedangkan hukumnya telah Kami ganti.

Abdu ibnu Umair, Mujahid, dan Ata mengatakan bahwa au nansa-uha artinya Kami akhirkan dan Kami tangguhkan hukumnya.

Atiyyah Al-Aufi mengatakan bahwa au nansa-uha artinya Kami akhirkan hukumnya, tetapi tidak Kami nasakh. As-Saddi dan Ar-Rabi’ ibnu Anas mengatakan hal yang semisal.

Ad-Dahhak mengatakan, ayat ini menerangkan bahwa di antara ayat-ayat Al-Qur’an itu ada yang nasikh dan ada yang mansukh (yakni ada yang merevisi dan ada yang direvisi).

Menurut Abul Aliyah, au nansa-uha artinya ialah Kami mengakhirkan (menangguhkan) hukumnya.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Ismail Al-Bagdadi, telah menceritakan kepada kami Khalaf, telah menceritakan kepada kami Al-Khaffaf, dari Ismail (yak-ni Ibnu Aslam), dari Habib ibnu Abu Sabit, dari Sa’id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa pada suatu hari Khalifah Umar r.a. berkhotbah kepada kami, lalu ia membacakan firman-Nya, “Ma nansakh min ayatin au nansa-uha,” yakni atau Kami tangguhkan hukumnya.

Adapun menurut bacaan au nunsiha, maka Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari Ma’mar, dari Qatadah, sehubungan dengan makna firman-Nya: Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya. (Al-Baqarah: 106) Allah Swt. menjadikan Nabi-Nya lupa kepada apa yang dikehendaki-Nya, dan Dia me-nasakh apa yang dikehendaki-Nya dari ayat-ayat tersebut.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sawad ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Khalid ibnul Haris, telah menceritakan kepada kami Auf ibnul Hasan, bahwa ia pernah mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya, “Au nunsiha,” bahwa sesungguhnya Nabi kalian membaca suatu ayat Al-Qur’an, kemudian beliau dibuat-Nya lupa.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Nufail, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnuz Zubair Al-Harrani, dari Al-Hajjaj (yakni Al-Jazari), dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, di antara wahyu yang diturunkan oleh Nabi Saw. adalah wahyu yang diturunkan di malam hari, dan pada siang harinya beliau lupa. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. (Al-Baqarah: 106)

Selanjutnya Ibnu Abu Hatim mengatakan, Abu Ja’far ibnu Nufail mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Al-Hajjaj bukan Al-Hajjaj ibnu Artah, melainkan salah seorang guru kami yang dinisbatkan kepada Al-Jazari.

Ubaid ibnu Umair mengatakan bahwa makna au nunsiha ialah Kami menghapuskan hukumnya dari kalian.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya’qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Hasyim, dari Ya’la ibnu Ata, dari Al-Qasim ibnu Rabi’ah yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Sa’d ibnu Abu Waqqas membacakan ayat ini seperti berikut: Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya. (Al-Baqarah: 106) Yakni dengan bacaan nunsiha. Maka ia berkata kepada Sa’d ibnu Abu Waqqas bahwa sesungguhnya Sa’id ibnul Musayyab membacanya dengan bacaan au nansa-uha. Maka Sa’d ibnu Abu Waqqas menjawab, “Sesungguhnya Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepada Al-Musayyab, juga tidak kepada keluarga Al-Musayyab.” Selanjutnya Sa’d ibnu Abu Waqqas membacakan firman-Nya:

سَنُقْرِئُكَ فَلا تَنْسى

Kami akan membacakan (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad), maka kamu tidak akan lupa. (Al-A’la: 6)

وَاذْكُرْ رَبَّكَ إِذا نَسِيتَ

Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa. (Al-Kahfi: 24)

Hal yang sama diriwayatkan oleh Abdur Razzaq ibnu Hasyim. Imam Hakim mengetengahkannya di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadis Abu Hatim Ar-Razi, dari Adam, dari Syu’bah, dari Ya’la ibnu Ata dengan lafaz yang sama, kemudian Imam Hakim mengatakan dengan syarat Syaikhain (Imam Bukhari dan Imam Muslim), tetapi keduanya tidak mengetengahkannya.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Muhammad ibnu Ka’b, Qatadah, dan Ikrimah hal yang semisal dengan perkataan Sa’id ibnul Musayyab r.a.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya, telah menceritakan kepada kami Sufyan As-Sauri, dari Habib ibnu Abu Sab it, dari Sa’id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa Umar r.a. pernah mengatakan, “Orang yang paling adil di antara kami dan Ubay ialah orang yang paling ahli qiraat, tetapi sesungguhnya kami benar-benar meninggalkan sebagian dari perkataan Ubay. Demikian itu karena Ubay pernah mengatakan bahwa ia tidak akan meninggalkan sesuatu pun yang pernah ia dengar dari Rasulullah Saw.” Padahal Allah Swt. telah berfirman: Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. (Al-Baqarah: 106)

Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Habib, dari Sa’id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa sahabat Umar pernah mengatakan, “Orang yang paling ahli qiraat di antara kami adalah Ubay, sedangkan orang yang paling ahli dalam masalah peradilan di antara kami adalah Ali. Tetapi sesungguhnya kami benar-benar meninggalkan sebagian dari perkataan Ubay. Demikian itu karena dia pernah mengatakan bahwa dia tidak akan meninggalkan sesuatu pun dari apa yang pernah dia dengar dari Rasulullah Saw. ‘Padahal Allah Swt. telah berfirman: Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya (Al-Baqarah: 106)

****************

Adapun firman Allah Swt.:

{نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا}

Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. (Al-Baqarah: 106)

Yakni dalam hal hukum bila dikaitkan dengan masalah kaum Mukallafin, seperti yang telah dikatakan oleh Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Kami datangkan yang lebih baik daripadanya. (Al-Baqarah: 106) Maksudnya, yang lebih baik manfaatnya buat kalian dan lebih ringan bagi kalian.

Abul Aliyah mengatakan, “Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan,” maka kami tidak mengamalkannya, “atau Kami menangguhkannya,” yakni Kami tangguhkan oleh pihak Kami, maka Kami akan mendatangkannya atau Kami datangkan yang sebanding dengannya.

As-Saddi mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. (Al-Baqarah: 106) Yaitu Kami datangkan yang lebih baik daripada apa yang telah Kami nasakh-kan itu, atau Kami datangkan yang sebanding dengan apa yang Kami tinggalkan itu.

Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Kami datangkan yang lebih balk daripadanya atau yang sebanding dengannya. (Al-Baqarah: 106) Yang dimaksud ialah ayat yang di dalamnya terkandung keringanan atau rukhsah (kemurahan) atau perintah atau larangan.

****************

Firman Allah Swt:

{أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ* أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا نَصِيرٍ}

Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha-kuasa atas segala sesuatu? Tidakkah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah! Dan tiada bagi kalian selain Allah seorang pelindung maupun seorang penolong. (Al-Baqarah: 106-107)

Melalui ayat ini Allah Swt. memberi petunjuk kepada hamba-hamba-Nya bahwa Dialah yang mengatur semua makhluk menurut apa yang Dia kehendaki, Dialah yang menciptakan dan yang memerintah, Dialah yang mengatur, Dialah yang menciptakan mereka menurut apa yang dikehendaki-Nya, Dia membahagiakan siapa yang dikehendaki-Nya, Dia mencelakakan siapa yang dikehendaki-Nya, Dia menyehatkan siapa yang dikehendaki-Nya, Dia yang membuat sakit siapa yang dikehendaki-Nya, Dia memberi taufik siapa yang dikehendaki-Nya, Dia yang menghinakan siapa yang dikehendaki-Nya.

Allah-lah yang mengatur hukum pada hamba-hamba-Nya menurut apa yang dikehendaki-Nya. Untuk itu Dia menghalalkan apa yang dikehendaki-Nya dan mengharamkan apa yang dikehendaki-Nya, Dia membolehkan apa yang dikehendaki-Nya dan mengharamkan apa yang dikehendaki-Nya. Dialah yang mengatur hukum menurut apa yang dikehendaki-Nya, tiada yang dapat menolak ketetapan-Nya, dan tiada yang menanyakan apa yang diperbuat-Nya, sedangkan merekalah yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh-Nya. Dia menguji hamba-hamba-Nya dan ketaatan mereka kepada rasul-rasul-Nya melalui hukum nasakh.

Untuk itu, Dia memerintahkan sesuatu karena di dalamnya terkandung kemaslahatan yang hanya Dia sendirilah yang mengetahuinya, kemudian Dia melarangnya karena suatu penyebab yang hanya Dia sendirilah yang mengetahuinya. Taat yang sesungguhnya ialah mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya, mengikuti rasul-rasul-Nya dalam membenarkan apa yang diberitakan oleh mereka, dan mengerjakan apa yang diperintahkan mereka serta menjauhi apa yang dilarang oleh mereka.

Di dalam ayat ini terkandung makna bantahan yang keras dan penjelasan yang terang kepada kekufuran orang-orang Yahudi dan kepalsuan keraguan mereka yang menduga bahwa nasakh merupakan hal yang mustahil, baik menurut rasio mereka maupun menurut apa yang didugakan oleh sebagian dari kalangan mereka yang bodoh lagi ingkar, atau menurut dalil naqli seperti yang dibuat-buat oleh sebagian yang lain dari kalangan mereka untuk mendustakannya.

Imam Abu Ja’far ibnu Jarir rahimahullah mengatakan bahwa takwil ayat ini adalah seperti berikut:

Tidakkah kamu mengetahui, hai Muhammad, bahwa sesungguhnya milik-Ku-lah semua kerajaan langit dan kerajaan bumi serta kekuasaan keduanya, bukan milik selain-Ku. Aku mengatur hukum pada keduanya dan semua yang ada pada keduanya menurut apa yang Aku kehendaki. Dan Aku memerintahkan pada keduanya serta pada semua yang ada pada keduanya menurut apa yang Aku kehendaki. Aku melarang semua yang Aku kehendaki. Aku me-nasakh dan mengganti sebagian dari hukum-hukum-Ku yang telah Aku tetapkan terhadap hamba-hamba-Ku menurut apa yang aku kehendaki di saat Aku menghendakinya. Aku menetapkan pada keduanya semua yang Aku kehendaki.

Abu Ja’far ibnu Jarir mengatakan, sekalipun berita ini ditujukan sebagai khitab kepada Nabi Saw. oleh Allah Swt. sebagai penghormatan dari-Nya buat Nabi Saw., tetapi sekaligus sebagai bantahan yang mendustakan orang-orang Yahudi karena mereka mengingkari adanya pe-nasakh-an kitab Taurat serta ingkar kepada kenabian Nabi Isa a.s. dan Nabi Muhammad Saw. Mereka melakukan demikian karena kedua rasul ini datang dengan membawa kitab yang diturunkan dari sisi Allah yang di dalamnya terkandung hal-hal yang diturunkan oleh Allah untuk mengubah sebagian dari hukum-hukum Taurat.

Maka Allah memberitahukan kepada mereka bahwa milik Dialah semua kerajaan langit dan bumi serta kekuasaan yang ada pada keduanya. Semua makhluk adalah penduduk dari kerajaan-Nya yang harus taat kepada-Nya. Mereka harus patuh dan taat kepada perintah dan larangan-Nya, dan Allah berhak memerintah mereka dengan apa yang dikehendaki-Nya, serta melarang mereka dengan apa yang dikehendaki-Nya. Dia me-nasakh apa yang dikehendaki-Nya dan menetapkan apa yang dikehendaki-Nya. Dia berhak mengadakan apa yang dikehendaki-Nya, baik berupa ketetapan, perintah, ataupun larangan-Nya.

Menurut pendapat kami, hal yang mendorong orang-orang Yahudi mengungkit-ungkit masalah nasakh tiada lain hanyalah kekufuran dan keingkaran mereka. Karena sesungguhnya menurut rasio tiada sesuatu hal pun yang mencegah adanya pe-nasakh-an dalam hukum-hukum Allah Swt., sebab Dia memutuskan hukum menurut apa yang dikehendaki-Nya, sebagaimana Dia berbuat menurut apa yang dikehendaki-Nya. Padahal masalah nasakh itu sesungguhnya telah terjadi di dalam kitab-kitab Allah yang terdahulu dan syariat-syariat-Nya sebelum Al-Qur’an.

Misalnya dalam syariat Nabi Adam Allah menghalalkan meni-kahkan anak-anak lelakinya dengan anak-anak perempuannya. Kemudian setelah populasi manusia bertambah banyak, maka hal tersebut diharamkan. Dalam syariat Nabi Nuh, sesudah dia keluar dari perahunya ia dihalalkan memakan daging semua hewan; kemudian di-mansukh, dan yang dihalalkan hanya sebagiannya saja.

Di masa lalu —dalam syariat Nabi Ya’qub— kaum Bani Israil diperbolehkan menikahi dua orang perempuan yang bersaudara (kakak dan adiknya), kemudian di dalam kitab Taurat hal tersebut diharamkan, demikian pula pada syariat-syariat sesudahnya.

Allah Swt pernah memerintahkan kepada Nabi Ibrahim a.s. untuk menyembelih anak laki-lakinya (yaitu Nabi Ismail), kemudian hal itu di-mansukh sebelum Nabi Ibrahim melakukannya. Allah memerintahkan agar membunuh semua Bani Israil yang pernah menyembah anak lembu, kemudian hukuman tersebut di-nasakh agar mereka tidak habis karena dihukum mati. Masih banyak hal lainnya yang sangat panjang kisahnya bila dikemukakan; mereka mengakui adanya pe-nasakh-m tersebut, tetapi mereka berpaling dan tidak mau mengakuinya. Bantahan yang mereka kemukakan terhadap dalil-dalil tersebut tujuan utamanya ialah untuk mengelak dari kenyataan itu sendiri.

Di dalam kitab-kitab mereka sudah dikenal adanya berita gembira mengenai kedatangan Nabi Muhammad Saw., juga perintah untuk mengikutinya. Kenyataan ini mengharuskan mereka mengikuti Nabi Saw. dan bahwa tiada lagi suatu amal pun yang dapat diterima kecuali dengan mengamalkan syariatnya, tanpa memandang kepada suatu pendapat yang mengatakan bahwa sesungguhnya syariat-syariat yang terdahulu sudah berakhir sampai dengan masa Nabi Saw. diangkat menjadi utusan Allah. Maka hal ini bukan dinamakan nasakh karena berdasarkan kepada firman-Nya yang mengatakan:

ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيامَ إِلَى اللَّيْلِ

Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam. (Al-Baqarah: 187)

Menurut pendapat lainnya apa yang disebut oleh ayat ini bersifat mutlak, dan bahwa syariat Nabi Muhammad Saw. telah me-nasakh-nya.

Berdasarkan interpretasi mana pun pada garis besamya diwajibkan mengikuti syariat Nabi Muhammad Saw., tiada pilihan lain, mengingat dia datang membawa Kitabullah yang paling akhir dan yang baru diturunkan oleh Allah Swt. Melalui ayat surat Al-Baqarah ini Allah Swt. menjelaskan boleh adanya nasakh sebagai bantahan terhadap orang-orang Yahudi —semoga laknat Allah menimpa mereka— mengingat Allah Swt. telah berfirman: Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu! Tidakkah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah! (Al-Baqarah: 106-107), hingga akhir ayat.

Karena semua kerajaan ini adalah milik Allah tanpa ada yang me-nyaingi-Nya, maka Dia berhak mengatur hukum menurut apa yang dikehendaki-Nya. Seperti yang disebutkan di dalam ayat lainnya, yaitu firman-Nya:

أَلا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ

Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. (Al-A’raf: 54)

Telah ditetapkan di dalam surat Ali Imran dalam salah satu ayatnya yang menceritakan perihal kaum ahli kitab, bahwa di dalamnya terdapat nasakh. Yaitu pada firman-Nya:

كُلُّ الطَّعامِ كانَ حِلًّا لِبَنِي إِسْرائِيلَ إِلَّا مَا حَرَّمَ إِسْرائِيلُ عَلى نَفْسِهِ

Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil, melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya’qub) untuk dirinya sendiri. (Ali Imran: 93), hingga akhir ayat.

Adapun penafsirannya akan disebutkan pada tempatnya nanti.

Seluruh kaum muslim telah sepakat bahwa nasakh dalam hukum-hukum Allah itu ada, mengingat di dalamnya terkandung hikmah yang agung; dan mereka semua mengatakan bahwa nasakh itu ada.

Akan tetapi, mengenai pendapat Abu Muslim Al-Asbahani —seorang ulama tafsir— yang mengatakan bahwa tiada suatu nasakh-pun di dalam Al-Qur’an, pendapatnya itu lemah, tidak dapat diterima lagi tak diindahkan; karena ternyata dia memaksakan diri dalam membantah kenyataan nasakh yang ada, antara lain dalam masalah idah empat bulan sepuluh hari yang sebelumnya adalah satu tahun. Dia tidak mengemukakan jawaban yang dapat diterima dalam masalah ini. Juga dalam masalah pengalihan kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah, dia tidak menjawab sepatah kata pun. Masalah lainnya yang dia tidak dapat menjawabnya ialah di-nasakh-Nya perintah bersabar bagi seorang muslim dalam menghadapi sepuluh orang musyrik, hingga menjadi dua orang musyrik saja. Contoh lainnya ialah wajib bersedekah sebelum bermunajat (berbicara) dengan Rasul Saw., dan lain sebagainya.

 

We will be happy to hear your thoughts

Leave a reply

Amaliyah
Logo