وَالسَّمَاءِ ذَاتِ الْبُرُوجِ (1) وَالْيَوْمِ الْمَوْعُودِ (2) وَشَاهِدٍ وَمَشْهُودٍ (3) قُتِلَ أَصْحَابُ الْأُخْدُودِ (4) النَّارِ ذَاتِ الْوَقُودِ (5) إِذْ هُمْ عَلَيْهَا قُعُودٌ (6) وَهُمْ عَلَى مَا يَفْعَلُونَ بِالْمُؤْمِنِينَ شُهُودٌ (7) وَمَا نَقَمُوا مِنْهُمْ إِلَّا أَنْ يُؤْمِنُوا بِاللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ (8) الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ (9) إِنَّ الَّذِينَ فَتَنُوا الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَتُوبُوا فَلَهُمْ عَذَابُ جَهَنَّمَ وَلَهُمْ عَذَابُ الْحَرِيقِ (10)
Demi langit yang mempunyai gugusan bintang, dan hari yang dijanjikan, dan yang menyaksikan dan yang disaksikan. Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit, yang berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar, ketika mereka duduk di sekitarnya, sedangkan mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman. Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji, Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu. Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang yang mukmin laki-laki dan perempuan, kemudian mereka tidak bertobat, maka bagi mereka azab Jahanam dan bagi mereka azab (neraka) yang membakar.
Allah Swt. bersumpah dengan menyebut nama langit dan gugusan-gugusannya, yakni bintang-bintangnya yang besar-besar. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam tafsir firman-Nya:
تَبارَكَ الَّذِي جَعَلَ فِي السَّماءِ بُرُوجاً وَجَعَلَ فِيها سِراجاً وَقَمَراً مُنِيراً
Maha Suci Allah yang menjadikan di langit gugusan-gugusan bintang dan Dia menjadikan juga padanya matahari dan bulan yang bercahaya. (Al-Furqan: 61)
Ibnu Abbas, Mujahid, Ad-Dahhak, Al-Hasan, Qatadah, dan As-Saddi mengatakan bahwa Al-Buruj artinya bintang-bintang. Diriwayatkan pula dari Mujahid bahwa Al-Buruj artinya yang ada penjaganya. Yahya ibnu Rafi’ mengatakan bahwa Al-Buruj artinya gedung-gedung yang terdapat di langit.
Al-Minhal ibnu Amr telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Demi langit yang mempunyai gugusan bintang. (Al-Buruj: l) Yakni bentuk yang baik.
Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah manzilah-manzilah matahari dan bulan, yang semuanya ada dua belas buruj; matahari menempuh tiap-tiap manzilah itu selama satu bulan, sedangkan bulan berjalan pada masing-masing darinya selama dua sepertiga hari, yang berarti dua puluh delapan malam, sedangkan yang dua malamnya bulan bersembunyi.
Firman Allah Swt.:
{وَالْيَوْمِ الْمَوْعُودِ وَشَاهِدٍ وَمَشْهُودٍ}
dan hari yang dijanjikan, dan yang menyaksikan dan yang disaksikan. (Al-Buruj:2-3)
Ulama tafsir berbeda pendapat sehubungan dengan maknanya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Muhammad ibnu Amr Al-Gazi, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ubaidah, dari Ayyub ibnu Khalid ibnu Safwan ibnu Aus Al-Ansari, dari Abdullah ibnu Rafi’, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Dan hari yang dijanjikan, yaitu hari kiamat, dan yang menyaksikan, yaitu hari Jumat. Dan tiada suatu hari pun yang mentari terbit dan tenggelam padanya lebih utama daripada hari Jumat; di dalamnya terdapat suatu saat yang tidak sekali-kali seorang hamba yang muslim menjumpainya, lalu meminta suatu kebaikan padanya, melainkan Allah memberinya hal itu. Dan tidaklah dia meminta perlindungan dari suatu kejahatan padanya melainkan Allah melindunginya. Dan hari yang disaksikan itu adalah hari Arafah.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah melalui berbagai jalur dari Musa ibnu Ubaidah Ar-Rabzi, sedangkan dia orangnya daif. Dan hadis ini telah diriwayatkan pula secara mauquf dari Abu Hurairah, maka riwayat inilah yang lebih mirip kepada kesahihan.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, bahwa ia telah mendengar Ali ibnu Zaid dan Yunus ibnu Ubaid; keduanya menceritakan hadis. dari Ammar maula Bani Hasyim, dari Abu Hurairah. Adapun meryurut riwayat Ali, maka dia me-rafa’-kannya sampai kepada Nabi Saw., sedangkan Yunus hanya sampai kepada Abu Hurairah.
Disebutkan bahwa Abu Hurairah telah mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini, yaitu firman-Nya: dan yang menyaksikan dan yang disaksikan. (Al-Buruj: 3) Bahwa yang menyaksikan adalah hari Jumat, dan yang disaksikan adalah hari kiamat.
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja’far, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Yunus, bahwa ia pernah mendengar Ammar maula Bani Hasyim menceritakan hadis dari Abu Hurairah, bahwa ia telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan yang menyaksikan dan yang disaksikan. (Al-Buruj: 3) Bahwa yang menyaksikan adalah hart Jumat dan yang disaksikan adalah hari ‘Arafah, dan yang dijanjikan adalah hari kiamat.
Telah diriwayatkan pula dari Abu Hurairah, ia pernah mengatakan bahwa hari yang dijanjikan itu adalah hari kiamat. Hal yang sama telah dikatakan oleh Al-Hasan, Qatadah, dan Ibnu Zaid, tetapi aku tidak melihat mereka berselisih pendapat mengenainya; segala puji bagi Allah.
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan:
telah menceritakan kepada kamu Muhammad ibnu Auf, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail ibnu Iyasy, telah menceritakan kepadaku ayahku, telah menceritakan kepada kami Damdam ibnu Zur’ah, dari Syuraih ibnu Ubaid, dari Abu Malik Al-Asy’ari yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Hari yang dijanjikan ialah hari kiamat, dan sesungguhnya yang menyaksikan ialah hari Jumat, dan sesungguhnya yang disaksikan ialah hari ‘Arafah dan hari Jumat yang sengaja disimpankan oleh Allah untuk kita (umat Muhammad).
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan:
telah menceritakan kepada kami Sahl ibnu Musa Ar-Razi, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Fudaik, dari Ibnu Harmalah, dari Sa’id ibnul Musayyab yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Sesungguhnya penghulu hari itu adalah hari Jumat, yaitu hari yang menyaksikan, sedangkan hari yang disaksikan adalah hari Arafah.
Ini merupakan salah satu dari hadis mursal-nya Sa’id ibnul Musayyab. Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Waki’, dari Syu’bah, dari Ali ibnu Zaid, dari Yusuf Al-Makki, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa yang menyaksikan adalah Muhammad Saw., sedangkan yang disaksikan adalah hari kiamat. Kemudian Ibnu Abbas membaca firman-Nya: Hari kiamat itu adalah suatu hari yang semua manusia dikumpulkan untuk (menghadapi) nya, dan hari itu adalah suatu hari yang disaksikan (oleh segala makhluk). (Hud: 103)
Telah menceritakan pula kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Mugirah, dari Syubak yang mengatakan bahwa pernah ada seorang lelaki bertanya kepada Al-Hasan ibnu Ali tentang makna firman-Nya: dan yang menyaksikan dan yang disaksikan. (Al-Buruj:3) Al-Hasan ibnu Ali menjawab, “Apakah engkau pernah bertanya kepada seseorang sebelumku?” Lelaki itu menjawab, “Ya, aku pernah bertanya kepada Ibnu Umar dan Ibnuz Zubair. Lalu keduanya menjawab, bahwa makna yang dimaksud adalah Hari Raya Kurban dan hari Jumat.” Maka Al-Hasan ibnu Ali berkata, “Bukan, yang menjadi saksi adalah Muhammad Saw.” Kemudian Al-Hasan ibnu Ali membaca firman-Nya: Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu). (An-Nisa: 41) Dan yang dimaksud dengan yang disaksikan adalah hari kiamat; kemudian Al-Hasan membaca firman-Nya: Hari kiamat itu adalah suatu hari yang semua manusia dikumpulkan untuk (menghadapi) nya, dan hari itu adalah suatu hari yang disaksikan (oleh segala makhluk). (Hud: 103)
Hal yang sama telah dikatakan oleh Al-Hasan Al-Basri. Sufyan As-Sauri telah meriwayatkan dari Ibnu Hannalah, dari Sa’id ibnul Musayyab, bahwa yang disaksikan adalah hari kiamat.
Mujahid, Ikrimah, dan Ad-Dahhak mengatakan bahwa yang menyaksikan adalah anak Adam, dan yang disaksikan adalah hari kiamat. Diriwayatkan dari Ikrimah pula bahwa yang menyaksikan adalah Muhammad Saw., dan yang disaksikan adalah hari Jumat.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa yang menyaksikan adalah Allah, dan yang disaksikan adalah hari kiamat. Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Na’im Al-Fadl ibnu Dakin, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abu Yahya Al-Qattat, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan yang menyaksikan dan yang disaksikan. (Al-Buruj:3) Bahwa yang menyaksikan adalah manusia, sedangkan yang disaksikan adalah hari Jumat; hal yang sama telah diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Mahran, dari Sufyan, dari Ibnu Abu Najih, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman Allah Swt.: dan yang menyaksikan dan yang disaksikan. (Al-Buruj: 3) Yang menyaksikan adalah hari’ Arafah, dan yang disaksikan adalah hari kiamat. Hal yang sama diriwayatkan dari Sufyan As-Sauri, dari Mugirah, dari Ibrahim yang mengatakan bahwa yang dimaksiid adalah Hari Raya Kurban dan hari Arafah, yakni yang menyaksikan dan yang disaksikan.
Ibnu Jarir mengatakan, ulama lainnya mengatakan bahwa yang disaksikan adalah hari Jumat; sehubungan dengan hal ini mereka meriwayatkan sebuah hadis yang diceritakan kepada kami oleh Ahmad ibnu Abdur Rahman, bahwa telah menceritakan kepadaku pamanku (yaitu Abdullah ibnu Wahb), telah menceritakan kepadaku Amr ibnul Haris, dari Sa’id ibnu Abu Hilal, dari Zaid ibnu Aiman, dari Ubadah ibnu Nasiy, dari Abu Darda yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Perbanyaklah membaca salawat untukku di hari Jumat’, karena sesungguhnya hari Jumat itu adalah hari yang disaksikan oleh para malaikat.
Diriwayatkan dari Sa’id ibnu Jubair, bahwa yang menyaksikan adalah Allah. Kemudian ia membaca firman-Nya: Dan cukuplah Allah sebagai saksi. (Al-Fath: 28) dan yang disaksikan adalah kita semua; demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Al-Bagawi.
Kebanyakan ulama mengatakan bahwa yang menyaksikan adalah hari Jumat dan yang disaksikan adalah hari ‘Arafah.
*******************
Firman Allah Swt.:
{قُتِلَ أَصْحَابُ الأخْدُودِ}
Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit. (Al-Buruj: 4)
Yakni terkutuklah para pembuat parit itu. Ukhdud bentuk jamaknya adalah akhadid. yang artinya galian. Hal ini menceritakan perihal suatu kaum yang kafir. Mereka dengan sengaja menangkap orang-orang mukmin yang ada di kalangan mereka; orang-orang mukmin itu lalu mereka paksa untuk murtad dari agamanya, tetapi orang-orang mukmin menolaknya. Untuk itu kaum kafir tersebut membuat suatu galian buat orang-orang mukmin yang mereka tangkap itu, kemudian mereka nyalakan di dalamnya api yang besar, dan mereka menyediakan kayu bakar yang cukup untuk membuat api itu tetap bergejolak. Setelah itu mereka membawa orang-orang mukmin yang mereka tangkap itu ke dekat galian, lalu ditawarkan kepada mereka untuk murtad, tetapi ternyata orang-orang mukmin itu menolak dan tidak mau menerimanya. Akhirnya orang-orang mukmin itu dilemparkan ke dalam parit yang ada apinya itu. Karena itulah maka disebutkan oleh firman-Nya:
{قُتِلَ أَصْحَابُ الأخْدُودِ النَّارِ ذَاتِ الْوَقُودِ إِذْ هُمْ عَلَيْهَا قُعُودٌ وَهُمْ عَلَى مَا يَفْعَلُونَ بِالْمُؤْمِنِينَ شُهُودٌ}
Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit, yang berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar, ketika mereka duduk di sekitarnya, sedangkan mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman. (Al-Buruj:4-7)
Yaitu mereka menyaksikan apa yang dilakukan terhadap orang-orang mukmin itu.
Allah Swt. berfirman:
{وَمَا نَقَمُوا مِنْهُمْ إِلا أَنْ يُؤْمِنُوا بِاللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ}
Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji. (Al-Buruj: 8)
Orang-orang mukmin itu tidak mempunyai salah terhadap mereka kecuali hanya karena iman mereka kepada Allah Yang Mahaperkasa yang tidak akan tersia-sia orang yang berlindung di bawah naungan-Nya yang sangat kokoh, lagi Dia Maha Terpuji dalam semua perbuatan dan ucapan-Nya. dan dalam syariat dan takdir-Nya. Sekalipun Dia telah menakdirkan atas hamba-hamba-Nya yang beriman itu berada di tangan kekuasaan orang-orang kafir yang memberlakukan terhadap mereka seperti apa yang disebutkan di atas, maka Dia tetap Mahaperkasa lagi Maha Terpuji, walaupun penyebab hal itu tidak diketahui oleh kebanyakan orang.
Kemudian Allah Swt. berfirman:
{الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ}
Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi. (Al-Buruj:9)
Termasuk sifat Allah yang sempurna ialah Dia memiliki semua alam langit dan alam bumi berikut apa yang ada di antara keduanya dan juga yang ada di dalam keduanya.
{وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ}
dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu. (Al-Buruj:9)
Yakni tiada sesuatu pun yang tidak kelihatan bagi-Nya di langit dan di bumi, dan tiada sesuatu pun yang tersembunyi bagi-Nya.
Ulama tafsir berbeda pendapat mengenai orang-orang yang disebutkan dalam kisah ayat ini, siapakah mereka sebenarnya? Disebutkan dari sahabat Ali r.a. bahwa mereka adalah penduduk negeri Persia ketika raja mereka ingin menghalalkan kawin dengan mahram, lalu ulama mereka menentang kehendak raja itu. Maka dengan sengaja si raja membuat parit dan melemparkan ke dalamnya setiap orang yang menentang keinginannya dari kalangan mereka; dan akhirnya menghalalkan kawin dengan mahram terus berlangsung sampai sekarang.
Menurut riwayat lain yang juga dari Ali, mereka adalah suatu kaum di negeri Yaman. Orang-orang mukmin dari kalangan mereka berperang dengan orang-orang musyriknya. maka pada mulanya orang-orang mukmin menang atas orang-orang kafir, kemudian selang beberapa masa pertempuran di antara mereka kembali berkobar, dan kali ini orang-orang kafirlah yang menang atas orang-orang mukmin. Lalu orang-orang kafir membuat parit-parit dan para tawanan kaum mukmin dimasukkan ke dalamnya, kemudian dibakar di dalam parit itu. Diriwayatkan pula dari Ali, bahwa mereka adalah penduduk negeri Habsyah (Etiopia sekarang).
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman Allah Swt.: Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit, yang berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar. (Al-Buruj: 4-5) Bahwa mereka adalah segolongan orang-orang dari kaum Bani Israil yang membuat parit-parit, kemudian dinyalakanlah api di dalam parit itu. Kemudian mereka membawa kaum laki-laki dan wanita yang beriman ke pinggir parit itu dan mereka dipaksa untuk kafir, tetapi mereka menolak, lalu mereka dimasukkan ke dalamnya. Menurut pendapat ulama, mereka adalah Nabi Danial dan para pengikutnya. Hal yang sama telah dikatakan oleh Ad-Dahhak ibnu Muzahim; menurut pendapat yang lainnya lagi menyebutkan selain itu.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami ‘Affan, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Sabit, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Suhaib, bahwa Rasulullah Saw. pernah menceritakan kisah berikut. Dahulu kala di kalangan orang-orang sebelum kamu terdapat seorang raja yang mempunyai seorang tukang sihir. Ketika tukang sihir itu telah lanjut usia, ia berkata kepada rajanya, “Sesungguhnya usiaku telah lanjut dan tidak berapa lama lagi ajalku akan tiba, maka berikanlah kepadaku seorang pemuda yang akan kuajari ilmu sihir.”
Maka raja menyerahkan kepada tukang sihir itu seorang pemuda untuk diajarinya ilmu sihir. Dan tersebutlah di antara rumah penyihir dan raja terdapat seorang rahib; maka bila si pemuda akan pergi ke rumah penyihir, terlebih dahulu ia mampir ke rumah si rahib dan mendengarkan perkataannya yang memikat hati si pemuda itu. Tersebutlah pula bahwa apabila si pemuda itu datang ke tempat penyihir, maka penyihir memukulnya seraya berkata.”’Apakah yang membuatmu datang terlambat?” Dan apabila pemuda itu pulang ke rumah keluarganya, maka mereka memukulnya pula seraya bertanya.”Mengapa kamu pulang terlambat?”
Kemudian si pemuda mengadukan hal tersebut kepada si rahib. Maka rahib memberinya petunjuk, “Apabila tukang sihir itu hendak memukulmu, katakanlah kepadanya bahwa keluargamu yang membuatmu datang terlambat. Dan apabila keluargamu hendak memukulmu. maka katakanlah kepada mereka bahwa si tukang sihirlah yang membuatmu pulang terlambat.”
Pada suatu hari si pemuda itu mendatangi seekor hewan yang besar lagi mengerikan, hewan itu menghalang-halangi jalan yang dilalui oleh manusia sehingga mereka tidak dapat melewatinya. Maka si pemuda itu berkata, “Pada hari ini aku akan mengetahui apakah perintah rahib yang lebih disukai oleh Allah ataukah perintah si tukang sihir.”
Si pemuda memungut sebuah batu dan berdoa, “Ya Allah, jika perintah rahib lebih disukai oleh Engkau dan lebih Engkau ridai daripada perintah si tukang sihir, maka bunuhlah hewan yang mengerikan ini agar manusia dapat melalui jalannya,” lalu ia melemparkan batu itu ke arah hewan tersebut dan mengenainya sampai mati, maka orang-orangpun dapat melewati jalannya seperti biasa.
Pemuda itu menceritakan hal tersebut kepada si rahib, maka si rahib berkata, “Hai anakku, engkau lebih utama daripada aku, dan sesungguhnya engkau akan mendapat cobaan, maka jika engkau mendapat cobaan, janganlah engkau menunjukkan tempatku berada.”
Tersebutlah bahwa pemuda itu dapat menyembuhkan penyakit buta, penyakit supak, dan penyakit-penyakit lainnya yang sulit disembuhkan. Dan tersebutlah bahwa si raja mempunyai teman sekedudukan yang terkena penyakit kebutaan. Ketika teman raja itu mendengar perihal si pemuda yang dapat menyembuhkan segala penyakit. maka ia datang kepadanya dengan membawa banyak hadiah seraya berkata, “Sembuhkanlah aku dari penyakitku ini. maka aku akan memberimu segala sesuatu yang ada di sini.” Si pemuda menjawab, “Aku bukanlah orang yang dapat menyembuhkan melainkan yang menyembuhkan hanyalah Allah Swt. Maka jika engkau mau beriman kepada-Nya. aku akan mendoakanmu kepada-Nya, dan Dia akan menyembuhkanmu.”
Teman raja itu mau beriman, maka si pemuda berdoa kepada Allah, kemudian dengan serta merta teman raja itu sembuh saat itu juga. Lalu teman raja itu datang lagi kepada raja dan duduk bersamanya sebagaimana biasanya. Si raja merasa kaget dan bertanya, “Hai Fulan, siapakah yang mengembalikan pandangan matamu menjadi seperti sedia kala?” Teman raja menjawab, “Tuhanku.” Si raja bertanya, “Apakah itu aku?” Teman raja menjawab, “Bukan, Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah.” Raja bertanya, “Apakah engkau mempunyai tuhan lain selain aku?” Teman raja menjawab, “Ya, Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah.”
Maka raja terus-menerus menyiksa temannya itu, hingga pada akhirnya teman raja itu menunjukkan kepada si pemuda. Maka pemuda itu dipanggil menghadap kepada raja, dan raja berkata kepadanya, “Hai anakku, telah sampai kepadaku bahwa ilmu sihirmu mencapai tingkatan dapat menyembuhkan sakit buta, sakit supak, dan segala macam penyakit.” Si pemuda menjawab, “Aku tidak dapat menyembuhkan siapa pun, sesungguhnya yang menyembuhkan hanyalah Allah Swt.” Si raja bertanya, “Dia adalah aku bukan?” Si pemuda menjawab, “Bukan.” Raja bertanya, “Apakah engkau mempunyai tuhan selain aku?” Pemuda menjawab, “Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah.”
Maka si raja itu pun menyiksa si pemuda dan terus-menerus menginterogasinya hingga pada akhirnya terpaksa si pemuda menunjukkan kepada si rahib, maka si rahib ditangkap dan dihadapkan kepada raja. Raja berkata kepadanya, “Tinggalkanlah agamamu itu.” Si rahib menolak’, maka raja meletakkan gergaji di tengah kepalanya dan membelah tubuhnya hingga terbelah.
Kemudian si raja berkata kepada temannya yang tadinya buta itu, “Tinggalkanlah agamamu!” Ia menolak, maka diletakkan pula gergaji di atas kepalanya, lalu tubuhnya dibelah menjadi dua dan jatuh ke tanah. Raja berkata kepada si pemuda, “Tinggalkanlah agamamu itu.” Si pemuda menolak, maka raja menyuruh sejumlah orang untuk membawanya ke atas sebuah gunung, dan berpesan kepada mereka, “Apabila kamu telah mencapai puncaknya, ancamlah dia. Maka jika dia mau meninggalkan agamanya, biarkanlah. Tetapi jika menolak. lemparkanlah ia dari puncaknya.”
Maka mereka membawa si pemuda itu. Dan ketika mereka telah sampai di puncak gunung tersebut bersama si pemuda itu, maka si pemuda berdoa, “Ya Allah, selamatkanlah aku dari mereka dengan cara yang Engkau kehendaki.” Maka dengan tiba-tiba bumi mengalami gempa sangat kuat mengguncangkan mereka, sehingga mereka semuanya terjatuh dari puncak gunung itu.
Kemudian si pemuda itu datang kembali kepada raja. Setelah mendapat izin masuk, lalu pemuda itu menemui raja, dan raja bertanya kepadanya, “Apakah yang telah dilakukan oleh orang-orang yang membawamu?” Si pemuda menjawab, “Allah Swt. telah menyelamatkan aku dari mereka.” Lalu raja mengirim sejumlah orang untuk membawa pemuda itu ke laut, seraya berpesan kepada mereka, “Jika kalian telah sampai di tengah laut, dan ternyata dia mau meninggalkan agamanya, maka biarkanlah dia. Tetapi jika ia tetap membangkang, maka lemparkanlah dia ke laut.” Lalu mereka menempuh jalan laut dengan membawa si pemuda itu. Ketika sampai di tengah laut, si pemuda berdoa, “Ya Allah, selamatkanlah aku dari mereka dengan cara yang Engkau sukai.” Maka mereka semua tenggelam ke dalam laut itu.
Pemuda itu kembali datang dan menghadap kepada’raja, dan raja bertanya, “Apakah yang telah dilakukan oleh orang-orang yang membawamu?” Pemuda itu menjawab, “Allah Swt. telah menyelamatkan diriku dari mereka.”
Kemudian si pemuda itu berkata lagi kepada si raja, “Sesungguhnya engkau tidak akan dapat membunuhku sebelum melakukan apa yang akan kuperintahkan kepadamu. Jika engkau lakukan apa yang kuperintahkan kepadamu, niscaya engkau dapat membunuhku; dan jika tidak, maka selamanya engkau tidak akan dapat membunuhku.”
Raja bertanya, “Bagaimanakah caranya?” Pemuda itu menjawab, “Engkau kumpulkan semua manusia di suatu lapangan, kemudian engkau salib aku di atas balok kayu dan engkau ambil sepucuk anak panah dari wadah anak panahku, kemudian ucapkanlah, “Dengan menyebut nama Allah, Tuhan si pemuda ini.” Maka sesungguhnya jika engkau lakukan hal itu, barulah engkau dapat membunuhku.”
Raja melakukan apa yang disarankan oleh si pemuda itu dan memasang anak panah pemuda itu di busurnya, kemudian ia bidikkan ke arah pemuda tersebut dengan mengucapkan, “Dengan menyebut nama Allah, Tuhan si pemuda ini.” Maka panah melesat dan mengenai pelipisnya, lalu si pemuda memegang pelipisnya yang terkena panah itu dan meninggal dunia saat itu juga.
Maka semua orang yang hadir berkata, “Kami beriman kepada Allah, Tuhan si pemuda ini.” Dan dikatakan kepada raja.”Sekarang engkau baru menyaksikan apa yang engkau sangat mengkhawatirkannya.
Sesungguhnya, demi Allah, kamu telah dikalahkan karena semua orang telah beriman.” Raja sangat berang, lalu ia memerintahkan agar di tengah jalan dibuat galian parit yang cukup dalam dan dinyalakanlah api di dalam parit itu. Lalu raja berkata, “Barang siapa yang mau meninggalkan agamanya, biarkanlah dia. Dan jika tidak ada, maka masukkanlah mereka semuanya ke dalam parit itu.”
Tersebutlah bahwa mereka berlari-lari menuju ke parit itu dan saling berdesakan untuk paling dahulu masuk ke dalamnya. Dan datanglah seorang ibu yang membawa anak laki-laki yang masih disusuinya, maka seakan-akan si ibu enggan untuk menjatuhkan dirinya ke dalam parit yang penuh dengan api itu. Maka bayi yang digendongnya itu berkata.”Hai Ibu, bersabarlah karena sesungguhnya engkau berada di jalan yang benar.”
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Muslim di akhir kitab sahihnya, dari Hudbah ibnu Khalid, dari Hammad ibnu Salamah dengan sanad dan lafaz yang semisal.
Imam Nasai meriwayatkannya dari Ahmad ibnu Salman, dari Usman ibnu Hammad ibnu Salamah dan melalui jalur Hammad ibnu Zaid; keduanya dari Sabit dengan sanad yang sama, tetapi mereka meringkas bagian pertama hadis.
Al-Imam Abu Isa At-Turmuzi telah meriwayatkannya dengan predikat yang baik di dalam tafsir surat ini dari Mahmud ibnu Gailan dan Abdu ibnu Humaid, —tetapi maknanya sama—, keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, dari Ma’mar, dari Sabit Al-Bannani, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Suhaib yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. bila telah salat Asar kelihatan sekan-akan berbisik-bisik, yang menurut istilah sebagian dari mereka, makna yang dimaksud ialah beliau Saw. menggerak-gerakkan kedua bibirnya seakan-akan sedang berbicara. Maka ditanyakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apabila engkau salat Asar kelihatan engkau menggerakkan kedua bibirmu.” Rasulullah Saw. menjawab, bahwa dahulu ada seorang nabi yang merasa bangga dengan umatnya, ia mengatakan, “Siapa yang dapat menandingi mereka?” Maka Allah menurunkan wahyu kepada nabi itu, “Suruhlah mereka untuk memilih apakah Aku yang mengazab mereka ataukah Aku jadikan mereka dikuasai oleh musuhnya?” Akhirnya mereka memilih lebih suka dihukum oleh Allah Swt. Maka Allah Swt. menguasakan kepada mereka kematian, sehingga matilah dari mereka dalam sehari sebanyak tujuh puluh ribu orang.
Suhaib melanjutkan kisahnya, bahwa Rasulullah apabila menceritakan kisah ini, maka beliau mengisahkan pula kisah lainnya yang menyangkut pemuda itu. Rasulullah Saw. bersabda, “Dahulu ada seorang raja yang mempunyai seorang tukang tenung yang bekerja untuk raja dengan ilmu tenungnya. Maka tukang tenung itu berkata, ‘Berikanlah kepadaku seorang pemuda yang pandai atau cerdik dan cerdas, aku akan mengajarkan kepadanya ilmuku ini.”
Kemudian kisah ini disebutkan dengan lengkap yang di akhirnya disebutkan bahwa Allah Swt. berfirman: Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit, yang berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar. (Al-Buruj :4-5) sampai dengan firman-Nya: Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji. (Al-Buruj:8)
Adapun si pemuda itu telah dikebumikan, dan disebutkan bahwa di masa pemerintahan Khalifah Umar r.a. pemuda itu dikeluarkan dari kuburnya, sedangkan telunjuknya berada di pelipisnya seperti sedia kala saat dia terbunuh. Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan garib, dan konteks hadis ini tidak mengandung keterangan yang jelas yang membuktikan bahwa konteks kisah ini dari perkataan Nabi Saw. Guru kami Al-Hafiz Abul Hajjaj Al-Mazi telah mengatakan bahwa barangkali lafaz ini dari perkataan Suhaib Ar-Rumi, karena sesungguhnya dia mempunyai pengetahuan tentang berita-berita kaum Nasrani; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar telah mengetengahkan kisah ini di dalam kitab sirahnya dengan konteks yang lain yang berbeda dengan sebelumnya. Untuk itu dia mengatakan, telah menceritakan kepadaku Yazib ibnu Ziyad, dari Muhammad ibnu Ka’b Al-Qurazi; telah menceritakan pula kepadaku sebagian ulama Najran, dari para pemilik kisah. Bahwa dahulu penduduk negeri Najran adalah para penyembah berhala, yaitu ahli syirik. Dan tersebutlah bahwa di salah satu dari kawasan kota Najran yang sangat besar itu lagi memiliki berbagai bagian kota, dan kepadanyalah dinisbatkan semua penduduk negeri itu, terdapat seorang tukang sihir yang mengajari sihir para pemuda Najran.
Ketika Faimun bermukim di Najran —mereka tidak menyebutkan nama lelaki itu yang disebutkan namanya oleh Ibnu Munabbih, karena mereka hanya mengatakan bahwa Najran kedatangan seorang lelaki— lalu ia membangun sebuah kemah yang terletak di antara Najran dan kota tempat tinggal si penyihir itu.
Maka orang-orang Najran mengirimkan anak-anak mereka untuk belajar kepada ahli sihir itu ilmu sihir yang dikuasainya. Dan tersebutlah bahwa At-Tamir mengirimkan anaknya yang bernama Abdullah ibnu Tamir bersama-sama dengan anak-anakNajran untuk belajar ilmu sihir kepada si penyihir itu.
Tersebutlah bahwa apabila Abdullah melewati penghuni kemah itu, ia merasa kagum dengan apa yang disaksikannya dari penghuni kemah itu yang banyak ibadah dan salatnya. Maka ia memberanikan diri untuk duduk di dekatnya dan mendengar darinya ajaran-ajarannya, pada akhirnya ia masuk Islam, mengesakan Allah dan menyembah-Nya. Lalu ia menanyakan kepada penghuni kemah itu tentang syariat-syariat Islam, dan setelah ia pandai tentang syariat-syariat Islam, lalu ia meminta kepadanya untuk diberi Ismul A’zam.
Tersebutlah bahwa lelaki penghuni kemah itu mengetahui Ismul A’zam, tetapi lelaki itu menyembunyikannya dari Abdullah dan menolak untuk mengajarkan Ismul A’zam kepadanya, seraya berkata.”Wahai anak saudaraku, engkau tidak akan mampu memikulnya dan aku merasa khawatir dengan kelemahanmu darinya.”
Sedangkan ayah Abdullah (yaitu At-Tamir) hanya mengetahui bahwa anaknya berangkat hanyalah untuk belajar kepada tukang sihir tersebut.
Ketika Abdullah melihat bahwa gurunya tidak mau memberikan Ismul A’zam kepadanya karena takut akan kelemahannya, maka dengan sengaja ia mengambil banyak wadah, lalu ia kumpulkan, dan tiada suatu wadah pun melainkan ia menuliskan padanya tiap isim yang telah diajarkan oleh gurunya. Dan setelah semuanya tertulis, maka ia menyalakan api, kemudian melemparkan wadah-wadah itu ke dalam api satu per satu. Ketika sampai pada giliran wadah yang tertulis padanya Ismul A’zam (yang belum diketahuinya secara pasti), lalu ia melemparkan wadah itu. Maka tiba-tiba wadah itu terpental dari api dan keluar dari nyalanya tanpa mengalami suatu kerusakan pun, melainkan tetap utuh.
Kemudian ia mengambil wadah tersebut dan membawanya menghadap kepada gurunya, lalu ia berkata kepadanya bahwa dirinya telah mengetahui Ismul A’zam yang telah dia catat. Maka gurunya bertanya, “Coba sebutkan.” Abdullah menjawab, bahwa Ismul A’zam itu adalah demikian dan demikian. Gurunya bertanya, “Bagaimana kamu mendapatkannya?” Maka Abdullah menceritakan kepada.gurunya apa yang telah ia lakukan. Lalu gurunya berkata, “Wahai anak saudaraku, sesungguhnya engkau telah mendapatkannya, maka tahanlah dirimu, dan saya merasa yakin engkau tidak akan menyalahgunakannya.”
Maka jadilah Abdullah ibnu At-Tamir apabila memasuki Najran, tidak sekali-kali dia berdua dengan seseorang yang penyakitan melainkan ia mengatakan kepadanya, “Hai hamba Allah, maukah engkau mengesakan Allah dan masuk ke dalam agamaku, aku akan mendoakanmu kepada Allah agar disembuhkan, maka Dia pasti akan menyehatkanmu seperti sediakala?” Maka orang yang dijumpainya itu menjawab, “Ya,” dan ia pun mengesakan Allah dan masuk Islam, maka Abdullah berdoa untuk kesembuhannya, sehingga tiada seorang pun dari penduduk negeri Najran yang penyakitan melainkan dia datangi, dan menaati perintahnya, lalu ia mendoakannya hingga sembuh.
Pada akhirnya perihal Abdullah ibnut Tamir sampai kepada raja negeri Najran, lalu raja mengundangnya dan berkata kepadanya, “Engkau telah merusak rakyat negeriku dan menentang agamaku, yaitu agama nenek moyangku. Maka sungguh aku akan mencingcangmu.” Abdullah menjawab, “Engkau tidak akan mampu melakukannya.”
Kemudian RajaNajran mengirimkan Abdullah ke atas sebuah bukit yang tinggi sekali, lalu dijatuhkan dari atasnya dengan kepala di bawah. Maka jatuhlah Abdullah dari atasnya, tetapi tidak apa-apa. Lalu raja mengirimnya ke sebuah perairan di Najran yang berpusar, tiada suatu makhluk hidup pun yang dilemparkan ke dalamnya melainkan pasti mati.
Maka Abdullah dilemparkan ke dalamnya, dan ternyata ia dapat keluar dari perairan itu dalam keadaan sehat wal afiat dan segar bugar.
Setelah Abdullah dapat mengalahkan segala upaya RajaNajran itu, maka Abdullah berkata kepadanya, “Sesungguhnya engkau, demi Allah, tidak akan mampu membunuhku sebelum engkau beriman kepada apa yang aku imani dan mengesakan Allah. Maka sesudah itu sesungguhnya jika engkau hendak meneruskan niatmu, kamu dapat menguasaiku dan membunuhku.*’
Pada akhirnya si raja mau beriman dan mengesakan Allah serta mengucapkan kalimat persaksian seperti apa yang dikatakan oleh Abdullah ibnut Tamir.
Kemudian si raja memukulnya dengan tongkat yang ada di tangannya pada bagian kepalanya dan sempat melukainya, tetapi tidak besar. Dari pukulan itu meninggal dunialah Abdullah ibnut Tamir. Dan raja itu mati pula di tempatnya, sedangkan seluruh penduduk negeri Najran telah memeluk agama Abdullah ibnut Tamir. Tersebutlah bahwa Abdullah ibnut Tamir berada dalam agama yang disampaikan oleh Isa putra Maryam a.s., yaitu berpegangan kepada kitab Injil dan hukumnya. Kemudian para pemeluk agamanya tertimpa oleh musibah-musibah yang menguji mereka; oleh karena itulah maka asal agama Nasrani itu dari Najran.
Ibnu Ishaq mengatakan bahwa demikianlah menurut hadis Muhammad ibnu Ka’b Al-Qurazi dan sebagian ulama Najran, dari Abdullah ibnut Tamir; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui kebenarannya.
Kemudian dilanjutkan bahwa Zu Nuwas membawa bala tentaranya menuju ke Najran dan menyeru penduduknya untuk memeluk agama Yahudi, dan memberikan kepada mereka pilihan antara memeluk agama Yahudi atau dibunuh. Ternyata mereka lebih memilih untuk dibunuh, maka Zu Nuwas membuat galian parit dan di dalam parit dinyalakan api yang besar. Lalu mereka dimasukkan ke dalamnya, yang sebelumnya mereka dibunuh dengan pedang dan dicincang, sehingga terbunuhlah dari mereka kurang lebih sebanyak dua puluh ribu orang.
Zu Nuwas dalam sehari membunuh dua puluh ribu orang dengan memasukkan mereka ke dalam parit-parit berapi. Dan tiada seorang pun dari mereka yang selamat kecuali seorang lelaki yang dikenal dengan nama Daus Zu Sa’laban. Dia sempat melarikan diri dengan berkuda dan mereka mengejarnya, tetapi tidak dapat menangkapnya. Kemudian Daus pergi menemui kaisar raja negeri Syam meminta suaka padanya. Selanjutnya kaisar berkirim surat kepada Najasyi raja negeri Habsyah (Etiopia) untuk bertindak (karena lebih dekat). maka Raja Najasyi mengirimkan pasukan besar yang terdiri dari orang-orang Nasrani negeri Habsyah yang dipimpin oleh Aryat dan Abrahah, maka pasukan ini menyelamatkan negeri Yaman dari cengkeraman orang-orang yang beragama Yahudi. Sedangkan Zu Nuwas sendiri melarikan diri melalui jalan laut, dan di laut ia tenggelam.