(Tempat-tempat Naik)
Makkiyyah, 44 ayat Turun sesudah Surat Al-Haqqah
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
سَأَلَ سَائِلٌ بِعَذَابٍ وَاقِعٍ (1) لِلْكَافِرِينَ لَيْسَ لَهُ دَافِعٌ (2) مِنَ اللَّهِ ذِي الْمَعَارِجِ (3) تَعْرُجُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ (4) فَاصْبِرْ صَبْرًا جَمِيلًا (5) إِنَّهُمْ يَرَوْنَهُ بَعِيدًا (6) وَنَرَاهُ قَرِيبًا (7)
Seorang peminta telah meminta kedatangan azab yang bakal terjadi, untuk orang-orang kafir, yang tidak seorang pun dapat menolaknya, (yang datang) dari Allah, Yang mempunyai tempat-tempat naik. Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun. Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang baik. Sesungguhnya mereka memandang siksaan itu jauh (mustahil). Sedangkan Kami memandangnya dekat (pasti terjadi).
Firman Allah Swt.:
{سَأَلَ سَائِلٌ بِعَذَابٍ وَاقِعٍ}
Seorang peminta telah meminta kedatangan azab yang bakal terjadi. (Al-Ma’arij: 1)
Di dalam ayat ini terkandung lafaz yang tidak disebutkan karena terbukti dengan adanya huruf ba yang menunjuk ke arahnya. Jadi, seakan-akan lafaz itu keberadaannya diperkirakan. Bentuk lengkapnya ialah seseorang meminta agar disegerakan datangnya azab yang bakal terjadi, semakna dengan apa yang disebutkan di dalam ayat lain melalui firman-Nya:
وَيَسْتَعْجِلُونَكَ بِالْعَذابِ وَلَنْ يُخْلِفَ اللَّهُ وَعْدَهُ
Dan mereka meminta kepadamu agar azab itu disegerakan, padahal Allah sekali-kali tidak akan menyalahi janji-Nya. (Al-Hajj: 47)
Yakni azab-Nya pasti terjadi.
Imam Nasai mengatakan, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari ‘Al-A’masy, dari Al-Minhal ibnu Amr, dari Sa’id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Seseorang peminta telah meminta kedatangan azab yang bakal terjadi. (Al-Ma’arij: 1) Bahwa orang tersebut adalah An-Nadr ibnul Haris ibnu Kaldah.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Seseorang peminta telah meminta kedatangan azab yang bakal terjadi. (Al-Ma’arij: 1) Bahwa demikianlah permintaan orang-orang kafir akan azab Allah, padahal azab Allah itu bakal terjadi menimpa mereka.
Ibnu Abu Najih telah meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: Seseorang peminta telah meminta. (Al-Ma’arij: 1) Seseorang berdoa, meminta agar azab yang bakal terjadi di akhirat itu diturunkan.
Mujahid mengatakan bahwa hal ini seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
اللَّهُمَّ إِنْ كانَ هَذَا هُوَ الْحَقَّ مِنْ عِنْدِكَ فَأَمْطِرْ عَلَيْنا حِجارَةً مِنَ السَّماءِ أَوِ ائْتِنا بِعَذابٍ أَلِيمٍ
Ya Allah, jika betul (Al-Qur’an) ini dialah yang benar dari sisi Engkau, maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih. (Al-Anfal: 32)
Ibnu Zaid dan lain-Lainnya mengatakan di dalam firman-Nya: Seseorang peminta telah meminta kedatangan azab yang bakal terjadi. (Al-Ma’arij: 1) Yaitu sebuah lembah yang terdapat di dalam neraka Jahanam, kelak di hari kiamat mengalir azab darinya. Tetapi pendapat ini lemah dan jauh dari makna yang dimaksud, dan pendapat yang sahih adalah yang pertama tadi karena sesuai dengan konteksnya.
Firman Allah Swt.:
{وَاقِعٍ لِلْكَافِرينَ}
yang bakal terjadi untuk orang-orang kafir. (Al-Ma’arij: 1-2)
Yakni disiapkan dan disediakan untuk orang-orang kafir.
Ibnu Abbas mengatakan bahwa azab yang waqi’ ialah azab yang pasti datang.
{لَيْسَ لَهُ دَافِعٌ}
Yang tidak seorangpun dapat menolaknya. (Al-Ma’arij: 2)
Artinya, tiada yang dapat menolaknya bila Allah menghendakinya. Karena itu, disebutkan dalam firman berikutnya:
{مِنَ اللَّهِ ذِي الْمَعَارِجِ}
(Yang datang) dari Allah, Yang mempunyai tempat-tempat naik. (Al-Ma’arij: 3)
As-Sauri telah meriwayatkan dari Al-A’masy, dari seorang lelaki, dari Sa’id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: yang mempunyai tempat-tempat naik. (Al-Ma’arij-. 3) Yaitu tempat-tempat naik.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa zil-ma’arij artinya Yang memiliki ketinggian dan keutamaan-keutamaan. Mujahid mengatakan bahwa zil-ma’arij artinya tempat-tempat naik ke langit. Qatadah mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah Yang mempunyai keutamaan-keutamaan dan nikmat-nikmat.
Firman Allah Swt.:
{تَعْرُجُ الْمَلائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ}
Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan. (Al-Ma’arij:4)
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma’mar, dari Qatadah, bahwa ta’ruju artinya naik. Adapun ruh, menurut Abu Saleh mereka adalah makhluk Allah yang mirip dengan manusia, tetapi mereka bukan manusia. Menurut kami, dapat pula ditakwilkan bahwa makna yang dimaksud adalah Malaikat Jibril.
Dengan demikian, berarti ungkapan ini termasuk ke dalam bab “ ‘Ataf Khas kepada ‘Am.” Dapat pula ditakwilkan dengan pengertian isim jenis dari arwah Bani Adam, karena sesungguhnya arwah Bani Adam itu apabila dicabut dari jasadnya, ia naik ke langit, sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadis Al-Barra, dan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Abu Daud, Imam Nasai, dan Imam Ibnu Majah melalui Al-Minhal, dari Zazan, dari Al-Barra secara marfu’. Hadisnya cukup panjang menerangkan tentang pencabutan roh yang baik. Antara Lain disebutkan di dalamnya:
Maka terus-menerus malaikat membawanya naik dari suatu langit ke langit lain, hingga sampailah ia di langit yang padanya ada Allah.
Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui tentang kesahihan hadis ini. Sebagian perawinya masih diperbincangkan kesahihannya, tetapi hadis ini terkenal dan mempunyai syahid (bukti) yang menguatkannya dalam hadis Abu Hurairah terdahulu yang diketengahkan melalui riwayat Imam Ahmad, Imam Turmuzi, dan Imam Ibnu Majah melalui jalur ibnu Abud Dunia, dari Muhammad ibnu Amr ibnu Ata, dari Sa’id ibnu Yasar, dari Abu Hurairah. Sanad hadis ini dengan syarat Jamaah, kami telah mengetengahkan teksnya dalam tafsir firman Allah Swt.:
يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَياةِ الدُّنْيا وَفِي الْآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشاءُ
Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki. (Ibrahim: 27)
Adapun firman Allah Swt.:
{فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ}
dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun. (Al-Ma’arij: 4)
Ada empat pendapat sehubungan dengan makna ayat ini. Pendapat pertama mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah perjalanan antara ‘ Arasy yang besar sampai dasar yang paling bawah, yaitu dasar dari bumi lapis ketujuh; perjalanan ini memerlukan waktu lima puluh ribu tahun. Ini menggambarkan tentang ketinggian ‘Arasy bila diukur dari titik sumbu yang berada di bagian tengah bumi lapis ketujuh. Demikain pula luasnya ‘Arasy dari satu sisi ke sisi yang lainnya sama dengan perjalanan lima puluh ribu tahun. Dan bahwa ‘Arasy itu dari yaqut merah, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Abu Syaibah di dalam kitab Sifatul ‘Arasy.
Ibnu Abu Hatim sehubungan dengan ayat ini mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Salamah, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Hakkam, dari Amr ibnu Ma’mar ibnu Ma’ruf, dari Laits, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun. (Al-Ma’arij: 4) Maksudnya, batas terakhirnya dari bagian bumi yang paling bawah sampai kepada bagian yang tertinggi dari langit yang ketujuh adalah jarak perjalanan lima puluh ribu tahun.
{فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ}
dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun. (Al-Ma’arij: 4)
Yakni saat perintah itu diturunkan dari langit ke bumi, dan dari bumi naik ke langit dalam sehari, hal tersebut menempuh perjalanan yang kadarnya sama dengan lima puluh ribu tahun, karena jarak antara langit dan bumi kadarnya lima puluh ribu tahun perjalanan. Ibnu Jarir telah meriwayatkan hal ini dari Ibnu Humaid, dari Hakkam ibnu Salim, dari Amr ibnu Ma’ruf, dari Lais, dari Mujahid yang dinilai sebagai perkataan Mujahid, dan tidak disebutkan dari Ibnu Abbas.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Muhammad At-Tanafisi, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Mansur, telah menceritakan kepada kami Nuh AL-Ma’ruf, dari Abdul Wahhab ibnu Mujahid, dari ayahnya, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ketebalan setiap lapis bumi sama dengan perjalanan lima ratus tahun perjalanan, dan jarak antara satu lapis bumi ke lapis bumi lainnya sama dengan perjalanan lima ratus tahun, maka jumlah keseluruhannya adalah tujuh ribu tahun. Ketebalan tiap-tiap langit sama dengan lima ratus tahun perjalanan, dan jarak antara satu langit ke langit yang lainnya sama dengan lima ratus tahun, berarti keseluruhannya sama dengan empat belas ribu tahun perjalanan. Dan jarak antara langit yang ketujuh sampai ke ‘Arasy sama dengan perjalanan tiga puluh enam ribu tahun. Maka yang demikian itu disebutkan oleh firman-Nya: dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun. (Al-Ma’arij: 4)
Pendapat yang kedua mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah lamanya usia dunia ini sejak diciptakan oleh Allah hingga hari kiamat nanti. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar’ah, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Za’idah, dari Ibnu Juraij, dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun. (Al-Ma’arij: 4) Bahwa dunia ini usianya adalah lima puluh ribu tahun. Dan masa lima puluh ribu tahun itu dinamakan oleh Allah Swt. Dengan sebutan satu hari. Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari. (Al-Ma’arij: 4) Menurutnya hari dunia.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma’mar, dari Ibnu Abu Najih, dari Mujahid, dari Al-Hakam ibnu Aban, dari Ikrimah sehubungan dengan firman-Nya: dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun. (Al-Ma’arij: 4) Bahwa dunia ini sejak dari permulaan hingga akhirnya berusia lima puluh ribu tahun; tiada seorang pun yang mengetahui berapa lama usia dunia telah berlalu dan tinggal berapa lama usia dunia kecuali hanya Allah Swt.
Pendapat yang ketiga mengatakan bahwa hari tersebut merupakan hari yang memisahkan antara dunia dan akhirat, tetapi pendapat ini garib sekali.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Muhammad ibnu Yahya ibnu Sa’id Al-Qattan, telah menceritakan kepada kami Bahlul ibnul Muwarraq, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ubaidah, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Ka’b sehubungan dengan firman-Nya: dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun. (Al-Ma’arij: 4) Bahwa hari tersebut adalah hari yang memisahkan antara dunia dan akhirat.
Pendapat yang keempat mengatakan bahwa makna yang dimaksud adalah hari kiamat. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan Al-Wasiti, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, dari Israil, dari Sammak, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun. (Al-Ma’arij: 4) Yaitu hari kiamat. Sanadnya sahih.
As-Sauri telah meriwayatkan dari Sammak ibnu Harb, dari Ikrimah sehubungan dengan firman-Nya: dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun. (Al-Ma’arij: 4) Maksudnya, hari kiamat.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Ad-Dahhak dan Ibnu Zaid. Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun. (Al-Ma’arij: 4) Yakni hari kiamat.
Allah Swt. Telah menjadikannya selama itu bagi orang-orang kafir, yaitu lima puluh ribu tahun. Hal yang semakna telah disebutkan pula oleh hadis-hadis yang menerangkannya.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi’ah, telah menceritakan kepada kami Darij, dari Abul Haisam, dari Abu Sa’id yang mengatakan bahwa pernah dikatakan kepada Rasulullah Saw.: dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun. (Al-Ma’arij: 4) Bahwa alangkah panjangnya hari tersebut. Maka Rasulullah Saw. Bersabda: Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, sesungguhnya hari itu benar-benar diringankan bagi orang mukmin, sehingga jaraknya lebih cepat daripada suatu salat fardu yang pernah dikerjakannya di dunia.
Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Yunus, dari Ibnu Wahb, dari Amr ibnul Haris, dari Darij dengan sanad yang sama. Hanya saja Darij dan gurunya (yaitu Abul Haisam) kedua-keduanya berpredikat dhaif, hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja’far, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Qatadah, dari Abu Umar Al-Adani yang menceritakan bahwa ketika ia berada bersama Abu Hurairah r.a., tiba-tiba lewatlah seorang lelaki dari kalangan Bani Amir ibnu Sa’sa’ah. Maka dikatakan kepada Abu Hurairah, “Ini adalah seorang Amiri yang paling banyak hartanya.” Maka Abu Hurairah berkata, “Panggillah dia agar menghadap kepadaku!” Lalu Abu Hurairah berkata kepadanya, “Menurut berita yang sampai kepadaku, engkau ini adalah seorang yang banyak memiliki harta.” Lelaki dari Bani Amir menjawab, “Benar, demi Allah, sesungguhnya aku memiliki seratus ekor unta berbulu merah, dan seratus ekor unta lainnya yang berbulu kelabu,” hingga ia menyebutkan berbagai warna unta lainnya, dan sejumlah banyak budak yang beraneka ragam serta ternak kuda yang banyak. Maka Abu Hurairah berkata, “Hati-hatilah kamu terhadap tapak kaki unta dan tapak kaki ternak lainnya.” Abu Hurairah mengulang-ulang perkataannya ini sehingga roman muka lelaki Bani Amir itu berubah. Maka lelaki itu bertanya, “Hai Abu Hurairah, mengapa demikian?” Abu Hurairah menjawab, bahwa ia telah mendengar Rasulullah Saw. Bersabda, “Barang siapa yang mempunyai ternak unta, lalu ia tidak menunaikan hak yang ada pada ternak untanya itu ketika masa kering dan suburnya.” Kami bertanya, “Wahai Rasulullah Saw., apakah yang dimaksud dengan masa kering dan masa suburnya?” Rasulullah Saw. Menjawab: Dalam keadaan mudah dan sulitnya. Karena sesungguhnya ternak unta itu akan datang di hari kiamat dalam keadaan paling subur lagi paling banyak, dan paling gemuk lagi paling galak, hingga bilangan mereka memenuhi lembah yang luas. Lalu ternak unta itu menginjak-injak dia dengan tapak kakinya. Apabila gelombang yang terakhir telah melewatinya, maka dimulai lagi dengan gelombang yang pertamanya dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun, hingga peradilan di antara manusia telah diselesaikan, lalu diperlihatkan kepadanya jalan yang akan ditempuhnya. Dan apabila ia mempunyai ternak sapi yang tidak ia tunaikan haknya di masa mudah dan masa sulitnya, maka ternak sapinya itu akan datang di hari kiamat dalam keadaan paling subur lagi banyak jumlahnya, dan paling gemuk lagi paling galak, hingga jumlahnya memenuhi lembah yang luas. Lalu ternak sapi itu menginjak-injaknya dengan kaki mereka dan bagi sapi yang bertanduk menandukinya dengan tanduknya, tiada seekor pun darinya yang tanduknya melengkung ke belakang dan tiada pula yang patah tanduknya. Apabila gelombang yang terakhir telah melewatinya, maka dikembalikan lagi kepadanya gelombang pertama dalam suatu hari yang kadarnya limapuluh ribu tahun, hingga peradilan di antara manusia telah diselesaikan, lalu diperlihatkan kepadanya jalan yang akan ditempuhnya. Dan apabila dia mempunyai ternak kambing yang tidak ia tunaikan haknya, maka kelak di hari kiamat ternak kambingnya itu datang dalam keadaan paling subur, paling gemuk dan paling galak, hingga jumlahnya memenuhi lembah yang luas. Lalu masing-masing kambing menginjak-injaknya dengan kaki mereka dan bagi kambing yang bertanduk menandukinya dengan tanduknya, tiada seekor pun darinya yang bertanduk melengkung ke belakang dan tiada pula yang patah tanduknya. Apabila gelombang yang terakhir telah melaluinya, maka dikembalikan lagi kepadanya gelombang yang pertama dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun. Hingga peradilan di antara manusia diselesaikan, lalu diperlihatkan kepadanya jalan yang akan ditempuhnya. Maka Al-‘Amiri bertanya, “Wahai Abu Hurairah, apakah hak ternak unta itu?” Abu Hurairah menjawab, “Hendaknya engkau memberikan unta yang baik, dan menyedekahkan unta yang deras air susunya, dan yang punggungnya tidak dikendarai, dan hendaknya engkau memberi minum ternak unta serta mengawinkan pejantannya.”
Imam Abu Daud meriwayatkan hadis ini melalui Syu’bah dan Imam Nasai melalui Sa’id ibnu Abu Arubah, keduanya dari Qatadah dengan sanad yang sama.
Jalur lain.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kamil, telah menceritakan kepada kami Hammad, dari Sahl ibnu Abu Saleh, dari ayahnya, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. Pernah bersabda: Tidaklah seseorang memiliki harta simpanan yang tidak ia tunaikan hak (zakat)nya, melainkan hartanya itu akan dijadikan lempengan-lempengan yang dipanggang di neraka Jahanam, lalu disetrikakan pada kening, lambung, dan punggungnya, hingga Allah menyelesaikan keputusan (peradilan)-Nya di antara hamba-hamba-Nya dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun menurut perhitungan kalian. Kemudian ia melihat jalan yang akan ditempuhnya, adakalanya ke surga dan adakalanya ke neraka.
Hadis selanjutnya menyebutkan perihal ternak kambing dan ternak unta, seperti hadis yang di atas. Dan dalam riwayat ini disebutkan:
Kuda itu mempunyai tiga akibat, adakalanya bagi seseorang membawa pahala, adakalanya bagi seseorang menjadi penutup, dan adakalanya bagi seseorang mengakibatkan dosa. Hingga akhir hadis.
Imam Muslim meriwayatkannya secara munfarid tanpa Imam Bukhari di dalam kitab sahihnya dengan lengkap melalui hadis Suhail, dari ayahnya, dari Abu Hurairah. Dan untuk perincian jalur-jalur dan lafaz-lafaz hadis ini terdapat di dalam kitab zakat dari ilmu fiqih.
Tujuan utama pengemukaan hadis ini dalam tafsir ini ialah karena di dalam hadis terdapat kalimat yang mengatakan:
Hingga Allah menyelesaikan keputusan (peradilan)-Nya di antara hamba-hamba-Nya dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.
Ibnu Jarir telah meriwayatkan dari Ya’qub, dari Ibnu Aliyyah dan Abdul Wahhab, dari Ayyub, dari Ibnu Abu Mulaikah yang mengatakan bahwa pernah-seseorang bertanya kepada Ibnu Abbas tentang makna firman Allah Swt.: dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun. (Al-Ma’arij: 4)
Maka Ibnu Abbas menjawab, “Tiada suatu hari yang kadarnya sama dengan lima puluh ribu tahun.” Lelaki itu merasa direndahkan, lalu ia berkata, “’Sesungguhnya aku bertanya kepadamu tiada lain agar engkau menceritakan hadis yang menerangkannya.” Maka Ibnu Abbas menjawab, “Keduanya (hari dunia dan hari akhirat) adalah kedua jenis hari yang disebutkan oleh Allah Swt. Allah lebih mengetahui tentang keduanya, dan aku tidak suka bila mengatakan tentang Kitabullah dengan hal yang tidak kuketahui.”
Firman Allah Swt.:
{فَاصْبِرْ صَبْرًا جَمِيلا}
Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang baik. (Al-Ma’arij: 5)
Yakni sabarlah engkau, hai Muhammad, dalam menghadapi kaummu yang mendustakanmu dan permintaan mereka yang mendesak agar diturunkan azab yang engkau ancamkan terhadap mereka, sebagai ungkapan rasa tidak percaya mereka dengan adanya azab itu. Sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
يَسْتَعْجِلُ بِهَا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِها وَالَّذِينَ آمَنُوا مُشْفِقُونَ مِنْها وَيَعْلَمُونَ أَنَّهَا الْحَقُّ
Orang-orang yang tidak beriman kepada hari kiamat meminta supaya hari itu segera didatangkan dan orang-orang yang beriman merasa takut kepadanya dan mereka yakin bahwa kiamat itu adalah benar (akan terjadi). (Asy-Syura: 18)
Karena itulah dalam firman berikutnya dari surat ini disebutkan:
{إِنَّهُمْ يَرَوْنَهُ بَعِيدًا}
Sesungguhnya mereka memandang siksaan itu jauh (mustahil). (Al-Ma’arij 6)
Yaitu kejadian azab itu mustahil, orang-orang kafir menganggap bahwa hari kiamat itu mustahil terjadinya.
{وَنَرَاهُ قَرِيبًا}
Sedangkan Kami memandangnya dekat (pasti terjadi). (Al-Ma’arij: 7)
Orang-orang yang beriman meyakini bahwa hari kiamat itu sudah dekat, sekalipun mereka tidak mengetahui kapan kejadiannya, karena hanya Allah sajalah yang mengetahuinya. Akan tetapi, sesuatu yang pasti terjadi dapat diungkapkan dengan kata sudah dekat, mengingat kejadiannya merupakan suatu kepastian yang tidak dapat dielakkan lagi.