يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ (1) قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا (2) نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلًا (3) أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا (4) إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا (5) إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلًا (6) إِنَّ لَكَ فِي النَّهَارِ سَبْحًا طَوِيلًا (7) وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ وَتَبَتَّلْ إِلَيْهِ تَبْتِيلًا (8) رَبُّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَاتَّخِذْهُ وَكِيلًا (9)
Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk salat) di malam hari, kecuali sedikit (darinya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak). Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan. (Dialah) Tuhan masyriq dan magrib, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai Pelindung.
Allah Swt. memerintahkan kepada Rasul-Nya untuk meninggalkan selimut yang menutupi dirinya di malam hari, lalu bangun untuk menunaikan ibadah kepada Tuhannya dengan melakukan qiyamul lail, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
تَتَجافى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفاً وَطَمَعاً وَمِمَّا رَزَقْناهُمْ يُنْفِقُونَ
Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedangkan mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. (As-Sajdah: 16)
Dan demikianlah Nabi Saw., beliau selalu mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Allah Swt. kepadanya seperti qiyamul lail. Hal itu hukumnya wajib khusus bagi Nabi Saw. seorang, seperti yang disebutkan di dalam ayat lain melalui firman-Nya:
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نافِلَةً لَكَ عَسى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقاماً مَحْمُوداً
Dan pada sebagian malam hari bersalat tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji. (Al-Isra: 79)
Dan dalam surat ini dijelaskan kadar waktu yang ia harus jalani untuk melakukan qiyamul lail (salat sunat malam hari).
Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ قُمِ اللَّيْلَ إِلا قَلِيلا}
Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk salat) di malam hari, kecuali sedikit (darinya). (Al-Muzzammil: 1 -2)
Ibnu Abbas, Ad-Dahhak, dan As-Saddi mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Hai orang yang berselimut. (Al-Muzzammil: 1) Yakni hai orang yang sedang tidur; menurut Qatadah, orang yang berselimut dengan pakaiannya. Ibrahim An-Nakha’i mengatakan bahwa ayat ini diturunkan saat Nabi Saw. sedang menyelimuti dirinya dengan jubahnya.
Syabib ibnu Bisyr telah meriwayatkan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Hai orang yang berselimut. (Al-Muzzammil: 1) Allah Swt. berfirman, “Hai Muhammad, engkau selimuti Al-Qur’an.”
*******************
Firman Allah Swt.:
{نِصْفَهُ}
(yaitu) seperduanya. (Al-Muzzammil: 3)
Merupakan badal atau kata ganti dari al-lail (malam hari), yakni di tengah malamnya.
{أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلا. أَوْ زِدْ عَلَيْهِ}
atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua. (Al-Muzzammil: 3-4)
Yaitu Kami perintahkan kamu untuk melakukan salat di tengah malam, lebih sedikit atau kurang sedikit tidak mengapa bagimu dalam hal tersebut.
Firman Allah Swt.:
{وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلا}
Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan. (Al-Muzzammil: 4)
Maksudnya, bacalah Al-Qur’an dengan tartil (perlahan-lahan) karena sesungguhnya bacaan seperti ini membantu untuk memahami dan merenungkan makna yang dibaca, dan memang demikianlah bacaan yang dilakukan oleh Nabi Saw. Sehingga Siti Aisyah r.a. mengatakan bahwa Nabi Saw. bila membaca Al-Qur’an yaitu perlahan-lahan sehingga bacaan beliau terasa paling Iama dibandingkan dengan orang Lain.
Di dalam kitab Sahih Bukhari disebutkan melalui sahabat Anas r.a., bahwa ia pernah ditanya tentang bacaan yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. Maka ia menjawab, bahwa bacaan Al-Qur’an yang dilakukan oleh beliau panjang. Bila beliau membaca: Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (Al-Fatihah: 1) Maka beliau memanjangkan bismillah, dan memanjangkan Ar-Rahman dan juga memanjangkan bacaan Ar-Rahim.
Ibnu Juraij telah meriwayatkan dari Ibnu Abu Mulaikah, dari Ummu Salamah r.a., bahwa ia pernah ditanya tentang qiraat Rasulullah Saw. Maka Ummu Salamah menjawab bahwa beliau membaca Al-Qur’an ayat demi ayat yang setiap ayatnya berhenti:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعالَمِينَ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ مالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segalapuji bagi Allah Tuhan semesta alam, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, Yang menguasai hari pembalasan. (Al-Fatihah: 1-4)
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad dan Imam Abu Daud serta Imam Turmuzi.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman, dari Sufyan, dari Asim, dari Zar, dari Abdullah ibnu Amr, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Dikatakan kepada pembaca Al-Qur’an, “Bacalah dengan suara indah dan perlahan-lahan sebagaimana engkan membacanya dengan tartil sewaktu di dunia, karena sesungguhnya kedudukanmu berada di akhir ayat yang kamu baca!”
Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Sufyan As-Sauri dengan sanad yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini kalau tidak hasan, sahih.
Dalam pembahasan yang terdahulu pada permulaan tafsir telah disebutkan hadis-hadis yang menunjukkan anjuran membaca Al-Qur’an dengan bacaan tartil dan suara yang indah, seperti hadis berikut:
Hiasilah Al-Qur’an dengan suara kalian!
Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak melagukan bacaan Al-Qur’an.
Dan Rasulullah Saw. pernah bersabda setelah mendengar suara Abu Musa Al-Asy’ari membaca Al-Qur’an:
Sesungguhnya orang ini telah dianugerahi suara yang indah seperti suara seruling keluarga Daud.
Maka Abu Musa menjawab, “Seandainya aku mengetahui bahwa engkau mendengarkan bacaanku, tentulah aku akan melagukannya dengan lagu yang terindah untukmu.”
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, bahwa ia telah mengatakan, “Janganlah kamu membacanya dengan bacaan seperti menabur pasir, jangan pula membacanya dengan bacaan tergesa-gesa seperti membaca puisi (syair). Berhentilah pada hal-hal yang mengagumkan, dan gerakkanlah hati untuk meresapinya, dan janganlah tujuan seseorang dari kamu hanyalah akhir surat saja.” Diriwayatkan oleh Al-Bagawi.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Adam, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Murrah; ia pernah mendengar Abu Wa-il mengatakan, bahwa seseorang datang kepada Ibnu Mas’ud, lalu berkata, “Tadi malam aku telah membaca surat Al-Mufassal (surat-surat yang pendek) dalam satu rakaat.” Maka Ibnu Mas’ud menjawab, “Berarti bacaanmu seperti bacaan terhadap syair (tergesa-gesa). Sesungguhnya aku telah mengetahui surat-surat yang bacaannya digandengkan oleh Rasulullah Saw. di antara surat-surat Al-Mufassal itu.” Lalu Ibnu Mas’ud menyebutkan dua puluh surat dari surat Al-Mufassal, dua surat tiap rakaatnya.
*******************
Firman Allah Swt.:
{إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلا ثَقِيلا}
Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. (Al-Muzzammil: 5)
Al-Hasan dan Qatadah mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah berat pengamalannya. Menurut pendapat yang lain, berat saat diturunkannya karena keagungannya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Zaid ibnu Sabit-r.a., bahwa pernah diturunkan wahyu kepada Rasulullah Saw., sedangkan paha Ibnu Mas’ud berada di bawah paha Rasulullah Saw. Maka terasa tulang pahanya patah karena tertindih oleh Rasul Saw. saking beratnya wahyu yang sedang turun kepadanya.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi’ah, dari Yazid ibnu Abu Habib, dari Amr ibnul Walid, dari Abdullah ibnu Amr yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Nabi Saw., “Wahai Rasulullah, apakah yang engkau rasakan saat wahyu diturunkan kepadamu?” Rasulullah Saw. menjawab: Saya mendengar suara gemerincingnya lonceng, kemudian aku diam saat itu. Dan tidak sekali-kali diturunkan wahyu kepadaku melainkan aku mengira bahwa nyawaku sedang dicabut.
Hadis diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid.
Dan dalam permulaan kitab Sahih Bukhari disebutkan:
dari Abdullah ibnu Yusuf, dari Malik, dari Hisyam, dari ayahnya, dari Aisyah r.a., bahwa Al-Haris ibnu Hisyam pernah bertanya kepada Rasulullah Saw., “Bagaimanakah caranya wahyu datang kepadamu?” Rasulullah Saw. menjawab: Terkadang datang seperti bunyi gemerincingnya lonceng, dan itu adalah wahyu yang paling berat bagiku; setelah wahyu selesai dariku, aku telah hafal semua apa yang disampaikannya. Dan adakalanya Malaikat (Jibril) merupakan diri sebagai seorang laki-laki kepadaku, lalu berbicara kepadaku dan aku hafal semua apa yang disampaikannya. Siti Aisyah r.a. mengatakan, sesungguhnya ia menyaksikan wahyu sedang diturunkan kepada Nabi Saw. di hari yang sangat dingin; setelah wahyu selesai darinya, kening Nabi Saw. benar-benar bercucuran keringat.
Demikianlah menurut lafaz Imam Bukhari.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Aisyah r.a. yang mengatakan bahwa sesungguhnya wahyu benar-benar diturunkan kepada Rasulullah Saw. saat beliau berada di atas unta kendaraannya, maka unta kendaraan beliau mendekam dengan meletakkan bagian dalam lehernya ke tanah.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abdul A’la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Saur, dari Ma’mar, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, bahwa Nabi Saw. apabila sedang menerima wahyu dan berada di atas unta kendaraannya, maka unta kendaraannya berhenti dan mendekam, ia tidak dapat bergerak hingga wahyu selesai diturunkan. Hadis ini berpredikat mursal. yang dimaksud dengan jiran ialah bagian dalam leher unta, artinya unta kendaraannya mendekam dan tidak dapat bergerak karena beratnya wahyu yang sedang diturunkan kepada beliau Saw.
Tetapi Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa wahyu itu berat dari kedua sisinya, yakni sisi pengamalan dan saat menerimanya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, bahwa wahyu itu terasa berat saat di dunia, sebagaimana terasa berat pula kelak di hari kiamat dalam timbangan amalnya.
*******************
Firman Allah Swt:
{إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلا}
Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. (Al-Muzzammil: 6)
Abu Ishaq telah meriwayatkan dari Sa’id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa nasya-a artinya berdiri menurut bahasa Habsyah, yakni bangun tidur. Umar, Ibnu Abbas, dan Ibnuz Zubair mengatakan bahwa malam hari seluruhnya dinamakan nasyi-ah. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang. Dikatakan nasya-a apabila orang yang bersangkutan bangun di waktu sebagian malam hari. Menurut riwayat yang bersumber dari Mujahid, disebutkan sesudah waktu isya. Hal yang sama telah dikatakan oleh Abu Mijlaz, Qatadah, Salim, Abu Hazim, dan Muhammad ibnul Munkadir.
Kesimpulan, nasyi-atul lail artinya bagian-bagian waktu dari malam hari, yang keseluruhannya dinamakan nasyi-ah, juga indentik dengan pengertian saat-saatnya. Makna yang dimaksud ialah bahwa melakukan qiyamul lail atau salat sunat di malam hari lebih khusyuk dan juga melakukan bacaan Al-Qur’an padanya lebih meresap di hati. Karena itu, disebutkan oleh firman-Nya:
{هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلا}
adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. (Al-Muzzammil: 6)
Yakni lebih berkesan dalam hati dalam menunaikan bacaan Al-Qur’an di saat itu dan lebih meresap dalam hati dalam memahami makna bacaannya ketimbang dalam salat sunat siang hari. Karena siang hari merupakan waktu beraktivitas bagi manusia, banyak suara gaduh dan kesibukan dalam mencari rezeki penghidupan.
Al-Hafiz Abu Ya’la Al-Mausuli mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Sa’id Al-Jauhari, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, telah menceritakan kepada kami Al-A’masy, bahwa Anas ibnu Malik r.a. membaca ayat ini dengan bacaan berikut, “wa aswabu qila.” Maka berkatalah seseorang Ielaki kepadanya, “Sesungguhnya kami biasa membacanya dengan wa aqwamu qila.” Maka Anas menjawabnya, bahwa sesungguhnya aswabu, aqwamu, dan ahya-u serta lafaz-lafaz lainnya yang semakna artinya sama. Karena itulah maka disebutkan dalam firman berikutnya:
{إِنَّ لَكَ فِي اَلنَّهَارِ سَبْحًا طَوِيلا}
Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak). (Al-Muzzammil: 7)
Ibnu Abbas, Ikrimah, dan Ata ibnu Abu Muslim mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah waktu luang dan tidur. Abul Aliyah, Mujahid, Abu Malik, Ad-Dahhak, Al-Hasan, Qatadah, Ar-Rabi’ ibnu Anas, dan Sufyan As-Sauri mengatakan bahwa makna yang dimaksud dengan sabhan tawilan ialah waktu luang yang panjang. Qatadah mengatakan, artinya waktu luang dan waktu mencari rezeki dan bepergian.
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: mempunyai urusan yang panjang (banyak). (Al-Muzzammil: 7) Maksudnya, sunnah yang banyak.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak). (Al-Muzzammil: 7) Yakni bagi keperluan-keperluanmu, maka gunakanlah malam hari untuk agamamu. Ia mengatakan bahwa hal ini dikemukakan di saat salat malam hari difardukan. Kemudian Allah Swt. memberikan anugerah kepada hamba-hamba-Nya, lalu Dia memberikan keringanan dengan menghapuskan sebagian besarnya. Lalu ia membaca firman-Nya: bangunlah (untuk salat) di malam hari, kecuali sedikit (darinya). (Al-Muzzammil: 2) Lalu membaca pula firman-Nya: Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwa kamu berdiri (salat) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam. (Al-Muzzammil: 20) sampai dengan firman-Nya: karena itu bacalah apa yangmudah (bagimu) dari Al-Qur’an. (Al-Muzzammil: 20) Dan firman Allah Swt.: Dan pada sebagian malam hari salat tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji. (Al-Isra: 79)
Demikianlah menurut apa yang dikatakan oleh Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam.
Dalil yang menguatkan pendapat Ibnu Zaid ialah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab musnadnya, ia mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Yahya, telah menceritakan kepada kami Sa’id alias Ibnu Abu Arubah, dari Qatadah, dari Zurarah ibnu Aufa, dari Sa’id ibnu Hisyam, bahwa ia menceraikan istrinya, kemudian berangkat ke Madinah untuk menjual propertinya yang ada di Madinah, lalu menggunakannya untuk keperluan jihad dengan membeli perlengkapan dan senjata untuknya, kemudian ia berjihad melawan orang-orang Romawi hingga akhir hayatnya. Kemudian ia bersua dengan sejumlah orang dari kaumnya yang menceritakan kepadanya bahwa pernah ada enam orang dari kalangan kaumnya mempunyai keinginan untuk melakukan hal tersebut di masa Rasulullah Saw. Maka Rasulullah Saw. bersabda: Bukankah pada diriku terdapat suri teladan yang baik bagi kalian?
Rasulullah Saw. melarang mereka melakukan perceraian itu, maka Sa’id ibnu Hisyam menjadikan mereka (sebagian dari kaumnya yang ia jumpai) sebagai saksi saat ia merujuk kembali kepada istrinya. Setelah itu ia kembali kepada kami dan menceritakan kepada kami bahwa ia pernah datang kepada Ibnu Abbas r.a. untuk menanyakan kepadanya tentang salat witir Rasulullah Saw. Maka Ibnu Abbas berkata, “Maukah aku beritahukan kepadamu tentang penduduk bumi yang paling mengetahui tentang salat witir yang dilakukan oleh Rasulullah Saw.?” Sa’id ibnu Hisyam menjawab, “Ya.” Ibnu Abbas berkata, “Datanglah kepada Aisyah, dan tanyakanlah kepadanya tentang hal itu, lalu kembalilah kepadaku dan ceritakanlah kepadaku tentang jawabannya kepadamu!”
Sa’id ibnu Hisyam melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia menemui Hakim ibnu Aflah dan membawanya pergi ikut menghadap kepada Siti Aisyah. Tetapi Hakim ibnu Aflah berkata, “Aku segan menghadapnya, karena sesungguhnya aku pernah melarangnya memberikan tanggapan terhadap kedua golongan itu dengan suatu tanggapan yang memihak, tetapi ia menolak dan tetap memberikan tanggapan dan reaksinya.” Maka aku mendesaknya dengan kata-kata yang mengandung sumpah, akhirnya dia mau berangkat bersamaku. Dan kami masuk menemui Siti Aisyah, lalu ia berkata, “Engkau Hakim?” Ternyata dia mengenalnya dan Hakim menjawab, “Ya.” Aisyah bertanya, “Siapakah orang yang bersamamu?” Hakim menjawab.”Sa’id ibnu Hisyam.” Aisyah bertanya, “Ibnu Hisyam yang mana?” Hakim menjawab, “Ibnu Amir.”
Lalu Siti Aisyah mendoakan rahmat buatnya dan berkata, “Sebaik-baik orang adalah Amir.” Aku bertanya, “Wahai Ummul Mu’minin, ceritakanlah kepadaku tentang akhlak Rasulullah Saw.” Aisyah r.a. baiik bertanya, “Bukankah kamu telah membaca Al-Qur’an?” Aku menjawab, “Benar.” Maka Aisyah berkata bahwa akhlak Rasulullah Saw. ialah Al-Qur’an. Kemudian aku hampir saja bangkit untuk minta pamit darinya, tetapi tiba-tiba terlintas di pikiranku untuk menanyakan kepadanya tentang qiyam (salat malam hari) yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. Maka aku bertanya, “Wahai Ummul Mu’minin, ceritakanlah kepadaku tentang qiyam yang dilakukan oleh Rasulullah Saw.” Siti Aisyah balik bertanya, bahwa bukankah engkau telah membaca firman-Nya: Hai orang yang berselimut (Muhammad). (Al-Muzzammil: 1)
Aku menjawab, “Benar, aku telah membacanya.” Siti Aisyah mengatakan, bahwa sesungguhnya Allah telah memfardukan qiyamul lail melalui permulaan surat ini. Maka Rasulullah Saw. dan para sahabatnya melakukan qiyamul lail selama setahun penuh hingga telapak kaki mereka membengkak karena banyak mengerjakan salat. Dan Allah menahan penutup surat itu di langit selama dua belas bulan, kemudian setelah itu Allah menurunkannya sebagai keringanan buat mereka, sehingga jadilah qiyamul lail sebagai amal yang sunat yang sebelumnya difardukan.
Dan aku hampir saja bangkit meminta pamit, kemudian terlintas lagi dalam pikiranku untuk menanyakan kepadanya tentang salat witir yang dikerjakan oleh Rasulullah Saw. Maka aku bertanya, “Wahai Ummul Mu’minin, ceritakanlah kepadaku tentang salat witir Rasulullah Saw.” Siti Aisyah r.a. menjawab, “Kami (istri-istri beliau Saw.) selalu menyediakan untuk beliau siwak dan air wudunya, dan Allah membangunkannya di waktu yang dikehendaki-Nya dari tengah malam, lalu beliau bersiwak dan mengambil air wudunya. Setelah itu beliau mengerjakan salat delapan rakaat, tanpa melakukan duduk kecuali pada rakaat yang kedelapannya. Dan di rakaat yang kedelapan beliau duduk berzikir kepada Allah dan berdoa kepada-Nya, lalu bangkit lagi tanpa salam, dan langsung mengerjakan rakaat yang kesembilannya. Setelah rakaat yang kesembilan, barulah beliau duduk dan berzikir kepada Allah semata serta berdoa kepada-Nya, lalu melakukan salam dengan suara yang dapat didengar oleh kami. Sesudah itu beliau salat dua rakaat lagi sambil duduk sesudah salamnya itu. Maka itulah sebelas rakaat yang dikerjakan oleh beliau Saw., hai Anakku.
Tetapi setelah usia Rasulullah Saw. bertambah tua dan tubuhnya mulai gemuk, maka beliau mengerjakan witirnya tujuh rakaat, kemudian salat dua rakaat lagi sambil duduk setelah salamnya. Maka itulah sembilan rakaat yang dikerjakannya, hai Anakku.
Dan Rasulullah Saw. apabila mengerjakan suatu salat, beliau suka mengerjakannya dengan tetap. Apabila beliau disibukkan karena tertidur atau sedang sakit hingga salat malam hari tidak dikerjakannya di malam hari, maka beliau mengerjakannya di siang hari sebanyak dua belas rakaat. Dan aku belum pernah melihat Nabi Saw. mengkhatamkan Al-Qur’an seluruhnya dalam semalam hingga pagi harinya, dan tidak pula puasa sebulan penuh selain dalam bulan Ramadan.”
Lalu aku kembali kepada Ibnu Abbas dan kuceritakan kepadanya hadis yang diceritakan oleh Aisyah. Maka Ibnu Abbas berkata, “Dia benar, ketahuilah seandainya aku yang masuk menemuinya, tentulah aku akan menemuinya hingga dapat berbicara berhadap-hadapan dengannya.”
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara lengkap, dan Imam Muslim di dalam kitab sahihnya telah mengetengahkan hadis ini melalui Qatadah dengan lafaz yang semisal.
Jalur lain dari Aisyah r.a. yang semakna dengan hadis ini.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Waki’, telah mencerita-kan kepada kami Zaid ibnul Habbab, dan telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Mahran; keduanya meriwayatkan hadis ini, tetapi lafaznya dari Ibnu Waki’, dari Musa ibnu Ubaidah, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Tahla, dari Abu Saiamah, dari Aisyah r.a. yang menceritakan bahwa aku pernah mempersiapkan tikar hamparan untuk tempat salat Rasulullah Saw. di malam hari. Orang-orang (para sahabat) mengintipnya dan mereka berkerumun mendengarkannya. Maka Nabi Saw. Keluar seperti orang yang sedang marah, padahal beliau sayang kepada mereka. Beliau merasa khawatir bila qiyamul lail difardukan atas mereka, maka beliau bersabda:
Hai manusia, kerjakanlah dari amal-amal ibadah yang sesuai dengan kamampuan kalian. Karena sesungguhnya Allah tidak pernah merasa bosan dalam memberi pahala, hingga kalian sendirilah yang bosan dalam beramal. Dan sebaik-baik amal ialah yang paling tetap pengamalannya.
Dan turunlah firman Allah Swt.:
{يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ قُمِ اللَّيْلَ إِلا قَلِيلا نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلا أَوْ زِدْ عَلَيْهِ}
Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk salat) di malam hari, kecuali sedikit (darinya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. (Al-Muzzammil: 1-4)
Hingga tersebutlah ada seseorang yang terpaksa mengikat dirinya dengan tambang, lalu bergantung padanya (agar tetap dalam keadaan bangun). Mereka jalani masa itu selama delapan bulan, maka Allah melihat keinginan mereka dalam meraih rida-Nya. Akhirnya Allah mengasihani mereka dan mengembalikan mereka kepada salat fardu saja serta tidak lagi mewajibkan qiyamul lail.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya melalui jalur Musa ibnu Ubaidah Ar-Rabzi, tetapi dia orangnya daif. Hadis ini di dalam kitab sahih tidak menyebutkan adanya penurunan surat Al-Muzzammil. Konteks hadis ini memberikan pengertian bahwa surat ini seakan-akan diturunkan di Madinah, padahal kenyataannya tidaklah demikian. Sesungguhnya surat ini tiada lain adalah surat Makkiyyah. Dan teks hadis yang menyebutkan bahwa jarak antara turunnya permulaan surat ini dan akhirnya memakan waktu delapan bulan. Ini berpredikat garib (aneh), karena sesungguhnya menurut apa yang tertera di dalam hadis riwayat Imam Ahmad sebelum ini telah disebutkan jarak tenggangnya adalah satu tahun.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, dari Mis’ar, dari Sammak Al-Hanafi, bahwa ia pernah mendengar Ibnu Abbas mengatakan bahwa pada permulaan turunnya awal surat Al-Muzzammil, para sahabat melakukan qiyamul lail yang lamanya sama dengan qiyamul lail mereka dalam bulan Ramadan. Dan jarak tenggang waktu antara awal surat Al-Muzzammil sampai dengan ayat terakhirnya memakan waktu kurang lebih satu tahun. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Abu Kuraib, dari Abu Usamah dengan sanad yang sama.
As-Sauri dan Muhammad ibnu Bisyr Al-Abdi telah meriwayatkan dari Mis’ar, dari Sammak, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa jarak antara keduanya (permulaan surat dan akhirnya) adalah satu tahun. Ibnu Jarir telah meriwayatkan pula dari Abu Kuraib, dari Waki’, dari Israil, dari Sammak, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas hal yang semisal.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Mahran, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Qa”is ibnu Wahb, dari Abu Abdur Rahman yang mengatakan bahwa ketika diturunkan firman-Nya: Hai orang yang berselimut (Muhammad). (Al-Muzzammil: 1) Mereka mengerjakan qiyamul lail selama satu tahun sehingga telapak kaki dan betis mereka bengkak, hingga turunlah firman Allah Swt.: karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an. (Al-Muzzammil: 20) Maka orang-orang pun (yakni para sahabat) merasa lega dengannya. Hal yang sama telah dikatakan oleh Al-Hasan Al-Basri dan As-Saddi.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar’ah, te!ah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Umar Al-Qawariri, telah menceritakan kepada kami Mu’az ibnu Hisyam, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Qatadah, dari Zurarah ibnu Aufa, dari Sa’id ibnu Hisyam yang mengatakan bahwa lalu ia bertanya kepada Aisyah, “Ceritakanlah kepadaku tentang qiyamul lail Rasulullah Saw.” Siti Aisyah balik bertanya, “Bukankah engkau telah membaca firman-Nya: Hai orang yang berselimut (Muhammad). (Al-Muzzammil: 1) Aku menjawab, “Benar, aku telah membacanya.” Siti Aisyah r.a. berkata, “Itulah qiyamul lail yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. dan para sahabatnya, hingga telapak kaki mereka bengkak-bengkak (karena lamanya berdiri dalam salat), sedangkan penutup surat ini ditahan di langit selama enam belas bulan, kemudian baru diturunkan sesudahnya.”
Ma’mar telah meriwayatkan dari Qatadah sehubungan dengan makna firman Allah Swt.: bangunlah (untuk salat) di malam hari, kecuali sedikit (darinya). (Al-Muzzammil: 2) Mereka melakukan qiyamul lail selama kurang lebih satu atau dua tahun hingga betis dan telapak kaki mereka bengkak-bengkak, lalu Allah menurunkan ayat yang meringankannya sesudah itu di akhir surat.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Ya’qub Al-Qummi, dari Ja’far, dari Sa’id ibnu Jubair yang mengatakan bahwa ketika Allah Swt. menurunkan kepada Nabi-Nya firman berikut: Hai orang yang berselimut (Muhammad). (Al-Muzzammil: 1) Bahwa Nabi Saw. mengerjakan perintah ini selama sepuluh tahun, yaitu qiyamul lail sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah Swt. Dan tersebutlah bahwa segolongan dari para sahabat ada yang ikut melakukan qiyamul lail bersamanya. Maka sesudah masa sepuluh tahun Allah menurunkan firman-Nya: Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (salat) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. (Al-Muzzammil: 20) sampai dengan firman-Nya: dan dirikanlah salat. (Al-Muzzammil: 20) Maka melalui ayat ini Allah memberikan keringanan kepada mereka setelah sepuluh tahun.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan hadis ini dari ayahnya. dari Amr ibnu Rafi’, dari Ya’qub Al-Qummi dengan sanad yang sama. Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: bangunlah (untuk salat) di malam hari, kecuali sedikit (darinya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit. (Al-Muzzammil: 2-3) Maka hal ini memberatkan kaum mukmin, kemudian Allah memberikan keringanan kepada mereka dan mengasihi mereka. Untuk itu Allah menurunkan firman-Nya sesudah itu: Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang lain, mereka berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah. (Al-Muzzammil: 20) sampai dengan firman-Nya: maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an. (Al-Muzzammil: 20) Maka melalui ayat ini Allah Swt. memberikan keluasan bagi mereka —segala puji bagi Allah— dan Dia tidak mempersulit mereka.
****
Firman Allah Swt.:
Yakhi perbanyaklah mengingat-Nya dan curahkanlah seluruh waktumu untuk beribadah kepada-Nya bila kamu telah selesai dari kesibukanmu dan menyelesaikan urusan duniawimu, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: