{قَالُوا إِنَّمَا أَنْتَ مِنَ الْمُسَحَّرِينَ (153) مَا أَنْتَ إِلا بَشَرٌ مِثْلُنَا فَأْتِ بِآيَةٍ إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ (154) قَالَ هَذِهِ نَاقَةٌ لَهَا شِرْبٌ وَلَكُمْ شِرْبُ يَوْمٍ مَعْلُومٍ (155) وَلا تَمَسُّوهَا بِسُوءٍ فَيَأْخُذَكُمْ عَذَابُ يَوْمٍ عَظِيمٍ (156) فَعَقَرُوهَا فَأَصْبَحُوا نَادِمِينَ (157) فَأَخَذَهُمُ الْعَذَابُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَةً وَمَا كَانَ أَكْثَرُهُمْ مُؤْمِنِينَ (158) وَإِنَّ رَبَّكَ لَهُوَ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ (159) }
Mereka berkata, “Sesungguhnya kamu adalah salah seorang dari orang-orang yang kena sihir. Kamu tidak lain melainkan seorang manusia seperti kami, maka datangkanlah semua mukjizat, jika kamu memang termasuk orang-orang yang benar.” Saleh menjawab, “Ini seekor unta betina, ia mempunyai giliran untuk mendapatkan air, dan kalian mempunyai giliran pula untuk mendapatkan air di hari yang tertentu. Dan janganlah kalian sentuh unta betina itu dengan sesuatu kejahatan, yang menyebabkan kalian akan ditimpa oleh azab yang besar.” Kemudian mereka membunuhnya, lalu mereka menjadi menyesal, maka mereka ditimpa azab. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat bukti yang nyata. Dan adalah kebanyakan mereka tidak beriman. Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Dialah Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang.
Allah menceritakan tentang kaum Samud dalam jawaban mereka kepada nabi mereka Saleh a.s. ketika Saleh a.s. menyeru mereka menyembah Tuhan mereka;
{قَالُوا إِنَّمَا أَنْتَ مِنَ الْمُسَحَّرِينَ}
Sesungguhnya kamu adalah salah seorang dari orang-orang yang kena sihir. (Asy-Syu’ara’: 153)
Mujahid dan Qatadah mengatakan, mereka bermaksud bahwa Saleh termasuk orang yang terkena sihir.
Abu Saleh telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: salah seorang dari orang-orang yang kena sihir. (AsyrSyu’ara’: 153) Bahwa makna musahharin ialah salah seorang makhluk biasa. Sebagian di antara mereka ada yang memakai dalil untuk memperkuat pendapatnya ini dengan perkataan salah seorang penyair:
Maka jika engkau bertanya tentang apa yang kami alami, sesungguhnya kami ini makhluk yang kecil lagi lemah, yang diberi paru-paru.
Yakni orang-orang yang mempunyai paru-paru, diambil dari kata as-sahar yang artinya paru-paru. Akan tetapi, pendapat yang kuat sehubungan dengan makna ini adalah pendapat yang dikatakan oleh Mujahid dan Qatadah. Disebutkan bahwa mereka mengatakan, “Sesungguhnya perkataan yang kamu ucapkan ini tiada lain menunjukkan engkau adalah orang yang terkena sihir,” yakni dalam keadaan tidak sadar. Selanjutnya mereka mengatakan:
{مَا أَنْتَ إِلا بَشَرٌ مِثْلُنَا}
Kamu tidak lain hanyalah seorang manusia seperti kami. (Asy-Syu’ara’: 154)
Maksudnya, mana mungkin kamu diberi wahyu, sedangkan kami tidak. Seperti juga yang diceritakan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
{أَؤُلْقِيَ الذِّكْرُ عَلَيْهِ مِنْ بَيْنِنَا بَلْ هُوَ كَذَّابٌ أَشِرٌ * سَيَعْلَمُونَ غَدًا مَنِ الْكَذَّابُ الأشِرُ}
Apakah wahyu itu diturunkan kepadanya di antara kita? Sebenarnya dia adalah seorang yang amat pendusta lagi sombong. Kelak mereka akan mengetahui siapakah yang sebenarnya amat pendusta lagi sombong. (Al-Qamar: 25-26)
Kemudian mereka meminta kepada Saleh a.s. agar mendatangkan suatu mukjizat kepada mereka sebagai tanda yang membenarkan kerasulannya, agar mereka mengetahui kebenaran dari apa yang disampaikannya dari Tuhan mereka. Orang-orang terkemuka mereka berkumpul dan meminta kepada Nabi Saleh agar mengeluarkan seekor unta betina yang telah beranak dari sebuah batu besar saat itu juga, sedangkan batu besar itu telah ditunjuk oleh mereka yang mempunyai ciri khas anu dan anu.
Maka pada saat itu juga Nabi Saleh mengambil janji dan ikrar dari mereka, bahwa sesungguhnya dia sanggup memenuhi permintaan mereka, tetapi mereka sungguh akan beriman kepadanya dan mengikutinya, lalu mereka setuju dengan syarat itu.
Nabi Saleh a.s. berdiri, lalu melakukan salat. Sesudah itu ia berdoa kepada Allah, memohon agar Dia mengabulkan permintaan mereka. Maka terbelahlah batu besar itu yang ditunjuk oleh mereka, dan keluarlah darinya seekor unta betina yang telah beranak menurut spesifikasi yang mereka minta. Maka sebagian dari mereka beriman, sedangkan kebanyakan dari mereka ingkar.
{قَالَ هَذِهِ نَاقَةٌ لَهَا شِرْبٌ وَلَكُمْ شِرْبُ يَوْمٍ مَعْلُومٍ}
Saleh menjawab, “Ini seekor unta betina, ia mempunyai giliran untuk mendapatkan air, dan kalian mempunyai giliran pula untuk mendapatkan air di hari yang tertentu.”(Asy-Syu’ara’: 155)
Yakni unta betina ini mendapat giliran minumnya satu hari, sedangkan pada hari berikutnya adalah giliran minum kalian.
{وَلا تَمَسُّوهَا بِسُوءٍ فَيَأْخُذَكُمْ عَذَابُ يَوْمٍ عَظِيمٍ}
Dan janganlah kalian sentuh unta betina ini dengan sesuatu kejahatan, yang menyebabkan kalian akan ditimpa oleh azab hari yangbesar. (Asy-Syu’ara’: 156)
Nabi Saleh memperingatkan mereka akan pembalasan Allah jika mereka berani mengganggu unta betina tersebut. Unta itu tinggal di kalangan mereka selama beberapa lama; unta itu mendapat giliran minumnya seperti biasanya, dan ia makan dedaunan serta rerumputan, sedangkan mereka dapat mengambil manfaat air susunya yang mereka perah dari unta itu dalam jumlah yang cukup buat mereka minum.
Setelah hal itu berlangsung cukup lama di kalangan mereka, lalu muncullah orang-orang yang celaka di antara mereka, selanjutnya orang-orang celaka itu membuat kesepakatan untuk membunuh dan menyembelih unta betina tersebut.
{فَعَقَرُوهَا فَأَصْبَحُوا نَادِمِينَ * فَأَخَذَهُمُ الْعَذَابُ}
Kemudian mereka membunuhnya, lalu mereka menjadi menyesal, maka mereka ditimpa azab. (Asy-Syu’ara’: 157-158)
Azab tersebut berupa gempa hebat yang menimpa tanah tempat mereka tinggal, lalu mereka ditimpa suatu teriakan mengguntur yang membuat hati manusia copot dari tempatnya. Mereka kedatangan azab dari arah yang tidak mereka duga-duga, sehingga jadilah mereka mati bergelimpangan di tempat tinggal mereka.
{إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَةً وَمَا كَانَ أَكْثَرُهُمْ مُؤْمِنِينَ * وَإِنَّ رَبَّكَ لَهُوَ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ}
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat bukti yang nyata. Dan adalah kebanyakan mereka tidak beriman. Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Dialah Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang. (Asy-Syu’ara’: 158-159)