{وَلَوْ تَرَى إِذْ فَزِعُوا فَلا فَوْتَ وَأُخِذُوا مِنْ مَكَانٍ قَرِيبٍ (51) وَقَالُوا آمَنَّا بِهِ وَأَنَّى لَهُمُ التَّنَاوُشُ مِنْ مَكَانٍ بَعِيدٍ (52) وَقَدْ كَفَرُوا بِهِ مِنْ قَبْلُ وَيَقْذِفُونَ بِالْغَيْبِ مِنْ مَكَانٍ بَعِيدٍ (53) وَحِيلَ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ مَا يَشْتَهُونَ كَمَا فُعِلَ بِأَشْيَاعِهِمْ مِنْ قَبْلُ إِنَّهُمْ كَانُوا فِي شَكٍّ مُرِيبٍ (54) }
Dan (alangkah hebatnya) jikalau kamu melihat ketika mereka (orang-orang kafir) terperanjat ketakutan (pada hari kiamat); maka mereka tidak dapat melepaskan diri dan mereka ditangkap dari tempat yang dekat (untuk dibawa ke neraka), dan (di waktu itu) mereka berkata, “Kami beriman kepada Allah, “Bagaimanakah mereka dapat mencapai (keimanan) dari tempat yang jauh itu. Dan sesungguhnya mereka telah mengingkari Allah sebelum itu; dan mereka menduga-duga tentang yang gaib dari tempat yang jauh. Dan dihalangi antara mereka dengan apa yang mereka ingini sebagaimana yang dilakukan terhadap orang-orang yang serupa dengan mereka pada masa dahulu. Sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) dalam keraguan yang mendalam.
Allah Swt. berfirman, bahwa sekiranya engkau, hai Muhammad, menyaksikan orang-orang yang mendustakan adanya hari kiamat itu dalam keadaan ngeri karena ketakutan pada hari kiamat nanti.
{فَلا فَوْتَ}
maka mereka tidak dapat melepaskan diri. (Saba: 51)
Yakni mereka tidak mempunyai tempat menetap dan tidak pula ada yang menolong atau melindungi mereka.
وَأُخِذُوا مِنْ مَكَانٍ قَرِيبٍ}
dan mereka ditangkap dari tempat yang dekat (untuk dibawa ke neraka) (Saba: 51)
Maksudnya, mereka tidak diberi kesempatan untuk melarikan diri, bahkan mereka langsung ditangkap sejak semula (mereka dibangkitkan).
Menurut Al-Hasan Al-Basri, saat mereka dibangkitkan dari kuburnya.
Mujahid, Atiyyah Al-Aufi, dan Qatadah mengatakan dari bawah telapak kaki mereka, mereka diambil.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. dan Ad-Dahhak, bahwa makna yang dimaksud adalah siksaan mereka di dunia.
Abdur Rahman ibnu Zaid mengatakan, makna yang dimaksud ialah terbunuhnya sebagian dari mereka dalam Perang Badar.
Pendapat yang sahih menyebutkan bahwa makna yang dimaksud dalam ayat ini ialah kejadiannya terjadi pada hari kiamat, sekalipun apa yang telah disebutkan sebelumnya berkaitan erat dengan makna ayat ini.
Ibnu Jarir telah meriwayatkan dari sebagian mereka, bahwa makna yang dimaksud ialah suatu pasukan yang dilenyapkan di antara kota Mekah dan Madinah dalam masa pemerintahan Banil Abbas. Kemudian Ibnu Jarir mengetengahkan sebuah hadis berkenaan dengan pendapatnya ini, tetapi hadisnya maudu’ dan tidak usah disebut lagi di sini; pendapat ini sangat aneh dari Ibnu Jarir.
********
Firman Allah Swt.:
{وَقَالُوا آمَنَّا بِهِ}
dan (di waktu itu) mereka berkata, “Kami beriman kepada Allah.” (Saba: 52)
Yakni pada hari kiamat mereka mengatakan, “Kami beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya.” Semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
{وَلَوْ تَرَى إِذِ الْمُجْرِمُونَ نَاكِسُو رُؤوسِهِمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ رَبَّنَا أَبْصَرْنَا وَسَمِعْنَا فَارْجِعْنَا نَعْمَلْ صَالِحًا إِنَّا مُوقِنُونَ}
Dan (alangkah ngerinya) jika sekiranya kamu melihat ketika orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya, (mereka berkata), “Ya Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia), kami akan mengerjakan amal saleh, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang yakin.” (As-Sajdah: 12)
Karena itulah dalam surat ini disebutkan oleh firman-Nya:
{وَأَنَّى لَهُمُ التَّنَاوُشُ مِنْ مَكَانٍ بَعِيدٍ}
bagaimana mereka dapat mencapai (keimanan) dari tempat yang jauh itu. (Saba: 52)
Artinya, mana mungkin mereka dapat beriman, sedangkan mereka telah dijauhkan dari tempat yang padanya iman dapat diterima dari mereka; dan kini mereka telah berada di kampung akhirat, yaitu negeri pembalasan, bukan lagi negeri ujian. Seandainya mereka dahulu sewaktu di dunia beriman, tentulah hal itu bermanfaat bagi mereka. Tetapi sesudah mereka berada di negeri akhirat, maka tiada jalan lagi bagi mereka untuk dapat diterima imannya, sebagaimana halnya tiada jalan untuk meraih sesuatu yang dijangkau dari tempat yang jauh di luar jangkauannya.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: bagaimana mereka dapat mencapai (keimanan) (Saba: 52) Yakni mustahil bagi mereka dapat meraihnya.
Az-Zuhri mengatakan bahwa tanawusy artinya upaya mereka meraih keimanan, padahal mereka telah berada di akhirat dan telah terputus dari dunia.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan, sesungguhnya mereka mengejar sesuatu yang di luar jangkauannya. Begitulah keadaan mereka, mereka meraih keimanan dari tempat yang jauh.
Ibnu Abbas r.a. mengatakan bahwa mereka meminta agar dapat dikembalikan ke dunia untuk melakukan tobat dari perbuatannya itu, padahal tidak ada masa lagi untuk kembali dan tidak pula untuk bertobat. Hal yang telah dikatakan oleh Muhammad ibnu Ka’b Al-Qurazi rahimahullah. ‘
**********
Firman Allah Swt.:
{وَقَدْ كَفَرُوا بِهِ مِنْ قَبْلُ}
Dan sesungguhnya mereka telah mengingkari Allah sebelum itu. (Saba: 53)
Yaitu mana mungkin iman berhasil mereka raih di negeri akhirat, karena sebelum itu sewaktu di dunia mereka telah ingkar terhadap perkara yang hak dan mendustakan rasul-rasul Allah.
{وَيَقْذِفُونَ بِالْغَيْبِ مِنْ مَكَانٍ بَعِيدٍ}
dan mereka menduga-duga tentang yang gaib dari tempat yang jauh. (Saba: 53)
Malik telah meriwayatkan dari Zaid ibnu Aslam sehubungan dengan makna firman-Nya: dan mereka menduga-duga tentang yang gaib (Saba: 53) Bahwa makna yang dimaksud adalah menebak-nebak dengan dugaan.
Menurut hemat kami, ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya:
{رَجْمًا بِالْغَيْبِ}
sebagai terkaan terhadap barang yang gaib. (Al-Kahfi: 22)
Adakalanya mereka menyebut Nabi Saw. sebagai seorang penyair, dan adakalanya menamainya sebagai tukang ramal, adakalanya menyebutnya sebagai tukang sihir, adakalanya pula mengatakannya sebagai orang gila, dan masih banyak lagi perkataan-perkataan yang batil dari mereka ditujukan kepada Nabi Saw. Mereka mendustakan adanya hari berbangkit dan alam akhirat.
{إِنْ نَظُنُّ إِلا ظَنًّا وَمَا نَحْنُ بِمُسْتَيْقِنِينَ}
kami sekali-sekali tidak lain hanyalah menduga-duga saja dan kami sekali-sekali tidak meyakininya. (Al-Jasiyah: 32)
Qatadah dan Mujahid mengatakan bahwa mereka mengira tidak ada hari berbangkit, tidak ada surga, dan tidak ada pula neraka.
***********
Firman Allah Swt.:
{وَحِيلَ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ مَا يَشْتَهُونَ}
Dan dihalangi antara mereka dengan apa yang mereka ingini. (Saba: 54)
Al-Hasan Al-Basri Ad-Dahhak, dan lain-lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud ialah iman.
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan dihalangi antara mereka dengan apa yang mereka ingini. (Saba: 54) Yakni tobat.
Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir rahimahullah.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan dihalangi antara mereka dengan apa yang mereka ingini. (Saba: 54) Yakni dari dunia ini berupa harta benda, perhiasan duniawi, dan keluarga (anak-anak).
Hal yang sama telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Ar-Rabi, ibnu Anas r.a. Pendapat inilah yang dipegang oleh Imam Bukhari dan Jamaah.
Sebenarnya tidak ada pertentangan di antara kedua pendapat tersebut, karena sesungguhnya adakalanya dihalangi antara mereka dengan apa yang diingini oleh mereka di dunia ini, juga antara mereka dengan apa yang dicari mereka di akhirat, mereka tidak mendapatkannya.
Ibnu Abu Hatim sehubungan dengan hal ini telah meriwayatkan sebuah asar yang garib lagi aneh sekali, ia mengetengahkannya secara panjang lebar seperti berikut:
Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Hajar Asy-Syami, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Mansur Al-Anbari, dari Ar-Ruqqi Ibnu Qattami, dari Sa’id ibnu Tarif, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas r.a. sehubungan dengan makna firman Allah Swt.: Dan dihalangi antara mereka dengan apa yang mereka ingini. (Saba: 54), hingga akhir ayat.
Ibnu Abbas bercerita bahwa dahulu ada seorang lelaki dari kaum Bani Israil yang banyak mempunyai harta berupa tanah yang dikaruniakan oleh Allah kepadanya dari hasil perjuangannya di jalan Allah. Lalu ia meninggal dunia, dan hartanya diwarisi oleh anak lelaki tunggalnya yang pendurhaka. Dia menggunakan harta Allah untuk perbuatan-perbuatan yang durhaka.
Ketika saudara-saudara ayahnya menyaksikan dia berbuat demikian, maka mereka mendatanginya, lalu mencela apa yang dilakukannya. Si anak merasa terganggu, lalu diam-diam ia menjual semua tanah hasil warisannya.
Kemudian pemuda itu (si anak tersebut) pergi dan datang ke sebuah mata air yang berlimpah airnya, maka ia melepaskan hewan ternaknya di tempat itu dan membangun sebuah gedung. Di suatu hari ketika ia sedang duduk, tiba-tiba angin bertiup mengenduskan kepadanya bau seorang wanita yang sangat cantik lagi sangat harum baunya.
Wanita itu menemuinya dan bertanya kepadanya, “Wahai hamba Allah, siapakah Anda?” Pemuda itu menjawab, “Saya adalah seorang Bani Israil.” Wanita itu bertanya, “Apakah gedung dan harta ini kepunyaanmu?” Pemuda menjawab, “Ya.” Wanita bertanya, “Apakah engkau mempunyai istri?” Pemuda menjawab, “Tidak.” Wanita bertanya, “Bagaimana kamu hidup senang tanpa istri?” Pemuda menjawab, “Memang itulah apa adanya tentang diriku.”
Pemuda itu balik bertanya, “Apakah engkau mempunyai suami?” Wanita itu menjawab, “Tidak.” Pemuda itu bertanya, “Bolehkah jika aku mengambilmu sebagai istriku?” Wanita menjawab, “Sesungguhnya aku adalah seorang wanita yang tinggal sejauh perjalanan sehari dari tempatmu ini. Untuk itu apabila esok tiba, ambillah bekal yang cukup untuk sehari, lalu datanglah kepadaku. Dan jika engkau melihat hal-hal yang menakutkan dalam perjalananmu, janganlah sekali-kali kamu merasa takut.”
Pada keesokan harinya pemuda itu membawa bekal sehari, lalu berangkat, hingga sampailah di sebuah gedung. Ia mengetuk pintunya, lalu keluarlah seorang pemuda yang sangat tampan lagi sangat harum baunya menyambutnya seraya bertanya, “Siapakah Anda, hai hamba Allah?” Pemuda itu menjawab, “Saya adalah seorang Israil.” Penjaga pintu bertanya, “Apakah keperluanmu datang ke sini?” Pemuda itu menjawab, “Pemilik gedung ini telah mengundangku untuk menemuinya.” Penjaga pintu berkata, “Kamu benar.”
Penjaga pintu bertanya, “Apakah di perjalanan kamu melihat hal-hal yang menakutkan?” Pemuda ini menjawab, “Benar, seandainya tidak ada nasihat dari dia yang mengatakan agar aku jangan takut, tentulah aku akan ketakutan melihatnya.” Penjaga pintu bertanya, “Apa sajakah yang kamu lihat?”
Si pemuda menjawab, “Saya berangkat. Dan ketika sampai di jalan yang terbuka, tiba-tiba saya bersua dengan seekor anjing betina yang mengangakan mulutnya. Maka saya terkejut, lalu melarikan diri. Tetapi tiba-tiba anjing betina itu telah berada di hadapanku dan aku berada di belakangnya. Dan tiba-tiba anak-anaknya yang masih ada di dalam perutnya menggonggong.” Penjaga pintu itu berkata kepadanya menjelaskan, “Sebenarnya tidak seperti yang kamu lihat, itu adalah gambaran tentang apa yang akan terjadi di akhir zaman. Seorang pemuda duduk di tempat duduk seorang syekh dalam suatu majelis, dan ia dengan bicaranya membuat mereka senang.”
Si pemuda melanjutkan ceritanya, bahwa ia melanjutkan perjalanannya. Ketika sampai di jalan yang lebar, tiba-tiba ia bersua dengan seratus ekor kambing yang besar-besar teteknya, dan tiba-tiba terdapat anak kambing yang sedang menyusu. Apabila anak kambing itu telah menyusu kepada semua kambing betina tersebut hingga tiada air susu lagi yang tersisa, maka ia membukakan mulutnya mencari tambahan menyusu. Penjaga pintu itu berkata, “Pada hakikatnya tidaklah seperti yang kamu lihat. Itu adalah tamsil yang menggambarkan keadaan nanti di akhir zaman, akan ada raja yang menghimpun semua orang yang pendiam. Setelah ia menduga bahwa tiada sesuatu pun yang tersisa, maka ia membukakan mulutnya mencari tambahan lagi.”
Pemuda itu melanjutkan kisahnya, bahwa ia melanjutkan perjalanannya hingga sampai di suatu jalan yang lebar. Tiba-tiba ia menjumpai pohon-pohon yang salah satunya membuat ia tertarik karena warnanya yang hijau segar, lalu ia hendak memetiknya, Tiba-tiba ada pohon lain yang berseru kepadanya, “Hai hamba Allah, ambillah dariku,” sehingga semua pohon menyeru demikian kepadanya untuk mengambil darinya. Penjaga pintu itu menjawab, “Pada hakikatnya tidaklah seperti yang kamu saksikan. Itu merupakan gambaran di akhir zaman, yaitu kaum lelaki berkurang, sedangkan kaum wanita banyak; sehingga seorang lelaki melamar seorang wanita, tetapi ada sepuluh orang atau dua puluh orang wanita yang menyerunya untuk kawin dengan mereka.”
Pemuda itu melanjutkan kisahnya, bahwa ia melanjutkan perjalanannya. Ketika sampai di jalan yang lebar, tiba-tiba bersua dengan seorang lelaki yang berdiri di pinggir sebuah sumur menimbakan air buat orang-orang. Dan apabila orang-orang telah bubar darinya, maka ia menuangkan air yang ada dalam gentongnya sehingga tiada setetes air pun yang tersisa pada gentongnya. Penjaga pintu itu berkata, “Pada hakikatnya tidaklah seperti yang kamu lihat. Itu merupakan gambaran yang akan terjadi di akhir zaman. Seorang pendongeng memberikan pelajaran ilmu kepada orang-orang lain, kemudian ia sendiri bersikap berbeda dengan mereka dengan mengerjakan perbuatan-perbuatan maksiat.”
Pemuda itu melanjutkan kisahnya, bahwa ia melanjutkan perjalanannya. Ketika sampai di jalan yang lebar, tiba-tiba ia menjumpai sekumpulan kambing betina, dan tiba-tiba ada suatu kaum yang mengambil kakinya, ada seorang lelaki yang mengambil tanduknya, ada seorang lelaki yang mengambil ekornya, ada pula yang menungganginya. Dan tiba-tiba ada seorang lelaki yang memerah air susunya. Penjaga pintu itu berkata, “Adapun kambing betina itu merupakan tamsil dari dunia, orang-orang yang mengambil kakinya adalah mereka yang taraf hidupnya rendah, dan mereka yang memegang kedua tanduknya adalah orang yang dalam kehidupannya mengalami kesempitan. Adapun orang yang memegang ekornya menggambarkan bahwa dunia berpaling darinya. Dan orang yang menungganginya adalah orang yang meninggalkan duniawi, sedangkan orang yang memerahnya adalah orang yang mengambil dunia itu.”
Pemuda itu melanjutkan, bahwa ia melanjutkan perjalanannya hingga sampai di jalan yang lebar. Tiba-tiba ia bersua dengan seorang lelaki yang sedang menimba air di suatu sumur; setiap kali dia mengeluarkan timbanya dari dalam sumur, maka ia tumpahkan lagi airnya ke dalam sumur itu. Penjaga pintu itu berkata, bahwa itu merupakan gambaran seseorang yang Allah menolak amal salehnya dan tidak menerimanya.
Pemuda itu melanjutkan kisahnya, bahwa ia melanjutkan perjalanannya hingga sampai di jalan yang lebar. Tiba-tiba ia menjumpai seorang laki-laki yang sedang menyemaikan benihnya, lalu ia langsung menuai hasilnya yang berupa gandum yang bermutu tinggi lagi baik; Penjaga pintu itu berkata, “Itu merupakan gambaran tentang seorang laki-laki yang amal salehnya diterima dan dikembangkan pahalanya baginya.”
Pemuda itu melanjutkan kisahnya, bahwa ia melanjutkan perjalanannya hingga sampai di jalan yang lebar. Tiba-tiba ia bersua dengan seorang lelaki yang sedang terlentang, lalu lelaki itu berkata, “Hai hamba Allah, mendekatlah kepadaku, peganglah tanganku, dan dudukkanlah aku. Demi Allah, aku belum pernah duduk sejak diciptakan oleh Allah.” Maka aku (pemuda itu) memegang tangannya dan ia pun berdiri, lalu lari hingga hilang dari pandangan mataku.
Penjaga pintu itu berkata kepadanya, “Ini adalah usia orang yang dijauhkan yang telah habis. Aku adalah malaikat maut, dan aku jualah wanita yang datang kepadamu itu. Allah telah memerintahkan kepadaku agar mencabut nyawa orang yang dijauhkan di tempat ini, kemudian aku masukkan dia ke dalam neraka Jahannam.”
Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa berkenaan dengan kisah yang semisal ayat berikut diturunkan, yaitu firman-Nya: Dan dihalangi antara mereka dengan apa yang mereka ingini. (Saba: 54)
Asar ini garib, dan mengenai kesahihannya masih sangat diragukan.
Barangkali yang dimaksud oleh Ibnu Abbas sehubungan dengan kisah ini ialah bahwa orang-orang kafir itu semuanya bila dimatikan, arwah mereka dalam keadaan bergantung kepada kehidupan dunia (yaitu mencintainya). Sebagaimana yang terjadi dengan pemuda yang teperdaya ini lagi terfitnah dengan kekayaannya. Dia pergi untuk mencari apa yang didambakannya, tetapi tiba-tiba malaikat maut datang untuk mencabut nyawanya sekonyong-konyong, sehingga terhalanglah dia dari apa yang diingininya.
*************
Firman Allah Swt.:
{كَمَا فُعِلَ بِأَشْيَاعِهِمْ مِنْ قَبْلُ}
sebagaimana yang dilakukan terhadap orang-orang yang serupa dengan mereka pada masa dahulu. (Saba: 54)
Yakni sebagaimana yang telah dilakukan terhadap umat-umat terdahulu yang mendustakan para rasul; ketika azab Allah datang menimpa mereka, maka mereka berangan-angan seandainya saja mereka dahulu beriman. Tetapi nasi telah menjadi bubur, iman mereka saat itu tidak dapat diterima. Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya:
{فَلَمَّا رَأَوْا بَأْسَنَا قَالُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَحْدَهُ وَكَفَرْنَا بِمَا كُنَّا بِهِ مُشْرِكِينَ. فَلَمْ يَكُ يَنْفَعُهُمْ إِيمَانُهُمْ لَمَّا رَأَوْا بَأْسَنَا سُنَّةَ اللَّهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ فِي عِبَادِهِ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْكَافِرُونَ}
Maka tatkala mereka melihat azab Kami, mereka berkata, “Kami beriman hanya kepada Allah saja, dan kami kafir kepada sembahan-sembahan yang telah kami mempersekutukan(nya) dengan Allah.” Maka iman mereka tiada berguna bagi mereka tatkala mereka telah melihat siksaan Kami. Itulah sunnah Allah yang telah berlaku terhadap hamba-hamba-Nya. Dan di waktu itu binasalah orang-orang kafir. (Al-Mu-min: 84-85)
**********
Adapun firman Allah Swt.:
{إِنَّهُمْ كَانُوا فِي شَكٍّ مُرِيبٍ}
Sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) dalam keraguan yang mendalam. (Saba: 54)
Yakni mereka dahulu sewaktu di dunia selalu berada dalam keraguan dan kebimbangan, karena itulah iman mereka tidak diterima saat mereka menyaksikan azab Allah.
Qatadah pernah mengatakan, “Janganlah kamu ragu dan bimbang. Karena sesungguhnya orang yang mati dalam keadaan bimbang dan ragu, maka ia dibangkitkan dalam keadaan seperti waktu ia mati. Dan barang siapa yang mati dalam keadaan yakin, maka ia akan dibangkitkan dalam keadaan yakni pula.
آخَرُ تَفْسِيرِ سورة “سبأ” ولله الحمد والمنة.