وَالضُّحَى (1) وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَى (2) مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَى (3) وَلَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ الْأُولَى (4) وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى (5) أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآوَى (6) وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَى (7) وَوَجَدَكَ عَائِلًا فَأَغْنَى (8) فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ (9) وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ (10) وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ (11)
Demi waktu matahari yang sepenggalah naik, dan demi malam apabila telah sunyi, Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu, dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu daripada permulaan. Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas. Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu dia melindungimu. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. Dan ia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. Adapun terhadap anak yatim, maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang minta-minta, maka janganlah kamu men-hardiknya. Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Na’im, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Al-Aswad ibnu Qais yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Jundub menceritakan bahwa Nabi Saw. mengalami sakit selama satu atau dua malam hingga beliau tidak melakukan qiyamul lail. Maka datanglah kepadanya seorang wanita dan berkata, “Hai Muhammad, menurut hematku setanmu itu tiada lain telah meninggalkanmu,” maksudnya malaikat yang membawa wahyu kepadanya. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Demi waktu matahari sepenggalah naik, dan demi malam apabila telah sunyi. Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu. (Adh-Dhuha: 1-3)
Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Turmuzi, Imam Nasai, Imam Ibnu Abu Hatim, dan Imam Ibnu Jarir telah meriwayatkan hadis ini melalui berbagai jalur dari Al-Aswad ibnu Qais, dari Jundub ibnu Abdullah Al-Bajali yang juga dikenal pula dengan Al-Alaqi dengan sanad yang sama. Menurut riwayat Sufyan ibnu Uyaynah, dari Al-Aswad ibnu Qais, disebutkan bahwa ia pernah mendengar Jundub mengatakan bahwa Malaikat Jibril datang terlambat kepada Rasulullah Saw., maka orang-orang musyik mengatakan, “Muhammad ditinggalkan oleh Tuhannya.” Maka Allah menurunkan firman-Nya: Demi waktu matahari sepenggalah naik, dan demi malam apabila telah sunyi. Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu. (Adh-Dhuha: 1-3)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id Al-Asyaj dan Amr ibnu Abdullah Al-Audi, keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, telah menceritakan kepadaku Sufyan, telah menceritakan kepadaku Al-Aswad ibnu Qais; ia pernah mendengar Jundub mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah dilempar dengan batu hingga mengenai jari tangannya sampai berdarah, maka beliau mengucapkan kalimat berikut: Tiadalah engkau selain dari jari tangan yang berdarah, di jalan Allah padahal engkau mengalaminya.
Lalu Rasulullah Saw. tinggal selama dua atau tiga malam tanpa mengerjakan qiyamul lail (salat sunat malam hari). Maka ada seorang wanita (musyrik) yang berkata kepadanya, “Menurutku tiada lain setanmu telah meninggalkanmu.” Maka turunlah firman Allah Swt.: Demi waktu matahari sepenggalah naik, dan demi malam apabila telah sunyi. Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu. (Adh-Dhuha: 1-3)
Menurut konteks hadis yang ada pada Abu Sa’id, suatu pendapat mengatakan bahwa wanita tersebut adalah Jamil, istri Abu Lahab. Disebutkan pula bahwa jari tangan beliau Saw. terluka. Dan mengenai sabdaNabi Saw. di atas bertepatan dengan wazan syair telah disebutkan di dalam kitab Sahihain. Akan tetapi, hal yang aneh dalam hadis ini ialah luka di ibu jari itu menjadi penyebab beliau Saw. meninggalkan qiyamul lailnya dan juga menjadi turunnya surat ini.
Adapun menurut apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abusy Syawarib, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahid ibnu Ziyad, telah menceritaka’n kepada kami Sulaiman Asy-Syaibani, dari Abdullah ibnu Syaddad, bahwa Siti Khadijah berkata kepada Nabi Saw., “Menurut hemat saya, Tuhanmu telah meninggalkan kamu.” Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Demi waktu matahari sepenggalah naik, dan demi malam apabila telah sunyi. Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu. (Adh-Dhuha: 1-3)
Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Waki’, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya yang mengatakan bahwa Malaikat Jibril datang terlambat kepada Nabi Saw. Maka nabi Saw. merasa sangat gelisah karenanya, lalu Siti Khadijah mengatakan, “Sesungguhnya aku melihat Tuhanmu telah meninggalkan kamu, karena aku melihat kegelisahanmu yang berat.” Urwah melanjutkan kisahnya, bahwa maka turunlah firman Allah Swt.: Demi waktu matahari sepenggalah naik dan demi malam apabila telah sunyi. Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu. (Adh-Dhuha: 1-3) hingga akhir surat.
Maka sesungguhnya hadis ini berpredikat mursal dari kedua jalur tersebut. Barangkali penyebutan Khadijah bukanlah berdasarkan hafalan, atau memang dia terlibat dan mengatakannya dengan nada menyesal dan bersedih hati; hanya Allah sajalah Yang Maha Mengetahui.
Sebagian ulama Salaf —antara lain Ibnu Ishaq— menyebutkan, bahwa surat inilah yang disampaikan oleh Jibril a.s. kepada Nabi Saw. ketika Jibril a.s. menampakkan rupa aslinya kepada Nabi Saw. dan datang mendekatinya, lalu turun menuju kepada beliau Saw. yang saat itu beliau sedang berada di Lembah Abtah, seperti yang disebutkan firman-Nya: Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan. (An-Najm: 10)
Ibnu Ishaq mengatakan bahwa saat itulah Jibril menyampaikan kepada Rasulullah Saw. surat ini yang diawali oleh firman-Nya: Demi waktu matahari sepenggalah naik, dan demi malam apabila telah sunyi. (Adh-Dhuha: 1 -2)
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa setelah diturunkan kepada Nabi Saw. permulaan wahyu Al-Qur’an, maka Jibril datang terlambat beberapa hari dari Nabi Saw. sehingga roman muka beliau Saw. berubah sedih karenanya. Dan orang-orang musyrik mengatakan, “Dia telah ditinggalkan oleh Tuhannya dan dibenci.” Maka Allah Swt. menurunkan firman Allah Swt.: Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu. (Adh-Dhuha: 3) Ini merupakan sumpah dari Allah Swt. dengan menyebut waktu duha dan cahaya yang Dia ciptakan padanya.
{وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَى}
dan demi malam apabila telah sunyi. (Adh-Dhuha: 2)
Yakni bila telah tenang dan gelap gulita. Demikianlah menurut Mujahid, Qatadah, Ad-Dahhak, Ibnu Zaid, dan lain-lainnya. Hal ini menunjukkan akan kekuasaan Tuhan Yang Maha Pencipta, dan merupakan bukti yang jelas lagi gamblang. Makna ini sama dengan apa yang disebutkan di dalam ayat lain melalui firman-Nya:
{وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى وَالنَّهَارِ إِذَا تَجَلَّى}
Demi malam apabila menutupi (cahaya siang), dan siang apabila terang benderang. (Al-Lail: 1-2)
Juga sama dengan firman Allah Swt.:
فالِقُ الْإِصْباحِ وَجَعَلَ اللَّيْلَ سَكَناً وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ حُسْباناً ذلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ
Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui. (Al-An’am: 96)
Adapun firman Allah Swt.:
{مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ}
Tuhanmu tiada meninggalkan kamu. (Adh-Dhuha: 3)
Artinya, Dia tidak meninggalkanmu.
{وَمَا قَلَى}
dan tiada (pula) benci kepadamu. (Adh-Dhuha: 3)
Yakni Dia tidak murka kepadamu.
{وَلَلآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ الأولَى}
dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu daripada permulaan. (Adh-Dhuha: 4)
Sesungguhnya negeri akhirat itu lebih baik bagimu daripada negeri ini (dunia). Karena itu, Rasulullah Saw. adalah orang yang paling zuhud terhadap perkara dunia dan paling menjauhinya serta paling tidak menyukainya, sebagaimana yang telah dimaklumi dari perjalanan hidup beliau Saw. ketika Nabi Saw. disuruh memilih di usia senjanya antara hidup kekal di dunia sampai akhir usia dunia —kemudian ke surga— dan antara kembali ke sisi Allah Swt. Maka beliau Saw. memilih apa yang ada di sisi Allah daripada dunia yang rendah ini.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Al-Mas’udi, dari Amr ibnu Murrah, dari Ibrahim An-Nakha’i, dari Alqamah, dari Abdullah ibnu Mas’ud yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. berbaring di atas hamparan tikar sehingga anyaman tikar yang kasar itu membekas di lambungnya. Ketika beliau bangkit dari berbaringnya, maka aku (Ibnu Mas’ud) mengusap lambung beliau dan kukatakan kepadanya, “Wahai Rasulullah, izinkanlah kepada kami untuk menggelarkan kasur di atas tikarmu.” Maka Rasulullah Saw. menjawab: Apakah hubungannya antara aku dan dunia, sesungguhnya perumpamaan antara aku dan dunia tiada lain bagaikan seorang musafir yang berteduh di bawah naungan sebuah pohon, kemudian dia pergi meninggalkannya.
Imam Turmuzi dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadis Al-Mas’udi, dan Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini kalau tidak hasan berarti sahih.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى}
Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas. (Adh-Dhuha: 5)
Yakni kelak di negeri akhirat Allah akan memberinya hingga ia merasa puas tentang umatnya dan juga kemuliaan yang telah disediakan oleh Allah untuk dirinya. Yang antara lain ialah Telaga Kautsar yang kedua tepinya berupa kubah-kubah dari mutiara yang berongga, sedangkan tanahnya bibit minyak kesturi, sebagaimana yang akan diterangkan kemudian.
Imam Abu Amr Al-Auza’i telah meriwayatkan dari Ismail ibnu Abdullah ibnu Abul Muhajir Al-Makhzumi, dari Ali ibnu Abdullah ibnu Abbas, dari ayahnya yang mengatakan bahwa ditampakkan kepada Rasulullah Saw. Apa yang bakal dibukakan buat umatnya sesudah ia tiada perbendaharaan demi perbendaharaan. Maka beliau merasa senang dengan hal tersebut, lalu Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas. (Adh-Dhuha: 5)
Dan Allah Swt. memberikan kepada beliau Saw. di dalam surga sejuta gedung, dalam tiap gedung terdapat istri-istri dan para pelayan yang layak baginya. Demikianlah menurut apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim melalui jalur Abu Amr Al-Auza’i. Sanad ini sahih sampai kepada Ibnu Abbas, dan hal yang semisal dengan ini tiada lain kecuali berpredikat mauquf.
As-Saddi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa untuk memuaskan hati Nabi Muhammad Saw., Allah tidak akan memasukkan seorang pun dari kalangan ahli baitnya ke dalam neraka. Demikianlah menurut apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim. Al-Hasan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hal tersebut ialah syafaat (diizinkan untuk memberi syafaat). Hal yang sama telah dikatakan oleh Abu Ja’far Al-Baqir.
Abu Bakar ibnu Abu Syaibah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mu’awiyah ibnu Hisyam, dari Ali ibnu Saleh, dari Yazid ibnu Abu Ziyad, dari Ibrahim, dari Alqamah, dari Abdullah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Sesungguhnya kami adalah suatu ahli bait, Allah telah memilihkan akhirat di atas dunia bagi kami. Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.
Kemudian Allah Swt. menyebutkan dalam firman berikutnya bilangan nikmat-nikmat yang telah Dia karuniakan kepada hamba dan Rasul-Nya Nabi Muhammad Saw.:
{أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآوَى}
Bukanlah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu. (Adh-Dhuha: 6)
Demikian itu karena ayah beliau wafat sejak beliau masih berada dalam kandungan ibunya. Menurut pendapat yang lain, ayah beliau wafat ketika beliau baru dilahirkan. Kemudian ibunya (yaitu Aminah binti Wahb) wafat pula saat beliau berusia enam tahun. Sesudah itu beliau berada dalam pemeliharaan kakeknya (yaitu Abdul Muttalib) hingga kakeknya wafat saat beliau masih berusia delapan tahun.
Kemudian beliau dipelihara oleh pamannya yang bernama Abu Talib, yang bersikap terus-menerus melindunginya, menolongnya, meninggikan kedudukannya, dan mengagungkannya serta membentenginya dari gangguan kaumnya sesudah Allah mengangkatnya menjadi seorang rasul dalam usia empat puluh tahun.
Perlu diketahui bahwa Abu Talib adalah pengikut agama kaumnya yang menyembah berhala-berhala, dan Nabi Saw. tidak terpengaruh, yang hal ini tiada lain berkat takdir Allah dan pengaturan-Nya yang baik. Dan ketika Abu Talib meninggal dunia sebelum Nabi Saw. akan melakukan hijrah dalam waktu yang tidak lama, maka orang-orang yang kurang akalnya dan orang-orang yang bodoh dari kalangan kaum Quraisy mulai berani mengganggunya.
Maka Allah Swt. memilihkan hijrah baginya dari kalangan mereka menuju negeri kaum Aus dan Khazraj, sebagaimana yang telah digariskan oleh suratan takdir-Nya yang lengkap lagi sempurna. Ketika beliau Saw. sampai di negeri mereka, mereka memberinya tempat, menolongnya, melindunginya, dan membelanya dengan jiwa dan harta mereka; semoga Allah melimpahkan rida-Nya kepada mereka semuanya. Dan semuanya itu berkat pemeliharaan dan penjagaan serta perhatian dari Allah kepada Nabi Saw.
Firman Allah Swt.:
{وَوَجَدَكَ ضَالا فَهَدَى}
Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. (Adh-Dhuha: 7)
Semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدى كَقَوْلِهِ: وَكَذلِكَ أَوْحَيْنا إِلَيْكَ رُوحاً مِنْ أَمْرِنا مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتابُ وَلَا الْإِيمانُ وَلكِنْ جَعَلْناهُ نُوراً نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشاءُ مِنْ عِبادِنا
Dan demikianlah Kami wahyukan kepada wahyu (Al-Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (Al-Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al-Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. (Asy-Syura: 52), hingga akhir ayat.
Di antara ulama ada yang mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah sesungguhnya Nabi Saw. pernah tersesat di lereng-lereng pegunungan Mekah saat ia masih kecil, kemudian ia dapat pulang kembali ke rumahnya. Menurut pendapat yang lain, sesungguhnya ia pernah tersesat bersama pamannya di tengah jalan menuju ke negeri Syam. Saat itu Nabi Saw. mengendarai unta betina di malam yang gelap, lalu datanglah iblis yang menyesatkannya dari jalur jalannya. Maka datanglah Malaikat Jibril yang langsung meniup iblis hingga terpental jauh sampai ke negeri Habsyah. Kemudian Jibril meluruskan kembali kendaraanNabi Saw. ke jalur yang dituju. Keduanya diriwayatkan oleh Al-Bagawi.
Firman Allah Swt.:
{وَوَجَدَكَ عَائِلا فَأَغْنَى}
Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. (Adh-Dhuha: 8)
Yakni pada mulanya kamu hidup dalam keadaan fakir lagi banyak anak, lalu Allah memberimu kecukupan dari selain-Nya. Dengan demikian, berarti Allah menghimpunkan baginya antara kedudukan orang fakir yang sabar dan orang kaya yang bersyukur, semoga salawat dan salam-Nya terlimpahkan kepadanya.
Qatadah telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. (Adh-Dhuha: 6-8) Bahwa demikianlah kedudukan Nabi Saw. sebelum beliau diangkat menjadi utusan oleh Allah Swt. Demikianlah menurut apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Hatim.
Di dalam kitah Sahihain disebutkan melalui jalur Abdur Razzaq, dari Ma’mar, dari Hammam ibnu Munabbih yang mengatakan bahwa berikut ini adalah apa yang telah diceritakan kepada kami oleh Abu Hurairah yang telah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Bukanlah orang kaya itu karena banyak memiliki harta benda, tetapi orang yang kaya itu adalah orang yang jiwanya kaya.
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Abdullah ibnu Amr yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
Sesungguhnya beruntunglah orang yang Islam dan diberi rezeki secukupnya serta Allah telah menjadikannya menerima seadanya menurut apa yang diberikan oleh-Nya (diberi sifat qana’ah).
Kemudian Allah Swt. dalam ayat selanjutnya berfirman:
{فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلا تَقْهَرْ}
Adapun terhadap anak yatim, maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. (Adh-Dhuha: 9)
Yakni sebagaimana engkau dahulu seorang yang yatim, lalu Allah melindungimu, maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang terhadap anak yatim. Yakni janganlah kamu menghina, membentak, dan merendahkannya; tetapi perlakukanlah dia dengan baik, dan kasihanilah dia. Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa jadilah engkau terhadap anak yatim sebagai seorang ayah yang penyayang.
{وَأَمَّا السَّائِلَ فَلا تَنْهَرْ}
Dan terhadap orang yang meminta-minta, maka janganlah kamu menghardiknya. (Adh-Dhuha: 10)
Yaitu sebagaimana engkau dahulu dalam keadaan kebingungan, lalu Allah memberimu petunjuk, maka janganlah kamu menghardik orang yang meminta ilmu yang benar kepadamu dengan permintaan yang sesungguhnya.
Ibnu Ishaq mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan terhadap orang yang minta-minta, maka janganlah kamu menghardiknya. (Adh-Dhuha: 10) Maksudnya, janganlah kamu bersikap sewenang-wenang, jangan sombong, jangan berkata kotor, dan jangan pula bersikap kasar terhadap orang-orang yang lemah dari hamba-hamba Allah.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa makna yang dimaksud ialah bila menolak orang miskin lakukanlah dengan sikap kasih sayang dan lemah lembut.
{وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ}
Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur). (Adh-Dhuha: 11)
Yakni sebagaimana engkau dahulu orang yang kekurangan lagi banyak tanggungannya,’lalu Allah menjadikanmu berkecukupan, maka syukurilah nikmat Allah yang diberikan kepadamu itu. Sebagaimana yang disebutkan dalam doa yang di-ma’sur dari Nabi Saw. seperti berikut:
Dan jadikanlah kami orang-orang yang mensyukuri nikmat-Mu dan memanjatkan pujian kepada-Mu karenanya serta menerimanya, dan sempurnakanlah nikmat itu kepada kami.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya’qub, telah menceritakan kepada kami Ibnu Aliyyah, telah menceritakan kepada kami Sa’id ibnu Iyas Al-Jariri, dari Abu Nadrah yang mengatakan bahwa dahulu orang-orang muslim memandang bahwa termasuk mensyukuri nikmat-mkmat Allah ialah dengan menyebut-nyebutnya (mensyukurinya dengan lisan).
Abdullah ibnu Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mansur ibnu Abu Muzahim, telah menceritakan kepada kami Al-Jarrah ibnu Falih, dari Abu Abdur Rahman, dari Asy-Sya’bi, dari An-Nifman ibnu Basyir yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda di atas mimbar: Barang siapa yang tidak mensyukuri nikmat yang sedikit, berarti tidak mensyukuri nikmat yang banyak. Dan barang siapa yang tidak berterima kasih kepada (jasa) orang lain, berarti dia tidak bersyukur kepada Allah. Dan menyebut-nyebut nikmat Allah adalah (ungkapan rasa) syukur, sedangkan meninggalkannya berarti mengingkarinya. Persatuan itu membawa rahmat dan berpecah belah itu membawa azab.
Sanad hadis ini daif.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan dari Anas, bahwa Kaum Muhajirin bertanya, “Wahai Rasulullah, orang-orang Ansar telah memborong semua pahala.” Maka Nabi Saw. menjawab:
Tidak, selama kalian mendoakan mereka kepada Allah dan memuji sikap baik mereka.
Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ar-Rabi’ ibnu Muslim, dari Muhammad ibnu Ziyad, dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Tidaklah bersyukur kepada Allah orang yang tidak berterima kasih kepada (kebaikan) orang lain.
Imam Turmuzi meriwayatkannya dari Ahmad ibnu Muhammad, dari Ibnul Mubarak, dari Ar-Rabi’ ibnu Muslim, dan Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini sahih.
Abu Daud mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Jarrah, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Al-A’masy, dari Abu Sufyan, dari Jabir, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Barang siapa yang mendapat suatu cobaan (yang baik), lalu ia menyebutnya, berarti dia telah mensyukurinya; dan barang siapa yang menyembunyikannya, berarti dia telah mengingkarinya.
Imam Abu Daud meriwayatkan hadis ini secara munfarid (tunggal).
Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Bisyr, telah menceritakan kepada kami Imarah ibnu Gaziyyah, telah menceritakan kepadaku seorang lelaki dari kalangan kaumku, dari Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang siapa yang diberi suatu pemberian, lalu ia mempunyai sesuatu untuk membalasnya, maka balaslah pemberian itu. Dan jika ia tidak mempunyai sesuatu untuk membalasnya, maka hendaklah ia memuji pemberinya. Maka barang siapa yang memuji pemberinya, berarti telah mensyukurinya; dan barang siapa yang menyembunyikannya (tidak menyebutnya), berarti dia telah mengingkarinya.
Abu Daud mengatakan bahwa dan Yahya ibnu Ayyub meriwayatkannya dari Imarah ibnu Gaziyyah, dari Syurahbil, dari Jabir; mereka tidak mau menyebut nama Syurahbil karena mereka tidak suka kepadanya. Abu Daud meriwayatkan hadis ini secara munfarid (tunggal).
Mujahid mengatakan bahwa nikmat yang dimaksud dalam ayat ini adalah kenabian yang telah diberikan oleh Allah Swt. kepada Nabi-Nya. Yakni syukurilah kenabian yang telah diberikan Tuhanmu kepadamu. Menurut riwayat yang lain, nikmat yang dimaksud adalah Al-Qur’an.
Lais telah meriwayatkan dari seorang lelaki, dari Al-Hasan ibnu Ali sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur). (Adh-Dhuha: 11) Yakni kebaikan apapun yang telah kamu kerjakan, maka ceritakanlah hal itu kepada saudara-saudaramu.
Muhammad ibnu Ishaq telah mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa apa yang telah diberikan oleh Allah kepadamu berupa nikmat, kemuliaan dan kenabian, hendaklah engkau menyebut-nyebutnya dan ceritakanlah kepada orang lain dan serulah (mereka) kepadanya. Muhammad ibnu Ishaq melanjutkan, bahwa lalu Rasulullah Saw. menceritakan karunia kenabian yang telah diterima olehnya itu kepada orang-orang yang telah beliau percayai dari kalangan keluarganya secara diam-diam. Lalu difardukanlah ibadah salat kepadanya, maka beliau mengerjakannya.
Demikianlah akhir tafsir surat Adh-Dhuha: dengan memanjatkan puji dan syukur kepada Allah Swt. atas segala karunia-Nya.