Al-Baqarah, ayat 187

Al-Baqarah, ayat 187

{أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ (187) }

Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian; mereka itu adalah pakaian bagi kalian, dan kalian pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kalian tidak dapat menahan nafsu kalian, karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi maaf kepada kalian. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian, dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam, (tetapi) janganlah kalian campuri mereka itu, sedang kalian ber-i’tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kalian mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.

Hal ini merupakan suatu keringanan dari Allah buat kaum muslim, dan Allah menghapuskan apa yang berlaku di masa permulaan Islam. Karena sesungguhnya pada permulaan Islam, apabila salah seorang di antara mereka berbuka, ia hanya dihalalkan makan dan minum serta bersetubuh sampai salat Isya saja. Tetapi bila ia tidur sebelum itu atau telah salat Isya, maka diharamkan baginya makan, minum, dan bersetubuh sampai malam berikutnya. Maka dengan peraturan ini mereka mengalami masyaqat yang besar.

Ar-Rafas, dalam ayat ini artinya bersetubuh. Demikianlah menurut Ibnu Abbas, Ata, Mujahid, Sa’id ibnu Jubair, Tawus, Salim ibnu Abdullah, Amr ibnu Dinar, Al-Hasan, Qatadah, Az-Zuhri, Ad-Dahhak, Ibrahim An-Nakha’i, As-Saddi, Ata Al-Khurrasani, dan Muqatil ibnu Hayyan.

*******

Firman Allah Swt.:

{هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ}

Mereka adalah pakaian bagi kalian, dan kalian pun adalah pakaian bagi mereka. (Al-Baqarah: 187)

Menurut Ibnu Abbas, Mujahid, Sa’id ibnu Jubair, Al-Hasan, Qatadah, As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan, makna yang dimaksud ialah ‘mereka adalah ketenangan bagi kalian, dan kalian pun adalah ketenangan bagi mereka’.

Menurut Ar-Rabi’ ibnu Anas, maksud ayat ialah ‘mereka adalah selimut bagi kalian dan kalian pun adalah selimut bagi mereka’.

Pada kesimpulannya suami dan istri, masing-masing dari keduanya bercampur dengan yang lain dan saling pegang serta tidur-meniduri, maka amatlah sesuai bila diringankan bagi mereka boleh bersetubuh dalam malam Ramadan, agar tidak memberatkan mereka dan menjadikan mereka berdosa. Seorang penyair mengatakan:

Bilamana teman tidur melipatkan lehernya, berarti dia mengajak, maka jadilah dia seperti pakaiannya.

Latar belakang turunnya ayat ini telah disebutkan di dalam hadis Mu’az yang panjang yang telah disebutkan sebelumnya. Abu Ishaq meriwayatkan dari Al-Barra ibnu Azib, tersebutlah sahabat Rasulullah Saw. bila seseorang dari mereka puasa, lalu ia tidur sebelum berbuka, maka ia tidak boleh makan sampai keesokan malamnya di waktu yang sama. Sesungguhnya Qais ibnu Sirman dari kalangan Ansar sedang melaksanakan puasa. Pada siang harinya ia bekerja di lahannya. Ketika waktu berbuka telah tiba, ia datang kepada istrinya dan mengatakan, “Apakah kamu mempunyai makanan?” Si istri menjawab, “Tidak, tetapi aku akan pergi dahulu untuk mencarikannya buatmu.” Ternyata Qais sangat lelah hingga ia tertidur. Ketika istrinya datang, si istri melihatnya telah tidur; maka ia berkata, “Alangkah kecewanya engkau, ternyata engkau tertidur.” Ketika keesokan harinya, tepat di siang hari Qais pingsan, lalu hal itu diceritakan kepada Nabi Saw. Kemudian turunlah ayat ini, yaitu: Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian, —sampai dengan firman-Nya— dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. (Al-Baqarah: 187) Maka mereka amat gembira dengan turunnya ayat ini.

Lafaz hadis Imam Bukhari dalam bab ini diketengahkan melalui Abu Ishaq, dari Al-Barra yang menceritakan bahwa ketika ayat puasa bulan Ramadan diturunkan, mereka tidak menggauli istri-istri mereka sepanjang bulan Ramadan, dan kaum laki-laki berkhianat terhadap dirinya sendiri. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Allah mengetahui bahwasanya kalian tidak dapat menahan nafsu kalian, karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi maaf kepada kalian. (Al-Baqarah: 187)

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa kaum muslim pada mulanya dalam bulan Ramadan bilamana mereka telah salat Isya, maka diharamkan atas mereka wanita dan makanan sampai dengan waktu yang semisal pada keesokan malamnya. Kemudian ada segolongan kaum muslim yang menggauli istri-istri mereka dan makan sesudah salat Isya dalam bulan Ramadan, di antaranya ialah Umar ibnul Khattab. Maka mereka mengadukan hal tersebut kepada Rasulullah Saw. Lalu Allah menurunkan firman-Nya: Allah mengetahui bahwasanya kalian tidak dapat menahan nafsu kalian, karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi maaf kepada kalian. Maka sekarang campurilah mereka. (Al-Baqarah: 187), hingga akhir ayat.

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Al-Aufi, dari Ibnu Abbas.

Musa ibnu Uqbah telah meriwayatkan dari Kuraib, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa sesungguhnya orang-orang itu sebelum diturunkan perintah puasa seperti apa yang telah diturunkan kepada mereka sekarang, mereka masih tetap boleh makan dan minum serta dihalalkan bagi mereka menggauli istri-istrinya. Tetapi apabila seseorang di antara mereka tidur, maka ia tidak boleh makan dan minum serta tidak boleh menyetubuhi istrinya hingga tiba saat berbuka pada keesokan malamnya. Kemudian sampailah suatu berita kepada kami bahwa Umar ibnul Khattab sesudah dia tidur dan wajib baginya melakukan puasa, maka ia (bangun) dan menyetubuhi istrinya. Kemudian ia datang menghadap Nabi Saw. dan berkata, “Aku mengadu kepada Allah dan juga kepadamu atas apa yang telah aku perbuat.” Nabi Saw. bertanya, “Apakah yang telah kamu lakukan?” Umar menjawab, “Sesungguhnya hawa nafsuku telah menggoda diriku, akhirnya aku menyetubuhi istriku sesudah aku tidur, sedangkan aku berkeinginan untuk puasa.” Maka mereka (para sahabat) menduga bahwa Nabi Saw. pasti menegurnya dan mengatakan kepadanya, “Tidaklah pantas kamu lakukan hal itu.” Maka turunlah firman-Nya yang mengatakan: Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian. (Al-Baqarah: 187)

Sa’id ibnu Abu Arubah meriwayatkan dari Qais ibnu Sa’d, dari Ata ibnu Abu Rabah, dari Abu Hurairah sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian —sampai dengan firman-Nya— kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam. (Al-Baqarah: 187) Bahwa kaum muslim sebelum ayat ini diturunkan, apabila mereka telah salat Isya, diharamkan atas mereka makan, minum, dan wanita hingga mereka berbuka lagi di malam berikutnya. Sesungguhnya Umar ibnul Khattab menyetubuhi istrinya sesudah salat Isya. Sedangkan Sirmah ibnu Qais Al-Ansari tertidur sesudah salat Magrib; dia belum makan apa pun, dan ia masih belum bangun kecuali setelah Rasulullah Saw. salat Isya; maka ia bangun, lalu makan dan minum. Kemudian pada pagi harinya ia datang kepada Rasulullah Saw. dan menceritakan hal tersebut kepadanya. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya berkenaan dengan peristiwa itu, yakni: Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian. (Al-Baqarah: 187) Yang dimaksud dengan rafas ialah bersetubuh dengan istri. mereka itu adalah pakaian bagi kalian, dan kalian pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kalian tidak dapat menahan nafsu kalian. (Al-Baqarah: 187) Yakni kalian menyetubuhi istri-istri kalian dan kalian makan serta minum sesudah Isya. karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi maaf kepada kalian. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian. (Al-Baqarah: 187) Maksudnya, campurilah istri-istri kalian dan ikutilah apa yang telah ditetapkan oleh Allah buat kalian, yakni memperoleh anak. dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam. (Al-Baqarah: 187) Maka hal ini merupakan keringanan dan rahmat dari Allah.

Hisyam meriwayatkan dari Husain ibnu Abdur Rahman, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila yang menceritakan bahwa sahabat Umar ibnul Khattab r.a. pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tadi malam menginginkan istriku sebagaimana layaknya seorang lelaki mengingini istrinya. Tetapi ia menjawab bahwa dirinya telah tidur sebelum itu, hanya aku menduga dia sedang sakit. Akhirnya aku setubuhi dia.” Maka berkenaan dengan Umar r.a. turunlah ayat berikut, yakni firman-Nya: Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian. (Al-Baqarah: 187)

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Syu’bah, dari Amr ibnu Murrah, dari Ibnu Abu Laila dengan lafaz yang sama.

Abu Ja’far ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Suwaid, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, dari Abu Luhai’ah, telah menceritakan kepadaku Musa ibnu Jubair maula Bani Salamah, bahwa ia pernah mendengar Abdullah ibnu Ka’b ibnu Malik menceritakan sebuah hadis kepadanya dari ayahnya, bahwa orang-orang dalam bulan Ramadan, bila seorang lelaki di antara mereka puasa dan pada petang harinya dia tertidur, maka diharamkan atasnya makan, minum, dan menggauli istri hingga saat berbuka pada besok malamnya. Di suatu malam Umar ibnul Khattab r.a. pulang ke rumahnya dari rumah Nabi Saw. yang saat itu begadang di rumah beliau. Lalu Umar menjumpai istrinya telah tidur, dan ia menginginkannya. Tetapi istrinya menjawab, “Aku telah tidur.” Maka Umar menjawab, “Kamu belum tidur,” lalu ia langsung menyetubuhinya. Ka’b ibnu Malik melakukan hal yang sama pula. Pada pagi harinya Umar berangkat ke rumah Nabi Saw. dan menceritakan hal tersebut kepadanya. Kemudian turunlah firman-Nya: Allah mengetahui bahwasanya kalian tidak dapat menahan nafsu kalian, karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi maaf kepada kalian. Maka sekarang campurilah mereka. (Al-Baqarah: 187), hingga akhir ayat.

Hal yang sama diriwayatkan pula dari Mujahid, Ata, Ikrimah, Qatadah, dan lain-lainnya dalam asbabun nuzul ayat ini. Yaitu berkenaan dengan perbuatan Umar ibnul Khattab dan orang-orang yang melakukan seperti apa yang diperbuatnya, juga berkenaan dengan Sirmah ibnu Qais. Maka diperbolehkanlah bersetubuh, makan, dan minum dalam semua malam Ramadan sebagai rahmat dan keringanan serta belas kasihan dari Allah.

*********

Firman Allah Swt.:

{وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ}

dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian. (Al-Baqarah: 187)

Menurut Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Anas, Syuraih Al-Qadi, Mujahid, Ikrimah, Sa’id ibnu Jubair, Ata, Ar-Rabi’ ibnu Anas, As-Saddi, Zaid ibnu Aslam, Al-Hakam ibnu Utbah, Muqatil ibnu Hayyan, Al-Hasan Al-Basri, Ad-Dahhak, Qatadah, dan lain-lainnya, makna yang dimaksud ialah anak.

Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian. (Al-Baqarah: 187) Makna yang dimaksud ialah jimak (persetubuhan).

Amr ibnu Malik Al-Bakri telah mengatakan dari Abul Jauza, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil ayat ini: dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian. (Al-Baqarah: 187) Makna yang dimaksud ialah lailatul qadar (malam yang penuh dengan kemuliaan). Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir.

Abdur Razzaq mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ma’mar, bahwa Qatadah pernah mengatakan, “Ikutilah oleh kalian keringanan yang telah ditetapkan oleh Allah buat kalian ini!” Yakni atas dasar bacaan ma ahallallahu lakum (bukan ma kataballahu lakum), artinya ‘apa yang telah dihalalkan oleh Allah buat kalian’.

Abdur Razzaq telah mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ibnu Uyaynah, dari Amr ibnu Dinar, dari Ata ibnu Abu Rabah yang pernah bercerita bahwa ia pernah berkata kepada Ibnu Abbas mengenai bacaan ayat ini, yakni firman-Nya: dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian. (Al-Baqarah: 187) Maka Ibnu Abbas menjawab, “Mana saja yang kamu sukai boleh, tetapi pilihlah olehmu bacaan yang pertama, (yakni kataba, bukan ahal-la).” Akan tetapi, Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa makna ayat lebih umum daripada hal tersebut.

************

Firman Allah Swt.:

{وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ}

dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam. (Al-Baqarah: 187)

Allah Swt. memperbolehkan pula makan dan minum di samping boleh menggauli istri dalam malam mana pun yang disukai oleh orang yang berpuasa, hingga tampak jelas baginya cahaya waktu subuh dari gelapnya malam hari. Hal ini diungkapkan di dalam ayat dengan istilah ‘benang putih’ yang berbeda dengan ‘benang hitam’, kemudian pengertian yang masih misteri ini diperjelas dengan firman-Nya:

{مِنَ الْفَجْرِ}

Yaitu fajar. (Al-Baqarah: 187)

Seperti yang disebutkan di dalam hadis riwayat Imam Abu Abdullah Al-Bukhari:

telah menceritakan kepadaku Ibnu Abu Maryam, telah menceritakan kepada kami Abu Gassan (yakni Muhammad ibnu Mutarrif), telah menceritakan kepada kami Abu Hazim, dari Sahl ibnu Sa’d yang mengatakan bahwa ketika ayat berikut ini diturunkan: Dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam. (Al-Baqarah: 187) Sedangkan kelanjutannya masih belum diturunkan, yaitu firman-Nya: Yaitu fajar. (Al-Baqarah: 187) Maka orang-orang apabila hendak berpuasa, seseorang dari mereka mengikatkan benang putih dan benang hitam pada kakinya; dia masih tetap makan dan minum hingga tampak jelas baginya kedua benang itu. Lalu Allah menurunkan firman-Nya: Yaitu fajar. (Al-Baqarah: 187) Maka mengertilah mereka bahwa yang dimaksud dengan istilah benang putih dan benang hitam ialah malam dan siang hari.

Imam Ahmad mengatakan,  telah menceritakan kepada kami Hisyam, telah menceritakan kepada kami Husain, dari Asy-Sya’bi, telah menceritakan kepadaku Addi ibnu Hatim yang mengatakan bahwa ketika ayat ini diturunkan, yakni firman-Nya: dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. (Al-Baqarah: 187) (Addi ibnu Hatim berkata), “Maka aku sengaja mencari dua buah tali, yang satu berwarna hitam, sedangkan yang lain berwama putih; lalu aku letakkan di bawah bantalku, dan aku tinggal melihat keduanya. Dan ketika tampak jelas di mataku perbedaan antara benang putih dan benang hitam, maka aku mulai imsak (menahan diri). Pada keesokan harinya aku datang menghadap Rasulullah Saw., lalu aku ceritakan kepadanya apa yang telah kulakukan itu, maka beliau bersabda: ‘Sesungguhnya bantalmu kalau demikian benar-benar lebar. Sesungguhnya yang dimaksud dengan demikian itu hanyalah terangnya siang hari dan gelapnya malam hari’.”

Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari berbagai jalur dari Addi.

Makna ‘sesungguhnya bantalmu kalau demikian benar-benar lebar’ ialah bantalmu memang lebar jika dapat memuat dua buah tali, yakni tali yang berwama hitam dan yang berwarna putih. Makna yang dimaksud dijelaskan oleh ayat berikutnya, bahwa sesungguhnya keduanya itu adalah terangnya siang hari dan gelapnya malam hari. Hal ini berarti bantal Addi sama lebarnya dengan ufuk timur dan ufuk barat. Demikianlah menurut apa yang tercatatkan di dalam riwayat Imam Bukhari, yakni ditafsirkan seperti ini.

Telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Abu Uwwanah, dari Husain, dari Sya’bi, dari Addi yang menceritakan bahwa dia mengambil tali yang berwarna putih dan tali yang berwarna hitam. Ketika sebagian dari malam hari telah berlalu, ia memandang ke arah kedua tali itu, tetapi dia masih belum dapat membedakannya. Ketika pagi harinya ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah meletakkan dua buah tali di bawah bantalku.” Maka Rasulullah Saw. menjawab: Sesungguhnya bantalmu (tengkukmu) benar-benar lebar kalau demikian, yakni jika tali putih dan tali hitam itu berada di bawah bantalmu. Menurut lafaz lainnya disebutkan: Sesungguhnya  kamu  ini  benar-benar  memiliki  tengkuk yang lebar.

Sebagian di antara mereka menafsirkannya dengan pengertian orang yang dungu; tetapi riwayat ini daif, melainkan pengertian yang benar ialah ‘apabila bantalnya lebar, maka berarti tengkuknya lebar pula (yakni bukan makna kinayah, melainkan makna menurut lahiriah)’.

Imam Bukhari menafsirkan pula melalui riwayat lainnya, yaitu:

telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Mutarrif, dari Asy-Sya’bi, dari Addi ibnu Hatim yang menceritakan: Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan benang putih dari benang hitam, apakah keduanya memang benang?” Rasulullah Saw. menjawab, “Sesungguhnya tengkukmu benar-benar lebar jika kamu memahami makna kedua benang itu.” Kemudian Nabi Saw. bersabda lagi, “Tidak, bahkan yang dimaksud ialah gelapnya malam hari dan terangnya siang hari.”

Ketetapan Allah Swt. yang membolehkan seseorang makan sampai fajar terbit menunjukkan sunat bersahur, karena sahur termasuk ke dalam bab rukhsah, dan mengamalkannya merupakan hal yang dianjurkan. Karena itulah di dalam sunnah Rasul Saw. terdapat anjuran bersahur.

Di dalam kitab Sahihain, dari Anas r.a. disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

Bersahurlah kalian, karena sesungguhnya di dalam sahur terkandung barakah.

Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Amr ibnul As r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

Sesungguhnya perbedaan antara puasa kita dan puasa Ahli Kitab ialah makan sahur.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Isa (yaitu Ibnut Tabba’), telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Zaid, dari ayahnya, dari Ata ibnu Yasar, dari Abu Sa’id yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sahur adalah makanan yang mengandung berkah, maka janganlah kalian melewatkannya, sekalipun seseorang di antara kalian hanya meminum seteguk air, karena sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat untuk orang-orang yang makan sahur.

Di dalam Bab “Anjuran Bersahur” banyak hadis yang menerangkannya, sehingga disebutkan bahwa sekalipun hanya dengan seteguk air, karena disamakan dengan orang-orang yang makan.

Mengakhirkan sahur sunat hukumnya, seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahihain:

dari Anas ibnu Malik, dari Zaid ibnu Sabit yang menceritakan, “Kami makan sahur bersama Rasulullah Saw., kemudian kami bangkit mengerjakan salat.” Anas bertanya kepada Zaid, “Berapa lamakah jarak antara azan (salat Subuh) dan sahur?” Zaid menjawab, “Kurang lebih sama dengan membaca lima puluh ayat.”

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai’ah, dari Salim ibnu Gailan, dari Sulaiman ibnu Abu Usman, dari Addi ibnu Hatim Al-Hamsi, dari Abu Zar yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Umatku masih tetap dalam keadaan baik selagi mereka menyegerakan berbuka (puasa) dan mengakhirkan makan sahur(nya).

Banyak hadis yang menjelaskan bahwa Rasulullah Saw. menamakan makan sahur ini dengan sebutan jamuan yang diberkati. Di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Nasai, dan Imam Ibnu Majah:

melalui riwayat Hammad ibnu Salamah, dari Asim ibnu Bahdalah, dari Zaid ibnu Hubaisy, dari Huzaifah yang menceritakan: Kami makan sahur bersama Rasulullah Saw., maka hari pun mulai pagi, hanya matahari belum terbit.

Hadis ini menurut Imam Nasai hanya ada pada Asim ibnu Abun Nujud, dan Imam Nasai menginterpretasikannya dengan pengertian dekat pagi hari. Perihalnya sama dengan pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:

فَإِذا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ

Apabila mereka mendekati akhir idahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik. (At-Talaq: 2)

Yakni masa idah mereka mendekati akhirnya, maka sebagai jalan keluarnya ialah adakalanya mereka dirujuki dengan baik atau dilepaskan dengan baik pula.

Apa yang dikatakan oleh Imam Nasai ini merupakan takwil makna hadis ini, dan takwil ini merupakan suatu pilihan yang terbaik karena mereka (para sahabat) terbukti melakukan sahur, sedangkan mereka belum yakin akan terbitnya fajar; hingga sebagian dari kalangan mereka ada yang menduga bahwa fajar telah terbit, dan sebagian yang lainnya belum dapat membuktikannya.

Sesungguhnya diriwayatkan dari sebagian besar ulama Salaf bahwa mereka membolehkan makan sahur hingga mendekati waktu fajar. Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Abu Bakar, Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Huzaifah, Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Zaid Ibnu Sabit. Sebagaimana telah diriwayatkan pula hal yang semisal dari sebagian besar golongan tabi’in, antara lain ialah Muhammad ibnu Ali ibnul Husain, Abu Mijlaz, Ibrahim An-Nakha’i, Abud Duha, dan Abu Wa’il serta lain-lainnya dari kalangan murid-murid Ibnu Mas’ud, Ata, Al-Hasan, Al-Hakim, Ibnu Uyaynah, Mujahid, Urwah ibnuz Zubair, dan Abusya’sa (yaitu Jabir dan ibnu Zaid). Pendapat ini didukung oleh Al-A’masy dan Jabir ibnu Rasyid. Sesungguhnya kami telah mencatat sanad-sanad itu di dalam Kitabus Siyam secara menyendiri.

Abu Ja’far ibnu Jarir meriwayatkan di dalam kitab tafsirnya dari sebagian di antara mereka, bahwa sesungguhnya imsak diwajibkan hanyalah mulai dari terbitnya (dekat terbitnya) matahari, sebagaimana diperbolehkan baginya berbuka setelah matahari tenggelam.

Menurut kami, pendapat ini tidaklah layak dikatakan oleh seseorang yang berilmu mendalam, karena hal ini bertentangan dengan makna firman-Nya: dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam. (Al-Baqarah: 187)

Telah disebutkan di dalam hadis Al-Qasjim, dari Siti Aisyah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

Jangan sampai azan (pertama) Bilal mencegah kalian dari sahur kalian, karena sesungguhnya dia menyerukan azannya di malam hari. Untuk itu makan dan minumlah kalian hingga kalian mendengar azan yang diserukan Ibnu Ummi Maktum, karena sesungguhnya dia tidak menyerukan azannya sebelum fajar (subuh) terbit.

Demikianlah menurut lafaz Imam Bukhari.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mu-sa ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Jabir, dari Qais ibnu Talq, dari ayahnya, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Fajar itu bukanlah sinar yang memanjang di ufuk, melainkan sinar merah yang melintang.

Sedangkan menurut lafaz Imam Abu Daud dan Imam At Tirmidzi  disebutkan:

Makan dan minumlah kalian, dan jangan sekali-kali kalian teperdaya oleh sinar yang naik (memanjang), maka makan dan minumlah kalian sebelum tampak cahaya merah yang melintang bagi kalian.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari seorang syekh dari kalangan Bani Qusyair; ia pernah mendengar Samurah ibnu Jundub menceritakan hadis berikut, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Jangan sekali-kali kalian teperdaya oleh seruan Bilal dan sinar putih ini, sebelum fajar menyingsing atau sinar merah tampak.

Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkannya pula melalui hadis Syu’bah dan lain-lainnya, dari Sawad ibnu Hanzalah, dari Samurah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

Jangan sekali-kali kalian berhenti dari sahur kalian karena azan Bilal dan jangan pula karena fajar yang memanjang, tetapi fajar itu ialah sinar yang melebar di ufuk timur.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya’qub ibnu Ibrahim ibnu Ulayyah, dari Abdullah ibnu Saudah Al-Qusyairi, dari ayahnya, dari Samurah ibnu Jundub yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Jangan sekali-kali kalian teperdaya oleh azan Bilal dan jangan pula oleh cahaya putih ini —seraya mengisyaratkan kepada sinar yang tampak memanjang— sebelum ia melebar.

Hadis diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya, dari Zuhair ibnu Harb, dari Ismail ibnu Ibrahim (yakni Ibnu Ulayyah) dengan lafaz yang semisal.

Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, dari Sulaiman At-Taimi, dari Abu Usman An-Nahdi, dari Ibnu Mas’ud yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda,  “Janganlah seseorang di antara kalian tercegah dari makan sahurnya karena azan yang dilakukan oleh Bilal —atau beliau Saw. bersabda, oleh seruan Bilal— karena sesungguhnya Bilal menyerukan azannya di malam hari (yakni hari masih malam) —atau beliau bersabda, untuk membangunkan orang-orang yang tidur di antara kalian dan untuk mengingatkan orang-orang yang salat (sunat malam hari) dari kalian—. Fajar itu bukanlah yang tampak seperti ini, melainkan fajar yang sesungguhnya ialah yang tampak seperti demikian.”

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir dari jalur yang lain melalui At-Taimi dengan lafaz yang sama.

Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnuz Zabarqan An-Nakha’i, telah menceritakan kepadaku Abu Usamah, dari Muhammad ibnu Abu Zi’b, dari Al-Haris ibnu Abdur Rahman, dari Muhammad ibnu Abdur Rahman ibnu Sauban yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Fajar itu ada dua macam, fajar yang bentuknya seperti ekor serigala tidak mengharamkan sesuatu pun. Sesungguhnya fajar yang benar adalah yang bentuknya melebar dan memenuhi ufuk (timur), maka fajar inilah yang membolehkan salat Subuh dan mengharamkan makanan.

Hadis ini berpredikat mursal lagi jayyid.

Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, dari Ata; ia pernah mendengar Ibnu Abbas mengatakan bahwa fajar itu ada dua, yaitu fajar yang bentuknya memanjang menyinari langit. Fajar ini tidak menandakan masuknya waktu subuh, tidak pula mengharamkan sesuatu pun. Tetapi fajar yang sebenarnya ialah yang cahayanya menyinari puncak bukit-bukit, fajar inilah yang mengharamkan minum (pertanda imsak yang sebenarnya).

Ata mengatakan, “Jika sinar fajar itu menerangi langit dalam bentuk memanjang (seperti tiang), fajar ini tidak mengharamkan minum bagi orang yang puasa, tidak memperbolehkan salat (Subuh) dan orang yang sedang haji belum habis waktunya karena fajar ini. Tetapi apabila cahayanya menyinari puncak bukit-bukit, maka haramlah minum bagi orang yang puasa dan habislah waktu haji.”

Asar ini sanadnya sahih sampai kepada Ibnu Abbas dan Ata, hal yang sama diriwayatkan pula oleh bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf.

Termasuk di antara hukum yang ditetapkan oleh Allah ialah fajar dijadikan-Nya sebagai akhir batas waktu boleh bersetubuh, makan, dan minum bagi orang yang hendak puasa. Dari hal ini tersimpul bahwa barang siapa yang berpagi hari dalam keadaan junub, hendaklah ia mandi dan melanjutkan puasanya tanpa ada dosa atasnya. Demikianlah menurut mazhab empat orang imam dan jumhur ulama Salaf dan Khalaf, karena berdasarkan apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim melalui hadis Aisyah dan Ummu Salamah r.a. yang keduanya menceritakan:

Rasulullah Saw. pernah berpagi hari dalam keadaan junub karena habis jima’ (bersetubuh) tanpa mengeluarkan air mani, kemudian beliau mandi dan puasa.

Di dalam hadis Ummu Salamah r.a. yang ada pada Imam Bukhari dan Imam Muslim disebutkan:

dan beliau Saw. tidak berbuka, tidak pula mengqadainya.

Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Siti Aisyah r.a. yang menceritakan hadis berikut:

Bahwa ada seorang lelaki bertanya, “Wahai Rasulullah, aku berada di waktu salat (Subuh) sedang diriku dalam keadaan junub. Bolehkah aku puasa?” Rasulullah Saw. menjawab, “Aku pun pernah berada dalam waktu salat (Subuh), sedangkan aku dalam keadaan junub, tetapi aku tetap puasa.” Lelaki itu berkata, “Tetapi engkau tidaklah seperti kami, wahai Rasulullah. Sesungguhnya Allah telah memberikan ampunan bagimu atas semua dosamu yang terdahulu dan yang kemudian.” Maka Rasulullah Saw. bersabda, “Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar berharap ingin menjadi orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian dan orang yang paling alim mengenai cara bertakwa.”

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad disebutkan:

telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, dari Ma’mar, dari Hammam, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda: Apabila diserukan untuk salat, yakni salat Subuh, sedangkan seseorang dari kalian dalam keadaan junub, maka janganlah dia melakukan puasa di hari itu.

Hadis ini ditinjau dari segi sanadnya berpredikat jayyid, tetapi dengan syarat Syaikhain, seperti yang Anda ketahui.

Hadis ini menurut apa yang ada di dalam kitab Sahihain dari Abu Hurairah, dari Al-Fadl ibnu Abbas, dari Nabi Saw. Di dalam kitab Sunan Nasai, dari Abu Hurairah, dari Usamah ibnu Zaid dan Al-Fadl ibnu Abbas, tetapi Imam Nasai tidak me-rafa’-kannya (tidak menghubungkannya kepada Nabi Saw.). Karena itu, ada sebagian ulama yang menilai daif’ hadis ini karena faktor tersebut (tidak marfu’). dan di antara mereka ada yang berpegang kepada hadis ini.

Pendapat yang mengatakan demikian ada yang meriwayatkannya dari Abu Hurairah, Salim, Ata, Hisyam ibnu Urwah, dan Al-Hasan Al-Basri.

Di antara mereka ada orang yang berpendapat membedakan antara orang yang berpagi hari dalam keadaan junub karena tertidur, maka tidak ada apa pun atas dirinya, berdasarkan kepada hadis Siti Aisyah dan Ummu Salamah. Tetapi jika dia dalam keadaan mukhtar (bebas memilih), maka tidak ada puasa atas dirinya, berdasarkan hadis Abu Hurairah; hal ini diriwayatkan pula dari Urwah, Tawus, dan Al-Hasan.

Ibnu Hazm menduga bahwa hadis Abu Hurairah dimansukh oleh ayat ini, tetapi pendapat ini pun jauh dari kebenaran karena pembuktian tarikh (penanggalannya) tidak ada, bahkan pembuktian tarikh memberikan pengertian kebalikannya.

We will be happy to hear your thoughts

Leave a reply

Amaliyah
Logo