Al-Hajj, ayat 32-33

Al-Hajj, ayat 32-33

{ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ (32) لَكُمْ فِيهَا مَنَافِعُ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى ثُمَّ مَحِلُّهَا إِلَى الْبَيْتِ الْعَتِيقِ (33) }

Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati. Bagi kalian pada binatang-binatang hadyu itu ada beberapa manfaat, sampai kepada waktu yang ditentukan, kemudian tempat wajib (serta akhir masa) menyembelihnya ialah setelah sampai ke Baitul ‘Atiq (Baitullah).

Allah Swt. berfirman bahwa demikianlah,

{وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ}

Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah. (Al-Hajj: 32)

Yakni perintah-perintah-Nya:

{فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ}

maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati. (Al-Hajj: 32) .

yang antara lain ialah mengagungkan hewan hadyu dan hewan kurban, seperti apa yang dikatakan oleh Al-Hakam dari Miqsam, dari Ibnu Abbas, bahwa mengagungkan hewan hadyu dan hewan kurban ialah dengan cara menggemukkannya dan mengurusnya dengan pengurusan yang baik.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu Ghayyas, dari Ibnu Abu Laila, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah. (Al-Hajj: 32) Yaitu menggemukkan hewan hadyu, mengurusnya dengan baik, dan membesarkannya.

Abu Umamah telah meriwayatkan dari Sahl, “Kami dahulu menggemukkan hewan-hewan kurban di Madinah, dan semua kaum muslim melakukan hal yang sama.” Asar diriwayatkan oleh Imam Bukhari.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

Darah (dari) hewan (kurban) yang berbulu kelabu lebih disukai oleh Allah daripada darah dua hewan kurban yang berbulu hitam. Hadis riwayat Imam Ahmad dan Imam Ibnu Majah.

Para ulama mengatakan bahwa ‘afra artinya ‘berbulu putih, tetapi tidak cerah, yakni kelabu.’ Hewan kurban yang berbulu kelabu ini lebih baik daripada hewan kurban yang berbulu lainnya, sekalipun hewan kurban yang berbulu lain sudah dinilai cukup; karena berdasarkan apa yang telah disebutkan di dalam kitab Sahih Bukhari melalui sahabat Anas r.a., bahwa Rasulullah Saw. berkurban dengan dua ekor domba yang berbulu putih berbelang hitam lagi bertanduk.

Diriwayatkan dari Abu Sa’id, bahwa Rasulullah Saw. berkurban dengan seekor domba yang bertanduk, yang pada matanya terdapat belang hitam, begitu pula pada bagian mulutnya dan semua kakinya. Hadis diriwayatkan oleh ahlus sunan dan dinilai sahih oleh Imam Turmuzi.

Di dalam kitab Sunan Ibnu Majah disebutkan sebuah hadis melalui Abu Rafi’, bahwa Rasulullah Saw. berkurban dengan dua ekor domba yang besar-besar lagi gemuk-gemuk, bertanduk, berbulu putih, berbelang hitam, yang kedua-duanya telah dikebiri. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah dari Jabir, bahwa Rasulullah Saw. berkurban dengan dua ekor domba yang bertanduk, berbulu putih berbelang hitam, yang kedua-duanya telah dikebiri. Menurut suatu pendapat, kedua domba tersebut buah pelirnya dihancurkan dan tidak dipotong. Hanya Allah-lah yang lebih mengetahui.

Diriwayatkan dari Ali r.a. yang telah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. memerintahkan kepada kami agar memeriksa dengan teliti kedua mata dan kedua telinga hewan kurban, dan kami tidak boleh menyembelih hewan kurban yang muqabalah, mudabarah, syarqa, dan kharqa.

Muqdbalah ialah hewan kurban yang bagian depan telinganya terpotong. Mudabarah ialah hewan kurban yang bagian belakang telinganya terpotong. Syarqa ialah hewan kurban yang telinganya terpotong secara memanjang. Demikianlah menurut penafsiran Imam Syafii dan Imam As-mu’i. Adapun kharqa ialah hewan kurban yang daun telinganya berlubang. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan ahlus sunan, dan dinilai sahih oleh Imam Turmuzi.

Mereka telah meriwayatkan pula melalui sahabat Ali r.a. yang mengatakan, “Rasulullah Saw. melarang kami mengurbankan hewan yang tanduk dan telinganya terpotong.” Sa’id ibnul Musayyab mengatakan bahwa kalau yang terpotong lebih dari separo, dinamakan ‘adb. Sebagian ahli lugah (bahasa) mengatakan, jika tanduk bagian atas terpotong dinamakan qasma; adapun ‘adb, maka yang terpotong adalah bagian bawahnya (yakni yang retak adalah bawahnya). Sedangkan kalau daun telinga ‘adb, artinya hewan yang daun telinganya sebagian terpotong.

Menurut pendapat Imam Syafii, berkurban dengan hewan-hewan tersebut dapat dinilai cukup, tetapi hukumnya makruh.

Imam Ahmad berpendapat bahwa mengurbankan hewan yang terpotong daun telinga dan tanduknya tidak boleh (tidak mencukupi), karena berdasarkan hadis di atas.

Imam Malik mengatakan, jika ada darah yang mengalir dari tanduk­nya yang terpotong, tidak cukup untuk dijadikan kurban. Tetapi jika tidak ada darah yang mengalir darinya, maka cukup untuk dijadikan kurban.

Diriwayatkan dari Al-Barra, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:

Ada empat macam hewan yang tidak boleh dipakai untuk kurban, yaitu: Hewan yang buta, yang jelas butanya; hewan yang sakit, yang jelas parah sakitnya; hewan yang pincang, yang jelas pincangnya; dan hewan yang patah tulang kakinya, tak dapat disembuhkan.

Hadis riwayat Imam Ahmad dan ahlus sunan, dinilai sahih oleh Imam Turmuzi.

Aib-aib ini mengurangi daging hewan yang bersangkutan, karena lemah dan tidak mampu mencukupi kebutuhan makannya, karena kambing-kambing yang sehat telah mendahuluinya merebut makanannya. Oleh sebab itu, hewan-hewan tersebut tidak boleh dijadikan kurban karena kurang mencukupi, menurut pendapat Imam Syafii dan imam-imam lainnya, sesuai dengan makna lahirilah hadis.

Pendapat kalangan mazhab Syafii berbeda pendapat sehubungan dengan ternak yang sakit ringan. Ada dua pendapat di kalangan mereka.

Abu Daud telah meriwayatkan melalui Atabah ibnu Abdus Sulami, bahwa Rasulullah Saw. melarang mengurbankan hewan yang kurus, hewan yang terpotong tanduk (telinganya), hewan yang buta matanya, hewan yang lemah, dan hewan yang pincang.

Aib atau cela yang telah disebutkan dalam hadis di atas menjadikan hewan tersebut tidak cukup untuk kurban. Tetapi jika aib atau cela tersebut terjadi sesudah hewan ditentukan untuk jadi kurban, maka tidak mengapa untuk dikurbankan. Hal ini menurut kalangan mazhab Syafii, berbeda dengan pendapat Imam Abu Hanifah.

Imam Ahmad telah meriwayatkan melalui Abu Sa’id yang telah menceritakan bahwa ia pernah membeli seekor domba untuk kurban, kemudian ada serigala yang menyerangnya dan sempat memakan sebagian dari pantatnya. Kemudian Abu Sa’id menanyakan hal tersebut kepada Nabi Saw. Maka Nabi Saw. bersabda: Kurbankanlah domba itu.

Karena itulah dalam hadis yang telah disebutkan di atas dikatakan bahwa Nabi Saw. memerintahkan kepada kami agar memeriksa mata dan telinga hewan yang hendak dikurbankan. Dengan kata lain, hendaknya hewan kurban itu harus gemuk, baik, dan berharga.

Seperti yang telah disebutkan di dalam riwayat Imam Ahmad dan Imam Abu Daud melalui Abdullah ibnu Umar yang mengatakan bahwa Umar pernah mendapat hadiah seekor unta yang terbaik (unggul) seharga tiga ratus dinar. Lalu Umar datang menghadap kepada Nabi Saw. dan bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya diberi hadiah seekor unta yang terbaik seharga tiga ratus dinar. Bolehkah saya menjualnya, lalu hasilnya saya belikan unta biasa buat kurban,” (dengan maksud agar dapat menghasilkan beberapa ekor unta). Rasulullah Saw. bersabda:

Jangan, sembelihlah unta terbaik itu sebagai kurbanmu.

Ad-Dahhak telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa al-budn (hewan kurban) termasuk syiar Allah.

Muhammad ibnu Abu Musa mengatakan bahwa wuquf di Arafah, Muzdalifah, melempar jumrah, mencukur rambut, dan berkurban termasuk syiar-syiar Allah.

Ibnu Umar mengatakan bahwa syiar Allah yang paling besar ialah Baitullah.

*******************

Firman Allah Swt.:

{لَكُمْ فِيهَا مَنَافِعُ}

Bagi kalian pada binatang-binatang hadyu itu ada beberapa manfaat. (Al-Hajj: 33)

Yakni pada hewan-hewan kurban itu terdapat beberapa manfaat bagi kalian dari air susunya, bulunya, kulitnya, dapat pula dijadikan sebagai sarana angkutan sampai waktu tertentu.

Miqsam telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Bagi kalian pada binatang-binatang hadyu itu ada beberapa manfaat sampai kepada waktu yang ditentukan. (Al-Hajj: 33) Yaitu hewan ternak yang tidak dikhususkan untuk kurban.

Mujahid telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Bagi kalian pada binatang-binatang hadyu itu ada beberapa manfaat sampai kepada waktu yang ditentukan. (Al-Hajj: 33) Maksudnya, dapat dinaiki, dapat diambil air susunya dan anaknya; tetapi apabila telah dinamakan budnah atau hadyu (yakni untuk kurban), maka semuanya itu tidak boleh lagi.

Hal yang sama telah dikatakan oleh Ata, Ad-Dahhak, Qatadah, Ata Al-Khurrasani, dan lain-lainnya.

Ulama lainnya mengatakan bahwa seseorang bahkan boleh memanfaatkannya sekalipun telah dinamakan hadyu jika memang diperlukan.

Seperti apa yang telah ditetapkan di dalam kitab Sahihain melalui sahabat Anas r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. melihat seorang lelaki sedang menggiring hewan budnah-nya. Maka beliau Saw. bersabda:

“Naikilah!” Lelaki itu menjawab, “Sesungguhnya ternak ini adalah untuk kurban.” Nabi Saw. bersabda, “Celakalah kamu, naikilah, ” untuk kedua atau ketiga kalinya.

Di dalam riwayat Imam Muslim disebutkan melalui Jabir r.a., dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda:

Naikilah dengan cara yang makruf bila kamu terpaksa harus menaikinya.

Syu’bah ibnu Zuhair telah meriwayatkan dari Abu Sabit Al-A’ma, dari Al-Mugirah ibnu Abul Hurr, dari Ali, bahwa ia pernah melihat seorang lelaki sedang menggiring hewan budnah (kurban)nya yang telah beranak. Maka Ali berkata, “Jangan kamu minum air susunya kecuali lebihan dari sisa anaknya. Apabila telah tiba Hari Raya Kurban, sembelihlah unta itu bersama anaknya juga.”

*******************

Firman Allah Swt.:

{ثُمَّ مَحِلُّهَا إِلَى الْبَيْتِ الْعَتِيقِ}

kemudian tempat wajib (serta akhir masa) menyembelihnya ialah setelah sampai ke Baitul ‘Atiq (Baitullah). (Al-Hajj: 33)

Yakni tempat tujuan terakhir dari hewan hadyu itu ialah Baitul ‘Atiq (Ka’bah). Sama dengan pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya:

{هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ}

sebagai hadyu yang dibawa sampai ke Ka’bah. (Al-Maidah:

Dan firman Allah Swt.:

{وَالْهَدْيَ مَعْكُوفًا أَنْ يَبْلُغَ مَحِلَّهُ}

dan menghalangi hewan kurban sampai ke tempat (penyem­belihan )nya. (Al-Fath: 25)

Dalam pembahasan yang lalu telah disebutkan makna Baitul ‘Atiq.

Ibnu Juraij telah mengatakan dari Ata bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan, “Setiap orang yang telah melakukan tawaf di Baitullah (tawaf ifadah) berarti dia telah ber-tahallul.” Allah Swt. telah berfirman:

{ثُمَّ مَحِلُّهَا إِلَى الْبَيْتِ الْعَتِيقِ}

kemudian tempat wajib (serta akhir masa) menyembelihnya ialah setelah sampai ke Baitul ‘Atiq (Baitullah). (Al-Hajj: 23)

We will be happy to hear your thoughts

Leave a reply

Amaliyah
Logo