Al-Maidah, ayat 1-2

Al-Maidah, ayat 1-2

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةُ الْأَنْعَامِ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ (1) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَائِدَ وَلَا آمِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنْ رَبِّهِمْ وَرِضْوَانًا وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (2)

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Diha­lalkan bagi kalian binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepada kalian. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kalian sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syiar-syiar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang hadya dan bi­natang-binatang galaid, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karu­nia dan keridaan dari Tuhannya; dan apabila kalian telah me­nyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan jangan se­kali-kali kebencian (kalian) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kalian dari Mesjidil Haram, mendorong ka­lian berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan to­long-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertak­walah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksaan-Nya.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Na’im ibnu Hammad, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Mu­barak, telah menceritakan kepada kami Mis’ar, telah menceritakan ke­padaku Ma’an dan Auf atau salah seorang dari keduanya, bahwa se­orang lelaki datang kepada Abdullah ibnu Mas’ud, lalu lelaki itu ber­kata, “Berwasiatlah kepadaku.” Maka Ibnu Mas’ud mengatakan, “Jika kamu mendengar firman Allah Swt. yang mengatakan: ‘Hai orang-orang yang beriman.’ Maka dengarkanlah baik-baik oleh telingamu, karena sesungguhnya hal itu adakalanya kebaikan yang dianjurkan atau keburukan yang di­larang.”

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Ibrahim Dahim, telah menceritakan kepada kami Al-Walid, telah menceritakan kepada kami Al-Auza’i, dari Az-Zuhri yang mengata­kan, “Apabila Allah Swt. berfirman: ‘Hai orang-orang yang beriman.’ Maka kerjakanlah oleh kalian, dan Nabi Saw. termasuk di antara sa­lah seorang dari mereka.”

Telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan, telah men­ceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ubaid, telah menceritakan kepada kami Al-A’masy, dari Khaisamah yang mengatakan bahwa semua ayat di dalam Al-Qur’an yang dimulai dengan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman. Maka ungkapan ini di dalam kitab Taurat berbunyi seperti berikut, “Hai orang-orang miskin.”

Mengenai apa yang diriwayatkan melalui Zaid ibnu Ismail As-Sa’ig Al-Bagdadi, telah menceritakan kepada kami Mu’awiyah (yakni Ibnu Hisyam), dari Isa ibnu Rasyid, dari Ali ibnu Bazimah, dari Ikri­mah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa di dalam Al-Qur’an tiada suatu ayat pun yang dimulai dengan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman. melainkan Ali adalah penghulunya, orang yang paling terhormat, dan pemimpinnya; karena para sahabat Nabi pernah ditegur oleh Al-Qur’an, kecuali Ali ibnu Abu Talib. Sesungguhnya dia tidak pernah ditegur dalam suatu ayat pun dari Al-Qur’an.

Maka asar ini berpredi­kat garib, lafaznya tidak dapat diterima, dan di dalam sanadnya ada hal yang masih perlu dipertimbangkan.

Sehubungan dengan asar ini Imam Bukhari mengatakan bahwa Isa ibnu Rasyid yang ada dalam sanadnya adalah orang yang tidak di­kenal dan hadisnya ditolak.

Menurut kami, dapat dikatakan pula bahwa Ali ibnu Bazimah se­kalipun orangnya dinilai siqah, tetapi dia adalah orang syi’ah yang ekstrem, dan hadisnya dalam masalah yang semisal dengan hal ini di­curigai, karena itu tidak dapat diterima.

Lafaz asar (yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas) yang mengata­kan, “Tidak ada seorang sahabat pun melainkan pernah ditegur oleh Al-Qur’an, kecuali Ali.” Sesungguhnya lafaz ini mengisyaratkan ke­pada pengertian suatu ayat yang memerintahkan bersedekah sebelum berbicara dengan Rasulullah Saw. Karena sesungguhnya banyak ula­ma yang bukan hanya seorang saja menyebutkan bahwa tidak ada se­orang sahabat pun yang tidak mengamalkannya kecuali Ali. Ayat yang dimaksud ialah firman-Nya:

{أَأَشْفَقْتُمْ أَنْ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَاتٍ فَإِذْ لَمْ تَفْعَلُوا وَتَابَ اللَّهُ}

Apakah kalian takut akan (menjadi miskin) karena kalian mem­berikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kalian tiada memperbuatnya, dan Allah telah memberi tobat ke­pada kalian. (Al-Mujadilah: 13), hingga akhir ayat.

Penilaian makna ayat ini sebagai teguran masih perlu dipertimbang­kan, mengingat ada suatu pendapat yang mengatakan bahwa perintah dalam ayat ini menunjukkan makna sunat, bukan wajib. Lagi pula hal tersebut telah di-mansukh sebelum mereka melakukannya, dan hal ini tidak ada seorang pun dari mereka yang berpendapat berbeda.

Ucapan asar yang mengatakan, “Bahwasanya Ali belum pernah ditegur oleh suatu ayat pun dari Al-Qur’an,” masih perlu dipertim­bangkan pula. Karena sesungguhnya ayat yang ada di dalam surat Al-Anfal yang mengandung makna teguran terhadap sikap menerima te­busan (tawanan Perang Badar) mencakup semua orang yang setuju dengan penerimaan tebusan. Dalam masalah ini tidak ada seorang sa­habat pun yang luput dari teguran ayat tersebut kecuali Umar ibnul Khattab r.a. Maka dari keterangan di atas dapat disimpulkan lemah­nya asar tersebut.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna. telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Saleh, telah men­jeritkan kepada kami Al-Lais. telah menceritakan kepadaku Yunus yang mengatakan, “Muhammad ibnu Muslim pernah menceritakan bahwa dia pernah membaca surat Rasulullah Saw. yang ditujukan ke­pada Amr ibnu Hazm (amil Najran). Surat tersebut disampaikan oleh Abu Bakar ibnu Hazm. Di dalamnya termaktub bahwa surat ini ada­lah penjelasan dari Allah dan Rasul-Nya: ‘Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu’ (Al-Maidah: 1). hingga beberapa ayat berikutnya sampai kepada firman-Nya: ‘sesungguhnya Allah amat cepat hisabnya’ (Al-Maidah: 4)”

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Abu Bakar ibnu Muhammad ibnu Amr ibnu Hazm, dari ayahnya yang mengatakan, “Inilah manuskrip surat Ra­sulullah Saw. yang ada pada kami. Surat ini ditujukan kepada Amr ibnu Hazm ketika ia diangkat menjadi amil ke negeri Yaman dengan tugas mengajari agama dan sunnah kepada penduduknya serta memu­ngut zakat mereka. Nabi Saw. menulis sebuah surat kepadanya yang berisikan perintah dan janji. Di dalam surat ini tertulis bahwa dengan menyebut asma Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, ini adalah perintah dari Allah dan Rasul-Nya, ‘Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu (Al-Maidah: 1). Yaitu perjanjian dari Muhammad Rasulullah Saw. kepada Amr ibnu Hazm, ketika beliau mengutusnya ke negeri Yaman sebagai amil. Na­bi Saw. memerintahkan kepadanya agar bertakwa kepada Allah dalam semua urusannya, karena sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang selalu berbuat kebaikan.”

***

Firman Allah Swt:

{أَوْفُوا بِالْعُقُودِ}

penuhilah aqad-aqad itu. (Al-Maidah: 1)

Ibnu Abbas dan Mujahid serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘uqud ialah perjanjian-perjanjian. Ibnu Jarir meriwayatkan akan adanya kesepakatan menge­nai makna ini. Ia mengatakan bahwa ‘uhud artinya apa yang biasa mereka cantumkan dalam perjanjian-perjanjian mereka menyangkut masalah hilf (perjanjian pakta pertahanan bersama) dan lain-lainnya.

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. (Al-Maidah: 1); Yaitu janji-janji itu menyangkut hal-hal yang dihalalkan oleh Allah dan hal-hal yang diharamkan-Nya serta hal-hal yang difardukan oleh-­Nya dan batasan-batasan (hukum-hukum) yang terkandung di dalam Al-Qur’an seluruhnya Dengan kata lain, janganlah kalian berbuat khianat dan janganlah kalian langgar hal tersebut

Kemudian Allah Swt. memperkuat hal tersebut dengan sanksi-sanksi yang keras melalui firman-Nya:

{وَالَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ} إِلَى قَوْلِهِ: {سُوءُ الدَّارِ}

Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan de­ngan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan su­paya dihubungkan. (Ar-Ra’d: 25) sampai dengan firman-Nya: tempat kediaman yang buruk (Jahannam). (Ar-Ra’d: 25)

Ad-Dahhak mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: penuhilah aqad-aqad itu. (Al-Maidah: 1); Bahwa yang dimaksud ialah hal-hal yang dihalalkan dan yang diha­ramkan oleh Allah, semua bentuk perjanjian yang diambil oleh Allah atas orang yang mengakui beriman kepada Nabi dan Al-Qur’an, yakni hendaklah mereka menunaikan fardu-fardu yang telah ditetapkan oleh Allah atas diri mereka, berupa perkara halal dan haram.

Zaid ibnu Aslam mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: penuhilah aqad-aqad itu. (Al-Maidah: 1); Menurutnya ada enam perkara, yaitu janji Allah, perjanjian pakta, transaksi syirkah, transaksi jual beli, akad nikah, dan janji sumpah.

Muhammad ibnu Ka’b mengatakan bahwa hal tersebut ada lima perkara, termasuk salah satunya ialah sumpah pakta di masa Jahiliah dan syarikat mufawadah.

Sebagian ulama menyimpulkan dalil dari ayat ini, bahwa tidak ada khiyar majelis dalam transaksi jual beli, yaitu firman-Nya: penuhilah aqad-aqad itu. (Al-Maidah: 1); Ia mengatakan bahwa makna ayat ini menunjukkan kuatnya suatu transaksi yang telah dinyatakan dan tidak ada khiyar majelis lagi. Demikianlah menurut mazhab Abu Hanifah dan Imam Malik. Tetapi Imam Syafii dan Imam Ahmad berpendapat berbeda, begitu pula jumhur ulama, Hujah mereka dalam masalah ini ialah sebuah hadis yang disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui Ibnu Umar yang menga­takan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:

Dua orang yang bertransaksi jual beli masih dalam khiyar selagi keduanya belum berpisah.

Menurut lafaz yang lain yang juga oleh Imam Bukhari:

Apabila dua orang lelaki terlibat dalam suatu transaksi jual beli, maka masing-masing pihak dari keduanya boleh khiyar, selagi keduanya belum berpisah.

Hal ini menunjukkan secara jelas adanya khiyar majelis seusai trans­aksi jual beli diadakan. Hal ini tidak bertentangan dengan ketetapan transaksi, bahkan khiyar majelis merupakan salah satu dari pendu­kung transaksi menurut syara’. Dengan menetapi khiyar majelis, ber­arti melakukan kesempurnaan bagi penunaian transaksi.

***

Firman Allah Swt.:

{أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةُ الأنْعَامِ}

Dihalalkan bagi kalian binatang ternak. (Al-Maidah: 1)

Yang dimaksud dengan binatang ternak ialah unta, sapi, dan kambing. Demikianlah menurut Abul Hasan dan Qatadah serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang. Ibnu Jarir mengatakan bahwa demikian pula menurut pengertian orang-orang Arab.

Ibnu Umar dan Ibnu Abbas serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang menyimpulkan dalil dari ayat ini akan bolehnya janin ternak bila dijumpai dalam keadaan mati dalam perut induknya yang disem­belih. Sehubungan dengan masalah ini terdapat sebuah hadis di dalam kitab-kitab sunnah yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Imam Turmuzi. dan Imam Ibnu Majah melalui jalur Mujalid, dari Abul Wa­dak Jubair ibnu Naufal. dari Abu Sa’id yang mengatakan:

Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, bila kami menyembelih unta, sapi. atau kambing yang di dalam perutnya terdapat janin, apa­kah kami harus membuangnya atau kami boleh memakannya?” Rasulullah Saw. menjawab, “Makanlah, jika kalian suka; karena sesungguhnya sembelihan janin itu mengikut kepada sembelihan induknya.”

Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan.

Imam Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yahya ibnu Faris, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Attab ibnu Ba-syir, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Abu Ziyad Al-Qaddah Al-Makki, dari Abuz Zubair, dari Jabir ibnu Abdullah, dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda: Sembelihan janin mengikut kepada sembelihan induknya.

Hadis diriwayatkan secara munfarid oleh Imam Abu Daud.

***

Firman Allah Swt.:

{إِلا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ}

kecuali yang akan dibacakan kepada kalian. (Al-Maidah: 1)

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa yang di­maksud dengan hal yang akan dibacakan ialah bangkai, darah, dan daging babi. Sedangkan menurut Qatadah, yang dimaksud adalah bangkai dan hewan yang disembelih tanpa menyebut asma Allah pa­danya. Menurut lahiriahnya —hanya Allah yang lebih mengetahui— hal yang dimaksud ialah apa yang disebutkan oleh firman-Nya:

{حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنزيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ}

Diharamkan bagi kalian (memakan) bangkai, darah, daging ba­bi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul yang jatuh, yang ditanduk, yang diterkam binatang buas, (Al-Maidah: 3)

Karena sesungguhnya sekalipun hal yang disebutkan termasuk bina­tang ternak, tetapi menjadi haram karena adanya faktor-faktor terse­but. Dalam ayat berikutnya disebutkan:

{إِلا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ}

kecuali yang sempat kalian menyembelihnya, dan (diharamkan bagi kalian) yang disembelih untuk berhala. (Al-Maidah: 3)

Binatang yang diharamkan antara lain hewan yang disembelih untuk berhala. Sesungguhnya hewan yang demikian diharamkan sama sekali dan tidak dapat ditanggulangi serta tidak ada jalan keluar untuk menghalalkannya. Karena itulah pada permulaan surat ini disebutkan:

{أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةُ الأنْعَامِ إِلا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ}

Dihalalkan bagi kalian binatang ternak, kecuali yang akan di­bacakan kepada kalian. (Al-Maidah: 1)

Yaitu kecuali apa yang akan dibacakan kepada kalian pengharaman­nya dalam keadaan tertentu.

***

Firman Allah Swt.:

{غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ}

(Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kalian sedang mengerjakan haji. (Al-Maidah: 1)

Menurut sebagian ulama, lafaz gaira dibaca nasab karena menjadi hal. Makna yang dimaksud dengan an’am ialah binatang ternak yang pada umumnya jinak, seperti unta, sapi, dan kambing. Juga binatang yang pada umumnya liar, seperti kijang, banteng, dan kuda zebra. Maka hal-hal tersebut di atas dikecualikan dari binatang ternak yang jinak, dan dikecualikan dari jenis yang liar ialah haram memburunya di saat sedang melakukan ihram.

Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud ialah Kami menghalalkan bagi kalian binatang ternak, kecuali apa yang dikecuali­kan darinya bagi orang yang mengharamkan berburu secara tetap, pa­dahal binatang tersebut hukumnya haram, karena ada firman Allah Swt yang mengatakan:

{فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ}

Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa memakannya de­ngan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nahl: 115)

Artinya, Kami halalkan memakan bangkai bagi orang yang dalam ke­adaan terpaksa memakannya, tetapi dengan syarat ia tidak dalam ke­adaan memberontak, juga tidak melampaui batas. Demikian pula ke­tentuan tersebut berlaku dalam ayat ini (surat Al-Maidah). Yakni se­bagaimana Kami halalkan binatang ternak dalam semua keadaan, ma­ka mereka diharamkan berburu dalam keadaan berihram. Sesungguhnya Allah telah memutuskan demikian, Dia Mahabijaksana dalam se­mua yang diperintahkan dan yang dilarang-Nya. Karena itulah dalam firman Selanjutnya disebutkan:

{إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ}

Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang di-kehendaki-Nya. (Al-Maidah: 1)

***

Selanjutnya Allah Swt. berfirman:

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ}

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian melanggar syiar-sy’iar Allah. (Al-Maidah: 2)

Ibnu Abbas mengatakan, yang dimaksud dengan syiar-syiar Allah ialah manasik haji. Menurut Mujahid, Safa dan Marwah, serta hadyu dan budna termasuk syiar-syiar Allah.

Menurut pendapat lain, yang dimaksud dengan syiar-syiar Allah ialah semua yang diharamkan oleh Allah. Dengan kata lain, janganlah kalian menghalalkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah Swt. Oleh karena itu, Allah Swt. berfirman:

{وَلا الشَّهْرَ الْحَرَامَ}

dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram. (Al-Maidah: 2)

Makna yang dimaksud ialah harus menghormatinya dan mengakui keagungannya, dan meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh Allah melakukannya di masa-masa itu —misalnya memulai peperangan—dan lebih dikuatkan lagi melakukan hal-hal yang diharamkan. Seperti pengertian yang terkandung di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:

{يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ}

Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan ha­ram. Katakanlah, “Berperang dalam bulan itu adalah dosa be­sar.” (Al-Baqarah: 217)

Allah Swt. telah berfirman:

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا

Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan. (At-Taubah: 36). hingga akhir ayat.

Di dalum kitab Sahih Bukhari disebutkan dari Abu Bakrah, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda dalam haji wada’:

Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana keadaannya di hari Allah menciptakan langit dan bumi; satu tahun adalah dua bilas bulan; empat bulan di antaranya adalah bulan haram (su­ci) tiga (di antaranya) berturut-turut, yaitu Zul Qa’dah, Zul Hijjah, dan Muharram serta Rajab Mudar jatuh di antara bulan Jumada dan bulan Sya’ban.

Hal ini menunjukkan berlangsungnya status haram bulan-bulan haram tersebut sampai dengan akhir waktu (hari kiamat), seperti yang di­katakan oleh mazhab sejumlah ulama Salaf.

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. sehu­bungan dengan makna firman-Nya: dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram. (Al-Maidah: 2); Janganlah kalian menghalalkan perang padanya.

Hal yang sama telah dikatakan oleh Muqatil ibnu Hayyan dan Abdul Karim ibnu Malik Al-Jazari, dipilih oleh Ibnu Jarir.

Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa hal tersebut telah di-mansukh, dan boleh memulai peperangan dalam bulan-bulan ha­ram. Mereka mengatakan demikian berpegang kepada firman Allah Swt. yang mengatakan:

{فَإِذَا انْسَلَخَ الأشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ}

Apabila sudah habis bulan-bulan haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kalian jumpai mereka. (At-Taubah: 5)

Makna yang dimaksud ialah empat bulan yang berlaku itu. Mereka mengatakan, tidak disebutkan adanya pengecualian antara bulan-bulan haram dan yang lainnya.

Imam Abu Ja’far meriwayatkan adanya kesepakatan perihal bah­wa Allah membolehkan memerangi orang-orang musyrik dalam bu­lan-bulan haram maupun bulan-bulan lainnya. Abu Ja’far mengatakan bahwa mereka sepakat pula seandainya orang musyrik mengalungkan serat-serat pepohonan tanah suci pada lehernya atau kedua lengannya, maka hal tersebut bukan merupakan keamanan baginya dari pembu­nuhan, jika dia tidak terikat dengan perjanjian perlindungan atau ke­amanan dari kaum muslim. Masalah ini memerlukan pembahasan yang lebih luas dan lebih panjang, tetapi tempatnya bukan pada kitab ini.

****

Firman Allah Swt:

{وَلا الْهَدْيَ وَلا الْقَلائِدَ}

jangan (mengganggu) binatang-binatang hadya dan binatang-bi­natang qolaid. (Al-Maidah: 2)

Maksudnya, janganlah kalian tidak ber-ihda (berkurban) untuk Baitul­lah, karena sesungguhnya hal tersebut mengandung makna meng­agungkan syiar-syiar Allah; jangan pula kalian tidak memberinya kalungan sebagai tanda yang membedakannya dari ternak lainnya, agar hal ini diketahui bahwa ternak tersebut akan dikurbankan untuk Kabah. Dengan demikian, maka orang-orang tidak berani mengganggu­nya. Sekaligus mendorong orang yang melihatnya untuk melakukan hal yang semisal; karena sesungguhnya barang siapa yang menyeru­kan kepada jalan petunjuk, maka baginya pahala yang semisal dengan pahala orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala me­reka barang sedikit pun.

Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati. (Al-Hajj: 32)

We will be happy to hear your thoughts

Leave a reply

Amaliyah
Logo