Al-Maidah, ayat 3

Al-Maidah, ayat 3

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (3)

Diharamkan bagi kalian (memakan) bangkai, darah, daging ba­bi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang di­terkam binatang buas, kecuali yang sempat kalian menyembelih­nya, dan (diharamkan bagi kalian) yang disembelih untuk berha­la. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agama kalian, sebab itu janganlah kalian takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian NikmatKu. dan telah Kuridai Islam itu jadi agama bagi kalian. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa. sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Allah Swt. memberitahukan kepada hamba-hamba-Nya melalui kali­mat berita ini yang di dalamnya terkandung larangan memakan bang­kai-bangkai yang diharamkan. Yaitu hewan yang mati dengan sendiri­nya tanpa melalui proses penyembelihan, juga tanpa melalui proses pemburuan. Hal ini tidak sekali-kali diharamkan, melainkan karena padanya terkandung mudarat (bahaya), mengingat darah pada hewan-hewan tersebut masih tersekap di dalam tubuhnya; hal ini berbahaya bagi agama dan tubuh. Untuk itulah maka Allah mengharamkannya.

Tetapi dikecualikan dari bangkai tersebut yaitu ikan, karena ikan tetap halal, baik mati karena disembelih ataupun karena penyebab lainnya.

Hal ini berdasarkan kepada apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Malik di dalam kitab Muwatta ‘-nya, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad di dalam kitab musnad masing-masing, Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, Imam Nasa’i, dan Imam Ibnu Majah di dalam kitab sunnah mereka, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban di dalam kitab sahih masing-masing, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. per­nah ditanya mengenai air laut. Maka beliau Saw. menjawab:

Laut itu airnya suci dan menyucikan lagi halal bangkainya.

Hal yang sama dikatakan terhadap belalang (yakni bangkainya), me­nurut hadis yang akan dikemukakan berikutnya.

****

Firman Allah Swt.:

{وَالدَّمُ}

dan darah. (Al-Maidah: 3)

Yang dimaksud dengan darah ialah darah yang dialirkan. Sama pe­ngertiannya dengan ayat lain, yaitu firman-Nya:

{أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا}

atau darah yang mengalir. (Al-An’am: 145)

Demikianlah menurut Ibnu Abbas dan Sa’id ibnu Jubair.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Kasir ibnu Syihab Al-Mizhaji, telah menceritakan kepada kami Mu­hammad ibnu Sa’id ibnu Sabiq, telah menceritakan kepada kami Amr (yakni Ibnu Qais), dari Sammak, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bah­wa ia pernah ditanya mengenai limpa. Maka ia menjawab, “Makanlah limpa itu oleh kalian.” Mereka berkata, ‘Tetapi limpa itu adalah da­rah?” Maka Ibnu Abbas menjawab, “Sesungguhnya yang diharamkan atas kalian itu hanyalah darah yang mengalir.”

Hal yang sama diriwayatkan oleh Hammad ibnu Salamah, dari Yahya ibnu Sa’id, dari Al-Qasim, dari Siti Aisyah yang mengatakan bahwa sesungguhnya darah yang dilarang itu hanyalah darah yang mengalir.

Abu Abdullah Muhammad ibnu Idris Asy-Syafii mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, dari ayahnya, dari Ibnu Umar secara marfu’ bahwa Ra­sulullah Saw. telah bersabda: Dihalalkan bagi kita dua jenis bangkai dan dua jenis darah. Adapun dua jenis bangkai yaitu ikan dan belalang, dan dua jenis darah yaitu hati dan limpa.

Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibnu Hambal, Ibnu Majah, Ad-Daruqutni, dan Imam Baihaqi melalui hadis Abdur Rah­man ibnu Zaid ibnu Aslam yang menurut Imam Baihaqi dinilai daif. Diriwayatkan oleh Ismail ibnu Abu Idris, dari Usamah, Abdullah dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, dari Ibnu Umar secara marfu’. Menurut kami, ketiga-tiganya daif tetapi sebagian dari mereka lebih baik daripada sebagian yang lain.

Sulaiman ibnu Bilal —salah seorang yang dinilai Sabat (kuat)— telah meriwayatkannya dari Zaid ibnu Aslam, dari Ibnu Umar secara mauauf hanya sampai pada Ibnu Umar menurut sebagian dari mereka. Menurut Abu Zar’ah Ar-Razi, yang mengatakan mauquf lebih sahih.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Hasan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdul Malik ibnu Abusy Syawarib, telah menceritakan kepada kami Basyir ibnu Syuraih, dari Abu Galib, dari Abu Umamah (yaitu Sada ibnu Ajlan) yang menceritakan, “Rasulullah Saw. pernah mengutusku kepada suatu kaum untuk menyeru mereka kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengajarkan kepada mereka syariat Islam. Lalu aku datang kepada mereka. Ketika kami sedang bertugas, tiba-tiba mereka datang membawa sepanci darah yang telah dimasak (manis), kemudian me­reka mengerumuninya dan menyantapnya. Mereka berkata, ‘Kemarilah hai Sada, makanlah bersama kami’.” Sada berkata, “Celakalah kalian, sesungguhnya aku datang kepa­da kalian dari seseorang (Nabi) yang mengharamkan makanan ini atas kalian, maka terimalah larangan darinya ini.” Mereka bertanya, “Apa­kah hal yang melarangnya?” Maka aku (Sada) membacakan kepada mereka ayat ini, yaitu firman-Nya: Diharamkan bagi kalian (memakan) bangkai dan darah. (Al-Maidah: 3), hingga akhir ayat.

Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkannya melalui hadis Ibnu Abusy Syawarib berikut sanadnya dengan lafaz yang semisal. Ia menambahkan sesudah konteks ini bahwa Sada melanjutkan kisah­nya, “Maka aku bangkit mengajak mereka untuk masuk Islam, tetapi mereka membangkang terhadapku, lalu aku berkata, ‘Celakalah kalian ini, berilah aku air minum, karena sesungguhnya aku sangat haus.’ Saat itu aku memakai jubah ‘abayah-ku. Mereka menjawab, ‘Kami ti­dak mau memberimu air minum dan kami akan biarkan kamu hingga mati kehausan.’ Maka aku menderita (karena kehausan), lalu aku tutupkan kain ‘abayah-ku ke kepalaku dan tidur di padang pasir di panas yang sangat terik. Dalam tidurku aku bermimpi kedatangan se­seorang yang datang membawa sebuah wadah dari kaca yang sangat indah dan belum pernah dilihat oleh manusia. Di dalam wadah itu ter­dapat minuman yang manusia belum pernah merasakan minuman yang selezat itu. Lalu orang tersebut menyuguhkan minuman itu ke­padaku dan aku langsung meminumnya. Setelah selesai minum, aku terbangun. Demi Allah, aku tidak merasa kehausan lagi dan tidak per­nah telanjang (tidak berpakaian) lagi sesudah mereguk minuman ter­sebut.”

Imam Hakim meriwayatkannya di dalam kitab Mustadrak-nya, dari Ali ibnu Hammad, dari Abdullah ibnu Ahmad ibnu Hambal, te­lah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Salamah ibnu Ayyasy Al-Amiri, telah menceritakan kepada kami Sadaqah ibnu Haram, dari Abu Galib, dari Abu Umamah, lalu ia menuturkan hadis yang semi­sal. Menurut riwayat ini ditambahkan sesudah kalimat “sesudah me­reguk minuman tersebut” hal berikut, yaitu: “Maka aku (Sada) men­dengar mereka mengatakan, ‘Orang yang datang kepada kalian ini da­ri kalangan orang hartawan kalian. Mengapa kalian tidak menyuguh­kan minuman susu dan air kepadanya?” Maka mereka menyuguhkan minuman air susu yang dicampur dengan air, dan aku katakan kepada mereka, ‘Aku tidak memerlukannya lagi. Sesungguhnya Allah telah memberiku makan dan minum.’ lalu aku perlihatkan kepada mereka perutku, hingga semuanya percaya bahwa aku telah kenyang.”

Alangkah baiknya apa yang didendangkan oleh Al-A’sya (se­orang penyair) dalam qasidah (syair)nya yang diriwayatkan oleh Ibnu Ishak, yaitu:

Hindarilah olehmu bangkai-bangkai itu, jangan sekali-kali kamu mendekatinya,

dan jangan sekali-kali kamu mengambil tulang yang tajam, lalu kamu menyedot darah (ternak yang hidup).

Dengan kata lain, janganlah kamu lakukan perbuatan Jahiliah. Demi­kian itu karena seseorang dari mereka bila merasa lapar, ia mengam­bil sesuatu yang tajam dari tulang dan lainnya, kemudian ia menyedot darah ternak untanya atau ternak dari jenis lainnya. Kemudian ia kumpulkan darah yang keluar dari ternak itu, lalu meminumnya. Ka­rena itulah Allah rnengharamkan darah atas umat ini. Kemudian Al-Asya’ mengatakan pula:

Dan tugu yang dipancangkan itu jangan sekali-kali kamu da­tangi,

dan janganlah kamu sembah berhala, tetapi sembahlah Allah dengan sebenar-benarnya.

*****

Firman Allah Swt,:

{وَلَحْمُ الْخِنزيرِ}

dan daging babi. (Al-Maidah: 3)

Yaitu baik yang jinak maupun yang liar. Pengertian lahm mencakup semua bagian tubuh babi, hingga lemaknya. Dalam hal ini tidak di­perlukan pemahaman yang ‘sok pintar’ dari kalangan mazhab Zahiri dalam kestatisan mereka menanggapi ayat ini dan pandangan mereka yang keliru dalam memahami makna firman-Nya:

{فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا}

—karena sesungguhnya semua itu kotor—atau binatang. (Al-An’am: 145)

Dalam konteks firman-Nya:

{إِلا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ}

kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi —karena sesungguhnya semuanya itu kotor— (Al-An’am: 145)

Mereka merujukkan damir yang ada pada lafaz fainnahu kepada lafaz khinzir dengan maksud agar mencakup semua bagian tubuhnya. Pada­hal pemahaman ini jauh dari kebenaran menurut penilaian lugah (ba­hasa), karena sesungguhnya damir itu tidak dapat dirujuk kecuali ke­pada mudaf, bukan mudafilaih.

Menurut pengertian lahiriah, kata ‘daging’ mempunyai pengertian yang mencakup semua anggota tubuh dalam terminologi bahasa, juga menurut pengertian tradisi yang berlaku.

Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Buraidah ibnul Khasib Al-Aslami r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. per­nah bersabda:

Barang siapa yang bermain nartsyir (karambol), maka seakan-akan mencelupkan tangannya ke dalam daging dan darah babi.

Dengan kata lain, bilamana peringatan ini hanya sekadar menyentuh, maka dapat dibayangkan kerasnya ancaman dan larangan bila mema­kan dan menyantapnya. Di dalam hadis ini terkandung makna yang menunjukkan mencakup pengertian daging terhadap semua anggota tubuh, termasuk lemak dan lain-lainnya.

Di dalam kitab Sahihain disebutkan bahwa Rasulullah Saw. per­nah bersabda:

Sesungguhnya Allah mengharamkan jual beli khamr. bangkai, daging babi, dan berhala. Maka diajukan pertanyaan, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah menu­rutmu tentang lemak bangkai? Karena sesungguhnya lemak bangkai dipakai sebagai dempul untuk melapisi perahu dan dijadikan sebagai minyak untuk kulit serta dipakai sebagai minyak lampu penerangan oleh orang-orang,” Rasulullah Saw. menjawab: Jangan, itu (tetap) haram.

Di dalam kitab Sahih Bukhari melalui hadis Abu Sufyan disebutkan bahwa Abu Sufyan mengatakan kepada Heraklius, Raja Romawi, “Beliau (Nabi Saw.) melarang kami memakan bangkai dan darah.”

****

Firman Allah Swt.:

{وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ}

(dan daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah. (Al-Maidah: 3)

Yaitu hewan yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah, hewan tersebut menjadi haram. Karena Allah Swt mengharuskan bila makhluk-Nya disembelih agar disebut asma-Nya Yang Mahaagung.

Oleh karena itu, manakala hal ini disimpangkan (diselewengkan) dan disebutkan pada hewan tersebut nama selain Allah ketika hendak me­nyembelihnya, misalnya nama berhala atau tagut atau wasan atau makhluk lainnya, maka sembelihan itu hukumnya haram menurut ke­sepakatan semua.

Para ulama hanya berselisih pendapat mengenai tidak membaca tasmiyah (Basmalah) dengan sengaja atau lupa, seperti yang akan di­terangkan nanti dalam tafsir surat Al-An’am.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Hasan As-Sanjani, telah menceritakan kepada kami Na’im ibnu Hammad, telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudail, dari Al-Walid ibnu Jami’, dari Abut Tufail yang mengatakan bahwa Nabi Adam diturunkan dalam keadaan diharamkan empat perkara, yaitu bangkai, darah, daging babi, dan hewan yang disembelih atas nama selain Allah. Sesungguhnya keempat perkara ini belum pernah di­halalkan sama sekali, dan masih tetap haram sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Ketika zaman kaum Bani Israil, Allah mengharam­kan atas mereka makanan yang baik-baik yang dahulunya dihalalkan bagi mereka, karena dosa-dosa mereka. Ketika Allah mengutus Nabi Isa ibnu Maryam a.s., ia mengembalikan kepada hukum pertama yang didatangkan oleh Nabi Adam, dan dihalalkan bagi mereka selain hal-hal tersebut, tetapi mereka mendustakannya dan mendurhakainya. Asar ini dinilai garib.

Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Yunus, telah menceritakan kepada kami Rib’i, dari Abdullah yang mengata­kan bahwa ia pernah mendengar Al-Jarud ibnu Abu Sabrah (kakek Abdullah) meriwayatkan asar berikut, bahwa dahulu ada seorang le­laki dari kalangan Bani Rabah yang dikenal dengan nama Ibnu Wail. Dia adalah seorang penyair, ia menantang Abul Farazdaq, melakukan suatu pertandingan di sebuah mata air yang ada di luar kota Kufah. Masing-masing dari kedua belah pihak menyembelih seratus ekor un­tanya jika telah sampai di mata air (siapa yang paling cepat di antara keduanya, dialah yang menang). Ketika ternak unta telah sampai di mata air tersebut, keduanya bersiap-siap dengan pedang masing-ma­sing dan mulai memegang leher ternaknya. Maka orang-orang berdatangan dengan mengendarai keledai dan begal dengan maksud ingin mendapat dagingnya. Sedangkan saat itu sahabat Ali berada di Kufah. Lalu sahabat Ali keluar dengan mengendarai hewan begal berwarna putih milik Rasulullah Saw., lalu ia berseru kepada orang-orang, “Hai manusia, janganlah kalian memakan dagingnya, karena sesungguhnya daging tersebut hasil sembelihan yang tidak disebutkan asma Allah padanya!”

Asar ini garib. Tetapi ada syahid yang membuktikan ke­sahihannya, yaitu sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud.

Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Harun ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Mas-‘adah, dari Auf, dari Abu Raihanah, dari Ibnu Abbas yang mengata­kan: Rasulullah Saw. melarang (memakan daging) dari pertandingan orang-orang Badui menyembelih ternak unta.

Kemudian Imam Abu Daud mengatakan bahwa Muhammad ibnu Ja’far (yaitu Gundar) me-mauquf-kan hadis ini pada Ibnu Abbas. Hadis diriwayatkan oleh Imam Abu Daud secara munfarid.

Imam Abu Daud mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Harun ibnu Zaid ibnu Abuz Zarqa, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Jarir ibnu Hazim, dari Az-Zubair ibnu Hurayyis yang mengatakan bahwa ia pernah mende­ngar Ikrimah mengatakan: Sesungguhnya Rasulullah Saw. melarang memakan makanan ha­sil pertandingan (menyembelih) yang dilakukan oleh orang-orang yang bertanding.

Kemudian Abu Daud mengatakan bahwa kebanyakan orang yang meriwayatkannya —selain Ibnu Jarir— tidak menyebutkan pada sanad­nya nama Ibnu Abbas. Hadis ini diriwayatkan secara munfarid pula.

****

Firman Allah Swt.:

{وَالْمُنْخَنِقَةُ}

dan hewan yang tercekik.(Al-Maidah: 3)

Yaitu hewan ternak yang mati tercekik, baik disengaja ataupun karena kecelakaan, misalnya tali pengikatnya mencekiknya karena ulahnya sendiri hingga ia mati; maka hewan ini haram dagingnya.

Makna lafaz {الْمَوْقُوذَةُ} mauquzah artinya hewan yang mati dipukuli dengan benda berat, tetapi tidak tajam. Menurut Ibnu Abbas dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang, mauauzah ialah hewan yang dipukuli de­ngan kayu hingga sekarat, lalu mati.

Qatadah mengatakan, orang-orang Jahiliah biasa memukuli he­wannya dengan tongkat sampai mati, lalu mereka memakannya.

Di dalam kitab sahih disebutkan bahwa Addi ibnu Hatim pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku membidik hewan bu­ruan dengan lembing dan mengenainya.” Rasulullah Saw. bersabda:

Apabila kamu melempar (buruan) dengan lembingmu, lalu menu­suknya, maka makanlah. Jika yang mengenainya adalah bagian sampingnya, sesungguhnya hewan buruan itu mati terpukul, ma­ka janganlah kamu memakannya.

Dalam hal ini dibedakan antara sasaran yang dikenai oleh anak panah dan tombak serta sejenisnya, yakni dengan bagian yang tajamnya, maka hukumnya halal. Sedangkan hewan yang dikenai oleh bagian sampingnya maka hewan itu dihukumi mati karena terpukul, sehingga tidak halal. Demikianlah yang disepakati di kalangan ulama fiqih.

Mereka berselisih pendapat dalam masalah bila hewan pemburu menabrak hewan buruannya, lalu hewan buruan itu mati karena tubuh hewan pemburu yang berat, tanpa melukainya. Ada dua pendapat me­ngenainya. Imam Syafii mempunyai dua pendapat sehubungan de­ngan masalah ini, yaitu:

Pertama, tidak halal. Perihalnya sama dengan masalah melempar buruan dengan anak panah dan yang mengenainya adalah bagian samping dari anak panah. Segi persamaannya adalah karena masing-masing hewan itu mati tanpa dilukai, dan penyebab matinya adalah terpukul.

Kedua, halal, mengingat ketentuan hukum yang membolehkan memakan hasil buruan anjing pemburu tidak memakai rincian. Hai ini menunjukkan boleh memakan hasil buruannya yang tidak dilukai (tetapi matinya karena tertabrak oleh anjing pemburu), karena hal ini termasuk ke dalam pengertian umum dari hukum tersebut.

Sehubungan dengan masalah ini kami membuat suatu pasal khu­sus seperti penjelasan berikut.

Sebuah pasal:

Para ulama berbeda pendapat sehubungan dengan masalah bila seseorang melepaskan anjing pemburunya untuk menge­jar hewan buruan, lalu hewan buruan tersebut mati karena tertabrak oleh anjing pemburu tanpa melukainya. Apakah hukum hewan buruan itu halal atau tidak? Ada dua pendapat untuk menjawabnya, seperti penjelasan berikut:

Pendapat pertama mengatakan bahwa hewan buruan tersebut halal karena termasuk ke dalam pengertian umum firman Allah Swt. yang mengatakan:

{فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ}

Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untuk kalian. (Al-Maidah: 4)

Termasuk pula ke dalam pengertian umum hadis yang diceritakan oleh Addi ibnu Hatim di atas.

Demikianlah pendapat yang diriwayatkan oleh murid-murid Imam Syafii. dari Imam Syafii, dan dinilai sahih oleh sebagian kalangan ulama muta-akhkhirin, antara lain seperti Imam Nawawi dan Imam Rafii.

Menurut kami. hal tersebut kurang jelas dari pendapat Imam Syafi’i rahimahullah di dalam kitab Al-Umm dan Al-Mukhtasar. Kare­na sesungguhnya dalam kedua kitab tersebut ia mengatakan hal yang mengandung dua makna. Kemudian ia mengemukakan alasannya ma­sing-masing, lalu murid-muridnya menginterpretasikannya dari kete­rangan tersebut Kemudian mereka mengatakan sehubungan dengan masalah ini ada dua pendapat darinya (Imam Syafii). Hanya saja pada pendapat yang mengatakan halal, Imam Syafii agak menonjolkan kecenderungannya; tetapi pada garis besarnya dia tidak menegaskan sa­lah satunya, tidak pula menjelaskan pendiriannya.

Pendapat yang mengatakan halal darinya dinukil oleh Ibnus Sabbagh, dari Abu Hanifah melalui riwayat Al-Hasan ibnu Ziyad, tetapi tidak disebutkan pendapat lainnya.

Abu Ja’far ibnu Jarir, dia meriwayatkannya di dalam kitab tafsir, dari Salman Al-Farisi dan Abu Hurairah, dan Sa’d ibnu Abu Waqqas serta Ibnu Umar. Tetapi riwayat ini gorib sekali, mengingat tidak di­temukan adanya keterangan yang menjelaskan hal tersebut yang ber­sumberkan dari mereka, melainkan hanya keluar dari ijtihad Imam Syafii sendiri.

Pendapat kedua mengatakan bahwa hewan tersebut tidak halal. Pen­dapat ini merupakan salah satu dari dua pendapat yang bersumber dari Imam Syafii rahimahullah Pendapat ini dipilih oleh Al-Muzanni, dan dari ulasan Ibnus Sabbag tampak jelas bahwa dia menguatkannya.

Abu Yusuf dan Muhammad meriwayatkannya dari Abu Hanifah. Pendapat ini merupakan pendapat yang terkenal dari Imam Ahmad ibnu Hambal dan lebih mendekati kepada kebenaran, karena lebih se­suai dengan kaidah-kaidah Usul serta lebih menyentuh pokok-pokok syariat.

Ibnus Sabbag mengemukakan dalil untuk pendapat ini dengan se­buah hadis yang diceritakan oleh Rafi’ ibnu Khadij, yaitu:

“Aku ber­tanya, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami akan bersua dengan musuh besok, sedangkan kami tidak mempunyai pisau. Bolehkah kami menyembelih dengan aasab (welat bambu)’?” Rasulullah Saw. menjawab: Apa saja yang dapat mengalirkan darah dan disebutkan asma Allah ketika menyembelihnya, maka makanlah sembelihan itu oleh kalian.

Hadis secara lengkapnya terdapat di dalam kitab Sahihain.

Hukum ini sekalipun dinyatakan karena penyebab yang khusus, tetapi hal yang dianggap ialah keumuman lafaznya menurut jumhur ulama usul dan ulama fiqih. Perihalnya sama dengan suatu pertanyaan yang pernah diajukan kepada Nabi Saw. mengenai al-bit’u, yaitu mi­numan nabiz yang terbuat dari madu.

Beliau Saw. menjawab melalui sabdanya:

Semua jenis minuman yang memabukkan hukumnya haram.

Maka adakah seorang ahli fiqih yang mengatakan bahwa lafaz ini hanya khusus berkaitan dengan minuman madu? Perihalnya sama saja ketika mereka bertanya kepada Nabi Saw. tentang suatu sembelihan. Beliau menjawab mereka dengan kata-kata yang mengandung makna umum yang membuat si penanya —juga yang lainnya— berpikir mencernanya, mengingat Nabi Saw. telah dianugerahi jawami’ul kalim.

Apabila hal ini telah jelas, maka binatang buruan yang ditabrak oleh anjing pemburu atau yang ditindihinya dengan berat badannya (hingga) mati bukan termasuk hewan yang dialirkan darahnya. Ka­rena itu, hewan buruan tersebut tidak halal. Demikianlah makna yang terkandung di dalam hadis ini.

Apabila dikatakan bahwa hadis yang dimaksud sama sekali bu­kan termasuk ke dalam bab ini, karena mereka menanyakan kepada Nabi Saw. tentang alat yang dipakai untuk menyembelih, dan mereka tidak menanyakan tentang sesuatu yang disembelih. Karena itulah di­kecualikan dari alat tersebut gigi dan kuku. Hal ini diungkapkan me­lalui sabdanya:

Tidak boleh memakai gigi dan kuku, aku akan menceritakan ke­pada kalian mengenainya. Adapun gigi berasal dari tulang, dan kuku adalah pisau orang-orang Habsyah.

Alat apa saja yang dapat mengalirkan darah dan disebutkan as­ma Allah padanya, maka makanlah oleh kalian sembelihan itu.

We will be happy to hear your thoughts

Leave a reply

Amaliyah
Logo