Al-Maidah, ayat 6

Al-Maidah, ayat 6

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (6)

Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak menger­jakan salat, maka basuhlah muka kalian dan tangan kalian sam­pai dengan siku, dan sapulah kepala kalian dan (basuh) kaki ka­lian sampai dengan kedua mata kaki; dan jika kalian junub, ma­ka mandilah; dan jika kalian sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempu­an, lalu kalian tidak memperoleh air, maka bertayamumlah de­ngan tanah yang baik (bersih); sapulah muka kalian dan tangan kalian dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kalian, tetapi Dia hendak membersihkan kalian dan menyempurnakan nikmat-Nya bagi kalian, supaya kalian bersyukur.

Kebanyakan ulama Salaf mengatakan sehubungan dengan firman-Nya:

{إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ}

Apabila kalian hendak mengerjakan salat. (Al-Maidah: 6)

Maksudnya, ketika kalian sedang dalam keadaan berhadas. Sedang­kan ulama lainnya mengatakan, apabila kalian bangun dari tidur hen­dak mengerjakan salat. Kedua makna tersebut berdekatan. Ulama lainnya lagi mengatakan bahwa bahkan makna yang dimaksud lebih umum daripada semua itu. Ayat ini memerintahkan berwudu di saat hendak mengerjakan salat; tetapi bagi orang yang berhadas hukumnya wajib, sedangkan bagi orang yang masih suci hukumnya sunat.

Barangkali ada yang mengatakan bahwa perintah berwudu untuk setiap salat hukumnya wajib pada masa permulaan Islam, kemudian di-mansukh.

Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan, telah menceritakan ke­pada kami Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Alqamah ibnu Marsad, dari Sulaiman ibnu Buraidah, dari ayah­nya yang menceritakan bahwa dahulu Nabi Saw. selalu wudu setiap hendak mengerjakan salat. Pada hari kemenangan atas kota Mekah, beliau melakukan wudu dan mengusap sepasang khuff-nya serta mela­kukan beberapa salat hanya dengan sekali wudu. Maka Umar berkata kepadanya, “Wahai Rasulullah, sesungguh­nya engkau telah melakukan suatu hal yang belum pernah engkau la­kukan sebelumnya.” Rasulullah Saw. menjawab: Sesungguhnya aku melakukannya dengan sengaja, hai Umar.

Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Ahlus Sunan melalui hadis Sufyan AS-Sauri, dari Alqamah ibnu Marsad. Sedang­kan di dalam kitab Sunan Ibnu Majah disebutkan dari Sufyan ibnu Muharib ibnu Disar sebagai ganti dari Alqamah ibnu Marsad, kedua-duanya dari Sulaiman ibnu Buraidah dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muham­mad ibnu Abbad ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Ziyad ibnu Abdullah ibnut Tufail Al-Buka-i, telah menceritakan kepada ka­mi Al-Fadl ibnul Mubasysyir yang mengatakan bahwa ia pernah me­lihat Jabir ibnu Abdullah melakukan beberapa kali salat (fardu) dengan sekali wudu. Apabila ia buang air kecil atau berhadas, maka barulah ia wudu lagi dan mengusap sepasang khuff-nya. dengan lebihan air wudunya. Maka aku (Al-Fadl ibnul Mubasysyir) bertanya, “Wahai Abu Ab­dullah, apakah sesuatu yang engkau lakukan ini berdasarkan pendapatmu sendiri?” Jabir ibnu Abdullah menjawab, ‘Tidak, bahkan aku pernah meli­hat Nabi Saw. melakukannya, dan sekarang aku melakukan seperti apa yang kulihat Rasulullah Saw. melakukannya.”

Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dari Ismail ibnu Taubah, dari Ziyad Al-Buka-i.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya’qub, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Ibnu Ishaq, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Yahya ibnu Hibban Al-Ansari, dari Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Umar. Muhammad ibnu Yahya ibnu Hibban Al-Ansari bertanya, “Bagaimanakah menurutmu tentang wudu yang dilakukan oleh Abdullah ibnu Umar pada setiap salatnya, baik dalam keadaan suci ataupun tidak, dari manakah sum­bernya?” Ubaidillah ibnu Abdullah menjawab bahwa Asma binti Zaid ibnul Khattab pernah menceritakan kepadanya bahwa Abdullah ibnu Hanzalah ibnul Gasil pernah menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah memerintahkan berwudu untuk setiap salat, baik dalam keada­an suci ataupun tidak. Ketika hal ini terasa berat olehnya, maka beliau Saw. memerintahkan bersiwak di saat akan mengerjakan salat dan menghapuskan kewajiban wudu lagi, kecuali karena berhadas. Tetapi Abdullah merasa dirinya mempunyai kekuatan untuk melakukan wudu setiap salat, dia selalu melakukannya hingga meninggal dunia.

Demikian pula yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dari Muhammad ibnu Auf Al-Himti, dari Ahmad ibnu Khalid Az-Zahabi,

Muhammad ibnu Ishaq, dari Muhammad ibnu Yahya ibnu Hibban dari Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Umar.

Kemudian Imam Abu Daud mengatakan bahwa Ibrahim ibnu Sa’d meriwayatkannya dari Muhammad ibnu Ishaq, lalu disebutkan bahwa Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Umar mengisahkan hadis yang sama seperti apa yang disebutkan pada riwayat Imam Ahmad di atas.

Walau bagaimanapun juga sanad hadis ini sahih, dan Ibnu Ishaq menerangkan di dalamnya bahwa dia telah menceritakan hadis ini berdasarkan pendengarannya dari Muhammad ibnu Yahya ibnu Hib­ban, sehingga lenyaplah kekhawatiran adanya pemalsuan.

Tetapi Al-Hafiz ibnu Asakir mengatakan bahwa Salamah ibnul Fadl dan Ali ibnu Mujahid meriwayatkannya dari Ibnu Ishaq, dari Muhammad ibnu Talhah ibnu Yazid ibnu Rukanah, dari Muhammad ibnu Yahya ibnu Hibban dengan lafaz yang sama.

Dalam perbuatan Ibnu Umar dan perbuatannya dalam melakukan wudu dengan baik untuk setiap salatnya secara terus-menerus terkan­dung pengertian yang menunjukkan sunatnya hal tersebut, seperti yang dikatakan oleh mazhab jumhur ulama.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Zakaria ibnu Yahya ibnu Abu Zaidah, telah menceritakan kepada kami Azhar, dari Ibnu Aun, dari Ibnu Sirin, bahwa para khalifah selalu mela­kukan wudu untuk setiap salat.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muham­mad ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja’far, telah menceritakan kepada kami Syu’bah; ia pernah men­dengar dari Mas’ud ibnu Ali Asy-Syaibani yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ikrimah mengatakan bahwa sahabat Ali r.a. se­lalu melakukan wudunya untuk setiap salat, lalu ia membaca firman-Nya; Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak menger­jakan salat. (Al-Maidah: 6), hingga akhir ayat.

Telah menceritakan kepada kami Ibnul Musanna, telah menceritakan kepadaku Wahb ibnu Jarir, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Abdul Malik ibnu Maisarah, dari An-Nizal ibnu Sabrah yang me­ngatakan bahwa ia pernah melihat sahabat Ali salat Lohor, lalu orang-orang (para makmum yang telah menyelesaikan salatnya bersama Ali r.a) duduk di Rahbah. Kemudian didatangkan air kepada Khalifah Ali. Maka Ali r.a. membasuh wajah dan kedua tangannya, kemudian mengusap kepala dan kedua kakinya (dengan air wudu itu). Lalu ia berkata, “Inilah cara wudu bagi orang yang tidak berhadas.”

Telah menceritakan kepadaku Ya’qub ibnu Ibrahim, telah mence­ritakan kepada kami Hasyim, dari Mugirah, dari Ibrahim, bahwa Kha­lifah Ali menakar makanan dari tempat penyimpanannya, lalu mela­kukan wudu dengan cara yang singkat, dan ia mengatakan, “Inilah ca­ra wudu orang yang tidak berhadas.”

Jalur-jalur periwayatan asar ini berpredikat jayyid dari sahabat Ali r.a., sebagian darinya menguatkan sebagian yang lain.

Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Addi, dari Humaid, dari Anas yang menceritakan bahwa Khalifah Umar ibnu Khattab pernah melakukan suatu wudu agak singkat, lalu ia mengata­kan, “Inilah cara wudu bagi orang yang tidak berhadas.” Sanad asar ini sahih.

Muhammad ibnu Sirin mengatakan bahwa dahulu para khalifah sering melakukan wudu untuk setiap salatnya.

Mengenai apa yang diriwayatkan oleh Abu Daud At-Tayalisi, da­ri Abu Hilal, dari Qatadah, dari Sa’id ibnul Musayyab yang mengata­kan bahwa melakukan wudu tanpa hadas merupakan perbuatan yang melampaui batas. Maka asar ini berpredikat garib dari Sa’id ibnul Musayyab. Kemudian asar ini dapat diinterpretasikan bahwa makna yang dimaksud ditujukan terhadap orang yang meyakininya sebagai hal yang wajib, barulah ia dikatakan sebagai orang yang melampaui batas. Mengenai pentasyrian sunat wudu untuk setiap kali salat, maka banyak sunnah yang menunjukkan hal tersebut.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ab­dur Rahman ibnu Mahdi, telah menceritakan kepada kami Sufyan, da­ri Amr ibnu Amir Al-Ansari; ia pernah mendengar Anas ibnu Malik mengatakan bahwa dahulu Nabi Saw. sering melakukan wudu pada setiap kali salatnya. Lalu Amr ibnu Amir Al-Ansari bertanya, “Bagai­mana dengan wudu kalian, apakah yang kalian (para sahabat) lakukan?” Anas ibnu Malik r.a. menjawab, “Kami (para sahabat) melaku­kan semua salat hanya dengan sekali wudu selagi kami tidak berha­das.”

Imam Bukhari meriwayatkannya —begitu pula Ahlus Sunan— melalui berbagai jalur dari Amr ibnu Amir dengan lafaz yang sama.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id Al-Bagdadi, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Man­sur, dari Harim, dari Abdur Rahman ibnu Ziyad Al-Afriqi, dari Abu Atif, dari Ibnu Umar yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Barang siapa yang melakukan wudu dalam keadaan suci, maka dicatatkan baginya sepuluh pahala kebaikan.

Ibnu Jarir meriwayatkannya pula melalui hadis Isa ibnu Yunus, dari Al-Afriqi, dari Abu Auf, dari Ibnu Umar, lalu ia menuturkan ha­dis ini yang di dalamnya terdapat suatu kisah.

Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Imam Ibnu Majah melalui hadis Al-Afriqi dengan sanad yang sama dan lafaz yang semisal. Imam Turmuzi mengatakan bahwa sanad hadis berpredikat daif.

Ibnu Jarir mengatakan, segolongan ulama menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan sebagai pemberitahuan dari Allah yang menyata­kan bahwa wudu tidaklah wajib kecuali bila hendak mengerjakan sa­lat saja; adapun pekerjaan-pekerjaan lainnya, tidak. Demikian itu ka­rena Rasulullah Saw. apabila berhadas, beliau menghentikan kerjanya secara keseluruhan sebelum berwudu lagi.

Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Mu’awiyah ibnu Hisyam, dari Sufyan, dari Jabir, dari Abdullah ibnu Abu Bakar ibnu Amr ibnu Hazm, dari Abdullah ibnu Alqamah ibnu Waqqas, dari ayahnya yang menceritakan bahwa da­hulu Rasulullah Saw. apabila sedang buang air kecil, lalu kami ajak bicara, beliau Saw. tidak mau berbicara dengan kami; dan bila kami ucapkan salam penghormatan kepadanya, beliau Saw. tidak mau men­jawabnya, hingga turunlah ayat rukhsah, yaitu firman-Nya yang me­ngatakan: Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak menger­jakan salat. (Al-Maidah: 6), hingga akhir ayat.

Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya dari Muhammad ibnu Muslim, da­ri Abu Kuraib dengan lafaz yang semisal dan sanad yang sama, tetapi hadis ini garib jiddan (aneh sekali). Jabir yang disebutkan di dalam sanadnya adalah Ibnu Zaid Al-Ju’fi, dinilai daif oleh mereka.

Imam Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Ismail, telah menceri­takan kepada kami Ayyub, dari Abdullah ibnu Abu Mulaikah, dari Abdullah ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw. baru saja keluar dari buang air (kakus), lalu disuguhkan kepadanya makanan dan mereka (para sahabat) menawarkan, “Maukah kami datangkan untukmu air untuk wudu?” Rasulullah Saw. menjawab melalui sabdanya: Sesungguhnya aku diperintahkan untuk wudu hanya bila aku hendak mengerjakan salat.

Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Turmuzi dari Ahmad ibnu Mani’, juga oleh Imam Nasai, dari Ziyad ibnu Ayyub, dari Ismail (yakni Ibnu Ulayyah) dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi me­ngatakan bahwa hadis ini hasan.

Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Sufyan ibnu Uyaynah, dari Amr ibnu Dinar, dari Sa’id ibnu Hu-wairis, dari Ibnu Abbas yang menceritakan, “Ketika kami berada di rumah Nabi Saw., Nabi Saw. memasuki kakus dan kembali lagi, lalu dihidangkan makanan untuknya, dan dikatakan, ‘Wahai Rasulullah, apakah engkau hendak wudu lebih dahulu?’ Rasulullah Saw. menja­wab melalui sabdanya: Aku bukan akan melakukan salat yang karenanya aku harus wudu.

****

Allah Swt.:

{فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ}

maka basuhlah muka kalian. (Al-Maidah: 6)

Segolongan ulama menjadikan ayat berikut ini, yaitu firman-Nya: apabila kalian hendak mengerjakan salat, maka basuhlah muka kalian. (Al-Maidah: 6); sebagai dalil bagi mereka yang menyatakan wajib berniat dalam wu­du. Karena penjabaran makna firman-Nya: Apabila kalian hendak mengerjakan salat, maka basuhlah muka kalian. (Al-Maidah: 6); Yakni demi hendak mengerjakan salat. Seperti pengertian dalam kata-kata orang-orang Arab, “Apabila kamu melihat amir, berdirilah” yak­ni untuk menghormatinya.

Di dalam kitab Sahihain disebutkan sebuah hadis yang mengata­kan:

Sesungguhnya semua amal perbuatan itu berdasarkan niat, dan sesungguhnya setiap orang akan memperoleh apa yang diniat­kannya.

Sebelum membasuh muka disunatkan menyebut asma Allah Swt. se­bagai permulaan wudunya, karena berdasarkan sebuah hadis yang di­riwayatkan melalui berbagai jalur yang jayyid dari sejumlah sahabat, dari Nabi Saw., bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:

Tidak ada wudu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah atasnya.

Disunatkan pula membasuh kedua telapak tangannya sebelum mema­sukkan keduanya ke dalam wadah. Hal ini lebih dikukuhkan lagi ke­sunatannya bila baru bangun dari tidur, karena berdasarkan sebuah hadis di dalam kitab Sahihain dari Abu Hurairah r.a yang mengata­kan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:

Apabila seseorang di antara kalian bangun dari tidur, janganlah ia memasukkan tangannya ke dalam wadah (air) sebelum mem­basuhnya sebanyak tiga kali. Karena sesungguhnya seseorang di antara kalian tidak mengetahui di manakah tangannya berada semalam.

Batas muka menurut ulama fiqih ialah dimulai dari tempat tumbuh­nya rambut —dalam hal ini tidak dianggap adanya kebotakan, tidak pula pitak (belang di kepala)— sampai dengan batas terakhir dari rambut janggut, menurut ukuran panjangnya.’ Dimulai dari telinga sampai dengan telinga lagi menurut ukuran lebarnya. Sehubungan dengan bagian terbelahnya rambut pada kedua sisi kening dan bagian tumbuhnya rambut yang lembut, apakah termasuk kepala atau muka —dan sehubungan dengan janggut yang panjangnya melebihi batas— ada dua pendapat.

Salah satu di antaranya mengatakan bahwa wajib meratakan air padanya karena bagian ini termasuk bagian muka. Diriwayatkan di dalam sebuah hadis bahwa Nabi Saw. melihat seorang lelaki yang menutupi rambut janggutnya, maka Nabi Saw. bersabda kepadanya:

Bukalah penutup itu, karena sesungguhnya janggut termasuk wa­jah.

Mujahid mengatakan bahwa janggut termasuk muka (wajah), tidak­kah kamu pernah mendengar perkataan orang Arab sehubungan de­ngan anak laki-laki remaja yang tumbuh janggutnya, mereka menga­takannya, ‘Telah tampak roman mukanya.”

Orang yang berwudu disunatkan menyela-nyelai rambut jang­gutnya jika tebal.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan ke­pada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Amir ibnu Hamzah, dari Syaqiq yang mengatakan bahwa ia pernah melihat Khalifah Usman berwudu, ternyata Khalifah Usman menyela-nyelai rambut janggutnya sebanyak tiga kali ketika membasuh muka­nya. Kemudian ia berkata: Aku pernah melihat Rasulullah Saw. melakukan apa yang baru kalian lihat aku melakukannya.

Imam Turmuzi dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui ha­dis Abdur Razzaq, dan Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih, dan dinilai hasan oleh Imam Bukhari.

Imam Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Taubah Ar-Rabi’ ibnu Nafi’, telah menceritakan kepada kami Abul Malih, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Zauran, dari Anas ibnu Malik, bahwa Rasulullah Saw. apabila hendak mela­kukan wudu terlebih dahulu mengambil air sepenuh telapak tangan­nya, kemudian beliau masukkan ke dalam dagunya, lalu menyela-nye­lai janggutnya dengan air itu. Dan bersabda: Beginilah cara yang diperintahkan oleh Tuhanku.

Hadis diriwayatkan secara munfarid oleh Imam Abu Daud.

Hadis ini diriwayatkan pula melalui jalur lain dari sahabat Anas. Imam Baihaqi mengatakan bahwa kami telah meriwayatkan sehu­bungan dengan masalah menyela-nyelai janggut sebuah hadis dari Ammar dan Siti Aisyah serta Ummu Salamah, dari Nabi Saw. Kemu­dian dari Ali dan lain-lainnya. Kami meriwayatkan pula sehubungan dengan rukhsah meninggalkannya dari Ibnu Umar dan Al-Hasan ibnu Ali. Kemudian dari An-Nakha’i dan segolongan dari kalangan tabi’in.

Di dalam berbagai kitab sahih disebutkan dari Nabi Saw. melalui berbagai jalur —juga dalam kitab-kitab lainnya— bahwa Nabi Saw. apabila hendak melakukan wudu terlebih dahulu berkumur dan ber-intinsyaq (membersihkan lubang hidungnya). Para ulama berselisih pendapat mengenai masalah ini, apakah keduanya wajib dalam wudu dan mandi, seperti yang dikatakan oleh mazhab Imam Ahmad ibnu Hambal, atau keduanya sunat seperti yang dikatakan oleh mazhab Syafii dan mazhab Maliki, karena berdasarkan kepada hadis yang di­riwayatkan oleh Ashabus Sunan dan dinilai sahih oleh Ibnu Khuzaimah, dari Rifa’ah ibnu Rafi’ Az-Zurqi, bahwa Nabi Saw. bersabda kepada orang yang melakukan salatnya tidak baik:

Berwudulah seperti apa yang diperintahkan oleh Allah kepada­mu!

Atau keduanya diwajibkan dalam mandi, tidak dalam wudu, seperti yang dikatakan oleh mazhab Abu Hanifah; atau yang diwajibkan ha­nya istinsyaq, bukan berkumur, seperti yang disebutkan dalam suatu riwayat dari Imam Ahmad, karena berdasarkan kepada sebuah hadis di dalam kitab Sahihain yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:

Barang siapa yang berwudu, maka hendaklah ia ber-istinsyaq.

Menurut riwayat yang lain disebutkan:

Apabila seseorang di antara kalian berwudu, maka hendaklah ia memasukkan air ke dalam kedua lubang hidungnya, kemudian ber-istinsar-lah.

Yang dimaksud dengan istinsar ialah menyedot air dengan hidung de­ngan sedotan yang kuat.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Salamah Al-Khuza’i, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Bilal, dari Zaid ibnu Aslam, dari Ata ibnu Yasar, dari Ibnu Abbas, bahwa ia melakukan wudu, lalu membasuh wajahnya, kemudian men­ciduk air dan menggunakannya untuk berkumur dan ber-istinsar. Lalu menciduk air lagi dan ia gunakan seperti ini, yakni menuangkannya pada telapak tangannya yang lain, kemudian ia gunakan untuk mem­basuh wajahnya. Setelah itu ia mengambil air lagi dan ia gunakan un­tuk membasuh tangan kanannya, lalu mengambil seciduk air lagi, kemudian ia gunakan untuk membasuh tangan kirinya. Sesudah itu ia mengusap kepalanya, lalu mengambil seciduk air, kemudian ia tuang­kan sedikit demi sedikit pada kaki kanannya hingga mencucinya ber­sih. Setelah itu ia mengambil seciduk air lagi, lalu ia gunakan untuk membasuh kaki kirinya. Sesudah itu ia mengatakan, “Beginilah cara wudu yang pernah kulihat Rasulullah Saw. melakukannya.”

Imam Bukhari meriwayatkannya dari Muhammad ibnu Abdur Rahim, dari Abu Salamah Mansur ibnu Salamah Al-Khuza’i dengan lafaz yang sama.

****

Firman Allah Swt.:

{وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ}

dan kedua tangan kalian sampai siku. (Al-Maidah: 6)

Yakni berikut sikunya. Perihalnya sama dengan makna yang ada da­lam firman-Nya:

{وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَالِكُمْ إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا}

dan jangan kalian makan harta mereka bersama harta kalian. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu adalah dosa besar. (An-Nisa: 2)

Al-Hafiz Ad-Daruqutni dan Abu Bakar Al-Baihaqi meriwayatkan me­lalui jalur Al-Qasim ibnu Muhammad, dari Abdullah ibnu Muham­mad ibnu Aqil, dari kakeknya, dari Jabir ibnu Abdullah yang mence­ritakan: Rasulullah Saw. apabila melakukan wudu, memutarkan (merata­kan) air ke sekitar kedua sikunya.

Akan tetapi, Al-Qasim yang disebut dalam sanad hadis ini hadisnya tidak dapat dipakai, dan kakeknya berpredikat daif.

Orang yang berwudu disunatkan membasuh kedua tangannya de­ngan memulainya dari lengan hingga kedua hastanya ikut terbasuh. Hal ini berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bu­khari dan Imam Muslim:

melalui hadis Na’im Al-Mujammar, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersab­da: Sesungguhnya umatku kelak dipanggil pada hari kiamat dalam keadaan bercahaya pada anggota-anggota wudunya karena be­kas air wudu (mereka). Karena itu, barang siapa di antara kali­an mampu memanjangkan cahayanya, hendaklah ia melakukan­nya.

Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan:

dari Qatadah, dari Khalaf ibnu Khalifah, dari Abu Malik Al-Asyja’i, dari Abu Hazim, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar orang yang dikasihinya (yakni Nabi Saw.) bersabda: Perhiasan orang mukmin kelak sampai sebatas yang dicapai oleh air wudunya.

****

Firman Allah Swt.:

{وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ}

dan sapulah kepala kalian. (Al-Maidah: 6)

Para ulama berselisih pendapat mengenai makna huruf ba dalam ayat ini, apakah lil ilsaq yang merupakan pendapat terkuat, atau lit tab’id; tetapi pendapat ini masih perlu dipertimbangkan, karena ada dua pen­dapat mengenainya. Tetapi ulama usul ada yang mengatakan bahwa makna ayat ini mujmal (global), maka untuk keterangannya merujuk kepada sunnah.

Di dalam kitab Sahihain disebutkan:

melalui jalur Malik, dari Amr ibnu Yahya Al-Mazini, dari ayahnya, bahwa seorang lelaki ber­tanya kepada Abdullah ibnu Zaid ibnu Asim, yaitu kakek Amr ibnu Yahya, salah seorang sahabat Nabi Saw,, “Apakah engkau dapat memperagakan kepadaku cara wudu Rasulullah Saw.?” Abdullah ibnu Zaid menjawab, “Ya.” Lalu ia meminta air wudu, kemudian ia menuangkan air kepada kedua tangannya, lalu ia membasuh kedua ta­ngannya sebanyak dua kali dan berkumur serta ber-istinsyaq se­banyak tiga kali. Sesudah itu ia membasuh wajahnya tiga kali, dan membasuh kedua tangannya sampai kedua sikunya dua kali. Selanjut­nya ia mengusap kepalanya dengan kedua telapak tangannya, yaitu dengan mengusapkan kedua telapak tangannya ke arah depan, kemu­dian ke arah belakang kepala, Ia memulai usapannya dari bagian depan kepalanya, lalu diusapkan ke arah belakang sampai batas teng­kuknya, kemudian mengembalikan kedua telapak tangannya ke arah semula, sesudah itu ia membasuh kedua kakinya.

Di dalam hadis Abdu Khair, dari Ali, mengenai gambaran wudu Rasulullah Saw. disebutkan hal yang semisal.

Imam Abu Daud meriwayatkan dari Mu’awiyah dan Al-Miqdad ibnu Ma’di Kariba mengenai gambaran wudu Rasulullah Saw. dengan keterangan yang semisal.

Di dalam hadis-hadis di atas terkandung dalil bagi orang yang berpendapat wajib menyempurnakan usapan hingga merata ke seluruh bagian kepala, seperti yang dikatakan oleh mazhab Imam Malik dan Imam Ahmad ibnu Hambal, terlebih lagi menurut pendapat orang yang menduga bahwa hadis-hadis ini merupakan keterangan dari apa yang disebutkan secara global di dalam Al-Qur’an.

Mazhab Hanafi berpendapat wajib mengusap seperempat bagian kepala, yaitu sampai dengan batas ubun-ubun. Sedangkan menurut pendapat mazhab kami (Imam Syafii), sesungguhnya yang diwajibkan dalam masalah mengusap kepala ini hanyalah sebatas apa yang dina­makan mengusap menurut terminologi bahasa. Hal ini tidak mempu­nyai batasan tertentu, bahkan seandainya seseorang mengusap sebagi­an dari rambut kepalanya, hal ini sudah mencukupi.

Tetapi kedua belah pihak berhujan dengan hadis Al-Mugirah ib­nu Syu’bah yang menceritakan,

“Nabi Saw. memisahkan diri, dan aku pun ikut memisahkan diri bersamanya. Setelah beliau Saw. selesai dari menunaikan hajarnya, beliau bersabda, ‘Apakah kamu membawa air?’ Maka aku memberikan kepadanya air untuk wudu, lalu beliau membasuh kedua telapak tangan dan wajahnya, kemudian bermaksud menyingsingkan lengan bajunya, tetapi lengan bajunya sempit, akhir­nya kedua tangannya dikeluarkannya dari bawah kain jubahnya dan baju jubahnya disampirkannya ke atas kedua sisi pundaknya. Lalu beliau membasuh kedua tangan dan mengusap ubun-ubunnya serta mengusap pula serban (yang dipakai)nya dan sepasang khuff-nya.”

Kelanjutan hadis ini disebutkan dengan panjang lebar di dalam kitab Sahih Muslim dan kitab-kitab hadis lainnya.

Para pengikut Imam Ahmad mengatakan kepada mereka bahwa sesungguhnya Nabi Saw. terbatas hanya mengusap pada ubun-ubun­nya, karena beliau menyempurnakan pengusapannya pada bagian ke­pala lainnya di atas kain serbannya. Kami sependapat dengan penger­tian ini dan memang demikianlah kejadiannya, seperti yang disebut oleh banyak hadis lain. Disebutkan bahwa beliau Saw. mengusap pada kain serbannya, juga pada sepasang khuff-nya. Pengertian inilah yang lebih utama, dan tiada dalil bagi kalian yang membolehkan mengusap hanya sebatas ubun-ubun atau sebagian dari kepala tanpa menyempurnakannya dengan mengusap pada bagian luar kain serban.

Kemudian mereka berselisih pendapat mengenai masalah sunat mengulang usapan kepala sampai tiga kali, seperti yang dikatakan oleh pendapat yang terkenal di kalangan mazhab Syafii. Akan tetapi, menurut mazhab Imam Ahmad ibnu Hambal dan para pengikutnya, yang disunatkan hanyalah sekali usapan saja. Sehubungan dengan masalah ini, ada dua pendapat di kalangan mereka.

Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma’mar, dari Az-Zuhri, dari Ata ibnu Yazid Al-Laisi, dari Hamran ibnu Aban yang mengatakan bahwa ia pernah melihat Usman ibnu Affan melakukan wudunya. Ia memulainya dengan menuangkan air pada kedua telapak tangannya, lalu membasuhnya sebanyak tiga kali, kemudian berkumur dan ber-intinsyaq. Setelah itu ia membasuh wajahnya sebanyak tiga kali, mem­basuh tangannya yang kanan sampai siku sebanyak tiga kali, dan membasuh tangan kiri dengan basuhan yang semisal. Setelah itu ia mengusap kepalanya, lalu membasuh kaki kanannya sebanyak tiga kali dan kaki kirinya sebanyak tiga kali pula, sama dengan ba­suhan yang pertama. Kemudian ia mengatakan bahwa ta telah melihat Rasulullah Saw. melakukan wudu seperti wudu yang diperagakannya. Sesudah itu Rasulullah Saw. bersabda: Barang siapa melakukan wudu seperti wuduku ini, lalu ia salat dua rakaat tanpa mengalami hadas pada keduanya, niscaya di­ampuni baginya semua dosanya yang terdahulu.

Hal yang sama disebutkannya pula melalui riwayat Abdu Khair, dari Ali r.a. dengan lafaz yang semisal.

We will be happy to hear your thoughts

Leave a reply

Amaliyah
Logo