Al-Mujadilah, ayat 2-4

Al-Mujadilah, ayat 2-4

{الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِمْ مَا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلا اللائِي وَلَدْنَهُمْ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَرًا مِنَ الْقَوْلِ وَزُورًا وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ (2) وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (3) فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ (4) }

Orang-orang yang men-zihar istrinya di antara kamu (menganggap istrinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah istri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Orang-orang yang men-zihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barang siapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul­Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sa’d ibnu Ibrahim dan Ya’qub. Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq, telah menceritakan kepadaku Ma’mar ibnu Abdullah ibnu Hanzalah, dari Yusuf ibnu Abdullah ibnu Salam, dari Khuwailah binti Sa’labah yang mengatakan, “Demi Allah, berkenaan dengan diriku dan Aus ibnus Samitlah Allah menurunkan permulaan surat Al-Mujadilah.” Khuwailah melanjutkan kisahnya, “Saat itu aku menjadi istrinya (Aus ibnus Samit), sedangkan dia seorang yang sudah lanjut usia dan perangainya menjadi buruk. Dan pada suatu hari ia masuk menemuiku, lalu aku mengajukan protes terhadapnya tentang sesuatu, maka dia marah. Akhirnya ia mengatakan, ‘Engkau bagiku seperti punggung ibuku.’ Setelah itu Aus ibnus Samit keluar dan duduk di tempat perkumpulan kaumnya selama sesaat, kemudian ia kembali masuk menemuiku. Tiba-tiba berahinya memuncak, dia menginginkan diriku. Maka aku berkata, ‘Jangan, demi Tuhan yang jiwa Khuwailah ini berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, jangan kamu bergaul denganku dulu setelah engkau mengucapkan kata-kata itu kepadaku sebelum Allah dan Rasul-Nya memutuskan hukum tentang masalah kita ini sesuai dengan hukum-Nya.’ Cegahanku tiada artinya baginya, dia memelukku dengan paksa. Maka aku membela diri agar lepas dari pelukannya, dan aku dapat mengalahkannya karena tenaganya telah melemah mengingat usianya yang telah lanjut. Kusingkirkan dia dari tubuhku, kemudian aku keluar dari rumah menuju ke tempat salah seorang tetangga wanitaku. Lalu aku meminjam pakaian darinya dan langsung keluar menuju ke tempat Rasulullah Saw. Setelah sampai di hadapan beliau Saw., aku duduk dan menceritakan kepada beliau apa yang telah kualami dengan suamiku, dan aku mengadu kepada beliau tentang perangainya yang buruk.” Rasulullah Saw. hanya menjawab, “Hai Khuwailah, anak pamanmu (suamimu) itu telah lanjut usia, maka bertakwalah kepada Allah terhadapnya.” Khuwailah melanjutkan kisahnya, “Demi Allah, belum lagi aku beranjak, maka turunlah ayat Al-Qur’an mengenai diriku, dan Rasulullah Saw. kelihatan seperti orang yang tertutup (tak sadarkan diri) sebagaimana biasanya bila wahyu sedang turun kepadanya. Setelah wahyu selesai, keadaan beliau kembali seperti semula, lalu bersabda kepadaku, ‘Hai Khuwailah, sesungguhnya Allah telah menurunkan wahyu-Nya berkenaan dengan masalahmu dan suamimu.’ Lalu Rasulullah Saw. membacakan kepadaku firman berikut: Sungguh, Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar percakapan antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Al-Mujadilah: 1) sampai dengan firman-Nya: dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih. (Al-Mujadilah: 4) Maka Rasulullah Saw. bersabda kepadaku, ‘Perintahkanlah kepada suamimu untuk memerdekakan seorang budak.’ Aku menjawab, ‘Wahai Rasulullah, dia tidak memiliki harta untuk memerdekakan budak.’ Rasulullah Saw. bersabda, ‘Maka hendaklah ia berpuasa selama dua bulan berturut-turut.’ Aku berkata, ‘Demi Allah, sesungguhnya dia benar-benar seorang yang sudah lanjut usianya, dia tidak kuat mengerjakan puasa.’ Rasulullah Saw. bersabda: ‘Maka hendaklah ia memberi makan enam puluh orang miskin sebanyak satu wasaq kurma.’ Aku berkata, ‘Demi Allah, ya Rasulullah, dia tidak memiliki makanan sebanyak itu.’ Maka Rasulullah Saw. bersabda, ‘Kami akan membantunya dengan satu faraq kurma.’ Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku pun akan membantunya dengan satu faraq kurma lainnya.’ Rasulullah Saw. bersabda, ‘Kamu benar dan berbuat baik. Sekarang pergilah, dan sedekahkanlah kurma ini sebagai kifarat suamimu, kemudian perintahkanlah kepada anak pamanmu itu (suamimu) agar berbuat baik’.” Khuwailah melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Nabi Saw. itu.

Imam Abu Daud meriwayatkan hadis ini di dalam Kitabut Thalaq, bagian dari kitab sunannya melalui dua jalur dari Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar dengan sanad yang sama. Dan di dalam lafaz Imam Abu Daud disebutkan Khuwailah binti Sa’labah. Disebut pula dengan nama Khuwailah binti Malik ibnu Sa’labah, tetapi adakalanya disingkat hingga menjadi Khuwailah; pada garis besarnya di antara pendapat-pendapat tersebut tidak ada pertentangan, karena satu sama lainnya berdekatan; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

Inilah pendapat yang benar sehubungan dengan latar belakang turunnya surat ini. Adapun mengenai hadis Salamah ibnu Sakhr, sama sekali tidak mengandung pengertian yang menunjukkan bahwa ia melatarbelakangi turunnya surat ini, melainkan suatu kasus yang semakna dengan apa yang diturunkan oleh Allah dalam surat ini, yaitu kifarat memerdekakan budak, atau puasa, atau memberi makan.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar, dari Muhammad ibnu Amr ibnu Ata, dari Sulaiman ibnu Yasar, dari Salamah ibnu Sakhr Al-Ansari yang mengatakan, “Aku adalah seorang lelaki yang dianugerahi kekuatan bersetubuh melebihi apa yang dipunyai oleh selainku. Manakala bulan Ramadan masuk, maka aku men-zihar istriku hingga lepas bulan Ramadan, karena takut bila di suatu malam aku tidak dapat menahan berahiku yang akibatnya persetubuhan terus berlanjut sampai siang harinya, sedangkan diriku tidak mampu menghentikannya. Di suatu malam ketika istriku sedang melayaniku, tiba-tiba bagian yang merangsang dari istriku terbuka, maka aku tidak dapat menguasai diriku lagi dan langsung menggaulinya. Pada pagi harinya aku menemui kaumku dan kuceritakan kepada mereka peristiwa yang kualami itu. Aku katakan kepada mereka, ‘Marilah kita bersama-sama menghadap kepada Nabi Saw., lalu aku akan menceritakan kepadanya perihalku itu.’ Mereka menjawab, ‘Tidak, demi Allah, kami tidak mau karena kami khawatir bila akan ada wahyu yang diturunkan berkenaan dengan kita, atau Rasulullah Saw. mengucapkan sesuatu menyangkut perihal kita yang berakibat akan membuat kita malu. Sebaiknya engkau sendirilah yang menghadap kepada beliau dan engkau lebih bebas untuk mengutarakannya.’ Maka aku pun pergi menghadap kepada Nabi Saw., lalu kuceritakan kepada beliau perihal diriku itu, dan beliau Saw. bersabda kepadaku, ‘Kamu benar melakukannya?’ Aku menjawab, ‘Ya, aku benar melakukannya.’ Beliau bertanya lagi, ‘Kamu benar melakukannya?’ Aku menjawab, ‘Ya, aku telah melakukannya.’ Beliau Saw. bertanya lagi, ‘Kamu benar melakukannya?’ Aku menjawab, ‘Ya, dan sekarang aku berserah diri kepada hukum Allah Swt. Sanksi apa pun yang harus kuterima, maka aku dengan rela menerimanya.’ Rasulullah Saw. bersabda: ‘Merdekakanlah seorang budak!’ Maka aku memukul bagian belakang leherku dengan tanganku seraya berkata, ‘Tidak, demi Tuhan yang mengutusmu dengan hak, aku tidak mempunyai apa pun selain istriku.’ Rasulullah Saw. bersabda: ‘Berpuasalah selama dua bulan berturut-turut!’ Aku menjawab, ‘Wahai Rasulullah, tiada lain apa yang telah menimpa diriku itu melainkan karena puasa.’ Rasulullah Saw. bersabda: ‘Maka bersedekahlah kamu!’ Aku menjawab, ‘Demi Tuhan yang telah mengutusmu dengan hak, sesungguhnya kami jalani malam hari kami tadi dalam keadaan lapar, karena kami tidak mempunyai makanan untuk makan malam kami.’ Rasulullah Saw. bersabda: ‘Pergilah kamu kepada amil zakat orang-orang Bani Zuraiq, dan katakanlah kepadanya bahwa hendaknya dia memberimu zakat. Lalu berikanlah sebagian darinya sebanyak satu wasaq kurma untuk makan enam puluh orang miskin, kemudian lebihannya adalah untukmu dan orang-orang yang berada dalam tanggunganmu.’ Aku pulang kepada kaumku dan kukatakan (kepada mereka), ‘Aku menjumpai kesempitan dan pendapat yang buruk pada kalian, dan kujumpai pada Rasulullah Saw. keluasan dan berkah. Sesungguhnya beliau telah memerintahkan kepadaku untuk mengambil zakat kalian, maka berikanlah zakat itu kepadaku.’ Maka mereka memberikan zakatnya kepadaku.”

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah, tetapi Imam Turmuzi meriwayatkannya dengan singkat dan ia menilainya hasan. Makna lahiriah konteks hadis ini menunjukkan bahwa peristiwa ini terjadi sesudah kisah Aus ibnus Samit dan istrinya (Khuwailah binti Sa’labah), sebagaimana yang tersimpulkan dari konteks hadis ini dan hadis yang sebelumnya setelah direnungkan secara mendalam.

Khasif telah meriwayatkan dari Mujahid dan Ibnu Abbas, bahwa lelaki yang mula-mula men-zihar istrinya adalah Aus ibnus Samit, saudara lelaki Ubadah ibnus Samit. Istrinya bernama Khuwailah binti Sa’labah ibnu Malik. Disebutkan bahwa setelah suaminya men-zihar-nya, ia merasa takut bila zihar itu merupakan suatu talak, lalu ia mendatangi Rasulullah Saw. dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Aus telah men-zihar-ku; dan sesungguhnya jika kami bercerai, niscaya binasalah kami. Sesungguhnya telah kugelarkan perutku untuknya, dan dengan setia aku menemaninya.” Khuwailah mengadukan hal tersebut seraya menangis, sedangkan wahyu masih belum ada yang menerangkan masalah tersebut. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Sungguh, Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. (Al-Mujadilah: 1) sampai dengan firman-Nya: dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih. (Al-Mujadilah: 4) Maka Rasulullah Saw. memanggil Aus ibnus Samit dan bersabda, “Mampukah kamu membeli seorang budak untuk kamu merdekakan?” Aus menjawab, “Tidak, demi Allah, ya Rasulullah, aku tidak mempunyai kemampuan untuk itu.” Maka Rasulullah Saw. menghimpun dana untuknya hingga cukup untuk membeli budak, lalu budak yang telah dibeli itu dimerdekakan oleh Rasulullah Saw. untuk kifarat Aus, setelah itu Aus kembali lagi kepada istrinya. Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.

Ibnu Abbas dan kebanyakan ulama berpendapat seperti apa yang telah kami kemukakan di atas; dan hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

*******************

Firman Allah Swt.:

{الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِمْ}

Orang-orang yang men-zihar istrinya di antara kamu. (Al-Mujadilah: 2)

Kata zihar berasal dari zahar, artinya punggung, Dahulu di masa Jahiliah apabila seseorang dari mereka men-zihar istrinya, ia mengatakan kepada istrinya, “Engkau menurutku sama dengan punggung ibuku,” yakni punggungnya sama dengan punggung ibunya. Kemudian menurut istilah syara’ kata zihar ini bisa saja diberlakukan terhadap anggota tubuh lainnya secara analogi (kias). Dahulu di masa Jahiliah zihar dianggap sebagai talak, kemudian Allah Swt. memberikan kemurahan bagi umat ini. Dia tidak menjadikannya sebagai talak, dan pelakunya hanya dikenai sanksi membayar kifarat, berbeda dengan apa yang berlaku di kalangan mereka di masa Jahiliah. Hal yang sama telah dikatakan oleh bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Musa, dari Abu Hamzah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa dahulu di masa Jahiliah apabila seorang lelaki berkata kepada istrinya, “Engkau menurutku sama dengan punggung ibuku,” maka istrinya itu haram baginya. Dan orang yang mula-mula men-zihar istrinya di masa Islam adalah Aus. Saat itu istrinya adalah anak perempuan pamannya yang dikenal dengan nama Khuwailah binti Sa’labah. Di suatu hari ia men-zihar istrinya, lalu ia menyesali perbuatannya, dan berkata, “Menurutku dirimu tiada lain telah haram dariku,” dan istrinya mengatakan hal yang sama. Akhirnya

Aus berkata kepada istrinya, “Pergilah kepada Rasulullah Saw.” Maka istri Aus datang menghadap kepada Rasulullah Saw. dan ia menjumpai di sisi Rasulullah Saw. terdapat sisir yang beliau gunakan untuk menyisiri rambutnya Maka Rasulullah Saw. bersabda, “Hai Khuwailah, Allah tidak memerintahkan sesuatu pun kepada kami sehubungan dengan kasusmu itu ” Lalu Allah menurunkan wahyu-Nya kepada Rasulullah Saw., dan Rasulullah Saw. bersabda, “Hai Khuwailah, bergembiralah!” Khuwailah menjawab, “Semoga kebaikan saja adanya.” Maka Rasulullah Saw. membacakan kepadanya firman Allah Swt. yang mengatakan: Sungguh, Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar percakapan antara kamu berdua. (Al-Mujadilah: 1) sampai dengan firman-Nya: Dan orang-orang yang men-zihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang telah mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. (Al-Mujadilah: 3) Khuwailah berkata, “Dari manakah kami mendapatkan budak? Demi Allah, dia tidak mempunyai seseorang selain diriku.” Allah Swt. berfirman: Barang siapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut. (Al-Mujadilah: 4) Khuwailah berkata, “Demi Allah, seandainya dia (suaminya) tidak minum sebanyak tiga kali seharinya, niscaya pandangannya hilang (kabur, karena kelaparan).” Allah Swt. berfirman: Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. (Al-Mujadilah: 4) Khuwailah berkata lagi, “Dari manakah kami mendapatkan makanan sebanyak itu, sedangkan makanan kami hanyalah satu kali seharinya?” Maka Rasulullah Saw. memerintahkan agar diambilkan kurma sebanyak setengah wasaq, yaitu tiga puluh sa’, karena satu wasaq sama dengan enam puluh sa’. Lalu beliau Saw. bersabda, “Hendaklah ia memberi enam puluh orang miskin (dengan kurma ini) setelah itu ia boleh rujuk kembali kepadamu.”

Sanad hadis ini dinilai baik lagi kuat, tetapi konteksnyagarib. Telah diriwayatkan pula hal yang semisal dari Abul Aliyah.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdur Rahman Al-Harawai, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Asim, dari Daud ibnu Abu Hindun, dari Abul Aliyah yang mengatakan bahwa Khaulah binti Dulaij adalah istri seorang lelaki dari kalangan Ansar yang matanya telah rabun, miskin, lagi buruk perangainya. Dan tersebutlah bahwa di masa Jahiliah dahulu apabila seorang lelaki hendak menceraikan istrinya, ia mengatakan kepadanya, “Engkau bagiku sama seperti punggung ibuku.” Tersebutlah pula bahwa Khaulah mempunyai seorang anak atau dua orang anak dari suaminya itu. Dan pada suatu hari Khaulah bertengkar dengan suaminya mengenai sesuatu, maka suaminya berkata kepadanya, “Engkau bagiku sama dengan punggung ibuku.”

Lalu Khaulah pergi dengan pakaian yang seadanya hingga masuk ke rumah Siti Aisyah r.a., saat itu Rasulullah Saw. sedang berada di rumahnya. Khaulah menjumpai Aisyah sedang membasuh sebagian dari kepala Rasulullah Saw., lalu Khaulah menghadap kepada beliau dengan ditemani anaknya dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya suamiku matanya sudah rabun, miskin, tidak punya apa-apa, lagi buruk perangainya. Dan sesungguhnya aku bertengkar dengannya tentang sesuatu, lalu dia marah dan mengatakan, ‘Engkau bagiku sama dengan punggung ibuku,’ sedangkan dia tidak bermaksud menceraikanku, dan aku mempunyai seorang atau dua orang anak darinya.” Rasulullah Saw. bersabda, “Sepanjang pengetahuanku, tiada lain kamu telah menjadi haram baginya.” Khaulah berkata, “Aku mengadukan perihalku kepada Allah semoga Dia menurunkan wahyu berkenaan dengan masalahku dan ayah dari anak perempuanku ini.”

Siti Aisyah berputar, lalu membasuh sisi lain dari kepala Rasulullah Saw. Maka Khaulah pun berputar mengikuti Aisyah, dan berkata lagi, “Wahai Rasulullah, suamiku sudah rabun matanya, miskin, lagi buruk perangainya; aku mempunyai seorang atau dua orang anak darinya, dan sesungguhnya aku bertengkar dengannya mengenai sesuatu hal hingga ia marah, lalu berkata, ‘Engkau bagiku sama dengan punggung ibuku,’ sedangkan dia tidak bermaksud menceraikanku.”

Khaulah binti Dulaij berkata, bahwa lalu Rasulullah Saw. mengangkat kepalanya memandang ke arahnya dan bersabda, “Menurut pengetahuanku engkau ini tiada lain telah haram baginya.” Khaulah berkata, “Aku mengadukan (halku ini) kepada Allah, semoga Dia menurunkan pemecahan masalahku dan ayah anak perempuanku ini.”

Abul Aliyah melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Siti Aisyah r.a. melihat roman muka Rasulullah Saw. berubah, maka ia segera berkata kepada Khaulah, “Mundurlah kamu, mundurlah kamu.” Maka Khaulah pun menjauh, dan Rasulullah Saw. ditinggalkan dalam keadaan kesendiriannya selama yang dikehendaki Allah Swt. Setelah wahyu selesai, beliau bertanya, “Hai Aisyah, ke manakah wanita tadi?” Maka Aisyah memanggil Khaulah. Setelah datang, Rasulullah Saw. bersabda kepadanya, “Sekarang pulanglah kamu dan kembalilah dengan membawa suamimu.”

Khaulah bergegas pergi, lalu datang lagi dengan membawa suaminya. Ketika Rasulullah Saw. melihat suaminya, ternyata keadaannya seperti yang digambarkan oleh istrinya, yaitu matanya sudah rabun, miskin, lagi buruk perangainya. Lalu Rasulullah Saw. bersabda, “Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang: ‘Sungguh, Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya.’ (Al-Mujadilah: 1) sampai dengan firman-Nya: ‘Dan orang-orang yang men-zihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan.’ (Al-Mujadilah: 3) Lalu Nabi Saw. bertanya, “Apakah kamu mempunyai budak untuk kamu merdekakan sebelum kamu kembali menggauli istrimu?” Suami Khaulah menjawab, “Tidak.” Rasulullah Saw. bertanya, “Kuatkah kamu puasa selama dua bulan berturut-turut?” Ia menjawab, “Demi Tuhan yang telah mengutusmu dengan hak, sesungguhnya aku jika tidak makan sebanyak dua atau tiga kali hampir saja penglihatanku lenyap.” Rasulullah Saw. bertanya, “Mampukah kamu memberi makan enam puluh orang miskin?” Ia menjawab, “Tidak, kecuali bila engkau membantuku.”

Abul Aliyah melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Rasulullah Saw. membantunya dan bersabda, “Berilah makan enam puluh orang miskin (dengan bantuanku ini).”

Abul Aliyah mengatakan bahwa Allah menghindarkan talak dan menjadikannya (kasus ini) sebagai zihar.

Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Ibnul Musanna, dari Abdul A’la, dari Daud yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar dari Abul Aliyah, kemudian disebutkan hal yang semisal, tetapi dengan kisah yang lebih ringkas dari pada konteks di atas.

Sa’id ibnu Jubair mengatakan bahwa dahulu ila dan zihar merupakan talak di masa Jahiliah, lalu Allah Swt. memberikan batas waktu bagi ila selama empat bulan, dan menetapkan kifarat bagi zihar. Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkan hal yang semisal.

Imam Malik telah menyimpulkan bahwa orang kafir tidak termasuk ke dalam pengertian ayat ini, karena ada firman-Nya yang menyebutkan, “Minkum, “yakni dari kalian. Khitab atau pembicaraan ditujukan hanya kepada kaum mukmin. Tetapi jumhur ulama menyanggahnya dan mengatakan bahwa hal seperti ini dikategorikan ke dalam pengertian prioritas terhadap mayoritas, sedangkan dalam makna ayat ini tidak ada pengertian yang menunjuk ke arah itu. Jumhur ulama dalam jawabannya terhadap Imam Malik mengambil dalil dari firman Allah Swt. yang menyebutkan: istri mereka. (Al-Mujadilah: 3) Bahwa budak perempuan tidak ada zihar terhadapnya, dan tidak termasuk ke dalam khitab ayat ini.

*******************

Dan firman Allah Swt. yang menyebutkan:

{مَا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلا اللائِي وَلَدْنَهُمْ}

padahal tiadalah istri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. (Al-Mujadilah: 2)

Yakni seorang wanita tidaklah menjadi seorang ibu bagi seorang lelaki yang mengatakan kepadanya, “Engkau bagiku seperti punggung ibuku, atau engkau mirip ibuku, atau engkau seperti ibuku,” sesungguhnya ibu lelaki yang bersangkutan hanyalah wanita yang melahirkannya. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya:

{وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَرًا مِنَ الْقَوْلِ وَزُورًا}

Dan sesungguhnya mereka benar-benar mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta. (Al-Mujadilah: 2)

Maksudnya, ucapan yang keji lagi batil.

{وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ}

Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (Al-Mujadilah: 2)

Yaitu terhadap apa yang telah kamu kerjakan di masa Jahiliah. Demikian pula halnya kata-kata yang keluar dari lisan tanpa disengaja karena terpeleset lidah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Daud, bahwa Rasulullah Saw. pernah mendengar seorang lelaki berkata kepada istrinya, “Hai saudaraku.” Maka Nabi Saw. bertanya, “Dia saudara perempuan­mu?” Ini merupakan protes, tetapi kata-kata tersebut tidak menjadikan istrinya sebagai saudara perempuannya hanya dengan kata-kata itu, mengingat dia mengucapkan kata-katanya itu tanpa sengaja. Dan seandainya dia mengeluarkan kata-katanya itu dengan sengaja, niscaya istrinya itu haram baginya, karena sesungguhnya menurut pendapat yang sahih tidak ada bedanya antara ibu dan wanita lainnya dari kalangan para mahram seperti saudara perempuan, bibi dan ayah, dan bibi dari ibu, dan lain sebagainya yang serupa.

*******************

Firman Allah Swt.:

{وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا}

Dan orang-orang yang men-zihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan. (Al-Mujadilah: 3)

Ulama Salaf dan para imam berbeda pendapat mengenai makna yang dimaksud oleh firman-Nya: kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan. (Al-Mujadilah: 3) Sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘kembali’ ialah kembali mengulangi kata-kata zihar-nya, tetapi pendapat ini batil. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Hazm dan pendapat Daud yang diriwayatkan oleh Abu Umar ibnu Abdul Bar, dari Bukair ibnul Asyaj dan Al-Farra, serta segolongan ulama ilmu kalam (tauhid).

Imam Syafii mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah hendaknya si suami tetap memegang istrinya sesudah ia men-zihar–nya selama suatu masa yang memungkinkan baginya dalam masa itu menjatuhkan talaknya, tetapi dia tidak menjatuhkannya.

Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan, makna yang dimaksud ialah bila suami yang bersangkutan hendak kembali menyetubuhi istri yang telah di-zihar-nya, atau bertekad akan menyetubuhinya, maka istrinya itu tidak halal baginya sebelum ia membayar kifarat zihar-nya.

Telah diriwayatkan pula dari Malik, bahwa makna yang dimaksud ialah tekad untuk menyetubuhi atau tekad untuk tetap memegangnya sebagai istri. Dan menurut riwayat lain yang bersumberkan darinya, makna yang dimaksud ialah hendak menyetubuhi.

Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah bila si suami kembali melakukan zihar lagi sesudah zihar diharamkan dan hukum Jahiliah mengenainya dihapuskan (yakni zihar sama dengan talak). Maka manakala seorang lelaki men-zihar istrinya, berarti istrinya itu haram baginya, dan status haramnya itu tidak dapat dihilangkan kecuali dengan membayar kifaratnya. Pendapat ini pulalah yang dianut oleh murid-murid Imam Abu Hanifah dan Al-Lais ibnu Sa’d.

Ibnu Lahi’ah mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ata, dari Sa’ id ibnu Jubair sehubungan dengan makna firman-Nya: kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan. (Al-Mujadilah: 3) Yakni mereka bermaksud akan menyetubuhi istri-istri mereka yang telah mereka haramkan atas diri mereka melalui zihar.

Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah menyetubuhi kemaluan. Al-Hasan menilai tidak mengapa melakukan persetubuhan di luar kemaluan sebelum yang bersangkutan membayar kifarat zihar-nya.

Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: sebelum kedua suami istri itu bercampur. (Al-Mujadilah: 3) Yang dimaksud dengan bercampur ialah nikah (jimak). Hal yang sama telah dikatakan oleh Ata, Az-Zuhri, Qatadah, dan Muqatil ibnu Hayyan.

Az-Zuhri mengatakan bahwa tidak boleh bagi suami yang telah men-zihar istrinya mencium istri yang di-zihar-nya, tidak boleh pula menyetubuhinya sebelum ia membayar kifarat zihar-nya.

Ahlus Sunan telah meriwayatkan melalui hadis Ikrimah, dari Ibnu Abbas:

bahwa seorang lelaki bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah men-zihar istriku, lalu aku menyetubuhinya sebelum kubayar kifaratnya.” Rasulullah Saw. balik bertanya, “Apakah yang mendorongmu melakukan hal itu? Semoga Allah merahmatimu.” Lelaki itu menjawab, “Aku melihat kemilauan gelang kakinya yang terkena sinar rembulan.” Rasulullah Saw. bersabda: Jangan kamu dekati dia sebelum kamu kerjakan apa yang telah diperintahkan Allah Swt. kepadamu.

Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan garib sahih. Imam Abu Daud dan Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Ikrimah secara mursal. Menurut Imam Nasai, yang berpredikat mursal-lah yang lebih mendekati kebenaran.

*******************

Firman Allah Swt.:

{فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ}

maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak. (Al-Mujadilah: 3)

Yakni memerdekakan seorang budak secara utuh, sebelum yang bersangkutan menggauli istri yang telah di-zihar-nya. Dalam ayat ini sebutan raqabah atau budak tidak diikat dengan keimanan, sedangkan di dalam kifarat membunuh diikat dengan keimanan. Maka Imam Syafii rahimahullah menakwilkan kemutlakan dalam ayat ini, bahwa ia diikat dengan pengertian budak yang ada pada kifarat pembunuhan; mengingat subjeknya sama, yaitu memerdekakan budak.

Dan Imam Syafii mendukung pendapatnya ini dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik berikut sanadnya, dari Mu’awiyah ibnul Hakam As-Sulami sehubungan dengan kisah seorang budak perempuan berkulit hitam. Disebutkan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:

Merdekakanlah dia, karena sesungguhnya dia adalah wanita yang beriman.

Imam Ahmad telah meriwayatkan hadis ini di dalam kitab musnadnya, demikian pula Imam Muslim di dalam kitab sahihnya.

Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yusuf ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Numair, dari Ismail ibnu Muslim ibnu Yasar, dari Amr ibnu Dinar, dari Tawus, dari Ibnu Abbas yang menceritakan pernah ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah Saw., lalu bertanya, “Sesungguhnya aku telah men-zihar istriku dan aku menggaulinya sebelum kubayar kifaratnya.” Rasulullah Saw. balik bertanya, “Bukankah Allah Swt. telah berfirman, ‘Sebelum keduanya bercampur’?” Lelaki itu menjawab, “Aku terangsang olehnya.” Rasulullah Saw. bersabda: Tahanlah dirimu (dari bersetubuh) hingga kamu membayar kifaratmu.

Kemudian Al-Bazzar mengatakan bahwa tiada suatu riwayat dari Ibnu Abbas yang lebih baik daripada ini; Ismail ibnu Muslim orangnya masih diperbincangkan, tetapi banyak ulama yang mengambil riwayat darinya. Di dalam hadis ini terkandung hukum fiqih yang menunjukkan bahwa Nabi Saw. tidak memerintahkan kepada lelaki itu kecuali hanya membayar satu kali kifarat.

*******************

Firman Allah Swt.:

{ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ}

Demikianlah yang diajarkan kepadamu. (Al-Mujadilah: 3)

Yakni sebagai peringatan bagimu.

{وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ}

dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-Mujadilah: 3)

Yaitu mengetahui semua yang bermaslahat lagi sesuai dengan keadaan kalian.

*******************

Firman Allah Swt.:

{فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا}

Barang siapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. (Al-Mujadilah: 4)

Dalam penjelasan yang lalu telah dikemukakan hadis-hadis yang memerintahkan hal ini secara tertib, sebagaimana telah ditetapkan di dalam kitab Sahihain mengenai kisah seorang lelaki yang menyetubuhi istrinya dalam bulan Ramadan.

{ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ}

Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul­-Nya. (Al-Mujadilah: 4)

Artinya, Kami perintahkan demikian itu agar kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.

Firman Allah Swt.:

وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ}

Dan itulah hukum-hukum Allah. (Al-Mujadilah: 4)

Yakni batasan-batasan yang diharamkan-Nya, maka janganlah kamu melanggarnya.

{وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ}

dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih. (Al-Mujadilah: 4)

Yaitu orang-orang yang tidak beriman dan tidak mau menetapi hukum-hukum syariat ini serta tidak meyakini bahwa mereka akan selamat dari musibah. Keadaan yang sebenarnya tidaklah seperti apa yang diduga oleh mereka, bahkan bagi mereka azab yang pedih di dunia dan akhirat nanti.

We will be happy to hear your thoughts

Leave a reply

Amaliyah
Logo