Al-Mukminun, ayat 1-11

Al-Mukminun, ayat 1-11

 (Orang yang beriman)

Makiyyah, 118 atau 119 ayat Turun sesudah surat Al-Anbiya

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ (1) الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ (2) وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ (3) وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ (4) وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6) فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ (7) وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ (8) وَالَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَوَاتِهِمْ يُحَافِظُونَ (9) أُولَئِكَ هُمُ الْوَارِثُونَ (10) الَّذِينَ يَرِثُونَ الْفِرْدَوْسَ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (11)

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa yang mencari di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya, dan orang-orang yang memelihara salatnya. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepadaku Yunus ibnu Sulaim yang mengatakan bahwa ia telah mencatat apa yang dikatakan oleh Yunus ibnu Yazid Al-Aili, dari Ibnu Syihab, dari Urwah ibnuzZubair, dari Abdur Rahman ibnu Abdul Qari yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Khalifah Umar ibnul Khattab mengatakan, “Rasulullah Saw. apabila diturunkan wahyu kepadanya terdengar suara seperti suara lebah di dekat wajahnya. Maka kami diam sesaat, dan beliau Saw. menghadap ke arah kiblat, lalu mengangkat kedua tangannya dan berdoa, ‘Ya Allah, berilah kami tambahan dan janganlah Engkau kurangi kami, berilah kami kemuliaan dan janganlah Engkau hinakan kami, berilah kami dan janganlah Engkau menghalangi kami dari pemberian-Mu, pilihlah kami dan janganlah Engkau ke sampingkan kami, dan ridailah kami dan jadikanlah kami puas (dengan keputusan-Mu)’.” Kemudian Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya telah diturunkan kepadaku sepuluh ayat; barang siapa yang mengamalkannya, niscaya ia masuk surga. Kemudian Rasulullah Saw. membaca firman-Nya: Sesungguhnya telah beruntunglah orang-orang yang beriman. (Al Mu’minun: 1) hingga akhir ayat kesepuluh.

Imam Turmuzi meriwayatkannya di dalam kitab tafsir dan Imam Nasai di dalam kitab salat melalui hadis Abdur Razzaq dengan sanad yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini berpredikat munkar, kami tidak mengenal ada seseorang yang meriwayatkannya dari Yunus ibnu Sulaim, sedangkan Yunus sendiri orangnya tidak kami kenal.

Imam Nasai mengatakan di dalam kitab tafsirnya, telah menceritakan kepada kami Qutaibah ibnu Sa’id, telah menceritakan kepada kami Ja’far, dari Abu Imran, dari Yazid ibnu Babanus yang mengatakan, “Kami pernah bertanya kepada Siti Aisyah Ummul Mu’minin, ‘Bagaimanakah akhlak Rasulullah Saw.’?” SitAisyah r.a. menjawab: Akhlak Rasulullah Saw. adalah Al-Qur’an. Kemudian Siti Aisyah r.a. membaca firman-Nya: Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (Al Mu’minun: 1) sampai dengan firman-Nya: dan orang-orang yang memelihara salatnya. (Al Mu’minun: 9) Kemudian Siti Aisyah r.a. berkata, “Demikianlah akhlak Rasulullah Saw.”

Telah diriwayatkan dari Ka’bul Ahbar, Mujahid, dan Abul Aliyah serta lain-lainnya, bahwa setelah Allah menciptakan surga ‘Adn dan memberinya tanaman dengan tangan (kekuasaan)-Nya sendiri, lalu Allah memandangnya dan berfirman kepadanya, “Berbicaralah kamu !” Maka surga ‘Adn mengucapkan: Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (Al Mu’minun: 1) Ka’bul Ahbar mengatakan, surga ‘Adn berkata demikian karena mengingat semua kehormatan yang disediakan oleh Allah di dalamnya bagi orang-orang mukmin. Abul Aliyah mengatakan, bahwa lalu Allah Swt. menyitirkan kalimat tersebut di dalam Kitab (Al-Qur’an)-Nya.

Hal tersebut telah diriwayatkan melalui Abu Sa’id Al-Khudri secara marfu’. Untuk itu Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Al-Mugirah ibnu Maslamah, telah menceritakan kepada kami Wuhaib, dari Al-Jariri, dari Abu Nadrah, dari Abu Sa’id yang mengatakan bahwa Allah menciptakan surga yang bangunannya terbuat dari batu bata emas dan batu bata perak, serta Allah Swt. memberinya tanam-tanaman. Lalu Allah berfirman kepadanya, “Berbicaralah kamu!” Lalu surga mengatakan: Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (Al Mu’minun: 1) Maka para malaikat memasukinya dan mereka berkata, “Beruntunglah engkau sebagai tempat para raja.”

Kemudian Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan:

telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Adam, telah menceritakan pula kepada kami Yunus ibnu Ubaidillah Al-Umri, telah menceritakan kepada kami Addi ibnul Fadl, telah menceritakan kepada kami Al-Jariri, dari Abu Nadrah, dari Abu Sa’id, dari Nabi Saw. yang telah bersabda, “Allah menciptakan surga dari batu bata emas dan batu bata perak, sedangkan plesterannya dari minyak kesturi.” Al-Bazzar mengatakan, ia melihat hadis ini di lain tempat yang bunyinya mengatakan, “Tembok surga terbuat dari batu bata emas dan batu bata perak, sedangkan plesterannya terbuat dari minyak kesturi.” Kemudian Allah berfirman kepadanya, “Berbicaralah kamu!” Lalu surga mengatakan: Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (Al Mu’minun: 1) Maka para malaikat berkata, “Beruntunglah engkau menjadi tempat raja-raja.”

Kemudian Al-Bazzar mengatakan bahwa ia tidak mengetahui seorang pun yang me-rafa’-kan hadis ini selain Addi ibnul Fadl, sedangkan dia orangnya tidak Hafiz, lagi pula seorang manula yang sudah dekat masa ajalnya.

Al-Hafiz Abul Qasim At-Tabrani mengatakan telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah, dari Ibnu Juraij, dari Ata, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Setelah Allah menciptakan surga Adn, Allah menciptakan di dalamnya segala macam apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga, dan tidak pernah terdelik di dalam hati seorang manusia pun. Sesudah itu Allah berfirman kepadanya, “Berbicaralah kamu!” Maka. surga berkata: Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (Al Mu’minun: 1)

Baqiyyah menurut ulama Hijaz berpredikat daif (lemah dalam periwayatan hadis).

Imam Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Usman ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Minjab ibnul Haris, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Isa Al-Absi, dari Ismail As-Saddi, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas yang me-rafa ‘-kannya bahwa setelah Allah menciptakan surga ‘Adn dengan tangan (kekuasaan)-Nya sendiri, dan menjuntaikan buah-buahannya serta membelah sungai-sungainya, lalu Allah memandang kepadanya. Maka surga ‘Adn berkata: Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (Al Mu’minun: 1) Dan Allah Swt. berfirman: Demi keagungan dan kebesaran-Ku, tidak boleh ada seorang bakhilpun bertempat padamu berdampingan dengan-Ku.

Abu Bakar ibnu Abud Dunya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Musanna Al-Bazzar, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ziyad Al-Kalbi, telah menceritakan kepada kami Ya’isy ibnu Husain, dari Sa’id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah, dari Anas r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. Pernah bersabda: Allah menciptakan surga ‘Adn dengan tangan (kekuasaan)Nya sendiri memakai batu bata dari intan putih, batu bata yaqut merah, dan batu bata zabarjad hijau; plesterannya dari minyak kesturi, batu bata kerikilnya dari mutiara, dan rerumputannya dari za’faran. Kemudian Allah berfirman kepadanya, “Berbicaralah kamu!” Maka surga ‘Adn mengucapkan, “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman.” Maka Allah Swt. berfirman, “Demi keagungan dan kebesaran-Ku, tidak boleh ada seorang bakhil pun bertempat padamu berdampingan dengan-Ku.” Kemudian Rasulullah Saw. membaca firman-Nya: Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Al-Hasyr: 9)

*****

Adapun firman Allah Swt.:

{قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ}

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (Al Mu’minun: 1)

Yakni sungguh telah beruntung, berbahagia, dan beroleh keberhasilan mereka yang beriman lagi mempunyai ciri khas seperti berikut, yaitu:

{الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ}

(yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salatnya. (Al Mu’minun: 2)

Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya, “Khasyi’un,” bahwa mereka adalah orang-orang yang takut kepada Allah lagi tenang. Hal yang sama telah diriwayatkan dari Mujahid, Al-Hasan, Qatadah, dan Az-Zuhri. Telah diriwayatkan dari Ali ibnu Abu Talib r.a. bahwa khusyuk artinya ketenangan hati. Hal yang sama dikatakan oleh Ibrahim An-Nakha’i. Al-Hasan Al-Basri mengatakan, ketenangan hati mereka membuat mereka merundukkan pandangan matanya dan merendahkan dirinya.

Muhammad ibnu Sirin mengatakan bahwa dahulu sahabat-sahabat Rasulullah Saw. selalu mengarahkan pandangan mata mereka ke langit dalam salatnya. Tetapi setelah Allah menurunkan firman-Nya: Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salatnya. (Al Mu’minun: 1-2) Maka mereka merundukkan pandangan matanya ke tempat sujud mereka. Muhammad ibnu Sirin mengatakan bahwa sejak saat itu pandangan mata mereka tidak melampaui tempat sujudnya. Dan apabila ada seseorang yang telah terbiasa memandang ke arah langit, hendaklah ia memejamkan matanya. Demikianlah menurut apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim. Kemudian Ibnu Jarir telah meriwayatkan melalui ibnu Abbas —juga Ata ibnu Abu Rabah— secara mursal, bahwa Rasulullah Saw. pernah melakukan hal yang serupa (memandang ke arah langit) sebelum ayat ini diturunkan.

Khusyuk dalam salat itu tiada lain hanya dapat dilakukan oleh orang yang memusatkan hati kepada salatnya, menyibukkan dirinya dengan salat, dan melupakan hal yang lainnya serta lebih baik mementingkan salat daripada hal lainnya. Dalam keadaan seperti ini barulah seseorang dapat merasakan ketenangan dan kenikmatan dalam salatnya, seperti yang dikatakan oleh Nabi Saw. dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Nasai melalui sahabat Anas dari Nabi Saw. yang telah bersabda:

Aku dijadikan senang kepada wewangian, wanita, dan dijadikan kesenangan hatiku bila dalam salat.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki’, telah menceritakan kepada kami Mis’ar dari Amr ibnu Murrah, dari Salim ibnu Abul Ja’d, dari seorang lelaki dari Bani Aslam, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Hai Bilal, hiburlah kami dengan salat.

Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Usman ibnul Mugirah, dari Salim ibnu Abul Ja’d; Muhammad ibnul Hanafiyah pernah mengatakan bahwa ia bersama ayahnya (Ali ibnu Abu Talib r.a.) pernah berkunjung ke rumah salah seorang iparnya dari kalangan Ansar, lalu datanglah waktu salat, kemudian Ali r.a. berkata, “Hai budak perempuan, ambilkanlah air wudu, aku akan mengerjakan salat agar hatiku terhibur.” Ketika ia memandang ke arah kami yang merasa heran dengan ucapannya, maka ia berkata bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Beriqamahlah, hai Bilal, dan hiburlah hati kami dengan salat.

*****

Firman Allah Swt.:

{وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ}

dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna. (Al Mu’minun: 3)

Yaitu dari hal-hal yang batil yang pengertiannya mencakup pula hal-hal yang musyrik, seperti yang dikatakan oleh sebagian ulama. Juga hal-hal maksiat seperti yang dikatakan oleh sebagian lainnya. Mencakup pula semua perkataan dan perbuatan yang tidak berguna, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:

{وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا}

dan apabila mereka bersua dengan (orang-orang) yang mengerja­kan perbuatan-perbuatan yang tidak berguna, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya. (Al-Furqan: 72)

Qatadah mengatakan, “Demi Allah, mereka telah diberi kekuatan oleh Allah yang membuat mereka dapat melakukan hal tersebut.”

****

Firman Allah Swt.:

{وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ}

dan orang-orang yang menunaikan zakat. (Al Mu’minun: 4)

Menurut kebanyakan ulama, makna yang dimaksud dengan zakat dalam ayat ini ialah zakat harta benda, padahal ayat ini adalah ayat Makkiyyah; dan sesungguhnya zakat itu baru difardukan setelah di Madinah, yaitu pada tahun dua Hijriah. Menurut makna lahiriahnya, zakat yang di fardukan di Madinah itu hanyalah mengenai zakat yang mempunyai nisab dan takaran khusus. Karena sesungguhnya menurut makna lahiriahnya, prinsip zakat telah difardukan sejak di Mekah. Allah Swt. telah berfirman di dalam surat Al-An’am yang Makkiyyah, yaitu:

{وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ}

dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin). (Al-An’am: 141)

Dapat pula diartikan bahwa makna yang dimaksud dengan zakat dalam ayat ini ialah zakatun nafs (membersihkan diri) dari kemusyrikan dan ke­kotoran. Sama pengertiannya dengan apa yang terdapat dalam firman-Nya:

{قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا. وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا}

sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Asy-Syams: 9-10)

Dan firman Allah Swt. yang mengatakan:

{وَوَيْلٌ لِلْمُشْرِكِينَ. الَّذِينَ لَا يُؤْتُونَ الزَّكَاةَ}

dan kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang memper-sekutukan-(Nya), (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat. (Fushshilat: 6-7)

Hal ini menurut salah satu di antara dua pendapat yang mengatakan tentang tafsirnya. Dapat pula diartikan bahwa makna yang dimaksud adalah kedua pengertian tersebut secara berbarengan, yaitu zakat jiwa dan zakat harta. Karena sesungguhnya termasuk di antara zakat ialah zakat diri (jiwa), dan orang mukmin yang sempurna ialah orang yang menunaikan zakat jiwa dan zakat harta bendanya. Hanya Allah-lah yang Maha Mengetahui.

*****

Firman Allah Swt.:

{وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ. إِلا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ * فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ}

dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. (Al Mu’minun: 5-7)

Artinya, orang-orang yang memelihara kemaluan mereka dari perbuatan yang diharamkan. Karena itu mereka tidak terjerumus ke dalam perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Allah, seperti zina dan liwat. Dan mereka tidak mendekati selain dari istri-istri mereka yang dihalalkan oleh Allah bagi mereka, atau budak-budak perempuan yang mereka miliki dari tawanan perangnya. Barang siapa yang melakukan hal-hal yang dihalalkan oleh Allah, maka tiada tercela dan tiada dosa baginya. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya:

{فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ}

maka sesungguhnya mereka tidak tercela dalam hal ini. Barang siapa mencari yang di balik itu. (Al Mu’minun: 6-7)

Yakni selain istri dan budak perempuannya.

{فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ}

maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. (Al Mu’minun: 7)

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdul A’la, telah men­ceritakan kepada kami Sa’id, dari Qatadah, bahwa pernah ada seorang wanita mengambil budak laki-lakinya (sebagai kekasihnya) dan mengatakan bahwa ia melakukan perbuatannya itu karena bertakwilkan kepada firman Allah yang mengatakan: atau budak yang mereka miliki. (Al Mu’minun: 6) Lalu ia ditangkap dan dihadapkan kepada Khalifah Umar ibnul Khattab r.a., dan orang-orang dari kalangan sahabat Nabi Saw. mengatakan bahwa perempuan itu menakwilkan suatu ayat dari Kitabullah dengan takwil yang menyimpang. Kemudian budak laki-laki itu dihukum pancung, dan Khalifah Umar berkata kepada wanita itu,”Engkau sesudah dia, haram bagi setiap orang muslim.”

Asar ini berpredikat garib lagi munqati’, disebutkan oleh Ibnu Jarir di dalam tafsir permulaan surat Al-Maidah, padahal kalau dikemukakan dalam tafsir ayat ini lebih cocok. Sesungguhnya Khalifah Umar men­jatuhkan sangsi haram terhadap wanita tersebut bagi kaum laki-laki muslim, sebagai pembalasan terhadap perbuatannya, yaitu dengan menimpakan hukuman yang bertentangan dengan niat yang ditujunya. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

Imam Syafii dan orang-orang yang mendukungnya telah mengambil ayat ini sebagai dalil dari pendapatnya yang mengatakan bahwa mastrubasi itu haram, yaitu firman-Nya: dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri atau budak yang mereka miliki. (Al Mu’minun: 5-6)

Imam Syafii mengatakan bahwa perbuatan mastrubasi itu di luar kedua perkara tersebut. Karena itu, mastrubasi haram hukumnya. Dan se­sungguhnya Allah Swt. telah berfirman: Barang siapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. (Al Mu’minun: 7)

Mereka berdalilkan pula dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Hasan ibnu Arafah dalam kitab Juz-nya yang terkenal.

Ia me­ngatakan, telah menceritakan kepadaku Ali ibnu Sabit Al-Jazari, dari Maslamah ibnu Ja’far, dari Hassan ibnu Humaid, dari Anas ibnu Malik, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Ada tujuh macam orang yang Allah tidak mau memandang mereka kelak di hari kiamat dan tidak mau membersihkan mereka (dari dosa-dosanya), dan tidak menghimpunkan mereka bersama orang-orang yang beramal (baik), dan memasukkan mereka ke neraka bersama orang-orang yang mula-mula masuk neraka, terkecuali jika mereka bertobat; dan barang siapa yang bertobat, Allah pasti menerima tobatnya. Yaitu orang yang kawin dengan tangan­nya (mastrubasi), kedua orang yang terlibat dalam homoseks, pecandu minuman khamr, orang yang memukuli kedua orang tuanya hingga keduanya meminta tolong, orang yang meng­ganggu tetangga-tetangganya sehingga mereka melaknatinya, dan orang yang berzina dengan istri tetangganya.

Hadis berpredikat garib, di dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang tidak dikenal karena kemisteriannya. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

*****

Firman Allah Swt.:

{وَالَّذِينَ هُمْ لأمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ}

Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikul­nya) dan janjinya. (Al Mu’minun: 8)

Yakni apabila mereka dipercaya, tidak berkhianat; bahkan menunaikan amanat itu kepada pemiliknya. Apabila mereka berjanji atau mengadakan transaksi, maka mereka menunaikannya dengan benar, tidak seperti sikap orang-orang munafik yang dikatakan oleh Rasulullah Saw. mempunyai ciri khas berikut, melalui, sabdanya:

Pertanda orang munafik ada tiga, yaitu: Apabila berbicara, dusta; apabila berjanji, ingkar; dan apabila dipercaya, khianat.

****

Firman Allah Swt.:

{وَالَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَوَاتِهِمْ يُحَافِظُونَ}

dan orang-orang yang memelihara salatnya. (Al Mu’minun: 9)

Maksudnya, mengerjakannya secara rutin tepat pada waktunya masing-masing. Seperti yang dikatakan oleh sahabat Ibnu Mas’ud r.a. ketika ia bertanya kepada Rasulullah Saw.:

Aku pernah bertanya; “Wahai Rasulullah amal apakah yang paling disukai oleh Allah?” Rasulullah Saw. menjawab, “Mengerjakan salat di dalam waktunya.” Saya bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab, “Berbakti kepada kedua orang tua.” Saya bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab, “Berjihad pada jalan Allah.”

Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim di dalam kitab sahihnya masing-masing. Di dalam kitab Mustadrak-nya Imam Hakim disebutkan seperti berikut:

Mengerjakan salat pada permulaan waktunya.

Ibnu Mas’ud dan Masruq telah berkata sehubungan dengan makna firman Allah Swt.: dan orang-orang yang memelihara salatnya. (Al Mu’minun: 9) Yaitu memelihara waktu-waktu salat.

Hal yang sama telah dikatakan oleh AbudDuha, Alqamah ibnu Qais, Sa’id ibnu Jubair, dan Ikrimah. Qatadah mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah menjaga waktu-waktunya, rukuk dan sujudnya.

Allah Swt. membuka penyebutan sifat-sifat yang terpuji itu dengan menyebutkan salat, kemudian diakhiri pula dengan penyebutan salat. Hal ini menunjukkan keutamaan salat, seperti yang dikatakan oleh Rasulullah Saw. dalam sabdanya:

Bersikap istiqamah (lurus)-lah, dan sekali-kali (pahala) kalian tidak akan dihitung-hitung, dan ketahuilah bahwa sebaik-baik amal kalian adalah salat; dan tiada yang dapat memelihara wudu, melainkan hanya orang mukmin.

Setelah Allah menyifati orang-orang mukmin, bahwa mereka memiliki sifat-sifat yang terpuji dan melakukan perbuatan-perbuatan yang terbaik, kemudian Allah Swt. berfirman:

{أُولَئِكَ هُمُ الْوَارِثُونَ الَّذِينَ يَرِثُونَ الْفِرْدَوْسَ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ}

Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya. (Al Mu’minun: 10-11)

Di dalam kitabSahihain telah disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

Apabila kalian meminta surga kepada Allah, maka mintalah kepada-Nya surga Firdaus, karena sesungguhnya Firdaus itu adalah surga yang tertinggi dan paling pertengahan, darinya bersumberkan semua sungai surga, dan di atasnya terdapat ‘Arasy (singgasana) Tuhan Yang Maha Pemurah.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah, telah menceritakan kepada kami Al-A’masy, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Tiada seorang pun di antara kalian melainkan mempunyai dua tempat tinggal, yaitu tempat tinggal di surga dan tempat tinggal di neraka. Jika ia mati dan ternyata masuk nereka, maka penduduk surga mewarisi tempat tinggalnya (yang ada di surga). Yang demikian itu disebutkan dalam firman-Nya, “Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi” (Al Mu’minun: 10)

Ibnu Juraij telah meriwayatkan dari Al-Lais, dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi. (Al Mu’minun: 10) Bahwa tiada seorang hamba (Allah) pun melainkan mempunyai dua tempat tinggal, yaitu tempat tinggal di surga dan tempat tinggal di neraka. Adapun orang mukmin, dia membangun rumahnya yang berada di dalam surga dan merobohkan rumahnya yang ada di neraka. Sedangkan orang kafir merobohkan rumahnya yang ada di dalam surga dan membangun rumahnya yang ada di neraka.

Telah diriwayatkan pula hal yang semisal dari.Sa’id ibnu Jubair. Orang-orang mukmin mewarisi tempat-tempat tinggal orang-orang kafir, karena pada asalnya orang-orang kafir itu diciptakan agar beribadah kepada Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Mengingat orang-orang mukmin mengerjakan semua ibadah yang diperintahkan kepada mereka, sedangkan orang-orang kafir meninggalkan apa yang mereka diciptakan untuk mengerjakannya (yaitu beribadah kepada Allah), maka orang-orang mukmin merebut bagian orang-orang kafir seandainya mereka taat kepada Tuhannya.

Bahkan dalam keterangan yang lebih jelas lagi disebutkan di dalam Sahih Muslim melalui Abu Burdah, dari Abu Musa, dari ayahnya, dari Nabi Saw. yang telah bersabda:

Apabila hari kiamat telah terjadi, Allah menyerahkan kepada setiap orang muslim seorang Yahudi atau seorang Nasrani, lalu Allah berfirman, “Inilah tebusanmu dari neraka.”

We will be happy to hear your thoughts

Leave a reply

Amaliyah
Logo