Ali Imran, ayat 159-164

Ali Imran, ayat 159-164

فَبِما رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (159) إِنْ يَنْصُرْكُمُ اللَّهُ فَلا غالِبَ لَكُمْ وَإِنْ يَخْذُلْكُمْ فَمَنْ ذَا الَّذِي يَنْصُرُكُمْ مِنْ بَعْدِهِ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ (160) وَما كانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَغُلَّ وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِما غَلَّ يَوْمَ الْقِيامَةِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ (161) أَفَمَنِ اتَّبَعَ رِضْوانَ اللَّهِ كَمَنْ باءَ بِسَخَطٍ مِنَ اللَّهِ وَمَأْواهُ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ (162) هُمْ دَرَجاتٌ عِنْدَ اللَّهِ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِما يَعْمَلُونَ (163) لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُوا عَلَيْهِمْ آياتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ (164)

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya. Jika Allah menolong kalian, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kalian; jika Allah membiarkan kalian (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kalian (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu, hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal. Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedangkan mereka tidak dianiaya. Apakah orang yang mengikuti keridaan Allah sama dengan orang yang kembali membawa kemurkaan (yang besar) dari Allah dan tempatnya adalah Jahannam? Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali. (Kedudukan) mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah, dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan. Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.

Allah Swt berfirman kepada rasul-Nya seraya menyebutkan anugerah yang telah dilimpahkan-Nya kepada dia, juga kepada orang-orang mukmin; yaitu Allah telah membuat hatinya lemah lembut kepada umatnya yang akibatnya mereka menaati perintahnya dan menjauhi larangannya, Allah juga membuat tutur katanya terasa menyejukkan hati mereka.

{فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ}

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. (Ali Imran: 159)

Yakni sikapmu yang lemah lembut terhadap mereka, tiada lain hal itu dijadikan oleh Allah buatmu sebagai rahmat buat dirimu dan juga buat mereka.

Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. (Ali Imran: 159) Yaitu berkat rahmat Allah-lah kamu dapat bersikap lemah lembut terhadap mereka.

Huruf ma merupakan silah; orang-orang Arab biasa menghubungkannya dengan isim makrifat, seperti yang terdapat di dalam firman-Nya:

فَبِما نَقْضِهِمْ مِيثاقَهُمْ

Maka disebabkan mereka melanggar perjanjian itu. (An-Nisa: 155)

Dapat pula dihubungkan dengan isim nakirah, seperti yang terdapat di dalam firman-Nya:

عَمَّا قَلِيلٍ

Dalam sedikit waktu. (Al-Mu’minun: 40)

Demikian pula dalam ayat ini disebutkan melalui firman-Nya:

{فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ}

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. (Ali Imran: 159) Yakni karena rahmat dari Allah.

Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa begitulah akhlak Nabi Muhammad Saw. yang diutus oleh Allah, dengan menyandang akhlak ini. Makna ayat ini mirip dengan makna ayat yang lain, yaitu firman-Nya:

لَقَدْ جاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُفٌ رَحِيمٌ

Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang rasul dari kaum kalian sendiri, berat terasa olehnya penderitaan kalian, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagi kalian, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. (At-Taubah: 128)

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Haiwah, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ziyad, telah menceritakan kepadaku Abu Rasyid Al-Harrani yang mengatakan bahwa Abu Umamah Al-Bahili pernah memegang tangannya, lalu bercerita bahwa Rasulullah Saw. pernah memegang tangannya, kemudian bersabda: Hai Abu Umamah, sesungguhnya termasuk orang-orang mukmin ialah orang yang dapat melunakkan hatinya.

Hadis ini hanya diriwayatkan oleh Imam Ahmad sendiri.

*******************

Kemudian Allah Swt. berfirman:

وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ

Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. (Ali Imran: 159)

Al-fazzu artinya keras, tetapi makna yang dimaksud ialah keras dan kasar dalam berbicara, karena dalam firman selanjutnya disebutkan:

{غَلِيظَ الْقَلْبِ}

lagi berhati kasar. (Ali Imran: 159)

Dengan kata lain, sekiranya kamu kasar dalam berbicara dan berkeras hati dalam menghadapi mereka, niscaya mereka bubar darimu dan meninggalkan kamu. Akan tetapi, Allah menghimpun mereka di sekelilingmu dan membuat hatimu lemah lembut terhadap mereka sehingga mereka menyukaimu, seperti apa yang dikatakan oleh Abdullah ibnu Amr: Sesungguhnya aku telah melihat di dalam kitab-kitab terdahulu mengenai sifat Rasulullah Saw., bahwa beliau tidak keras, tidak kasar, dan tidak bersuara gaduh di pasar-pasar, serta tidak pernah membalas keburukan dengan keburukan lagi, melainkan memaafkan dan merelakan.

Abu Ismail Muhammad ibnu Ismail At-Turmuzi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Ubaid, telah menceritakan ke-pada kami Ammar ibnu Abdur Rahman, dari Al-Mas’udi, dari Abu Mulaikah, dari Siti Aisyah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepadaku agar bersikap lemah lembut terhadap manusia sebagaimana Dia memerintahkan kepadaku untuk mengerjakan hal-hal yang fardu.

Hadis ini berpredikat garib.

*******************

Dalam firman selanjutnya disebutkan:

فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ

Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. (Ali Imran: 159)

Karena itulah Rasulullah Saw. selalu bermusyawarah dengan mereka apabila menghadapi suatu masalah untuk mengenakkan hati mereka, agar menjadi pendorong bagi mereka untuk melaksanakannya. Seperti musyawarah yang beliau lakukan dengan mereka mengenai Perang Badar, sehubungan dengan hal mencegat iring-iringan kafilah kaum musyrik. Maka mereka mengatakan: Wahai Rasulullah, seandainya engkau membawa kami ke lautan, niscaya kami tempuh laut itu bersamamu; dan seandainya engkau membawa kami berjalan ke Barkil Gimad (ujung dunia), niscaya kami mau berjalan bersamamu. Dan kami tidak akan mengatakan kepadamu seperti apa yang dikatakan oleh kaum Musa kepada Musa, “Pergilah engkau bersama Tuhanmu dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya tetap duduk di sini,” melainkan kami katakan, “Pergilah dan kami selalu bersamamu, di hadapanmu, di sebelah kananmu, dan di sebelah kirimu dalam keadaan siap bertempur.”

Nabi Saw. mengajak mereka bermusyawarah ketika hendak menentukan posisi beliau saat itu, pada akhirnya Al-Munzir ibnu Amr mengisyaratkan (mengusulkan) agar Nabi Saw. berada di hadapan kaum (pasukan kaum muslim). Nabi Saw. mengajak mereka bermusyawarah sebelum Perang Uhud, apakah beliau tetap berada di Madinah atau keluar menyambut kedatangan musuh. Maka sebagian besar dari mereka mengusulkan agar semuanya berangkat menghadapi mereka. Lalu Nabi Saw. berangkat bersama pasukannya menuju ke arah musuh-musuhnya berada.

Nabi Saw. mengajak mereka bermusyawarah dalam Perang Khandaq, apakah berdamai dengan golongan yang bersekutu dengan memberikan sepertiga dari hasil buah-buahan Madinah pada tahun itu. Usul itu ditolak oleh dua orang Sa’d, yaitu Sa’d ibnu Mu’az dan Sa’d ibnu Ubadah. Akhirnya Nabi Saw. menuruti pendapat mereka.

Nabi Saw. mengajak mereka bermusyawarah pula dalam Perjanjian Hudaibiyah, apakah sebaiknya beliau bersama kaum muslim menyerang orang-orang musyrik. Maka Abu Bakar As-Siddiq berkata, “Sesungguhnya kita datang bukan untuk berperang, melainkan kita datang untuk melakukan ibadah umrah.” Kemudian Nabi Saw. memperkenankan pendapat Abu Bakar itu.

Dalam peristiwa hadisul ifki (berita bohong), Nabi Saw. bersabda:

ai kaum muslim, kemukakanlah pendapat kalian kepadaku tentang suatu kaum yang telah mencemarkan keluargaku dan menuduh mereka berbuat tidak senonoh. Demi Allah, aku belum pernah melihat suatu keburukan pun pada diri keluargaku, lalu dengan siapakah mereka berbuat tidak senonoh. Demi Allah, tiada yang aku ketahui kecuali hanya kebaikan belaka.

Lalu beliau meminta pendapat kepada sahabat Ali dan sahabat Usamah tentang menceraikan Siti Aisyah r.a.

Nabi Saw. bermusyawarah pula dengan mereka dalam semua peperangannya, juga dalam masalah-masalah lainnya.

Para ahli fiqih berbeda pendapat mengenai masalah, apakah musyawarah bagi Nabi Saw. merupakan hal yang wajib ataukah hanya dianjurkan (disunatkan) saja untuk mengenakkan hati mereka (para sahabatnya)? Sebagai jawabannya ada dua pendapat.

Imam Hakim meriwayatkan di dalam kitab Mustadrak-nya, telah menceritakan kepada kami Abu Ja’far Muhammad ibnu Muhammad Al-Bagdadi, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ayyub Al-Allaf di Mesir, telah menceritakan kepada kami Sa’id ibnu Abu Maryam, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Uyaynah, dari Amr ibnu Dinar, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: dan bermusyawarahlah kamu dengan mereka dalam urusan itu. (Ali Imran: 159) Yang dimaksud dengan mereka ialah sahabat Abu Bakar dan sahabat Umar r.a kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa asar ini sahih dengan syarat Syaikhain, tetapi keduanya tidak mengetengahkannya.

Hal yang sama diriwayatkan oleh Al-Kalbi, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abu Bakar dan Umar. Keduanya adalah penolong Rasulullah Saw. dan sebagai wazir (patih)nya serta sekaligus sebagai kedua orang tua kaum muslim.

Imam Ahmad meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Waki’, telah menceritakan kepada kami Abdul Hamid, dari Syahr ibnu Hausyab, dari Abdur Rahman ibnu Ganam, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda kepada Abu Bakar dan Umar: Seandainya kamu berdua berkumpul dalam suatu musyawarah, aku tidak akan berbeda denganmu.

Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui sahabat Ali ibnu Abu Talib yang pernah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya mengenai azam (tekad bulat). Maka beliau bersabda:

«مُشَاوَرَةُ أَهْلِ الرَّأْيِ ثُمَّ اتِّبَاعُهُمْ»

Meminta pendapat dari ahlur rayi, kemudian mengikuti pendapat mereka.

Ibnu Majah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Bukair, dari Sufyan, dari Abdul Malik ibnu Umair, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Penasihat adalah orang yang dipercaya.

Imam Abu Daud dan Imam Turmuzi meriwayatkannya pula melalui hadis Abdul Malik dengan konteks yang lebih panjang daripada hadis di atas, dan dinilai hasan oleh Imam Nasai.

Ibnu Majah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Aswad ibnu Amir, dari Syarik, dari Al-A’masy, dari Abu Amr Asy-Syaibani, dari ibnu Mas’ud yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Penasihat adalah orang yang dipercaya.

Imam Ibnu Majah menyendiri dalam periwayatan hadis ini dengan sanad tersebut.

ia mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Zakaria ibnu Abu Zaidah dan Ali ibnu Hasyim, dari Ibnu Abu Laila, dari Abuz Zubair, dari Jabir yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Apabila seseorang di antara kalian meminta nasihat kepada saudaranya, maka hendaklah saudaranya itu memberikan nasihat (saran) kepadanya.

Hadis ini pun hanya diriwayatkan oleh Ibnu Majah sendiri.

*******************

Firman Allah Swt.:

فَإِذا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ

Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. (Ali Imran: 159)

Yakni apabila engkau bermusyawarah dengan mereka dalam urusan itu, dan kamu telah membulatkan tekadmu, hendaklah kamu bertawakal kepada Allah dalam urusan itu.

{إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ}

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya. (Ali Imran: 159)

*******************

Firman Allah Swt:

{إِنْ يَنْصُرْكُمُ اللَّهُ فَلا غَالِبَ لَكُمْ وَإِنْ يَخْذُلْكُمْ فَمَنْ ذَا الَّذِي يَنْصُرُكُمْ مِنْ بَعْدِهِ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ}

Jika Allah menolong kalian, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kalian; jika Allah membiarkan kalian (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kalian (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu, hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal. (Ali Imran: 160)

Ayat ini —seperti yang telah disebutkan di atas— sama maknanya dengan firman-Nya:

وَمَا النَّصْرُ إِلَّا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ

Dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (Ali Imran: 126)

Kemudian Allah Swt. memerintahkan kepada mereka untuk bertawakal kepada-Nya melalui firman-Nya:

{وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ}

Karena itu, hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal. (Ali Imran: 160)

*******************

Firman Allah Swt.:

وَما كانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَغُلَّ

Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. (Ali Imran: 161)

Ibnu Abbas, Mujahid, Al-Hasan, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang telah mengatakan bahwa tidak layak bagi seorang nabi berbuat khianat.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Al-Musayyab ibnu Wadih, telah menceritakan kepada kami Abi Ishaq Al-Fazzari, dari Sufyan ibnu Khasif, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa mereka kehilangan sebuah qatifah (permadani) dalam Perang Badar, lalu mereka berkata, “Barangkali Rasulullah Saw. telah mengambilnya.” Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. (Ali Imran: 161) Yang dimaksud dengan al-gulul ialah khianat atau korupsi.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdul Malik ibnu Abusy Syawarib, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahid ibnu Ziyad, telah menceritakan kepada kami Khasif, telah menceritakan kepada kami Miqsam, telah menceritakan kepadaku Ibnu Abbas, bahwa firman-Nya berikut ini: Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. (Ali Imran: 161) diturunkan berkenaan dengan qatifah merah yang hilang dalam Perang Badar. Maka sebagian orang mengatakan bahwa barangkali Rasulullah Saw. mengambilnya, hingga ramailah orang-orang membicarakan hal tersebut. Karena itu, Allah menurunkan firman-Nya: Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu. (Ali Imran: 161)

Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Turmuzi secara bersamaan dari Qutaibah, dari Abdul Wahid ibnu Ziyad dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan garib. Sebagian di antara mereka ada yang meriwayatkannya dari Khasif, dari Miqsam, yakni secara mursal.

Ibnu Murdawaih meriwayatkannya melalui jalur Abu Amr ibnul Ala, dari Mujahid dan Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa orang-orang munafik menuduh Rasulullah Saw. mengambil sesuatu yang hilang. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. (Ali Imran: 161)

Telah diriwayatkan pula melalui berbagai jalur —hal yang sama dengan hadis di atas— dari Ibnu Abbas.

Ayat ini membersihkan diri Nabi Saw. dari semua segi perbuatan khianat dalam menunaikan amanat dan pembagian ganimah serta urusan-urusan lainnya.

Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. (Ali Imran: 161) Misalnya beliau memberikan bagian kepada sebagian pasukan, sedangkan sebagian yang lainnya tidak diberi bagian. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ad-Dahhak.

Muhammad ibnu Ishaq mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. (Ali Imran: 161) Yang dimaksud dengan khianat di sini menurutnya misalnya ialah beliau meninggalkan sebagian dari wahyu yang diturunkan kepadanya dan tidak menyampaikannya kepada umat.

Al-Hasan Al-Basri, Tawus, Mujahid, dan Ad-Dahhak membacanya dengan memakai huruf ya yang di-dammah-kan, sehingga artinya menjadi seperti berikut: Tidak mungkin seorang nabi dikhianati.

Qatadah dan Ar-Rabi’ ibnu Anas mengatakan bahwa ayat ini diturunkan dalam Perang Badar, yang saat itu sebagian dari sahabat ada yang berbuat korupsi dalam pembagian ganimah. Ibnu Jarir meriwayatkan dari keduanya (Qatadah dan Ar-Rabi’ ibnu Anas). Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan dari seorang di antara mereka, bahwa ia menafsirkan qiraat (bacaan) ini dengan pengertian dituduh berbuat khianat.

*******************

Kemudian Allah Swt. berfirman:

{وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ}

Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedangkan mereka tidak dianiaya. (Ali Imran: 161)

Ungkapan ini mengandung ancaman keras dan peringatan yang kuat; dan sunnah pun menyebutkan larangan melakukan hal tersebut dalam beraneka ragam hadis.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Malik, telah menceritakan kepada kami Zubair (yakni Ibnu Muhammad), dari Abdullah ibnu Muhammad ibnu Aqil, dari Ata ibnu Yasar, dari Abu Malik Al-Asyja’i, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Khianat yang paling besar di sisi Allah ialah sehasta tanah; kalian menjumpai dua orang lelaki bertetangga tanah miliknya atau rumah miliknya, lalu salah-seorang dari keduanya mengambil sehasta dari milik temannya. Apabila ia mengambilnya, niscaya hal itu akan dikalungkan kepadanya dari tujuh lapis bumi di hari kiamat nanti.

Hadis yang lain.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai’ah, dari Ibnu Hubairah dan Al-Haris ibnu Yazid, dari Abdur Rahman ibnu Jubair yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Al-Mustaurid mengatakan bahwa ia telah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Barang siapa memegang kekuasaan bagi kami untuk suatu pekerjaan, sedangkan dia belum mempunyai tempat tinggal, maka hendaklah ia mengambil tempat tinggal; atau belum mempunyai istri maka hendaklah ia segera kawin; atau belum mempunyai pelayan, maka hendaklah ia mengambil pelayan; atau belum mempunyai kendaraan, maka hendaklah ia mengambil kendaraan. Dan barang siapa memperoleh sesuatu selain dari hal tersebut, berarti dia adalah orang yang khianat (korupsi).

Demikian menurut lafaz yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad.

Guru kami (Al-Hafiz Al-Mazzi) mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan pula oleh Abu Ja’far ibnu Muhammad Al-Faryabi dari Musa ibnu Marwan; hanya ia menyebutkan dari Abdur Rahman ibnu Nafir, bukan ibnu Jubair; hal ini lebih mendekati kebenaran.

We will be happy to hear your thoughts

Leave a reply

Amaliyah
Logo