An-Nisa, ayat 59

An-Nisa, ayat 59

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً (59)

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Ra-sul-Nya, dan ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.

Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sadaqah ibnul Fadl, telah menceritakan kepada kami Hajaj ibnu Muhammad Al-A’war, dari Ibnu Juraij, dari Ya’la ibnu Muslim, dari Sa’id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kalian. (An-Nisa: 59) Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abdullah ibnu Huzafah ibnu Qais ibnu Addi ketika ia diutus oleh Rasulullah Saw. untuk memimpin suatu pasukan khusus.

Hal yang sama diketengahkan oleh jamaah lainnya, kecuali Imam Ibnu Majah, melalui hadis Hajaj ibnu Muhammad Al-A’war. Imam Turmuzi mengatakan hadis ini hasan garib, kami tidak mengenalnya kecuali melalui hadis Ibnu Juraij.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah, dari Al-A’masy, dari Sa’d ibnu Ubaidah, dari Abu Abdur Rahman As-Sulami, dari Ali yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. mengirimkan suatu pasukan khusus, dan mengangkat menjadi panglimanya seorang lelaki dari kalangan Ansar. Manakala mereka berangkat, maka si lelaki Ansar tersebut menjumpai sesuatu pada diri mereka. Maka ia berkata kepada mereka, “Bukankah Rasulullah Saw. telah memerintahkan kepada kalian untuk taat kepadaku?” Mereka menjawab, “Memang benar.” Lelaki Ansar itu berkata, “Kumpulkanlah kayu bakar buatku.” Setelah itu si lelaki Ansar tersebut meminta api, lalu kayu itu dibakar. Selanjutnya lelaki Ansar berkata, “Aku bermaksud agar kalian benar-benar memasuki api itu.” Lalu ada seorang pemuda dari kalangan mereka berkata, “Sesungguhnya jalan keluar bagi kalian dari api ini hanyalah kepada Rasulullah. Karena itu, kalian jangan tergesa-gesa sebelum menemui Rasulullah. Jika Rasulullah Saw. memerintahkan kepada kalian agar memasuki api itu, maka masukilah.” Kemudian mereka kembali menghadap Rasulullah Saw. dan menceritakan hal itu kepadanya. Maka Rasulullah Saw. bersabda kepada mereka: Seandainya kalian masuk ke dalam api itu, niscaya kalian tidak akan keluar untuk selama-lamanya. Sebenarnya ketaatan itu hanya dalam kebaikan.

Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya di dalam kitab Sahihain melalui hadis Al-A’masy dengan lafaz yang sama.

Imam Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Ubaidillah, telah menceritakan kepada kami Nafi’, dari Abdullah ibnu Umar, dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda: Tunduk dan patuh diperbolehkan bagi seorang muslim dalam semua hal yang disukainya dan yang dibencinya, selagi ia tidak diperintahkan untuk maksiat. Apabila diperintahkan untuk maksiat, maka tidak boleh tunduk dan tidak boleh patuh.

Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya melalui hadis Yahya Al-Qattan.

Dari Ubadah ibnus Samit, “Kami bersumpah setia kepada Rasulullah Saw. untuk tunduk patuh dalam semua keadaan, baik dalam keadaan semangat ataupun dalam keadaan malas, dalam keadaan sulit ataupun dalam keadaan mudah, dengan mengesampingkan kepentingan pribadi, dan kami tidak akan merebut urusan dari yang berhak menerimanya.” Rasulullah Saw. bersabda:

Terkecuali jika kalian melihat kekufuran secara terang-terangan di kalangan kalian, dan ada bukti dari Allah mengenainya.

Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.

Di dalam hadis yang lain, dari Anas, disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

Tunduk dan patuhlah kalian, sekalipun yang memimpin kalian adalah seorang budak Habsyah yang kepalanya seperti zabibah (anggur kering).

Hadis riwayat Imam Bukhari.

Dari Abu Hurairah r.a. disebutkan:

Kekasihku (Nabi Saw.) telah mewasiatkan kepadaku agar aku tunduk dan patuh (kepada pemimpin), sekalipun dia (si pemimpin) adalah budak Habsyah yang cacat anggota tubuhnya (tuna daksa).

Hadis riwayat Imam Muslim.

Dari Ummul Husain. disebutkan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. mengatakan dalam khotbah haji wada’-nya:

Seandainya seorang budak memimpin kalian dengan memakai pedoman Kitabullah, maka tunduk dan patuhlah kalian kepadanya.

Hadis riwayat Imam Muslim. Menurut lafaz lain yang juga dari Imam Muslim disebutkan:

budak Habsyah yang tuna daksa (cacat anggota tubuhnya).

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ali ibnu Muslim At-Tusi, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Fudaik, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Muhammad ibnu Urwah, dari Hisyam ibnu Urwah, dari Abu Saleh As-Simman, dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Saw. telah bersabda: Kelak sesudahku kalian akan diperintah oleh para pemimpin, maka ada pemimpin yang bertakwa yang memimpin kalian dengan ketakwaannya, dan ada pemimpin durhaka yang memimpin kalian dengan kedurhakaannya. Maka tunduk dan patuhlah kalian kepada mereka dalam semua perkara yang sesuai dengan kebenaran, dan bantulah mereka. Jika mereka berbuat baik, maka kebaikannya bagi kalian dan mereka. Dan jika mereka berbuat buruk, maka baik bagi kalian dan buruk bagi mereka.

Dari Abu Hurairah r.a. Disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

Dahulu umat Bani Israil diperintah oleh nabi-nabi. Manakala seorang nabi meninggal dunia, maka digantikan oleh nabi yang lain. Dan sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku, dan kelak akan ada para khalifah yang banyak. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah yang engkau perintahkan kepada kami?” Rasulullah Saw. menjawab: Tunaikanlah baiat orang yang paling pertama, lalu yang sesudahnya; dan berikanlah kepada mereka haknya, karena sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban dari mereka atas kepemimpinannya.

Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.

Dari Ibnu Abbas r.a. Disebutkan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:

Barang siapa yang melihat dari pemimpinnya sesuatu hal yang tidak disukainya, hendaklah ia bersabar. Karena sesungguhnya tidak sekali-kali seseorang memisahkan diri dari jamaah sejauh sejengkal, lalu ia mati, melainkan ia mati dalam keadaan mati Jahiliah.

Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.

Dari Ibnu Umar r.a. Disebutkan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:

Barang siapa yang mencabut janji setianya, maka kelak ia akan menghadap kepada Allah tanpa ada yang membelanya. Dan barang siapa yang meninggal dunia, sedangkan pada pundaknya tidak ada suatu baiat pun, maka ia mati dalam keadaan mati Jahiliah. Hadis riwayat Imam Muslim.

Imam Muslim meriwayatkan pula dari Abdur Rahman ibnu Abdu Rabil Ka’bah yang menceritakan hadis berikut:

ia masuk ke dalam masjid, dan tiba-tiba ia menjumpai Abdullah ibnu Amr ibnul As sedang duduk di bawah naungan Ka’bah dan di sekelilingnya terdapat banyak orang yang berkumpul mendengarkannya. Lalu aku (Abdur Rahman) datang kepada mereka dan bergabung duduk dengan mereka. Maka Abdullah ibnu Amr ibnul As menceritakan hadis berikut: Kami (para sahabat) pernah bersama Rasulullah Saw. dalam suatu perjalanan, lalu kami turun istirahat di suatu tempat. Maka di antara kami ada orang-orang yang mempersiapkan kemahnya, ada pula yang berlatih menggunakan senjatanya, dan di antara kami ada orang-orang yang sibuk mengurus unta-unta kendaraannya. Tiba-tiba juru seru Rasulullah Saw. menyerukan, “Salat berjamaah!” Maka kami berkumpul kepada Rasulullah Saw. dan beliau Saw. bersabda: Sesungguhnya tidak ada seorang nabi pun sebelumku melainkan diwajibkan baginya memberi petunjuk kepada umatnya tentang kebaikan yang ia ketahui, dan memperingatkan kepada mereka tentang keburukan yang ia ketahui. Dan sesungguhnya ketenteraman umat ini dijadikan pada permulaannya (generasi pertamanya), dan kelak malapetaka akan menimpa akhir dari umat ini, juga akan terjadi banyak perkara yang kalian ingkari. Fitnah-fitnah datang menimpa mereka secara beriringan. Suatu fitnah (cobaan) datang, lalu seorang mukmin berkata, “Inilah kebinasaanku,” kemudian fitnah itu lenyap, tetapi disusul lagi oleh fitnah yang lain. Maka orang mukmin berkata, “Fitnah ini datang lagi menyusul fitnah lainnya.” Maka barang siapa yang ingin dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, hendaklah ketika maut datang menjemputnya ia dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari kemudian. Dan hendaklah ia memberikan kepada orang lain hal-hal yang ia suka bila diberikan kepada dirinya. Barang siapa yang berbaiat (berjanji setia) kepada seorang imam, lalu si imam memberikan kepadanya apa yang dijanjikannya dan apa yang didambakan hatinya, maka hendaklah ia taat kepadanya sebatas kemampuannya. Dan jika datang orang lain yang hendak menyainginya (merebutnya), maka penggallah leher orang lain itu. Abdur Rahman ibnu Abdu Rabbil Ka’bah melanjutkan kisahnya, “Lalu aku mendekat kepadanya (Abdullah ibnu Amr ibnul As) dan kukatakan kepadanya, ‘Aku meminta kepadamu, demi Allah, apakah engkau telah mendengar hadis ini langsung dari Rasulullah Saw.?’ Maka Ibnu Amr mengisyaratkan dengan kedua tangannya ditujukan ke arah kedua telinga dan hatinya seraya berkata, ‘Aku telah mendengarnya dengan kedua telingaku ini, lalu dihafal baik-baik oleh hatiku’.” Abdur Rahman ibnu Abdu Rabbil Ka’bah berkata kepadanya, “Ini anak pamanmu (yaitu Mu’awiyah). Dia memerintahkan kepada kita memakan harta di antara kita dengan cara yang batil, dan sebagian dari kita membunuh sebagian yang lain, padahal Allah Swt. telah berfirman: ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan harta sesama kalian dengan jalan yang balil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kalian. Dan janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepada kalian’ (An-Nisa: 29).” Abdur Rahman ibnu Abdu Rabbil Ka’bah melanjutkan kisahnya, bahwa Ibnu Amr diam sesaat, tidak menjawab, kemudian berkata, “Taatilah dia bila memerintahkan taat kepada Allah, dan durhakailah dia bila memerintahkan durhaka kepada Allah.”

Hadis-hadis yang menerangkan masalah ini cukup banyak jumlahnya.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnul Fadl, telah menceritakan kepada kami Asbat, dari As-Saddi sehubungan dengan firman-Nya: taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kalian. (An-Nisa: 59) Bahwa Rasulullah Saw. pernah mengirimkan suatu pasukan khusus di bawah pimpinan Khalid ibnul Walid, di dalam pasukan itu terdapat Ammar ibnu Yasir. Mereka berjalan menuju tempat kaum yang dituju oleh mereka; dan ketika berada di dekat tempat tersebut, mereka turun beristirahat karena hari telah malam. Kemudian mereka diketahui oleh mata-mata kaum yang dituju mereka, lalu mata-mata itu memberitahukan kepada kaumnya akan kedatangan mereka. Maka kaumnya pergi melarikan diri meninggalkan tempat mereka kecuali seorang lelaki yang memerintahkan kepada keluarganya agar semua barang mereka dikemasi. Kemudian ia sendiri pergi dengan berjalan kaki di kegelapan malam hari menuju ke tempat pasukan Khalid ibnul Walid. Setelah ia sampai di tempat pasukan kaum muslim, maka ia menanyakan tentang Ammar ibnu Yasar, lalu ia datang kepadanya dan mengatakan, “Hai Abul Yaqzan, sesungguhnya sekarang aku masuk Islam dan bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Sesungguhnya kaumku setelah mendengar kedatangan kalian; mereka semuanya melarikan diri, tetapi aku tetap tinggal di tempat. Maka apakah Islamku ini dapat bermanfaat bagiku besok pagi nanti? Jika tidak, maka aku pun akan ikut lari.” Ammar menjawab, “Tidak, bahkan Islammu dapat bermanfaat untuk dirimu. Sekarang pulanglah, dan tetaplah di tempat tinggalmu!” Lalu lelaki itu pulang dan menetap di tempatnya. Pada keesokan harinya Khalid ibnul Walid datang menyerang, dan ternyata ia tidak menemukan seorang pun dari musuhnya selain lelaki tadi, lalu Khalid menawannya dan mengambil semua hartanya. Ketika sampai berita itu kepada Ammar, maka Ammar datang kepada Khalid dan mengatakan kepadanya, “Lepaskanlah lelaki ini, karena sesungguhnya dia telah masuk Islam, dan sesungguhnya dia telah berada di bawah perlindunganku.” Khalid berkata, “Atas dasar apakah kamu memberi perlindungan?” Keduanya bertengkar, dan akhirnya keduanya melaporkan peristiwa itu kepada Rasulullah Saw. Maka Rasulullah Saw. memperbolehkan tindakan Ammar, tetapi melarangnya mengulangi perbuatannya lagi, yakni memberikan perlindungan tanpa seizin pemimpin pasukan. Keduanya masih terus berbalas caci-maki di hadapan Rasulullah Saw. Maka Khalid berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau biarkan saja budak yang hina ini mencaciku?” Rasulullah Saw. menjawab: Hai Khalid, janganlah engkau mencaci Ammar, karena sesungguhnya barang siapa yang mencaci Ammar, Allah membalas mencacinya; dan barang siapa yang membenci Ammar, Allah membalas membencinya; dan barang siapa yang melaknat Ammar, maka Allah membalas melaknatnya. Ammar masih dalam keadaan emosi. Maka ia bangkit dan pergi, lalu diikuti oleh Khalid. Kemudian Khalid menarik bajunya dan meminta maaf kepadanya. Akhirnya Ammar memaafkannya. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kalian. (An-Nisa: 59)

Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim melalui jalur As-Saddi secara mursal. Ibnu Murdawaih meriwayatkannya melalui Al-Hakam ibnu Zahir, dari As-Saddi, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas. Lalu ia mengetengahkan kisah yang semisal.

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ulil amri yang terdapat di dalam firman-Nya: dan ulil amri di antara kalian.(An-Nisa: 59) Bahwa yang dimaksud adalah ahli fiqih dan ahli agama.

Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Ata, Al-Hasan Al-Basri dan Abul Aliyah, bahwa makna firman-Nya: dan ulil amri di antara kalian. (An-Nisa: 59) adalah para ulama.

Tetapi menurut makna lahiriah ayat —hanya Allah yang lebih mengetahui— makna lafaz ini umum mencakup semua ulil amri dari kalangan pemerintah, juga para ulama.

Allah Swt. telah berfirman:

لَوْلا يَنْهاهُمُ الرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبارُ عَنْ قَوْلِهِمُ الْإِثْمَ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ

Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka, tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? (Al-Maidah: 63)

فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

maka tanyakanlah oleh kalian kepada orang-orang yang berilmu, jika kalian tidak mengetahui. (Al-Anbiya: 7)

Di dalam sebuah hadis sahih yang telah disepakati kesahihannya dari Abu Hurairah r.a. disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

Barang siapa yang taat kepadaku, berarti ia taat kepada Allah; barang siapa yang durhaka kepadaku, berarti ia durhaka kepada Allah. Dan barang siapa yang taat kepada amirku, berarti ia taat kepadaku; dan barang siapa yang durhaka terhadap amirku, berarti ia durhaka kepadaku.

Nas-nas tersebut di atas merupakan dalil-dalil yang memerintahkan agar taat kepada ulama dan pemerintah. Karena itulah dalam surat ini disebutkan: Taatilah Allah. (An-Nisa: 59) Yakni ikutilah ajaran Kitab (Al-Qur’an)-Nya. dan taatilah Rasul-(Nya). (An-Nisa: 59) Maksudnya, amalkanlah sunnah-sunnahnya. Dan ulil amri di antara kalian. (An-Nisa: 59) Yaitu dalam semua perintahnya kepada kalian menyangkut masalah taat kepada Allah, bukan durhaka kepada Allah; karena sesungguhnya tidak ada ketaatan kepada makhluk bila menganjurkan untuk berbuat durhaka terhadap Tuhan Yang Maha Pencipta. Seperti yang disebutkan di dalam sebuah hadis sahih yang mengatakan:

Sesungguhnya ketaatan itu hanyalah dalam masalah kebajikan.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Hammam, telah menceritakan kepada kami Qatadah, dari Ibnu Hurayyis, dari Imran ibnu Husain, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Tidak ada ketaatan dalam maksiat terhadap Allah.

*******************

Firman Allah Swt.:

فَإِنْ تَنازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ

Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya). (An-Nisa: 59)

Menurut Mujahid dan bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf, yang mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah mengembalikan hal tersebut kepada Kitabullah (Al-Qur’an) dan Sunnah Rasulullah Saw.

Hal ini merupakan perintah Allah Swt. yang menyebutkan bahwa segala sesuatu yang diperselisihkan di antara manusia menyangkut masalah pokok-pokok agama dan cabang-cabangnya, hendaknya perselisihan mengenainya itu dikembalikan kepada penilaian Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Seperti yang disebut oleh ayat lain, yaitu firman-Nya:

وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ

Tentang sesuatu apa pun kalian berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah. (Asy-Syura: 10)

Maka apa yang diputuskan oleh Kitabullah dan Sunnah Rasulullah yang dipersaksikan kesahihannya, maka hal itu adalah perkara yang hak. Tiadalah sesudah perkara yang hak, melainkan hanya kebatilan belaka.

Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:

{إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ}

jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. (An-Nisa: 59) Kembalikanlah semua perselisihan dan kebodohan itu kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, lalu carilah keputusan masalah yang kalian perselisihkan itu kepada keduanya.

{إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ}

jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.(An-Nisa: 59)

Hal ini menunjukkan bahwa barang siapa yang tidak menyerahkan keputusan hukum kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya di saat berselisih pendapat, dan tidak mau merujuk kepada keduanya, maka dia bukan orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian.

Firman Allah Swt.:

ذلِكَ خَيْرٌ

Yang demikian itu lebih Utama (bagi kalian). (An-Nisa: 59)

Yakni menyerahkan keputusan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, serta merujuk kepada keduanya dalam menyelesaikan perselisihan pendapat merupakan hal yang lebih utama.

وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

dan lebih baik akibatnya. (An-Nisa: 59)

Yaitu lebih baik akibat dan penyelesaiannya, menurut pendapat As-Saddi dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang. Sedangkan menurut Mujahid, makna yang dimaksud ialah lebih baik penyelesaiannya; apa yang dikatakan Mujahid ini lebih dekat kepada kebenaran.

We will be happy to hear your thoughts

Leave a reply

Amaliyah
Logo