An-Nur, ayat 27-29

An-Nur, ayat 27-29

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (27) فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فِيهَا أَحَدًا فَلا تَدْخُلُوهَا حَتَّى يُؤْذَنَ لَكُمْ وَإِنْ قِيلَ لَكُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا هُوَ أَزْكَى لَكُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ (28) لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ مَسْكُونَةٍ فِيهَا مَتَاعٌ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا تَكْتُمُونَ (29) }

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian, agar kalian (selalu) ingat. Jika kalian tidak menemui seseorang di dalamnya, maka janganlah kalian masuk sebelum kalian mendapat izin. Dan jika dikatakan kepada kalian, “Kembali (saja)lah?, “maka hendaklah kalian kembali. Itu lebih bersih bagi kalian dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan. Tidak ada dosa atas kalian memasuki rumah yang tidak disediakan untuk didiami, yang di dalamnya ada keperluan kalian, dan Allah mengetahui apa yang kalian nyatakan dan apa yang kalian sembunyikan.

Inilah etika-etika syariat yang diajarkan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, yaitu etika dalam meminta izin masuk kedalam rumah orang lain untuk keperluan. Allah menandaskan bahwa mereka tidak boleh memasuki rumah orang lain sebelum meminta izin kepada para penghuninya dan memberikan ucapan salam kepada mereka.

Seseorang yang hendak memasuki rumah orang lain dianjurkan meminta izin sebanyak tiga kali. Bila diizinkan, maka ia boleh masuk; dan bila tidak diizinkan, hendaknya ia pergi.

Di dalam kitab sahih telah disebutkan bahwa Abu Musa pernah meminta izin untuk masuk ke dalam rumah Umar sebanyak tiga kali, tetapi tidak diizinkan baginya, maka ia kembali. Sesudah itu Umar berkata, “Tidakkah tadi saya mendengar suara Abdullah ibnu Qais (nama asli Abu Musa) meminta izin untuk masuk?” Maka Umar berkata, “Berilah izin dia untuk masuk.” Mereka mencarinya, tetapi dia telah pergi. Sesudah itu Abu Musa kembali dan Umar berkata, “Mengapa kamu tadi pulang?” Abu Musa menjawab, “Saya telah meminta izin masuk untuk menemuimu sebanyak tiga kali, tetapi masih belum juga diizinkan bagiku. Dan sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:

‘Apabila seseorang di antara kalian meminta izin sebanyak tiga kali, lalu masih juga belum diizinkan baginya, maka hendaklah ia kembali’.”

Maka Umar berkata, “Sungguh kamu harus mendatangkan saksi yang membenarkan hadis ini ke hadapanku. Jika tidak, maka aku akan menyakitimu dengan pukulan.” Maka Abu Musa pergi menemui segolongan orang-orang Ansar, lalu menceritakan kepada mereka apa yang telah dikatakan oleh Khalifah Umar. Mereka menjawab, “Tiada yang dapat menjadi saksimu kecuali hanya orang yang kecil di antara kami.” Maka pergilah Abu Musa dengan ditemani oleh Abu Sa’id Al-Khudri (ke tempat Umar), lalu ia menceritakan hal tersebut kepada Umar. Maka Umar berkata, “Hadis itu terlupakan olehku karena kesibukanku dengan transaksi dagang di pasar-pasar.”

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Umar, dari Sabit, dari Anas atau lainnya, bahwa Nabi Saw. meminta izin untuk menemui Sa’d ibnu Ubadah. Maka Nabi Saw. mengucapkan, “Assalamu ‘alaika warahmatullah, ” Sa’d menjawab, “Wa’alaikas salam warahmatullah, ” tetapi jawabannya itu tidak terdengar oleh Nabi Saw. sehingga Nabi Saw. mengucapkan salamnya sebanyak tiga kali; dan Sa’d membalasnya pula sebanyak tiga kali, tetapi tidak sampai terdengar oleh Rasulullah Saw. Maka Nabi Saw. kembali. Sa’d mengejarnya lalu berkata, “Wahai Rasulullah, demi ayah dan ibuku yang menjadi tebusanmu, tidak sekali-kali engkau mengucapkan salam melainkan terdengar oleh kedua telingaku ini; dan sungguh aku telah menjawab setiap salammu, tetapi sengaja aku tidak memperdengar­kannya kepadamu karena aku menginginkan agar mendapat banyak salam dan berkah darimu.” Kemudian Nabi Saw. dipersilakan masuk ke dalam rumah, dan Sa’d menyuguhkan makanan buah anggur yang telah disale kepada Nabi Saw. lalu beliau menyantap hidangan tersebut. Setelah selesai makan, Rasulullah Saw. bersabda:

Orang-orang yang baik telah makan makanan kalian, dan para malaikat mendoakan kalian, serta orang-orang yang puasa telah berbuka di rumah kalian.

Abu Daud dan Imam Nasai telah meriwayatkan melalui hadis Abu Amr Al-Auza’i. Ia pernah mendengar Yahya ibnu Abu Kasir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abdur Rahman ibnu Sa’d ibnu Zurarah, dari Qais ibnu Sa’d ibnu Ubadah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. berkunjung ke rumah mereka. Beliau Saw. mengucapkan “Assalamu ‘alaikum warahmatullah.” Maka Sa’d membalasnya dengan suara yang pelan. Qais bertanya, “Mengapa tidak engkau izinkan Rasulullah Saw. masuk?” Sa’d menjawab, “Sengaja saya biarkan beliau agar banyak mengucapkan salam kepada kita.” Rasulullah Saw. kembali mengucapkan salamnya, “Assalamu ‘alaikum warahmatullah.” Sa’d menjawab dengan suara yang lirih (pelan). Kemudian Rasulullah Saw. mengulangi lagi salamnya, “Assalamu ‘alaikum warahmatullah.” Setelah itu Rasulullah Saw. kembali, dan Sa’d mengejarnya, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mendengar salammu dan menjawab setiap salammu dengan suara pelan, agar engkau banyak mendoakan keselamatan bagi kami.” Maka Rasulullah Saw. kembali bersama Sa’d, dan Sa’d memerintah­kan agar disediakan air untuk mandi, lalu Sa’d menyediakan baju Khamisah yang dicelup dengan minyak Za’faran atau minyak al-waras, kemudian baju itu dipakai oleh Rasulullah Saw. Sesudah itu Rasulullah Saw. mengangkat kedua tangannya seraya berdoa:

Ya Allah limpahkanlah ampunan dan rahmat-Mu kepada keluarga Sa ‘d ibnu Ubadah.

Kemudian Rasulullah Saw. menyantap sebagian dari makanan yang dihidangkan. Ketika beliau hendak pulang, Sa’d menyiapkan seekor keledai Untuk kendaraan Nabi Saw. yang telah diberi pelana dengan kain qatifah. Maka Rasulullah Saw. mengendarainya, Lalu Sa’d berkata, “Hai Qais, temanilah Rasulullah Saw.”. Qais menceritakan, “Kemudian Rasulullah Saw. bersabda (kepadaku), ‘Naiklah,’ tetapi aku menolak. Maka Rasulullah Saw. bersabda, ‘Jika kamu tidak mau naik bersamaku, maka pergilah kamu (yakni jangan kawal aku seperti raja),’ Qais berkata, “Lalu aku pergi.” Hadis yang semisal telah diriwayatkan melalui berbagai jalur. Dengan demikian, berarti hadis mvjayid lagi kuat.

Kemudian perlu diketahui bahwa orang yang meminta izin untuk masuk ke dalam rumah seseorang dianjurkan agar jangan berdiri persis di tengah-tengah pintu sehingga berhadap-hadapan dengan pintu. Akan tetapi, hendaklah ia berdiri agak menyamping baik ke arah kanan pintu atau ke sebelah kirinya.

Demikian itu berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Mu’ammal ibnul Fadl Al-Harrani, lalu disebutkan perawi-perawi lainnya. Mereka mengatakan, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdur Rahman, dari Abdullah ibnu Bisyr yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. apabila mendatangi pintu rumah suatu kaum, beliau tidak pernah menghadapkan dirinya ke arah pintu, tetapi dari sebelah kanan atau sebelah kirinya, lalu mengucapkan, “Assalamu ‘alaikum.” Demikian itu karena di masa itu pintu-pintu rumah tidak memakai kain penutup (gordin). Hadis diriwayatkan oleh Imam Abu Daud secara tunggal.

Abu Daud mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Jarir.

Dalam waktu yang sama Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Hafs, dari Al-A’masy, dari Talhah, dari Hazil yang menceritakan bahwa seorang lelaki datang; Usman mengatakan bahwa dia adalah Sa’d. lalu Sa’d berdiri di depan pintu rumah Nabi Saw. seraya meminta izin untuk masuk. Usman (perawi) mengatakan bahwa Sa’d berdiri menghadap ke arah pintu, maka Nabi Saw. bersabda kepadanya seraya berisyarat, “Beginilah caranya, minggirlah dari pintu, sesungguhnya meminta izin itu tiada lain untuk diperbolehkan melihat.”

Abu Daud At-Tayalisi meriwayatkannya melalui Sufyan As-Sauri, dari Al-A’masy, dari Talhah ibnu Masraf, dari seorang lelaki, dari Nabi Saw. Abu Daud meriwayatkannya melalui hadis dia.

Di dalam kitab Sahihain disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

Seandainya ada seseorang mengintipmu tanpa seizinmu, lalu kamu lempar dengan batu kerikil hingga membutakan matanya, maka tiada dosa bagimu.

Jama’ah mengetengahkannya melalui hadis Syu’bah, dari Muhammad ibnul Munkadir, dari Jabir yang mengatakan bahwa ia datang kepada Nabi Saw. untuk membayar utang ayahnya, lalu ia mengetuk pintu. Maka Nabi Saw. bertanya. ”Siapakah kamu?” Aku (Jabir) berkata, “Saya.” Nabi Saw. bersabda, “Saya, saya,” seakan-akan beliau tidak suka dengan jawaban tersebut.

Sesungguhnya Nabi Saw. tidak suka dengan jawaban tersebut karena jawaban itu masih belum memperkenalkan pelakunya sebelum menyebutkan namanya atau julukannya yang menjadi nama panggi lannya. Jika tidak demikian, maka setiap orang bisa saja menyebutkan dirinya dengan kata ‘saya’. Hal ini tidak dapat memenuhi maksud yang dituju dari memperkenalkan diri agar diberi izin untuk masuk, seperti yang dianjurkan oleh ayat ini.

Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa isti-nas artinya meminta izin. Hal yang sama dikatakan oleh selain Ibnu Abbas.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja’far, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Abu Bisyr, dari Sa’id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini, yaitu firman-Nya: janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian sebelum meminta izin dan memberi salam. (An-Nur: 27) Ibnu Abbas mengatakan, sesungguhnya telah terjadi kekeliruan yang dilakukan oleh para penyalin, sebenarnya hatta tasta-zinu watusallimu.

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Hasyim, dari Abu Bisyr (yaitu Ja’far ibnu Iyas), dari Sa’id, dari Ibnu Abbas dengan lafaz yang semisal. Ditambahkan pula di dalam riwayat ini bahwa Ibnu Abbas membacanya dengan bacaan tasta-zinu. Dia membacanya berdasarkan qiraat Ubay ibnu Ka’b r.a. Akan tetapi, riwayat ini berpredikat garib sekali bila bersumber dari Ibnu Abbas.

Hasyim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mugirah, dari Ibrahim yang mengatakan bahwa di dalam mushaf Ibnu Mas’ud disebutkan hatta tusallimu ‘ala ahliha watasta-zinii (hingga kalian mengucapkan salam kepada penghuninya dan meminta izin kepada mereka). Hal seperti inipun disebutkan di dalam suatu riwayat yang bersumber dari Ibnu Abbas, lalu dipilih oleh Ibnu Jarir.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Rauh, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Amr ibnu Abu Sufyan; Amr ibnu Abu Safwan pernah menceritakan kepadanya bahwa Kaidah ibnul Hambal pernah menceritakan kepadanya, “Safwan ibnu Umayyah menyuruhku pergi ke Laba’, Jidayah, dan Dagabis di masa penaklukan kota Mekah, sedangkan Nabi Saw. berada di puncak lembah. Lalu aku masuk untuk menemui Nabi Saw. tanpa bersalam dan tanpa meminta izin terlebih dahulu. Maka Nabi Saw. bersabda:

‘Kembalilah kamu dan ucapkanlah: Assalamu ‘alaikum, bolehkah saya masuk?’

Demikian itu terjadi setelah Safwan ibnu Umayyah masuk Islam.”

Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Ibnu Juraij dengan sanad yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan garib, kami tidak mengenalnya kecuali hanya melalui jalur Ibnu Juraij.

Imam Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas, dari Mansur, dari Rib’i yang mengatakan bahwa seorang lelaki dari kalangan Bani’ Amir meminta izin untuk menemui Rasulullah Saw. yang ada di dalam rumahnya, lalu lelaki itu berkata, “Bolehkah saya masuk?” Maka Nabi Saw. bersabda kepada pelayannya, “Keluarlah, dan temui orang itu, ajarilah dia cara meminta izin. Katakanlah kepadanya agar terlebih dahulu mengucapkan, ‘Assalamu ‘alaikum, bolehkah saya masuk?’.” Perkataan Nabi Saw. rupanya terdengar oleh lelaki itu, maka ia mengucapkan, “Assalamu ‘alaikum, bolehkah saya masuk?” Kemudian Nabi Saw. mengizinkannya untuk masuk.

Hasyim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mansur dari Ibnu Sirin, dan telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Ubaid, dari Amr ibnu Sa’id As-Saqafi, bahwa seorang lelaki meminta izin untuk bertemu dengan Nabi Saw. Untuk itu ia mengatakan, “Bolehkah saya masuk?” Atau, “Bolehkah kami masuk?” Maka Nabi Saw. bersabda kepada budak perempuannya yang dikenal dengan nama Raudah, “Pergilah kamu dan temuilah orang itu. Ajarilah dia cara meminta izin, dia masih, belum mengerti cara meminta izin. Katakanlah kepadanya agar mengucapkan, ‘Assalamu ‘alaikum, bolehkah saya masuk?’.” Ternyata lelaki itu mendengar ucapan Nabi Saw. Maka ia berkata, “Assala mu’alaikum, bolehkah saya masuk?” Lalu Nabi Saw. bersabda, “Masuklah.”

Imam Turmuzi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnus Sabah, telah menceritakan kepada kami Sa’id ibnu Zakaria, dari Anbasah ibnu Abdur Rahman, dari Muhammad ibnu Zazan, dari Muhammad ibnul Munkadir, dari Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Salam itu sebelum bicara.

Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis Anbasah lemah lagi tak terpakai, dan Muhammad ibnu Zazan di dalam sanadnya terdapat nakarah dan kelemahan.

Hasyim mengatakan, Mugirah pernah mengatakan bahwa Mujahid pernah menceritakan bahwa Ibnu Umar datang dari suatu keperluan dalam keadaan lusuh karena panasnya matahari padang pasir yang menyengat. Lalu ia mendatangi kemah seorang wanita Quraisy. Ibnu Umar mengucapkan, “Assalamu ‘alaikum, bolehkah saya masuk?” Wanita itu menjawab, “Masuklah dengan selamat.” Ibnu Umar mengulangi lagi salamnya, dan wanita itu menjawabnya seperti jawaban semula, sedangkan Ibnu Umar masih tetap tidak beranjak dari tempatnya, lalu ia berkata (kepada wanita itu), “Jawablah, ‘Masuklah!’.” Lalu wanita itu menuruti apa yang diajarkannya dan mengucapkan, “Masuklah.” Setelah itu barulah Ibnu Umar masuk.

Ibnu Abu Hatim menyebutkan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Na’im Al-Ahwal, telah menceritakan kepadaku Khalid ibnu Iyas, telah menceritakan kepadaku nenekku Ummu Iyas yang mengatakan bahwa ia bersama tiga orang wanita lainnya yang jumlah seluruhnya empat orang meminta izin untuk menemui Siti Aisyah. Maka mereka mengucapkan, “Bolehkah kami masuk?” Siti Aisyah menjawab, “Jangan, ajarkanlah kepada teman kalian cara meminta izin!” Maka nenekku mengatakan, “Assalamu ‘alaikum, bolehkah kami masuk?” Siti Aisyah menjawab, “Masuklah kalian.” Kemudian Siti Aisyah membaca firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. (An-Nur: 27)

Hasyim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Asy’a.s ibnu Siwar, dari Kardus, dari Ibnu Mas’ud yang mengatakan, “Kalian harus meminta izin pula kepada ibu dan saudara perempuan kalian.”

Asy’as mengatakah dari Addi ibnu Sabit, bahwa seorang wanita Ansar berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku di dalam rumahku dalam keadaan penampilan yang tidak aku sukai bila ada seseorang melihatku dalam keadaan demikian, baik dia orang tuaku ataupun anakku. Dan sesungguhnya sampai sekarang masih saja ada laki-laki dari kalangan keluargaku yang memasuki rumahku dalam keadaan aku seperti itu.” Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa lalu turunlah firman Allah Swt. yang mengatakan: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah-rumah (An-Nur: 27), hingga akhir ayat.

Ibnu Juraij mengatakan bahwa aku mendengar Ata ibnu Abu Rabah meriwayatkan asar berikut dari Ibnu Abbas. Ibnu Abbas mengatakan, bahwa ada tiga ayat yang berbeda dengan apa yang berlaku di kalangan manusia. Allah telah berfirman:

{إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ}

Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian. (Al-Hujurat: 13)

Ibnu Abbas mengatakan bahwa manusia mengatakan, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara mereka di sisi Allah ialah orang yang paling besar rumahnya.”

Ibnu Abbas mengatakan bahwa etika seluruhnya tidak disukai oleh manusia. Lalu Ata bertanya, “Apakah saya harus meminta izin masuk pula kepada saudara-saudara perempuanku, mereka adalah anak-anak yatim yang berada dalam pemeliharaanku, hidup bersamaku dalam satu rumah?” Ibnu Abbas menjawab, “Ya.” Maka aku mengulangi lagi pertanyaanku dengan maksud agar diberi dispensasi buatku dalam masalah ini, tetapi Ibnu Abbas tetap menolak dan balik bertanya, “Apakah kamu ingin melihatnya dalam keadaan telanjang?” Aku menjawab, “Tidak.” Ibnu Abbas berkata, “Kalau demikian, minta izinlah sebelum kamu masuk menemuinya.”

Ata kembali bertanya mengenai masalah itu, maka Ibnu Abbas balik bertanya, “Sukakah kamu berbuat ketaatan kepada Allah?” Aku menjawab, “Ya.” Ibnu Abbas berkata, “Kalau demikian, minta izinlah.”

Ibnu Juraij mengatakan bahwa telah menceritakan kepadaku Ibnu Tawus dari ayahnya yang telah mengatakan: “Tiada seorang wanita pun yang lebih aku benci dari seorang wanita muhrim yang aku lihat auratnya,” yakni memperlihatkan auratnya, dan adalah beliau orang yang sangat keras dalam masalah ini. Ata mengatakan bahwa Ibnu Abbas sangat memperketat masalah ini.

Ibnu Juraij telah meriwayatkan dari Az-Zuhri, bahwa ia pernah mendengar Hazil ibnu Syurahbil Al-Audi yang tuna netra menceritakan apa yang pernah ia dengar dari Ibnu Mas’ud saat mengatakan, “Kalian harus meminta izin pula kepada ibu-ibu kalian (jika kalian hendak masuk menemui mereka).”

Ibnu Juraij bertanya kepada Ata, “Apakah seorang lelaki diharuskan meminta izin kepada ibunya?” Ata menjawab, “Tidak.” Fatwa dari Ata ini ditakwilkan mengandung hukum bahwa hal tersebut tidak wajib, melainkan hanya dianjurkan. Karena sesungguhnya hal yang paling utama ialah memberitahukan kepada si ibu bahwa si anak akan masuk menemuinya, dan jangan masuk begitu saja sehingga mengejutkan si ibu karena barangkali si ibu berada dalam keadaan yang tidak suka bila ada orang lain melihatnya dalam keadaan seperti itu.

Abu Ja’far ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Hazim, dari Al-A’masy, dari Amr ibnu Murrah, dari Yahya Al-Jazzar, dari anak lelaki saudara lelaki Zainab, istri sahabat Abdullah ibnu Mas’ud, dari Zainab r.a. yang mengatakan bahwa Abdullah ibnu Mas’ud apabila pulang dari suatu keperluannya, dan langkahnya sampai ke depan pintu, maka terlebih dahulu ia mendehem dan meludah, sebab ia tidak suka bila masuk ketika kami dalam keadaan yang tidak disukai olehnya. Sanad asar ini sahih.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan Al-Wasiti, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Namir, telah menceritakan kepada kami Al-A’masy, dari Amr ibnu Murrah, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Abdullah apabila masuk ke dalam rumahnya terlebih dahulu meminta izin dengan suara yang keras.

Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: sebelum meminta izin. (An-Nur: 27) Yaitu memberitahu dengan cara berdehem atau berdahak.

Imam Ahmad ibnu Hambal rahimahullah mengatakan bahwa apabila seseorang memasuki rumahnya, ia suka bila orang tersebut mendehem terlebih dahulu atau menggerakkan kedua terompahnya. Karena itulah disebutkan di dalam kitab sahih bersumber dari Rasulullah Saw. bahwa beliau Saw. melarang seorang lelaki datang ke rumah istrinya di malam hari. Menurut riwayat lain, datang di malam hari mengejutkan mereka.

Di dalam hadis lain disebutkan bahwa Rasulullah Saw. tiba di Madinah pada siang hari, maka terlebih dahulu beliau memberhentikan kendaraannya untuk istirahat di tanah lapang Madinah, lalu beliau bersabda:

Tunggulah sebelum kita masuk di petang hari, sehingga wanita yang tadinya kusut rambutnya bersisir dahulu dan wanita yang ditinggal suaminya berpergian berseka terlebih dahulu.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Sulaiman, dari Wasil ibnus Sa-ib, telah menceritakan kepadaku Abu Saurah anak saudara Abu Ayyub, dari Abu Ayyub, bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw.”Wahai Rasulullah, mengenai salam saya sudah mengerti, tetapi apakah yang dimaksud dengan istinas? Rasulullah Saw. bersabda: Hendaknyalah seseorang mengucapkan tasbih, takbir, atau tahmid, dan mendehem, lalu meminta izin kepada penghuni rumah.

Hadis ini berpredikat garib.

Qatadah telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: sebelum meminta izin. (An-Nur: 27) Yang dimaksud ialah meminta izin sebanyak tiga kali; dan barang siapa yang tidak diberi izin masuk oleh penghuni rumah yang didatanginya, hendaknya ia kembali. Izin yang pertama sebagai pemberitahuan kedatangan, izin yang kedua agar mereka bersiap sedia, dan izin yang ketiga sebagai keputusan; diizinkan masuk atau tidak, terserah kepada penghuni rumah. Mereka boleh mengizinkan dan boleh menolak kedatangannya. Tetapi janganlah kamu berdiri di depan pintu suatu kaum yang menolak kedatanganmu, karena sesungguhnya manusia mempunyai banyak keperluan dan kesibukan, dan Allah lebih utama untuk diperhatikan.

Muqatil ibnu Hayyan telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. (An-Nur: 27) Bahwa dahulu di masa Jahiliah seorang lelaki bila bersua dengan temannya tidak mengucapkan salam kepadanya, melainkan hanya mengatakan kepadanya, “Selamat pagi,” atau, “Selamat sore.” Dan itulah salam penghormatan yang berlaku di antara mereka. Apabila seseorang dari mereka pergi menemui temannya, maka ia tidak meminta izin lagi untuk masuk, melainkan langsung masuk ke dalam rumah seraya berkata, “Saya masuk,” atau perkataan lainnya yang semakna, sehingga hal itu dirasakan tidak enak bagi yang didatangi karena barangkali ia sedang bersama istrinya. Setelah Islam datang, maka Allah Swt. mengubah secara total tradisi itu dengan etika yang sopan, bersih, dan suci dari perbuatan yang kotor dan tidak baik. Untuk itu Allah Swt. berfirman: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. (An-Nur: 27), hingga akhir ayat.

Apa yang dikemukakan oleh Muqatil ini cukup baik. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:

{ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ}

Yang demikian itu lebih baik bagi kalian. (An-Nur: 27)

Maksudnya, meminta izin itu baik bagi kalian; yakni baik bagi kedua belah pihak yang bersangkutan, baik pihak tamu maupun pihak penghuni rumah.

{لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ}

Agar kalian (selalu) ingat. (An-Nur: 27)

*******************

Adapun firman Allah Swt.:

{فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فِيهَا أَحَدًا فَلا تَدْخُلُوهَا حَتَّى يُؤْذَنَ لَكُمْ}

Jika kalian tidak menemui seorang pun di dalamnya, maka jangan­lah kalian masuk sebelum kalian mendapat izin. (An-Nur: 28)

Karena sikap yang dilarang itu mengandung pengertian tindakan seenaknya terhadap hak milik orang lain tanpa seizin pemiliknya. Padahal si pemilik mempunyai kekuasaan penuh untuk memberi izin masuk atau menolak menurut apa yang disukainya.

{وَإِنْ قِيلَ لَكُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا هُوَ أَزْكَى لَكُمْ}

Dan jika dikatakan kepada kalian, “Kembali (saja)lah?, ” maka hen­daklah kalian kembali. Itu lebih bersih bagi kalian. (An-Nur: 28)

Yakni apabila penghuni rumah menolak kedatangan kalian sebelum kalian meminta izin atau sesudahnya.

{فَارْجِعُوا هُوَ أَزْكَى لَكُمْ}

maka hendaklah kalian kembali. Itu lebih bersih bagi kalian. (An-Nur: 28)

Yaitu kembali kalian adalah lebih suci dan lebih bersih bagi nama kalian.

{وَاللهُ بِمَا تَعْملُونَ عَلِيم}

dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan. (An-Nur: 28)

Qatadah mengatakan bahwa sebagian Muhajirin berkata bahwa sesungguhnya sepanjang usianya ia mencari makna ayat ini, tetapi ia tidak menjumpainya; karena bila ia meminta izin untuk menemui seseorang dari saudaranya, saudaranya itu berkata, “Kembalilah,” hingga terpaksa ia kembali, sedangkan hatinya masih dipenuhi oleh rasa ingin tahu.

{وَإِنْ قِيلَ لَكُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا هُوَ أَزْكَى لَكُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ}

Dan jika dikatakan kepada kalian, “Kembali (saja)lah, ” maka hendaklah kalian kembali. Itu lebih bersih bagi kalian dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan. (An-Nur: 28)

Sa’id ibnu Jubair mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa janganlah kalian berdiri di depan pintu rumah orang lain (bila meminta izin).

Firman Allah Swt.:

{لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ مَسْكُونَةٍَ}

Tidak ada dosa atas kalian memasuki rumah yang tidak disediakan untuk didiami. (An-Nur: 28), hingga akhir ayat.

Ayat yang mulia ini lebih khusus maknanya daripada ayat sebelumnya. Karena dalam ayat ini terkandung pengertian yang membolehkan masuk ke dalam rumah-rumah yang disediakan tidak untuk didiami, jika ia mempunyai keperluan di dalamnya, sekalipun tanpa izin. Misalnya seperti ruangan yang disediakan untuk tamu; bila seseorang telah mendapat izin sejak semulanya, maka itu sudah cukup baginya.

Ibnu Juraij mengatakan bahwa Ibnu Abbas mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian. (An-Nur: 27) Kemudian ayat ini di-mansukh dan dikecualikan oleh firman Allah Swt. yang lainnya, yaitu: Tidak ada dosa atas kalian memasuki rumah yang tidak disediakan untuk didiami, yang di dalamnya ada keperluan kalian. (An-Nur: 29)

Hal yang sama telah diriwayatkan dari Ikrimah dan Al-Hasan Al-Basri. Yang lainnya mengatakan bahwa rumah yang tidak disediakan untuk didiami ialah seperti kios-kios, ruang-ruang tunggu para penumpang, rumah-rumah Mekah, dan lain-lainnya. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir, dan ia meriwayatkannya dari Jama’ah, tetapi pendapat yang pertama lebih kuat. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

Malik telah meriwayatkan dari Zaid ibnu Aslam, bahwa rumah yang disediakan bukan untuk didiami adalah yang terbuat dari bulu, yakni kemah-kemah dan tenda-tenda.

We will be happy to hear your thoughts

Leave a reply

Amaliyah
Logo