At-Takwir, ayat 1-14

At-Takwir, ayat 1-14

إِذَا الشَّمْسُ كُوِّرَتْ (1) وَإِذَا النُّجُومُ انْكَدَرَتْ (2) وَإِذَا الْجِبَالُ سُيِّرَتْ (3) وَإِذَا الْعِشَارُ عُطِّلَتْ (4) وَإِذَا الْوُحُوشُ حُشِرَتْ (5) وَإِذَا الْبِحَارُ سُجِّرَتْ (6) وَإِذَا النُّفُوسُ زُوِّجَتْ (7) وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ (8) بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ (9) وَإِذَا الصُّحُفُ نُشِرَتْ (10) وَإِذَا السَّمَاءُ كُشِطَتْ (11) وَإِذَا الْجَحِيمُ سُعِّرَتْ (12) وَإِذَا الْجَنَّةُ أُزْلِفَتْ (13) عَلِمَتْ نَفْسٌ مَا أَحْضَرَتْ (14)

Apabila matahari digulung, dan apabila bintang-bintang berjatuhan, dan apabila gunung-gunung dihancurkan, dan apabila unta-unta yang bunting ditinggalkan (tidak dipedulikan), dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan, ‘dan apabila lautan dipanaskan, dan apabila roh-roh dipertemukan (dengan tubuh), apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh, dan apabila catatan-catatan (amal perbuatan manusia) dibuka, dan apabila langit dilenyapkan, dan apabila neraka Jahim dinyalakan, dan apabila surga didekatkan, maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakannya.

Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Apabila matahari digulung. (At-Takwir: 1) Maksudnya, menjadi gelap tidak bercahaya lagi.

Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa apabila matahari telah lenyap. Mujahid mengatakan surut dan lenyap. Hal yang sama dikatakan oleh Ad-Dahhak. Qatadah mengatakan bahwa cahayanya lenyap.

Sa’id ibnu Jubair mengatakan bahwa makna takwir ialah digulung.

Ar-Rabi’ ibnu Khaisam mengatakan, kuwwirat artinya dilemparkan.

Abu Saleh mengatakan bahwa kuwwirat artinya dilemparkan atau dijatuhkan, dan menurut riwayat lain darinya disebutkan dijungkirkan.

Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah dijatuhkan ke bumi.

Ibnu Jarir mengatakan bahwa pendapat yang benar menurut pandangan kami mengenai makna takwir ialah menghimpun sebagian darinya dengan sebagian yang lain alias menggulungnya. Termasuk ke dalam pengertian ini dikatakan takwirul ‘imamah yang artinya menghimpun sebagian pakaian dengan sebagian yang lainnya alias menggulungnya. Makna firman Allah Swt.: digulung. (At-Takwir: 1) Artinya, menggabungkan sebagian darinya dengan sebagian yang lain, lalu dilemparkan. Apabila dilakukan demikian terhadap matahari, maka lenyaplah cahayanya.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id Al-Asyaj dan Amr ibnu Abdullah Al-Audi, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, dari Mujalid, dari seorang syekh, dari Bajulah, dari Ibnu Abhas sehubungan dengan makna izasy syamsu kuwwirat, bahwa kelak di hari kiamat Allah menggulung matahari, bulan, dan bintang-bintang di laut, lalu Allah mengirimkan angin dabur dan membakarnya dengan api. Hal yang sama dikatakan oleh Amir Asy-Sya’bi.

Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Saleh, telah menceritakan kepadaku Mu’awiyah ibnu Saleh, dari Ibnu Yazid ibnu Abu Maryam, dari ayahnya, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda sehubungan dengan makna firman-Nya: Apabila matahari digulung. (At-Takwir: 1) lalu beliau Saw. menjelaskan: Matahari digulung di dalam neraka Jahanam.

Al-Hafiz Abu Ya’la mengatakan di dalam kitab musnadnya, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Muhammad ibnu Hibban, telah menceritakan kepada kami Darasat ibnu Ziyad, telah menceritakan kepada kami Yazid Ar-Raqqasyi, telah menceritakan kepada kami Anas yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Matahari dan bulan adalah dua ekor banteng yang (akan) disembelih kedua-duanya di dalam neraka.

Hadis ini daif karena Yazid Ar-Raqqasyi orangnya daif. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari di dalam kitab sahih tanpa adanya tambahan ini.

Kemudian Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnul Mukhtar, telah menceritakan kepada kami Abdullah Ad-Danaj, telah menceritakan kepadaku Abu Salamah ibnu Abdur Rahman, dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Matahari dan bulan digulung kelak di hari kiamat.

Imam Bukhari meriwayatkan hadis ini secara munfarid dan inilah lafaznya, dan sesungguhnya dia mengetengahkan hadis ini hanya dalam Kitab “Permulaan Kejadian”, padahal yang lebih pantas hadis ini diketengahkan dalam tafsir ayat ini atau paling tidak diulangi di sini, sebagaimana kebiasaan Imam Bukhari dalam membahas masalah-masalah yang semisal.

Al-Bazzar telah meriwayatkannya dengan penyajian yang baik, untuk itu ia mengatakan bahwa:

telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Ziyad Al-Bagdadi, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnul Mukhtar, dari Abdullah Ad-Danaj yangmengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Salamah ibnu Abdur Rahman ibnu Khalid ibnu Abdullah Al-Qisri di masjid ini —yaitu masjid Kufah— dan saat itu Al-Hasan datang, lalu duduk bersamanya, maka ia menceritakan bahwa Abu Hurairah pernah menceritakan kepada kami bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua ekor banteng di dalam neraka yang keduanya disembelih kelak di hari kiamat. Kemudian Al-Hasan bertanya, “Apakah dosa keduanya?” Abdullah Ad-Danaj bertanya, “Apakah Abu Hurairah menceritakannya kepadamu dari Rasulullah Saw., sedangkan engkau katakan, ‘Menurutku Al-Hasan bertanya, apakah dosa keduanya,?”

Kemudian Al-Bazzar mengatakan bahwa Abu Salamah belum pernah meriwayatkan dari Abu Hurairah melainkan hanya melalui jalur ini. Dan Abdullah ibnuDanaj belum pernah meriwayatkan dari Abu Salamah selain dari hadis ini.

Firman Allah Swt.:

{وَإِذَا النُّجُومُ انْكَدَرَتْ}

dan apabila bintang-bintang berjatuhan. (At-Takwir: 2)

Yakni jatuh berserakan, seperti yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman Allah Swt.:

وَإِذَا الْكَواكِبُ انْتَثَرَتْ

dan apabila bintang-bintang jatuh berserakan. (Al-Infithar: 2)

Asal kata inkadarat adalah inkidar yang artinya berjatuhan,

Ar-Rabi’ ibnu Anas telah meriwayatkan dari Abul Aliyah, dari Ubay ibnu Ka’b yang mengatakan bahwa ada enam pertanda sebelum hari kiamat. Yaitu ketika manusia sedang berada di pasar-pasar mereka, tiba-tiba cahaya matahari lenyap. Dan ketika mereka dalam keadaan demikian, tiba-tiba bintang-bintang jatuh berserakan. Dan ketika mereka dalam keadaan demikian, tiba-tiba gunung-gunung jatuh ke permukaan bumi (yang datar), lalu bergerak dan menimbulkan gempa yang hebat dan terjadilah huru-hara, maka jin merasa kaget dan berdatangan kepada manusia, begitu pula sebaliknya manusia berdatangan kepada jin karena kaget. Hewan-hewan ternak, burung-burung, dan hewan-hewan liar sebagian darinya bercampur baur dengan yang lainnya menjadi satu karena terkejut dengan peristiwa itu. dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan. (At-Takwir: 5) Yakni bercampur aduk menjadi satu. dan apabila unta-unta yang bunting ditinggalkan (tidak dipedulikan). (At-Takwir: 4) Yaitu diabaikan oleh para pemiliknya (karena mereka panik menyaksikan huru-hara hari kiamat itu). dan apabila lautan dipanaskan. (At-Takwir: 6)

Ubay ibnu Ka’b melanjutkan bahwa jin berkata kepada manusia, “Biarlah kami yang akan mencari tahu untuk kalian.” Jin berangkat menuju laut, tiba-tiba lautan telah berubah menjadi api yang menyala-nyala. Ketika mereka sedang dalam keadaan demikian, tiba-tiba bumi retak dengan keretakan yang menembus sampai tujuh lapis bumi dan juga sampai ke langit yang ketujuh di bagian atasnya. Dan ketika mereka sedang dalam keadaan demikian, tiba-tiba datanglah angin menimpa mereka dan mematikan mereka semuanya. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir lengkap dengan lafaznya; juga Ibnu Abu Hatim, tetapi hanya sebagiannya saja.

Hal yang sama dikatakan oleh Mujahid, Ar-Rabi’ ibnu Khaisam, Al-Hasan Al-Basri, Abu Saleh, Hammad ibnu Abu Sulaiman, dan Ad-Dahhak sehubungan dengan makna firman-Nya: dan apabila bintang-bintang berjatuhan. (At-Takwir: 2) Maksudnya jatuh berserakan. Ali ibnu Abu Talhah telah menwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan apabila bintang-bintang berjatuhan. (At-Takwir: 2) Yakni berubah.

Yazid ibnu Abu Maryam telah meriwayatkan dari Nabi Saw. sehubungan dengan makna firman-Nya: dan apabila bintang-bintang berjatuhan. (At-Takwir: 2) SelanjutnyaNabi Saw. bersabda:

Bintang-bintang itu berjatuhan ke dalam neraka Jahanam bersama-sama dengan semua yang disembah selain Allah, semuanya dimasukkan ke dalam neraka Jahanam, terkecuali apa yang dilakukan terhadap Isa dan ibunya. Seandainya keduanya rela menjadi sembahan selain Allah, niscaya keduanya dimasukkan pula ke dalamnya.

Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dengan sanad yang seperti di atas.

*******************

Firman Allah Swt.:

{وَإِذَا الْجِبَالُ سُيِّرَتْ}

dan apabila gunung-gunung dihancurkan. (At-Takwir: 3)

Yaitu lenyap dari tempatnya masing-masing dan meledak sehingga bumi bekas tempat berpijaknya menjadi rata dan datar.

Firman Allah Swt.:

{وَإِذَا الْعِشَارُ عُطِّلَتْ}

dan apabila unta-unta yang bunting ditinggalkan (tidak dipedulikan). (At-Takwir: 4)

Ikrimah dan Mujahid mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah unta-unta yang sedang bunting, Mujahid mengatakan, unta-unta yang sangat berharga bagi pemiliknya itu diabaikan dan tidak dipedulikan lagi. Ubay ibnu Ka’b dan Ad-Dahhak mengatakan bahwa para pemiliknya mengabaikannya. Ar-Rabi’ ibnu Khaisam mengatakan bahwa unta-unta itu tidak diperah air susunya, melainkan dibiarkan dan diacuhkan oleh para pemiliknya. Ad-Dahhak mengatakan, unta-unta itu dibiarkan tanpa ada yang menggembala. Makna yang dimaksud dari semua pendapat di atas berdekatan.

Kesimpulannya ialah bahwa al-‘isyar ialah unta-unta betina pilihan yang sedang hamil dalam masa sepuluh bulan; bentuk tunggalnya disebut ‘usyara. Dan unta ini masih tetap disebut demikian sampai melahirkan anaknya.

Demikian itu karena manusia cukup disibukkan oleh urusannya sendiri hingga melupakannya dan tidak lagi memelihara dan memanfaatkannya lagi, padahal sebelumnya unta-unta tersebut merupakan harta mereka yang paling berharga. Hal ini tiada lain karena mereka sedang mengalami peristiwa yang dahsyat lagi sangat menakutkan, yaitu menghadapi kejadian-kejadian yang mengawali hari kiamat. Menurut pendapat lain. hal itu terjadi di hari kiamat sendiri; para pemilik unta-unta itu melihatnya, tetapi tiada jalan bagi mereka kepadanya. Menurut pendapat yang lainnya. al-‘isyar artinya awan yang terhenti di antara langit dan bumi tidak dapat bergerak karena dunia sudah rusak. Dan menurut pendapat yang lainnya lagi, makna yang dimaksud adalah tanah yang diukur dengan puluhan hasta, yakni tanah yang mahal harganya. Dan menurut pendapat yang lain, yang dimaksud ialah rumah-rumah yang dahulunya ramai dengan para penghuninya, kemudian hari itu menjadi kosong semuanya karena semua penghuninya telah pergi (mati). Semua pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Abdullah Al-Qurtubi di dalam kitabnya yang berjudul Al-Tazkirah. Kemudian dia menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah unta-unta yang sedang bunting, dan ia menisbatkannya kepada kebanyakan ulama. Menurut hemat penulis, memang tidak dikenal ada pendapat lain yang bersumber dari ulama Salaf dan para imam selain dari pendapat ini.

Firman Allah Swt:

{وَإِذَا الْوُحُوشُ حُشِرَتْ}

dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan. (At-Takwir: 5)

Yakni dihimpunkan menjadi satu, seperti yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:

وَما مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلا طائِرٍ يَطِيرُ بِجَناحَيْهِ إِلَّا أُمَمٌ أَمْثالُكُمْ مَا فَرَّطْنا فِي الْكِتابِ مِنْ شَيْءٍ ثُمَّ إِلى رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ

Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kalian. Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan. (Al-An’am: 38)

Ibnu Abbas mengatakan bahwa semua hewan dikumpulkan hingga lalat. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ar-Rabi’ ibnu Khaisam dan As-Saddi serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang. Hal yang sama dikatakan juga oleh Qatadah dalam tafsir ayat ini, bahwa sesungguhnya Allah menghimpunkan semua hewan, kemudian Allah memutuskan terhadapnya menurut apa yang dikehendaki-Nya. Ikrimah mengatakan bahwa dihimpunkan-Nya hewan-hewan maksudnya semuanya dimatikan.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ali ibnu Muslim At-Tusi, telah menceritakan kepada kami Abbad ibnul Awam, telah menceritakan kepada kami Husain, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman Allah Swt.: dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan. (At-Takwir: 5) Bahwa penghimpunan semua binatang ialah dengan mematikannya, dan penghimpunan segala sesuatu mengandung makna mematikannya kecuali jin dan manusia, karena kedua jenis makhluk ini akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di hari kiamat.

Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Waki’, dari Sufyan, dari ayahnya, dari Abu Ya’la, dari Ar-Rabi’ ibnu Khaisam sehubungan dengan makna firman Allah Swt.: dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan. (At-Takwir: 5) Bahwa perintah Allah telah datang kepadanya. Sufyan mengatakan, ayahnya pernah mengatakan bahwa ia pernah menceritakan hal ini kepada Ikrimah. Maka Ikrimah mengatakan bahwa Ibnu Abbas telah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hasyr ialah mematikannya.

Dan dalam keterangan yang lalu telah disebutkan dari Ubay ibnu Ka’b, bahwa dia telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan. (At-Takwir: 5) Bahwa makna yang dimaksud ialah bercampur baur menjadi satu.

Ibnu Jarir mengatakan bahwa pendapat yang paling utama ialah apa yang dikatakan oleh orang yang mengatakan bahwa husyirat artinya dihimpunkan.

Allah Swt. telah berfirman:

وَالطَّيْرَ مَحْشُورَةً

dan (Kami tundukkan pula) burung-burung dalam keadaan terkumpul. (Shad: 19)

Yakni terhimpunkan.

Firman Allah Swt.:

{وَإِذَا الْبِحَارُ سُجِّرَتْ}

dan apabila lautan dipanaskan (At-Takwir: 6)

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya’qub, telah menceritakan kepada kami Ibnu Aliyyah, dari Daud, dari Sa’id ibnul Musayyab yang mengatakan bahwa Ali r.a. bertanya kepada seorang lelaki Yahudi,”Di manakah neraka Jahanam itu?'” Lelaki itu menjawab, “Di laut.” Kemudian Ali berkata, bahwa menurutnya lelaki Yahudi itu benar dalam jawabannya, karena Allah Swt. telah berfirman: dan laut yang di dalam tanahnya ada api. (at-Tur: 6) Dan firman-Nya: dan apabila lautan dipanaskan (At-Takwir: 6)

Ibnu Abbas dan selainnya yang bukan hanya seorang telah mengatakan bahwa Allah mengirimkan angin dabur ke laut. Maka laut menjadi mendidih karenanya, kemudian berubah menjadi api yang menyala-nyala dengan hebatnya. Hal ini telah diterangkan sebelumnya pada tafsir firman Allah Swt.: dan laut yang di dalam tanahnya ada api. {At-Tur: 6)

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain ibnul Junaid, telah menceritakan kepada kami Abu Tahir, telah menceritakan kepadaku Abdul Jabbar ibnu Sulaiman alias Abu Sulaiman An-Naffat seorang syekh yang mirip dengan Malik ibnu Anas, dari Mu’awiyah ibnu Sa’id yang mengatakan bahwa laut ini mengandung berkah, yakni Laut Rum (sekarang Laut Tengah), ia berada di pertengahan bumi, dan semua sungai bermuara kepadanya, juga lautan-lautan yang besar. Sedangkan bagian bawahnya terdapat sumur-sumur yang ditutup dengan tembaga. Maka apabila hari kiamat tiba, laut ini menjadi lautan api. Akan tetapi. asar ini garib lagi aneh.

Di dalam Sunan Abu Daud disebutkan:

Tidaklah laut ditempuh kecuali oleh orang yang pergi berhaji, atau umrah atau berperang. Dan sesungguhnya di bawah laut terdapat api, dan di bawah api terdapat laut lainnya. hingga akhir hadis,

yang pembahasannya telah dikemukakan dalam tafsir surat Fathir.

Mujahid dan Al-Hasan ibnu Muslim mengatakan, sujjirat artinya dinyalakan menjadi api. Al-Hasan mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah dikeringkan atau menjadi kering. Ad-Dahhak dan Qatadah mengatakan bahwa airnya menjadi surut, lalu lenyap, hingga tiada setetes air pun yang tersisa padanya. Ad-Dahhak mengatakan pula bahwa makna sujjirat ialah diledakkan. As-Saddi mengatakan, yang dimaksud ialah dibuka dan diubah. Ar-Rabi’ ibnu Khaisam mengatakan bahwa makna sujjirat ialah diluapkan.

Firman Allah Swt:

{وَإِذَا النُّفُوسُ زُوِّجَتْ}

dan apabila roh-roh dipertemukan (dengan tubuh). (At-Takwir: 7)

Yaitu dihimpunkanlah segala sesuatu dengan yang sejenisnya. Semakna dengan yang di sebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:

احْشُرُوا الَّذِينَ ظَلَمُوا وَأَزْواجَهُمْ

(Kepada malaikat diperintahkan).”Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman sejawat mereka.” (Ash-Shaffat: 22)

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnus Sabah Al-Bazzar, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Abu Saur, dari Sammak, dari An-Nu’man ibnu Basyir yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. membaca firman-Nya: dan apabila roh-roh dipertemukan (dengan tubuh). (At-Takwir: 7) Lalu beliau Saw. bersabda, bahwa yang dimaksud adalah teman-teman sejawat; setiap lelaki dikumpulkan dengan kaum yang mempunyai amal yang sama dengannya. Demikian itu karena Allah Swt. telah berfirman: dan kamu menjadi tiga golongan. Yaitu golongan kanan. Alangkah mulianya golongan kanan itu. Dan golongan kiri. Alangkah sengsaranya golongan kiri itu. Dan orang-orang yang paling dahulu beriman, merekalah yang paling dulu (masuk surga). (Al-Waqi’ah: 7-10) Mereka adalah bergolong-golongan, masing-masing orang dihimpunkan bersama dengan golongannya yang seamalan dengannya.

Kemudian Ibnu Abu Hatim meriwayatkan melalui jalur-jalur lain dari Sammak ibnu Harb, dari An-Nu’man ibnu Basyir, bahwa Umar ibnul Khattab berkhotbah kepada orang-orang, lalu ia membaca firman-Nya: dan apabila roh-roh dipertemukan (dengan tubuh). (At-Takwir: 7) Lalu ia mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mempertemukan di sini ialah masing-masing orang dihimpunkan bersama golongannya yang seamalan dengan dia.

Menurut riwayat yang lain, makna yang dimaksud ialah dua orang yang sama amalannya, maka kedua-duanya dimasukkan ke dalam surga berkat amalannya ataukah keduanya di masukkan ke dalam neraka, sesuai dengan amalnya masing-masing.

Menurut riwayat lain dari An-Nu’man, disebutkan bahwa Umar r.a. pernah ditanya mengenai makna firman-Nya: dan apabila roh-roh dipertemukan (dengan tubuh). (At-Takwir: 7) Maka Umar menjawab bahwa orang yang saleh dibarengkan dengan orang yang saleh lainnya; dan orang yang jahat dibarengkan dengan orang yang jahat lainnya, yakni di dalam neraka. Itulah yang dimaksud dengan makna ‘mempertemukan’ dalam ayat ini.

Menurut riwayat yang lainnya lagi dari An-Nu’man, Umar ibnul Khattab pernah bertanya kepada orang-orang bahwa bagaimanakah menurut kalian tafsir firman-Nya: dan apabila roh-roh dipertemukan (dengan tubuh). (At-Takwir: 7) Mereka diam. Maka Umar berkata, “Tetapi aku mengetahuinya, yaitu seorang lelaki dikawinkan dengan wanita yang sepadan amalannya dengan dia di dalam surga; dan lelaki lainnya dikawinkan dengan yang seamalan dengannya dari kalangan ahli neraka.” Kemudian Umar membaca firman-Nya: (Kepada malaikat diperintahkan), “Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman sejawat mereka.” (Ash-Shaffat: 22).

Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan apabila roh-roh dipertemukan (dengan tubuh). (At-Takwir: 7) Bahwa demikian itu terjadi ketika manusia terdiri menjadi tiga golongan.

Ibnu Abu Najih telah meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna firman Allah Swt: dan apabila roh-roh dipertemukan (dengan tubuh). (At-Takwir: 7) Bahwa orang-orang yang sepadan amal perbuatannya dihimpunkan menjadi satu dengan sesamanya. Hal yang sama dikatakan oleh Ar-Rabi’ ibnu Khaisam, Al-Hasan, dan Qatadah serta dipilih oleh Ibnu Jarir; dan inilah pendapat yang sahih.

Pendapat lain sehubungan dengan makna firman-Nya: dan apabila roh-roh dipertemukan (dengan tubuh). (At-Takwir: 7)

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain ibnul Junaid, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdur Rahman, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari ayahnya, dari Asy’as ibnu Sarar, dari Ja’far, dari Sa’id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa lembah yang berada di dekat pangkal Arasy mengalirkan air di antara kedua pekikan, jarak di antara kedua pekikan adalah empat puluh tahun. Maka tumbuhlah karena air itu semua makhluk yang telah hancur berantakan, baik manusia, burung-burung, ataupun hewan-hewan yang melata. Seandainya ada seseorang yang melewati tempat mereka sebelum itu dan telah mengenal daerah tersebut, niscaya dia benar-benar mengetahui mereka baru muncul dari dalam bumi. Kemudian roh-roh merasuki tubuhnya masing-masing, maka bertemulah keduanya. Yang demikian itulah yang dimaksud oleh firman-Nya: dan apabila roh-roh dipertemukan (dengan tubuh). (At-Takwir: 7)

Hal yang sama dikatakan oleh Abul Aliyah, Ikrimah, Sa’id ibnu Jubair, Asy-Sya’bi, dan juga Al-Hasan Al-Basri sehubungan dengan makna ayat ini: dan apabila roh-roh dipertemukan (dengan tubuh). (At-Takwir: 7) Yakni dipertemukan dengan tubuhnya masing-masing.

Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud ialah orang-orang mukmin dikawinkan dengan bidadari-bidadari, sedangkan orang-orang kafir dikawinkan dengan setan-setan. Demikianlah menurut apa yang disebutkan oleh Al-Qurtubi di dalam kitab At-Tazkirah-nya.

*******************

Firman Allah Swt.:

{وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ}

apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh. (At-Takwir: 8-9)

Demikianlah menurut qiraat jumhur ulama, yakni su’ilat dan al-mau’udah artinya bayi-bayi yang sewaktu masa Jahiliah dikubur hidup-hidup oleh orang-orang tua mereka karena malu mempunyai anak perempuan. Maka kelak di hari kiamat bayi-bayi itu ditanya, atas dosa apakah mereka dibunuh, dimaksudkan sebagai ancaman terhadap para pelakunya. Karena sesungguhnya apabila orang yang teraniaya ditanya, maka terlebih lagi beratnya hukuman yang dikenakan terhadap pelaku aniaya.

Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya. (At-Takwir: 8) Yakni bertanya, dengan memakai bentuk aktif, yaitu sa’alat. Hal yang sama dikatakan oleh Abud Duha, yaitu sa’alat yang artinya menuntut balas kematiannya. Diriwayatkan dari As-Saddi dan Qatadah hal yang semisal. Banyak hadis yang menerangkan tentang bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ini.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Yazid, telah menceritakan kepada kami Sa’id ibnu Abu Ayyub, telah menceritakan kepadaku Abul Aswad alias Muhammad ibnu Abdur Rahman ibnu Naufal, dari Urwah, dari Aisyah, dari Juzamah binti Wahb saudara perempuan Ukasyah yang mengatakan bahwa ia menghadiri majelis Rasullullah Saw. yang saat itu berada di kalangan banyak orang, dan beliau bersabda: Sesungguhnya aku telah berniat akan melarang gilah, maka aku melihat orang-orang- Romawi dan orang-orang Persia, ternyata mereka melakukan gilah terhadap anak-anak mereka, dan hal tersebut tidak membahayakan anak-anak mereka. – Gilah ialah menyusui di waktu mengandung (pent.).- Kemudian mereka bertanya tentang ‘azl (melakukan orgasme di luar Liang ovum untuk mencegah kehamilan). Maka Rasulullah Saw. bersabda: Itu sama dengan perbuatan mengubur anak secara tersembunyi, dan kelak anak perempuan yang dikubur hidup-hidup akan ditanya.

Imam Muslim meriwayatkannya melalui Abu Abdur Rahman Al-Muqri. dari Abdullah ibnu Yazid, dari Sa’id ibnu Abu Ayyub. Ibnu Majah telah meriwayatkannya pula dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Yahya ibnu Ishaq As-Sulaihini, dari Yahya ibnu Ayyub. Imam Muslim telah meriwayatkannya pula dan juga Abu Daud, Turmuzi, danNasai melalui hadis Malik ibnu Anas; ketiga-tiganya dari Abul Aswad dengan sanad yang sama.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kapada kami Ibnu ‘Adiy, dari Daud ibnu Abu Hindun, dari Asy-Sya’bi, dari Alqamah, dari Salamah ibnu,Yazid Al-Ju’fi yang mengatakan bahwa aku dan saudaraku berangkat menemui Rasulullah, lalu kami bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibu kami yang bernama Mulaikah, dia adalah seorang wanita yang gemar bersilaturahmi dan menghormati tamu, juga melakukan hal-hal lainnya. Dia telah meninggal dunia di masa Jahiliah, maka apakah amal perbuatan kebaikannya itu dapat memberikan sesuatu manfaat bagi dirinya?” Rasulullah Saw. menjawab, “Tidak.” Kami bertanya, “Sesungguhnya dia dahulu pernah mengubur hidup-hidup saudara perempuan kami yang baru lahir di masa Jahiliah, apakah hal itu dapat memberi sesuatu manfaat baginya?” (Kalau tidak salah, si penanya dan saudaranya itu baru saja masuk Islam dan belum mengetahui Islam secara mendalam).” Maka Rasulullah Saw. menjawab: Wanita yang mengubur anak perempuannya hidup-hidup dan anak perempuan yang dikuburnya hidup-hidup kedua-duanya dimasukkan ke dalam neraka, terkecuali jika perempuan yang menguburnya menemui masa Islam (lalu masuk Islam), maka Allah memaafkan perbuatannya.

Imam Nasai meriwayatkan hadis ini melalui Daud ibnu Abu Hindun dengan sanad yang sama.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan Al-Wasiti, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad Az-Zubairi, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Abu Ishaq dari Alqamah dan Abul Ahwas, dari Ibnu Mas’ud yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Wanita yang mengubur anak perempuannya hidup-hidup dan anak perempuan yang dikuburnya kedua-duanya di dalam neraka.

Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ishaq Al-Azraq, telah menceritakan kepada kami Auf, telah menceritakan kepadaku Khansa binti Mu’awiyah As-Sarimiyyah, dari pamannya yang telah mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw., “Wahai Rasulullah, siapa sajakah orang yang masuk surga itu?” Rasulullah Saw. menjawab: Nabi masuk surga, orang yang mati syahid masuk surga, bayi laki-laki masuk surga, dan bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup masuk surga.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Qurrah, bahwa ia pernah mendengar Al-Hasan mengatakan bahwa pernah ditanyakan kepada Rasulullah Saw. tentang siapa saja orang yang masuk surga? Maka beliau Saw. menjawab: Bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup masuk surga.

Ibnu Abbas mengatakan bahwa mau’udah ialah bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup.

We will be happy to hear your thoughts

Leave a reply

Amaliyah
Logo