{وَالَّذِينَ كَفَرُوا لَهُمْ نَارُ جَهَنَّمَ لَا يُقْضَى عَلَيْهِمْ فَيَمُوتُوا وَلا يُخَفَّفُ عَنْهُمْ مِنْ عَذَابِهَا كَذَلِكَ نَجْزِي كُلَّ كَفُورٍ (36) وَهُمْ يَصْطَرِخُونَ فِيهَا رَبَّنَا أَخْرِجْنَا نَعْمَلْ صَالِحًا غَيْرَ الَّذِي كُنَّا نَعْمَلُ أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُمْ مَا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَنْ تَذَكَّرَ وَجَاءَكُمُ النَّذِيرُ فَذُوقُوا فَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ نَصِيرٍ (37) }
Dan orang-orang kafir bagi mereka neraka Jahannam. Mereka tidak dibinasakan sehingga mereka mati dan tidak (pula) diringankan dari mereka azabnya. Demikianlah Kami membalas setiap orang yang sangat kafir. Dan mereka berteriak di dalam neraka itu, “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami, niscaya kami akan mengerjakan amal yang saleh berlainan dengan yang telah kami kerjakan.” Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berpikir bagi orang yang mau berpikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan? Maka rasakanlah (azab Kami) dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolong pun.
Setelah menceritakan keadaan orang-orang yang berbahagia di dalam surga, maka Allah menceritakan perihal orang-orang yang celaka. Untuk itu Dia berfirman:
{وَالَّذِينَ كَفَرُوا لَهُمْ نَارُ جَهَنَّمَ لَا يُقْضَى عَلَيْهِمْ فَيَمُوتُوا}
Dan orang-orang kafir bagi mereka neraka Jahannam. Mereka tidak dibinasakan sehingga mereka mati. (Fathir: 36)
Semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat yang lain, yaitu:
{لَا يَمُوتُ فِيهَا وَلا يَحْيَى}
dia tidak mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup. (Al-A’la: 13, Thaha: 74)
Di dalam kitab Sahih Muslim telah disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Adapun ahli neraka yang merupakan penghuni tetapnya, maka mereka tidak mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup.
Dan Allah Swt. berfirman menceritakan keadaan mereka:
{وَنَادَوْا يَامَالِكُ لِيَقْضِ عَلَيْنَا رَبُّكَ قَالَ إِنَّكُمْ مَاكِثُونَ}
Mereka berseru, “Hai Malik, biarlah Tuhanmu membunuh kami saja.” Dia menjawab, “Kamu akan tetap tinggal (di neraka ini).” (Az-Zukhruf: 77)
Keadaan mereka yang demikian itu membuat mereka berpandangan bahwa mati lebih menyenangkan bagi mereka, tetapi tidak ada jalan bagi mereka untuk mati. Allah Swt. telah berfirman:
{لَا يُقْضَى عَلَيْهِمْ فَيَمُوتُوا وَلا يُخَفَّفُ عَنْهُمْ مِنْ عَذَابِهَا}
Mereka tidak dibinasakan sehingga mereka mati dan tidak (pula) diringankan dari mereka azabnya. (Fathir: 36)
Semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat yang lain, yaitu:
{إِنَّ الْمُجْرِمِينَ فِي عَذَابِ جَهَنَّمَ خَالِدُونَ لَا يُفَتَّرُ عَنْهُمْ وَهُمْ فِيهِ مُبْلِسُونَ}
Sesungguhnya orang-orang yang berdosa kekal di dalam azab neraka Jahannam. Tidak diringankan azab itu dari mereka dan mereka di dalamnya berputus asa. (Az-Zukhruf: 74-75)
{كُلَّمَا خَبَتْ زِدْنَاهُمْ سَعِيرًا}
Tiap-tiap kali nyala api Jahanam itu akan padam, Kami tambah lagi bagi mereka nyalanya. (Al-Isra: 97)
Dan firman Allah Swt. lainnya, yaitu:
{فَذُوقُوا فَلَنْ نزيدَكُمْ إِلا عَذَابًا}
Karena itu, rasakanlah. Dan kami sekali-kali tidak akan menambah kepada kamu selain azab. (An-Naba: 30)
***********
Kemudian Allah Swt. berfirman:
{كَذَلِكَ نَجْزِي كُلَّ كَفُورٍ}
Demikianlah Kami membalas setiap orang yang sangat kafir. (Fathir: 36)
Maksudnya, inilah pembalasan bagi orang yang kafir kepada Tuhannya dan medustakan perkara yang hak.
Firman Allah Swt.:
{وَهُمْ يَصْطَرِخُونَ فِيهَا}
Dan mereka berteriak di dalam neraka itu. (Fathir: 37)
Yakni berseru dan berteriak dengan suara yang keras, memohon kepada Tuhan mereka:
{رَبَّنَا أَخْرِجْنَا نَعْمَلْ صَالِحًا غَيْرَ الَّذِي كُنَّا نَعْمَلُ}
Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami, niscaya kami akan mengerjakan amal yang saleh berlainan dengan yang telah kami kerjakan.” (Fathir: 37)
Mereka meminta agar dikembalikan ke dunia untuk mengerjakan amal perbuatan yang berlainan dengan yang telah mereka kerjakan di masa lalu. Allah Swt. telah mengetahui bahwa seandainya mereka dikembalikan ke dunia lagi, pastilah mereka akan kembali mengerjakan apa yang dilarang bagi mereka melakukannya. Dan sesungguhnya mereka benar-benar dusta dalam pengakuannya itu. Karena itu, Allah Swt. tidak memperkenankan permintaan mereka, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain yang menceritakan perkataan mereka:
{فَهَلْ إِلَى خُرُوجٍ مِنْ سَبِيلٍ ذَلِكُمْ بِأَنَّهُ إِذَا دُعِيَ اللَّهُ وَحْدَهُ كَفَرْتُمْ وَإِنْ يُشْرَكْ بِهِ تُؤْمِنُوا}
Maka adakah sesuatu jalan (bagi kami) untukkeluar (dari neraka)? Yang demikian itu adalah karena kamu kafir apabila Allah saja disembah. Dan kamu percaya apabila Allah dipersekutukan. (Al-Mu-min: 11-12)
Yaitu Allah tidak akan memperkenankan kalian untuk dikembalikan ke dunia, karena sikap kalian yang demikian. Dan seandainya kalian dikembalikan ke dunia, niscaya kalian akan kembali mengerjakan apa yang dilarang bagi kalian mengerjakannya. Karena itulah disebutkan dalam surat ini melalui firman-Nya:
{أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُمْ مَا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَنْ تَذَكَّرَ}
Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berpikir bagi orang yang mau berpikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan? (Fathir: 37)
Artinya, bukankah kamu hidup di dunia dalam masa yang cukup panjang, sehingga andaikata kamu termasuk orang yang mau mengambil manfaat dari perkara yang hak, tentulah kamu dapat memperolehnya dalam usia kalian yang cukup panjang itu ?
Para ahli tafsir berbeda pendapat sehubungan dengan kadar usia yang dimaksud dalam ayat ini, maka telah diriwayatkan dari Ali ibnul Husain alias Zainul Abidin r.a. Ia pernah mengatakan bahwa kadar usia tersebut adalah tujuh belas tahun.
Qatadah telah mengatakan, “Ketahuilah oleh kalian bahwa panjang usia itu merupakan hujah, maka kami berlindung kepada Allah bila dicela karena usia yang panjang. Allah Swt. telah berfirman: Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berpikir bagi orang yang mau berpikir? (Fathir: 37) Dan sesungguhnya di antara mereka ada yang diberi usia delapan belas tahun.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Abu Galib Asy-Syaibani.
Abdullah ibnul Mubarak telah meriwayatkan dari Ma’mar, dari seorang lelaki, dari Wahb ibnu Munabbih sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berpikir bagi orang yang mau berpikir? (Fathir: 37) Bahwa usia yang dimaksud adalah dua puluh tahun.
Hasyim telah meriwayatkan dari Mansur, dari Zazan, dari Al-Hasan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berpikir bagi orang yang mau berpikir? (Fathir. 37) Yakni empat puluh tahun.
Hasyim telah meriwayatkan pula dari Mujalid, dari Asy-Sya’bi, dari Masruq, bahwa ia pernah mengatakan, “Apabila usia seseorang di antara kalian mencapai empat puluh tahun, maka hendaklah ia bersikap lebih hati-hati terhadap Allah Swt.”
Hal ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. menurut apa yang dikatakan oleh Ibnu Jarir.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abdul A’la, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnul Mufaddal, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Usman ibnu Khais’am, dari Mujahid yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ibnu Abbas r.a. mengatakan bahwa usia yang dijadikan alasan oleh Allah Swt. terhadap anak Adam, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya: Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berpikir bagi orang yang mau berpikir? (Fathir: 37) adalah empat puluh tahun.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir melalui jalur ini, dari Ibnu Abbas r.a. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir.
Kemudian ia meriwayatkan lagi melalui jalur As-Sauri dan Abdullah ibnu Idris yang keduanya dari Abdullah ibnu Usman ibnu Khaisam, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa usia yang dijadikan alasan oleh Allah terhadap anak Adam, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya: Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berpikir bagi orang yang mau berpikir. (Fathir: 37) adalah enam puluh tahun.
Riwayat ini merupakan riwayat yang paling sahih bersumber dari Ibnu Abbas r.a., maknanya pun adalah yang paling sahih; karena ada hadis yang menguatkannya menurut penilaian kami, bukan menurut penilaian Ibnu Jarir yang menduga bahwa hadis tersebut tidak sahih, mengingat di dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang harus diselidiki terlebih dahulu predikat sahihnya.
Asbag ibnu Nabatah telah meriwayatkan dari Ali r.a. yang mengatakan bahwa usia yang dijadikan alasan oleh Allah untuk mencela mereka sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya: Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berpikir bagi orang yang mau berpikir? (Fathir: 37) adalah enam puluh tahun.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Dahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Fudaik, telah menceritakan kepadaku Ibrahin ibnul Fadl Al-Makhzumi, dari Ibnu Abu Husain Al-Makki yang menceritakan kepadanya dari Ata ibnu Abu Rabah, dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Apabila hari kiamat tiba, maka dikatakan, “Di manakah orang-orang yang berusia enam puluh tahun?” Yaitu usia yang disebutkan oleh Allah Swt. di dalam firman-Nya, “Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berpikir bagi orang yang mau berpikir, dan (apakah tidak) datang kepadamu pemberi peringatan?”
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Ali ibnu Syu’aib, dari Ismail ibnu Abu Fudaik dengan sanad yang sama. Hal yang sama telah diriwayatkan pula oleh Imam Tabrani melalui jalur Ibnu Abu Fudaik dengan sanad yang sama. Hadis ini masih perlu penyelidikan yang lebih lanjut untuk menilai kesahihannya, mengingat keadaan Ibrahim ibnul Fadl; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Hadis lain,
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma’mar, dari seorang laki-laki dari Bani Gifar, dari Sa’id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Sesungguhnya Allah Swt. telah beralasan terhadap seorang hamba yang telah diberi-Nya usia hingga mencapai enam puluh atau tujuh puluh tahun. Sesungguhnya Allah Swt. telah beralasan terhadapnya, sesungguhnya Dia telah beralasan terhadapnya.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari di dalam Kitabur Raqaiq, bagian dari kitab sahihnya, disebutkan bahwa:
telah menceritakan kepada kami Abdus Salam ibnu Mutahhir, dari Umar ibnu Ali, dari Ma’an ibnu Muhammad Al-Gifari, dari Sa’id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Allah Swt. telah mengemukakan alasan-Nya terhadap seorang hamba yang Dia panjangkan usianya hingga mencapai enam puluh tahun.
Kemudian Imam Bukhari mengatakan bahwa riwayat yang sama diikuti oleh Abu Hazim dan Ibnu Ajian, dari Sa’id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Saw.
Adapun yang melalui Abu Hazim disebutkan bahwa Ibnu Jarir mengatakan:
telah menceritakan kepada kami Abu Saleh Al-Fazzari, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Siwar, telah menceritakan kepada kami Ya’qub ibnu Abdur Rahman ibnu Abdul Qadir Al-Iskandari, telah menceritakan kepada kami Abu Hazim, dari Sa’id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang siapa yang diberi usia enam puluh tahun oleh Allah, maka sesungguhnya Allah telah beralasan terhadapnya karena telah memberinya masa tangguh.
Imam Ahmad telah meriwayatkannya —juga Imam Nasai— di dalam Kitabur Raqaiq-nya, dari Qutaibah, dari Ya’qub ibnu Abdur Rahman dengan sanad yang sama.
Al-Bazzar telah meriwayatkannya, untuk itu ia mengatakan bahwa:
telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Yunus, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Abu Hazim, dari ayahnya, dari Sa’id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Usia yang dijadikan oleh Allah sebagai alasan terhadap anak Adam adalah usia enam puluh tahun. Yang dimaksudkan adalah firman Allah Swt. yang mengatakan: Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berpikir bagi orang yang mau berpikir? (Fathir: 37)
Adapun riwayat mutaba’ah yang dilakukan oleh Ibnu Ajlan diketengahkan oleh Ibnu Abu Hatim.
Ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abus Safar Yahya ibnu Muhammad ibnu Abdul Malik ibnu Qur’ah di Samara, telah menceritakan kepada kami Abu Abdur Rahman Al-Muqri, telah menceritakan kepada kami Sa’id ibnu Abu Ayyub, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ajian, dari Sa’id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang siapa yang mencapai usia enam puluh tahun, maka sesungguhnya Allah Swt. telah beralasan terhadapnya dalam memberikan masa tangguh.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Abdur Rahman Al-Muqri dengan sanad yang sama. Imam Ahmad meriwayatkannya pula dari Khalaf, dari Abu Ma’syar, dari Abu Sa’id Al-Maqbari.
Jalur lain dari Abu Hurairah r.a. diketengahkan oleh Ibnu Jarir.
Ia mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ahmad ibnul Farj alias Abu Atabah Al-Himsi, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah ibnul Wallid, telah menceritakan kepada kami Al-Mutarrif ibnu Mazin Al-Kannani, telah menceritakan kepadaku Ma’mar ibnu Rasyid yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Muhammad ibnu Abdur Rahman Al-Gifari mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Hurairah r.a. mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Sesungguhnya Allah telah beralasan terhadap seorang lelaki dalam memberikan masa tangguh terhadapnya melalui usia yang diberikan kepadanya sampai enam puluh atau tujuh puluh tahun.
Hadis ini dinilai sahih melalui jalur-jalur tersebut. Seandainya tidak ada jalur lain kecuali jalur yang dipilih oleh Abu Abdullah alias Imam Bukhari (pakarnya ilmu hadis ini), tentulah hal ini sudah cukup.
Adapun mengenai pendapat Ibnu Jarir yang mengatakan bahwa di dalam sanad hadis ini terdapat seorang perawi yang masih memerlukan penyelidikan lebih lanjut mengenai predikatnya, hal ini tidak usah diindahkan karena ada keterangan dari Imam Bukhari yang menilainya sahih. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Sebagian ulama mengatakan bahwa usia yang wajar menurut kalangan para tabib adalah seratus dua puluh tahun. Dengan kata lain, seorang manusia sejak lahirnya terus-menerus bertambah dalam segala hal sampai mencapai usia genap enam puluh tahun, setelah itu barulah menurun dan berkurang serta mencapai usia pikun. Sebagaimana yang dikatakan oleh seorang penyair:
Apabila seorang pemuda mencapai usia enam puluh tahun, maka lenyaplah kesenangan dan usia mudanya (kekuatannya secara berangsur-angsur)
Mengingat masa enam puluh tahun merupakan usia yang dijadikan alasan oleh Allah Swt. terhadap hamba-hamba-Nya dan dijadikan oleh-Nya sebagai hujah terhadap mereka. Maka batas itulah yang dijadikan patokan bagi kebanyakan usia umat ini, sebagaimana yang disebutkan di dalam hadis.
Al-Hasan ibnu Arafah rahimahullah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Muhammad Al-Muharibi, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Amr, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Usia (rata-rata) umatku antara enam puluh sampai tujuh puluh tahun, dan sedikit dari mereka yang melampaui usia tersebut.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Turmuzi dan Ibnu Majah di dalam Kitab Zuhud, dari Al-Hasan ibnu Arafah dengan sanad yang sama. Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan garib, kami tidak mengenalnya melainkan melalui jalur ini.
Ini merupakan hal yang aneh dari sikap Imam Turmuzi, karena sesungguhnya Abu Bakar ibnu Abud Dunia telah meriwayatkannya melalui jalur lain dan sanad yang lebih bermuara sampai kepada Abu Hurairah.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Amr, dari Muhammad ibnu Rabi’ah, dari Kamil Abul Ala, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Usia umatku antara enam puluh sampai tujuh puluh tahun dan sedikit di antara mereka yang melampaui usia tersebut.
Imam Turmuzi pun telah meriwayatkannya pula di dalam Kitab Zuhud melalui Ibrahim ibnu Sa’id Al-Jauhari, dari Muhammad ibnu Rabi’ah dengan lafaz yang sama, kemudian ia mengatakan bahwa hadis ini hasan garib bila melalui riwayat Abu Saleh, dari Abu Hurairah r.a. Telah diriwayatkan pula dari Abu Hurairah dengan teks yang sama dalam dua tempat; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Al-Hafiz Abu Ya’la mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Musa Al-Ansari, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Fudaik, telah menceritakan kepadaku Ibrahim ibnul Fadl maula Bani Makhzum, dari Al-Maqbari, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Kematian menyerang di antara usia enam puluh sampai tujuh puluh tahun.
Dalam sanad yang sama disebutkan pula bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Sedikit dari kalangan umatku yang berusia tujuh puluh tahun.
Sanad hadis berpredikat daif.
Hadis lain yang semakna diriwayatkan oleh Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar di dalam kitab musnadnya.
Ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Hani’, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Mahdi, dari Usman ibnu Matar, dari Abu Malik, dari Rab’i, dari Huzaifah r.a. yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw., “Wahai Rasulullah, ceritakanlah kepada kami batas maksimal usia umatmu?” Rasulullah Saw. menjawab: “Antara lima puluh sampai enam puluh.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah dengan orang-orang yang berusia tujuh puluh tahun?” Beliau Saw. menjawab, “Sedikit dari kalangan umatku yang mencapai usia tujuh puluh tahun; semoga Allah merahmati orang-orang yang berusia tujuh puluh tahun, dan semoga Allah merahmati orang-orang yang berusia delapan puluh tahun.”Kemudian Al-Bazzar mengatakan bahwa tiada yang meriwayatkan dengan lafaz ini selain dari sanad ini, dan Usman ibnu Matar adalah seorang ulama dari Basrah, predikatnya kurang kuat.
Di dalam kitab sahih telah disebutkan bahwa Rasulullah Saw. hidup dalam usia enam puluh tiga tahun, pendapat yang lainnya mengatakan enam puluh tahun, dan menurut pendapat yang lainnya lagi enam puluh lima tahun. Akan tetapi, pendapat yang terkenal adalah pendapat yang pertama, hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
*************
Firman Allah Swt.:
{وَجَاءَكُمُ النَّذِيرُ}
dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan ? (Fathir: 37)
Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a., Ikrimah, Abu Ja’far Al-Baqir, Qatadah, Sufyan ibnu Uyaynah, bahwa mereka mengatakan yang dimaksud dengan nazir dalam ayat ini ialah uban (usia tua).
As-Saddi dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa yang dimaksud dengan nazir ialah Rasulullah Saw. Dan Ibnu Zaid sesudah mengatakan pendapatnya membaca ayat berikut, yaitu firman-Nya:
{هَذَا نَذِيرٌ مِنَ النُّذُرِ الأولَى}
Ini (Muhammad) adalah seorang pemberi peringatan di antara pemberi-pemberi peringatan yang telah terdahulu. (An-Najm: 56)
Pendapat inilah yang.sahih dari Qatadah menurut apa yang diriwayat oleh Syaiban darinya, bahwa Qatadah telah mengatakan, “Allah mengemukakan alasan dan hujah-Nya terhadap mereka dengan usia dan para rasul.”
Mereka berseru, “Hai Malik, biarlah Tuhanmu membunuh kami saja.” Dia menjawab, “Kamu akan tetap tinggal (di neraka ini).” Sesungguhnya Kami benar-benar telah membawa kebenaran kepada kamu, tetapi kebanyakan di antara kamu benci kepada kebenaran itu. (Az-Zukhruf: 77-78)