Haji Pertama Dan Terakhir Bagi Nabi

Haji Pertama Dan Terakhir Bagi Nabi

Oleh: RE Nadalsyah

Hari ini menjelang akhir tahun ke-10 Hijriah, lebih 14 abad silam. Panas dan udara gurun yang kering tetap tidak berubah, sementara kehidupan Nabi yang sangat produktif itu makin mendekati garis finish. Sebelum berpisah, Nabi mengundang umatnya di Madinah untuk melaksanakan ibadah haji ke Makkah secara sempurna, tanpa seorang musyrik pun terlibat di dalamnya. Ziarah ke Rumah Tuhan dan daerah sekitarnya, yang kemudian dipraktikkan selamanya di kemudian hari. Ziarah yang murni islami ini dimaksudkan pula sebagai ‘Haji Perpisahan’ atau haji al-wada’, menandai hasil akhir karir gemilang yang tidak ada duanya dari makhluk Tuhan paling sempurna.

Undangan Nabi mendapat respon luar biasa. Inilah haji pertama Nabi bersama-sama muslim. Untuk pertama kali pula sejarah mencatat pemandangan lebih 100.000 manusia, laki-laki dan perempuan, berkumpul di Madinah menyertai Nabi, sekaligus haji terakhir sebelum beliau kembali ke pangkuan Al-Khaliq. Pada 25 Dzulkaidah rombongan berangkat. Setelah menginap satu malam di Dhul-Hulaifa, esoknya Nabi mengenakan pakaian ihram diikuti seluruh anggota rombongan. Mereka berjalan bersama-sama dengan pakaian putih yang sederhana, perlambang kesederhanaan dan persamaan yang amat jelas.

Dengan seluruh kalbu Muhammad menengadahkan wajahnya kepada Tuhan sembari mengucapkan takbiah sebagai tanda syukur atas nikmat karunia Nya diikuti kaum muslimin di belakangnya: “Labbaika Allahumma labbaika, labbaika la syarika laka labbaika. Alhamdulillah wa-ni’matu wa’sysyukru laka labbaika. Labbaika la syarika laka labbaika.” (Aku datang memenuhi panggilan Mu, Ya Allah, aku datang memenuhi panggilan Mu. Tiada sekutu bagi Mu …. Labbaik, aku datang memenuhi panggilan Mu. Segala puji, kenikmatan dan syukur, hanya bagi Mu …. Labbaik, aku datang memenuhi panggilan Mu).

Di bawah sengatan matahari gurun, di padang pasir yang tidak dikenal banyak umat, bergerak arus manusia dan kafilah menuju satu titik. Mereka menyambut panggilan Nabi Ibrahim beberapa abad silam. Tidak ada peristiwa yang membedakan seseorang dengan lainnya. Tidak pula perbedaan ras, bangsa atau warna kulit. Sesungguhnya, inilah pemandangan paling indah tentang asas persamaan bahwa semua makhluk sama di depan Tuhan. Yang membedakan, hanya kadar iman dan takwa seseorang.

Mereka memenuhi seruan Nabi untuk saling mengenal, merajut kasih sayang, keikhlasan hati dan semangat ukhuwah islamiah. Dengan penuh kesabaran pula mereka menanti tibanya Haji Akbar, dan rasa rindu bertemu Baitullah, dengan jantung berdegup keras. Sementara dunia dan sejarah menatap kagum dan heran. Dan, sejarah ibarat kakak tua yang selalu terbelenggu argumentasinya. Ia sang pembual yang membacakan Hikayat Fir’aun, Kisra, kaisar dan aristokrat yang culas. Ia penjilat dan pembohong besar yang bercerita tentang tahta, pertempuran atau perdamaian, tanpa secuil pun di kuran usianya yang panjang itu, memihak kepada kaum miskin, papa dan tertindas. Karena itu sejarah melihat takjub kepada Nabi dan orang yang bersamanya, bertaut rasa kagum dan heran.

Haji Perpisahan

Pada 4 Dzulhijjah rombongan masuk Makkah, selanjutnya menuju Ka’bah. Muhammad datang kepada Tuhannya di hari-hari akhir hayatnya, di Maqam Ibrahim, bapak agama langit dalam sejarah umat manusia, untuk mempertanggungjawabkan hasil karya dan perjuangannya yang penuh dinamika. Dihadapan Nya pula dia meminta kesaksian kepada umat manusia bahwa dia tidak pernah berhenti bekerja, dan tak kenal lelah dalam berjuang menuntaskan risalah Nya. Dia juga memperlihatkan kepada Ibrahim, karya besar yang diawalinya, kini diantarkannya hingga batas tersebut dan digerakkannya sesuai pedoman yang digariskan.

Sesudah tawaf, Nabi shalat dua rakaat di Maqam Ibrahim, lalu mencium Hajar Aswad untuk kedua kalinya. Kemudian menghadapkan wajahnya ke arah Shafa, lalu lari-lari kecil antara Shafa dan Marwah. Di situ dimaklumatkan barangsiapa yang tidak membawa hadyu (ternak kurban untuk disembelih) hendaknya mengakhiri ihramnya (tahallul) dan menjadikan ibadah itu sebagai umrah. Awalnya maklumat itu dilaksanakan tanpa sepenuh hati. Nabi marah, sampai-sampai beliau kembali ke kemahnya. “Bagaimana aku tidak marah, aku menyuruh mereka melakukan sesuatu, tapi mereka tidak menaatiku,” jawab Nabi atas pertanyaan Aisyah. Namun akhirnya seluruh rombongan menyesali perbuatannya. Mereka segera ber-tahallul seperti yang dilakukan Fathimah putri Nabi, dan semua istrinya.

Hari ke-8 Zulhijjah yaitu Hari Tarwiyah, beliau pergi ke Mina bersama rombongannya. Selama satu hari melakukan shalat dan tinggal bersama kaumnya. Malamnya di saat sang fajar menyembul setelah Shalat Subuh, dengan menunggang untanya al-Qashwa’ tatkala matahari mulai tampak, beliau menuju Gunung Arafat. Dalam perjalanan yang diikuti ribuan muslim yang mengucapkan talbiah dan bertakbir, Nabi mendengarkan dan membiarkan mereka dalam kekhusyuan.

Ketika sampai di perut wadi di bilangan Urana, masih di atas unta, Nabi berdiri dan berkhutbah di depan lebih 100.000 orang yang mengelilinginya. Itulah peristiwa bersejarah yang dikenal dengan julukan ‘haji Perpisahan’. Peristiwa yang begitu mengesankan dan indah, serta merupakan khulasha (kesimpulan) ajaran Islam dan sunnahnya yang ia wariskan kepada masyarakat Islam. Khutbah berlangsung di bawah panas matahari yang mampu membakar ubun-ubun, dan didengarkan dengan khidmat. Kepada Umayyah bin Rabi’ah bin Khalaf diminta mengulang keras setiap kalimat yang beliau sampaikan, agar didengar di tempat yang jauh.

Nabi antara lain bersabda: “Katakanlah kepada mereka bahwa Rasulullah bersabda, tahukah kalian bulan apa ini?” Mereka serentak menjawab: “Bulan Haram!” Kemudian Nabi melanjutkan: “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan darah dan hartamu hingga kamu sekalian menemui Tuhanmu sebagaimana keharaman bulan kalian ini.” Nabi melanjutkan: “Ayyuhan-Nas, tahukah kalian hari apa ini?” “Hari ini Haji Akbar!” jawab mereka serempak. Seterusnya beliau berkhutbah: “Wahai manusia, camkan baik-baik perkataanku. Sebab, aku tidak tahu, mungkin aku tidak lagi akan bertemu kalian sesudah tahun ini, di tempat ini, untuk selama-lamanya.”

“Bahwasanya, darah, harta benda dan kehormatanmu adalah suci dan tidak dapat diganggu gugat, seperti sucinya hari ini, sehingga kamu sekalian bertemu dengan Tuhanmu. Sesungguhnya engkau sekalian akan bertemu dengan Tuhanmu, dan Dia akan bertanya kepadamu tentang segala perbuatanmu. Ingatlah, sudah aku sampaikan risalah ini. Wahai Allah, jadilah saksi atas peristiwa ini.”

Tentang dosa Nabi berkata: “Tak ada seorang pun terlibat suatu kejahatan dan bertanggung jawab atasnya kecuali dirinya sendiri. Tidaklah seorang anak menanggung kejahatan yang dilakukan anaknya. Ingatlah, wahai manusia, dengarkan kata-kataku dan pahamilah. Ketahuilah bahwa seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, dan orang-orang muslim adalah suatu persaudaraan.” Selanjutnya beliau menekankan: “Ingatlah bahwa seluruh ajaran masa jahiliah telah hancur di bawah kedua kakiku ….”

Beliau juga berbicara tentang penghapusan riba, wanita dan hak istri, larangan mengizinkan siapa pun untuk menginjak-injak tempat tidurmu, atau memasuki rumahmu tanpa perkenanmu. Juga tentang kedudukan anak sebagai milik suami yang sah, serta tidak hak apa pun bagi penzina. “Wahai manusia, Jibril telah datang kepadaku, menyampaikan salam dari Tuhanku dan berkata: Sesunggunya Allah Yang Maha besar dan Maha Kuasa telah memberi ampunan bagi orang-orang yang berkumpul di Padang Arafah dan Rumah Suci (Ka’bah) dari kesalahan-kesalahan mereka.” Tiba-tiba Umar berdiri dan berseru: “Wahai Rasulullah, adakah ampunan itu hanya bagi kita?” Nabi menjawab: “Ampunan itu hanya bagi kamu sekalian dan mereka yang akan datang, setelah kamu, hingga pada Hari Kebangkitan.”

Di bagian akhir khutbahnya Nabi berkata: “Sesungguhnya hal itu telah aku sampaikan kepadamu, dan aku telah meninggalkan untukmu sekalian sesuatu yang bila kamu sekalian berteguh-teguh padanya niscaya kamu tidak tersesat selama-lamanya: Kitabullah dan Sunnah Nabinya.”

“Allahumma, ya Allah, bukankah aku telah menyampaikannya kepada mereka?” Pertanyaan itu diulang Rabi’ah dengan suara keras. Maka secara serempak 100.000 lebih manusia yang tercekam keharuan itu menjawab: “Benar, engkau telah menyampaikan.” Sekali lagi Nabi menatap langit lalu berkata: “Allahumma, ya Allah, saksikanlah!”

Berakhirlah Haji Wada’.Kemudian Nabi meninggalkan Makkah menuju Madinah. Beliau tinggalkan pesan-pesan yang sangat penting kelak tetap hidup sepanjang sejarah. Esensi khutbah Nabi yang takkan terlupakan, yang senantiasa bergema dan menghunjang ke seluruh hati sanubari dan jiwa umat Islam yang telah memberikan nama ‘al-Islam’ kepada agama Tauhid yang dibawa Muhammad bin Abdullah ialah: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan nikmat Ku, dan telah Kuridhai Islam itu menjadi agamamu.” (QS al-Maaidah: 3).

Nabi telah menyelesaikan akhir karya besarnya, yang gigantik, risalahnya yang penting bagi dunia dan umat manusia. Tokoh terbesar sepanjang sejarah itu membaringkan kepalanya untuk selama-lamanya. Beliau wafat di tengah pendukungnya yang setia, penuh ketenteraman dan dengan ruh yang penuh taufiq untuk bertemu Kekasihnya dalam desah nafas terakhir. Ya, keharibaan Yang Maha Tinggi di surga. Ar-Rafiq’l a’la minal jannah.

Sumber : http://trimudilah.wordpress.com

We will be happy to hear your thoughts

Leave a reply

Amaliyah
Logo