Shad, ayat 34-40

Shad, ayat 34-40

{وَلَقَدْ فَتَنَّا سُلَيْمَانَ وَأَلْقَيْنَا عَلَى كُرْسِيِّهِ جَسَدًا ثُمَّ أَنَابَ (34) قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لَا يَنْبَغِي لأحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ (35) فَسَخَّرْنَا لَهُ الرِّيحَ تَجْرِي بِأَمْرِهِ رُخَاءً حَيْثُ أَصَابَ (36) وَالشَّيَاطِينَ كُلَّ بَنَّاءٍ وَغَوَّاصٍ (37) وَآخَرِينَ مُقَرَّنِينَ فِي الأصْفَادِ (38) هَذَا عَطَاؤُنَا فَامْنُنْ أَوْ أَمْسِكْ بِغَيْرِ حِسَابٍ (39) وَإِنَّ لَهُ عِنْدَنَا لَزُلْفَى وَحُسْنَ مَآبٍ (40) }

Dan sesungguhnya Kami telah menguji Sulaiman dan Kami jadikan (dia) tergeletak di atas kursinya sebagai tubuh (yang lemah karena sakit), kemudian ia bertobat. Ia berkata.”Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang jua pun sesudahku. sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi.” Kemudian Kami tundukkan kepadanya angin yang berhembus dengan baik menurut perintahnya ke mana saja yang dikehendakinya, dan (Kami tundukkan pula kepadanya) setan-setan semuanya ahli bangunan dan penyelam, dan setan yang lain yang terikat dalam belenggu. Inilah anugerah Kami; maka berikanlah (kepada orang lain) atau tahanlah (untuk dirimu sendiri) dengan tiada pertanggung­jawaban. Dan sesungguhnya dia mempunyai kedudukan yang dekat pada sisi Kami dan tempat kembali yang baik.

Firman Allah Swt.:

{وَلَقَدْ فَتَنَّا سُلَيْمَانَ}

Dan sesungguhnya Kami telah menguji Sulaiman. (Shad: 34)

Yakni Kami telah mengujinya dengan mencabut kerajaan dari tangannya.

{وَأَلْقَيْنَا عَلَى كُرْسِيِّهِ جَسَدًا}

dan Kami jadikan (dia) tergeletak di atas kursinya sebagai tubuh (yang lemah karena sakit). (Shad: 34)

Ibnu Abbas r.a. Mujahid, Sa’id ibnu Jubair Al-Hasan, dan Qatadah serta lain-lainnya menyebutkan sehubungan dengan makna ayat ini, yaitu: Dan Kami jadikan di atas singgasananya sesosok tubuh (yang mirip dengan dia). Mereka menyebutkan bahwa sosok tubuh itu adalah setan yang merupakan dirinya dengan Nabi Sulaiman.

{ثُمَّ أَنَابَ}

Kemudian ia bertobat. (Shad: 34)

Mereka menyebutkan bahwa makna anaba ialah kembali, yakni kemudian kerajaan, pengaruh, dan wibawanya kembali kepada Sulaiman seperti semula.

Ibnu Jarir meyebutkan bahwa nama setan (Jin) tersebut adalah Sakhr, demikianlah menurut Ibnu Abbas dan Qatadah. Menurut pendapat lain nama setan itu adalah Asif, kata Mujahid. Menurut pendapat yang lainnya lagi adalah Asruwa, yang juga kata Mujahid. Menurut As-Saddi, nama setan itu adalah Habyaq. Dalam menyebutkan kisah kejadian ini sebagian dari mereka ada yang menceritakannya secara panjang lebar, dan sebagian yang lain menceritakannya secara ringkas.

Sa’id ibnu Abu Arubah telah meriwayatkan dari Qatadah yang telah menceritakan bahwa Sulaiman diperintahkan untuk membangun Baitul Maqdis. Maka dikatakan kepadanya, “Bangunlah ia, tetapi jangan sampai terdengar suara besi beradu.” Nabi Sulaiman a.s berusaha untuk melakukannya, tetapi tidak mampu (karena harus tanpa suara).

Kemudian dikatakan kepadanya, “Sesungguhnya ada yang mampu melakukannya. Dia adalah setan yang bertempat tinggal di laut, dikenal dengan nama Sakhr, jin yang jahat.”

Maka Sulaiman a.s. mencarinya, dan tersebutlah bahwa di tepi laut tersebut terdapat sebuah mata air yang biasa didatangi oleh jin Sakhr untuk minum darinya seminggu-sekali. Lalu Nabi Sulaiman mengeringkan airnya dan menggantinya dengan khamr.

Dan pada hari minumnya, jin Sakhr datang. Ternyata ia menjumpainya telah menjadi khamr, maka ia berkata, “Sesungguhnya airmu ini adalah minuman yang baik, hanya saja engkau akan membuat orang yang penyabar menjadi mabuk dan membuat orang yang bodoh makin bertambah bodoh.”

Setelah minum Sakhr pulang, dan kembali lagi kepadanya setelah merasa kehausan yang sangat. Ia berkata, “Sesungguhnya engkau adalah minuman yang baik, tetapi engkau dapat menjadikan orang yang penyabar mabuk dan menambahkan kebodohan kepada orang yang bodoh.” Lalu Sakhr meminumnya lagi hingga pengaruh khamr menguasai akalnya.

Kemudian diperlihatkan kepadanya cincin Sulaiman, atau cincin itu ditempelkan di antara kedua tulang belikatnya, hingga Sakhr lumpuh dan tunduk.

Disebutkan bahwa letak kesaktian Nabi Sulaiman berada pada cincinnya. Lalu Sakhr dibawa menghadap kepada Nabi Sulaiman a.s, dan Nabi Sulaiman berkata, “Sesungguhnya kami telah diperintahkan untuk membangun rumah ini (Baitul Maqdis), dan dikatakan kepada kami bahwa dalam membangunnya tidak boleh ada suara besi.”

Maka Sakhr mendatangkan telur burung hudhud, lalu meletakkannya di dalam sebuah kotak kaca yang tertutup rapat. Ketika induk burung hudhud itu datang, ia hanya bisa berputar di sekitar peti kaca tersebut; ia dapat melihat telurnya, tetapi tidak dapat mendekatinya. Maka burung hudhud itu pergi dan datang lagi dengan membawa intan, lalu ia mengeratkan intan itu pada kotak kaca dan pecahlah kacanya hingga ia bisa mengerami telurnya. Maka Nabi Sulaiman mengambil intan dan menjadikannya sebagai alat untuk memotong batu-batuan.

Nabi Sulaiman a.s. apabila hendak memasuki kamar kecil atau kamar mandi tidak membawa serta cincinnya itu. Pada suatu hari ia pergi ke tempat mandi, sedangkan setan itu (yakni Sakhr) ikut bersamanya; peristiwa ini terjadi seusai Nabi Sulaiman menggauli salah seorang istrinya.

Sebelum Sulaiman a.s. memasuki kamar mandinya, terlebih dahulu ia menitipkan cincinnya itu kepada Sakhr. Tetapi setelah Sakhr menerimanya, ia melemparkannya ke laut dan cincin itu ditelan oleh ikan.

Maka kesaktian Nabi Sulaiman hilang. Kemudian Sakhr menyerupakan dirinya dengan Suliaman; ia datang ke kerajaannya, lalu duduk di atas singgasananya. Sejak saat itu Sakhr menguasai seluruh kerajaan milik Nabi Sulaiman, kecuali istri-istri Nabi Sulaiman. Sakhr menjalankan roda pemerintahan dan memutuskan peradilan di antara mereka, tetapi mereka memprotes banyak hal yang telah diputuskannya, hingga mereka mengatakan, “Sesungguhnya Nabi Allah mendapat cobaan.” Di antara mereka terdapat seorang lelaki yang diserupakan oleh mereka mempunyai kekuatan yang mirip dengan sahabat Umar ibnul Khattab. Lelaki itu berkata, “Demi Allah, sungguh aku akan mencobanya.” Ia bertanya, “Hai Nabi Allah, dia mengira bahwa yang duduk di atas singgasana itu adalah Nabi Sulaiman, bagaimanakah jika salah seorang dari kami mengalami jinabah di suatu malam yang dingin, lalu ia meninggalkan mandi jinabah dengan sengaja hingga matahari terbit, apakah menurut pendapatmu ia tidak berdosa? Sakhr yang menyerupai dirinya dengan Nabi Sulaiman menjawab, “Tidak.”

Ketika Sakhr dalam keadaan demikian selama empat puluh hari, tiba-tiba Nabi Sulaiman menemukan cincinnya di dalam perut seekor ikan. Lalu ia datang; tiada jin dan tiada pula burung yang bersua dengannya melainkan bersujud hormat kepadanya, hingga sampailah ia ke kerajaannya tempat mereka berada.

{وَأَلْقَيْنَا عَلَى كُرْسِيِّهِ جَسَدًا}

dan Kami jadikan di atas singgasananya sesosok tubuh. (Shad: 34)

Tubuh tersebut tiada lain kecualijin Sakhr yang jahat itu.

As-Saddi mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan sesungguhnya Kami telah menguji Sulaiman. (Shad: 34) Yakni Kami uji dia, dengan cara seperti yang disebutkan firman berikutnya: dan Kami jadikan di atas singgasananya sesosok tubuh. (Shad: 34)

Bahwa dia adalah setan yang didudukkan di atas singgasananya selama empat puluh hari.

Disebutkan bahwa Nabi Sulaiman a.s. mempunyai seratus orang istri dan di antaranya ada seorang istri yang dikenal dengan nama Jaradah, yang paling dicintainya dan paling dipercayai olehnya di antara semua istri-istrinya. Tersebutlah apabila Sulaiman hendak melakukan sesuatu yang mengakibatkan dirinya berjinabah atau hendak membuang hajatnya, terlebih dahulu ia menanggalkan cincinnya; maka tiada seorang pun yang dipercaya olehnya selain dari Jaradah istri tersayangnya itu. Ia menitipkan cincinnya itu kepadanya di suatu hari, lalu ia masuk ke tempat buang air. Tidak lama kemudian muncullah setan yang menyerupakan diri seperti dia, lalu setan itu berkata, “Kemarikanlah cincinku!” Jaradah menyerahkan cincin tersebut kepadanya. Selanjutnya setan itu datang ke kerajaan Nabi Sulaiman, lalu duduk di atas tempat duduk Nabi Sulaiman.

Sesudah itu Nabi Sulaiman a.s. keluar dari tempat buang airnya lalu meminta kepada istrinya (Jaradah) untuk menyerahkan cincinnya itu. Maka istinya menjawab.”Bukankah engkau telah mengambilnya tadi?” Nabi Sulaiman a.s. berkata, “Belum.” Sejak saat itu Nabi Sulaiman pergi, seakan-akan seperti layang-layang yang putus tanpa tujuan sedangkan setan itu tinggal selama empat puluh hari memerintah kerajaannya dan memutuskan perkara di antara manusia.

Orang-orang mengingkari keputusan-keputusan hukumnya, maka Ahli Qurra Bani Israil berkumpul bersama ulamanya, setelah itu mereka mendatangi istri-istri Nabi Sulaiman dan mengatakan kepada mereka, “Sesungguhnya kami mengingkari sepak terjang orang ini. Jika memang Nabi Sulaiman telah kehilangan akal sehatnya, maka kami tidak mau menerima semua keputusannya.”

Mendengar berita itu semua istri Nabi Sulaiman menangis. Mereka pergi mendatangi Sulaiman dengan jalan kaki. Setelah sampai di hadapannya, mereka memandangnya dengan pandangan yang teliti, kemudian mereka membuka kitab Taurat dan membacanya.

Maka dengan serta merta setan itu terpental ke udara dan jatuh di halaman istana, sedangkan cincin Sulaiman berada di tangannya. Kemudian ia terbang jauh dan pergi ke laut, tetapi cincin tersebut terjatuh darinya, jatuh ke laut, lalu dimakan oleh seekor ikan yang ada di laut.

Sulaiman datang dalam keadaan tertanggalkan darinya kebesaran seorang raja ke tepi laut, hingga sampailah ia pada salah seorang penangkap ikan di laut tersebut. Ia dalam keadaan sangat lapar, maka ia meminta ikan kepada para penangkap ikan itu. Ia berkata kepada mereka, “Sesungguhnya aku adalah Sulaiman,” maka sebagian dari mereka bangkit dan memukulnya dengan tongkat hingga Sulaiman terluka pada kepalanya. Sulaiman bersabar dan mencuci lukanya itu di tepi pantai dengan air laut. Para nelayan yang ada mencela perbuatan teman mereka yang memukul Sulaiman, dan mereka berkata kepadanya, “Buruk sekali perlakuanmu itu dengan memukul dia.” Orang yang memukulnya menjawab.”Dia mengira bahwa dirinya adalah Sulaiman.”

Akhirnya mereka memberinya dua ekor ikan yang tidak terpakai oleh mereka. Sulaiman tidak mengindahkan lagi luka akibat pukulan, ia bangkit menuju ke tepi pantai, lalu membelah perut kedua ikan itu dan mencucinya. Ternyata ia menjumpai cincinnya berada di dalam perut salah satu dari kedua ekor ikan pemberian itu.

Ia segera memungutnya dan mengenakannya, maka dengan serta merta Allah mengembalikan kepadanya wibawanya sebagai seorang raja dan juga kesaktiannya. Burung-burung pun berdatangan hingga mengelilinginya, Melihat kejadian itu barulah kaum yang ada di pantai itu merasa yakin bahwa dia adalah Sulaiman a.s. Maka orang-orang berdatangan kepadanya seraya meminta maaf kepadanya atas apa yang telah mereka lakukan terhadapnya. Sulaiman a.s. menjawab, “Aku tidak memuji kalian atas permintaan maaf kalian, tidak pula aku mencela apa yang telah kalian lakukan terhadapku, karena sesungguhnya peristiwa tersebut merupakan suatu perkara yang telah terjadi.”

Sulaiman a.s. berangkat hingga datang ke kerajaannya, lalu ia memerintahkan agar setan tersebut ditangkap. Setelah setan itu ditangkap, ia menjatuhkan hukuman terhadapnya, maka ia memasukkannya ke dalam sebuah peti besi yang dikuncinya rapat-rapat dan dilak dengan cap dari cincinnya. Kemudian ia memerintahkan agar peti itu dilemparkan ke dalam laut, dan setan tersebut akan tetap berada di dalam peti itu hingga hari kiamat nanti. Disebutkan bahwa nama setan itu adalah Habyaq.

As-Saddi melanjutkan kisahnya, bahwa telah ditundukkan bagi Sulaiman angin, yang sebelum itu tidak ditundukkan terhadapnya. Seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang jua pun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi. (Shad: 35)

Ibnu Abu Najib telah meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: dan Kami jadikan di atas singgasananya sesosok tubuh. (Shad: 34) Yaitu setan yang dikenal dengan nama Asif. Sulaiman a.s. berkata kepadanya, “Bagaimanakah caranya kamu menguji manusia?” Asif berkata, “Perlihatkanlah kepadaku cincinmu, nanti aku akan menceritakannya kepadamu!” Ketika Nabi Sulaiman memberikan cincin itu kepadanya, maka ia (Asif) melemparnya ke laut.

Setelah itn Sulaiman a.s. pergi mengembara, kerajaannya (kesaktiannya) telah lenyap dari tangannya, sedangkan si Asif duduk di atas singgasananya. Tetapi Allah Swt. mencegahnya dari istri-istri Nabi Sulaiman; maka dia tidak dapat mendekati mereka, dan tidak sekali-kali mereka mendekatinya, mereka langsung merasa benci terhadapnya.

Sejak itu Nabi Sulaiman a.s. makannya dari meminta-minta. Dia meminta makan dan mengatakan, “Tahukan kalian, siapakah aku ini? Berilah aku makan, aku adalah Sulaiman,” tetapi mereka mendustakannya (tidak percaya kepadanya). Hinggga pada suatu hari ada seorang wanita yang memberinya seekor ikan, lalu Sulaiman membelah perutnya dan ternyata ia menjumpai cincinnya berada di dalam perut ikan itu. Maka kembalilah kepadanya kebesaran kerajaan dan kesaktiannya, sedangkan Asif kabur, lalu masuk ke dalam laut.

Semuanya itu bersumber dari kisah israiliyat, tetapi tiada seorang pun yang mengingkari apa yang dikatakan oleh Ibnu Abu Hatim berikut: Ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Ala, Usman ibnu Abu Syaibah, dan Ali ibnu Muhammad; ketiganya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah, telah menceritakan kepada kami Al-A’masy, dari Al-Minhal ibnu Amr dari Sa’id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan Kami jadikan di atas singgasananya sesosok tubuh (yang mirip degannya), kemudian ia kembali (merebut kerajaannya). (Shad: 34) Bahwa ketika Nabi Sulaiman hendak memasuki kamar kecil, ia menyerahkan cincinnya itu kepada Jaradah, salah seorang istrinya yang paling dicintainya.

Tiba-tiba datanglah setan yang menyerupai dirinya dengan Sulaiman, lalu berkata kepada Jaradah, “Berikanlah cincinku kepadaku,” maka Jaradah menyerahkan cincin itu kepadanya. Setelah setan itu mengenakan cincin tersebut, tunduklah kepadanya semua manusia, jin, dan setan.

Ketika Sulaiman keluar dari kamar kecilnya, berkatalah ia kepada istrinya, “Kemarikanlah cincinku!” Jaradah menjawab, “Bukankah tadi telah kuberikan kepada Sulaiman?” Sulaiman a.s. berkata, “Akulah Sulaiman.” Jaradah menjawab, “Kamu dusta, bukan Sulaiman.”

Sejak saat itu tidak sekali-kali ia mendatangi seseorang dan mengatakan kepadanya.”Akulah Sulaiman,” melainkan orang itu mendustakannya, hingga anak-anak kecil melemparinya dengan batu. Ketika Sulaiman menyaksikan kenyataan ini, maka sadarlah ia bahwa ini merupakan perintah (ujian) dari Allah Swt.

Sedangkan setan itu bangkit dan memutuskan perkata di antara manusia (rakyat kerajaan Nabi Sulaiman). Dan ketika Allah menghendaki akan mengembalikan kerajaan kepada Sulaiman a.s, Allah menanamkan rasa ingkar dan benci terhadap setan yang menyerupakan dirinya dengan rupa Sulaiman itu.

Maka orang-orang mengirimkan utusan untuk menghadap kepada istri-istri Nabi Sulaiman. Para utusan mengatakan kepada mereka, “Apakah kalian menyaksikan sesuatu yang aneh pada diri Sulaiman?” Mereka menjawab, “Ya, sesungguhnya dia sekarang selalu mendatangi kami di saat kami sedang haid, padahal sebelum itu dia tidak pernah melakukannya.”

Ketika setan melihat bahwa perihal dirinya akan diketahui dan kedoknya akan terbuka, mereka menulis sebuah kitab yang di dalamnya terkandung sihir dan kekufuran, lalu mereka pendam di bawah singgasananya. Setelah itu mereka gali dan berpura-pura menemukannya, dan mereka membacakannya kepada orang-orang. Akhirnya mereka mengatakan, “Dengan cara inikah Sulaiman menguasai manusia dan mengalahkan mereka?” Kemudian semua orang mengingkari Sulaiman dan mereka tetap bersikap mengingkarinya.

Selanjutnya setan itu melemparkan cincin Sulaiman ke dalam laut. Setelah dilemparkan, cincin itu ditelan oleh ikan. Tersebutlah bahwa Nabi Sulaiman (sesudah peristiwa itu) bekerja sebagai kuli di sebuah pantai. Maka datanglah seorang lelaki membeli ikan-ikan di pantai itu dari jenis ikan yang menelan cincin Sulaiman, dari ikan yang menelan cincin itu pun ada pada kelompoknya tersebut. Lelaki itu memanggil Sulaiman dan berkata kepadanya.”Maukah engkau pikul ikan-ikan ini?” Sulaiman menjawab, “Ya.” Sulaiman bertanya, “Berapa upahnya?” Lelaki itu menjawab, “Saya bayar dengan ikan jenis ini yang kamu pikul nanti.”

Nabi Sulaiman a.s. setuju, lalu ia memikul ikan-ikan itu dan pergi membawanya ke rumah laki-laki itu. Setelah sampai di pintu rumah lelaki itu, maka si lelaki itu memberinya upah berupa ikan yang ternyata di dalamnya terdapat cincinnya.

Nabi Sulaiman menerimanya, lalu membelah ikan itu. Tiba-tiba ia menjumpai cincinnya berada di dalam perut ikan tersebut, maka ia pungut dan memakainya. Setelah ia memakai cincinnya itu, maka tunduklah kepadanya semua manusia, jin, dan setan; keadaannya kembali seperti semula, sedangkan setan yang merebut kedudukannya lari ke sebuah pulau di tengah laut.

Nabi Sulaiman a.s. mengirimkan utusan untuk mengejar dan menangkap setan yang sangat jahat itu. Maka mereka mengejarnya, tetapi mereka tidak mampu menangkapnya, pada akhirnya setan itu dijumpai sedang tidur. Kemudian mereka membangun di atasnya sebuah bangunan tertutup dari timah. Ketika setan itu bangun, ia kaget dan melompat, tetapi tidak sekail-kali ia melompat di bagian mana pun dari bangunan itu melainkan timah itu melentur dan membelitnya.

Akhirnya mereka dapat menangkapnya dan mengikatnya, lalu membawanya ke hadapan Nabi Sulaiman a.s. Maka Nabi Sulaiman memerintahkan agar dibuatkan untuknya keramik yang diberi lubang, kemudian setan itu dimasukkan ke dalamnya dan disumbat dengan penutup dari tembaga. Setelah itu ia memerintahkan agar keramik itu dilemparkan ke laut. Yang demikian itu disebutkan di dalam firman Allah Swt.: Dan sesungguhnya Kami telah menguji Sulaiman, dan Kami jadikan di atas kursinya sesosok tubuh (mirip dengan dia), kemudian ia kembali (dapat merebutnya). (Shad: 34) Yang dimaksud dengan sosok tubuh itu adalah setan yang telah menguasai kursinya.

Sanad riwayat ini kuat sampai kepada Ibnu Abbas. Akan tetapi, lahiriahnya menunjukkan bahwa sesungguhnya Ibnu Abbas menerimanya jika sanadnya sahih, dari kalangan Ahli Kitab. Perlu diketahui bahwa di antara Ahli Kitab ada sebagian orang yang tidak meyakini kenabian Nabi Sulaiman a.s. Dengan kata lain, mereka mendustakannya. Karena itu, dalam konteks kisah ini terdapat hal-hal yang mungkar, dan yang paling parah ialah disebutkannya istri-istri Nabi Sulaiman a.s. (yang dapat disetubuhi oleh setan itu di masa haidnya).

Karena sesungguhnya menurut riwayat yang terkenal dari Mujahid dan para imam ulama Salaf lainnya yang bukan hanya seorang, setan atau jin itu tidak dapat menguasai istri-istri Nabi Sulaiman, bahkan Allah Swt. telah menjaga mereka dari setan itu untuk memelihata kehormatan dan kemuliaan Sulaiman a.s.

Kisah ini telah diriwayatkan secara pajang lebar bersumber dari sejumlah ulama Salaf, seperti Sa’id ibnul Musayyab, Zaid ibnu Aslam, dan lain-lainnya. Semuanya itu dinukil dari kisah-kisah Ahli Kitab, hanya Allah sajalah Yang Maha Mengetahui.

Yahya ibnu Abu Arubah Asy-Syaibani mengatakan bahwa Sulaiman menemukan kembali cincinnya di Asqalan, lalu ia berjalan dengan mengenakan kain saja menuju Baitul Maqdis sebagai ungkapan rasa tawadu’nya (rendah dirinya) kepada Allah Swt. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.

Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkan dari Ka’bul Ahbar mengenai gambaran tentang singgasana Nabi Sulaiman a.s. yang kisahnya menakjub­kan. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Saleh juru tulis Al-Lais, telah menceritakan kepadaku Abu Ishaq Al-Masri, dari Ka’bul Ahbar. Disebutkan bahwa setelah Ka’bul Ahbar selesai dari kisah kaum Iram yang mempunyai tiang-tiang yang tinggi, Mu’awiyah berkata kepadanya, “Hai Abu Ishaq, ceritakanlah kepadaku tentang singgasana Nabi Sulaiman ibnu Nabi Daud a.s. dan gambaran tentangnya, Terbuat dari apakah ia?”

Ka’bul Ahbar menjawab, bahwa singgasana Nabi Sulaiman terbuat dari gading gajah yang bertahtakan mutiara, yaqut, zabarjad, dan intan. Nabi Sulaiman telah membuat tangga untuk naik ke singgasananya itu, yang antara lain dihiasi dengan intan, yaqut dan zabarjad.

Selanjutnya Nabi Sulaiman memerintahkan agar di sebelah kanan dan kiri kursi (singgasana)nya dihiasi dengan pohon kurma dari emas yang pelepah daunnya terbuat dari yaqut, zabarjad dan mutiara. Sedangkan di atas pohon kurma yang di sebelah kanan singgasananya dibuat patung burung merak dari emas, dan di atas pohon kurma yang ada di sebelah kirinya dibuat burung garuda dari emas yang posisinya berhadapan dengan burung merak.

Kemudian di sebelah kanan tangga naik ke singgasananya dibuat pohon sanubar dari emas, sedangkan di sebelah kiri tangga dibuat dua buah patung singa dari emas, yang di atas kepala masing-masing dibuat sebuah tiang terbuat dari zabarjad. Selanjutnya di sebelah kanan dan kiri singgasananya dibuat dua pohon anggur yang menaungi singgasana sedangkan buah-buahnya terbuat dari intan dan yaqut merah.

Di bagian atas tangga singgasana dibuat dua buah patung singa yang besar terbuat dari emas yang berongga, dan di dalam rongganya diisi dengan minyak misik dan minyak ambar (yang sangat harum baunya) Apabila Nabi Sulaiman hendak menaiki singgasananya, maka singa besar itu berputar sesaat, lalu diam seraya menyemprotkan parfum yang ada di dalam rongganya ke sekitar singgasananya.

Kemudian diletakkan dua buah mimbar yang terbuat dari emas, yang satu untuk wakilnya, sedangkan yang lain untuk para pemimpin pendeta Bani Israil di masa itu. Setelah itu diletakkan pula di hadapan singgasananya tujuh puluh mimbar yang semuanya terbuat dari emas, untuk tempat duduk para kadi, para ulama, dan orang-orang terhormat Bani Israil. Di belakang semua mimbar itu terdapat pula tiga puluh lima mimbar terbuat dari emas, tiada seorang pun yang duduk di atasnya.

Apabila Nabi Sulaiman hendak naik untuk duduk di atas singgasana­nya, maka ia menginjakkan kakinya di atas tangga naik bagian bawah maka berputarlah singgasananya bersama apa yang ada di sekitarnya patung singa merentangkan kaki kanannya, sedangkan burung garuda mengembangkan sayap kirinya. Apabila Nabi Sulaiman menginjakkan kakinya ke tangga yang kedua, maka patung singa itu merentangkan tangan kirinya, dan burung garuda merentangkan sayap kanannya.

Apabila Nabi Sulaiman telah menaiki tangga ketiganya, lalu duduk di atas singgasananya, maka patung burung garuda itu bergerak mengambil mahkota Nabi Sulaiman a.s., lalu meletakkannya di atas kepala Nabi Sulaiman. Dan apabila mahkota telah di letakkan di atas kepalanya, maka berputarlah singgasananya berikut semua yang ada padanya sebagaimana berputarnya kincir dengan putaran yang cepat.

Mu’awiyah berkata, “Lalu apakah yang menggerakkannya dapat berputar, hai Abu Ishak (nama julukan Ka’bul Ahbar)?” Ka’bul Ahbar menjawab, bahwa yang menggerakkannya adalah naga emas yang ada pada singgasananya. Naga itu merupakan suatu karya yang hebat dan buah tangan jin Sakhr.

Apabila tombol yang berupa naga itu diputar, maka berputarlah semua patung singa, patung garuda, dan patung merak yang berada di bawah singgasananya, sedangkan yang ada di atas tidak. Dan apabila tombol ditekan lagi, maka berhentilah semua patung itu dan berputarnya, sedangkan kepala mereka tertunduk berada di atas kepala Nabi Sulaiman a s. yang telah duduk di atas singgasananya. Kemudian patung-patung itu menyemprotkan semua parfum yang ada di dalam rongganya ke atas kepala Nabi Sulaiman a.s.

Kemudian burung merpati emas yang bertengger di atas tiang yang terbuat dari mutiara mengambil kitab Taurat, lalu meletakkannya di tangan Nabi Sulaiman a.s. Maka Nabi Sulaiman a.s. membacakannya kepada orang-orang. Kemudian Ka’bul Ahbar menceritakan kisah selanjutnya sampai akhir Kisah, tetapi kisah ini aneh sekali.

**************

{قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لَا يَنْبَغِي لأحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ}

Ia berkata, “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang jua pun sesudah-ku; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi.” (Shad: 35)

Sebagian ulama tafsir mengatakan bahwa makna ayat ini ialah kerajaan yang tidak layak bagi seseorang merebutnya dariku sesudahku, seperti yang pernah terjadi dalam kasus setan jahat yang menguasai singgasana­nya itu. Dan bukan berarti Nabi Sulaiman menghalang-halangi orang-orangyang sesudahnya untuk mempunyai hal yang serupa dengan miliknya.

Akan tetapi, pendapat yang sahih mengatakan bahwa Nabi Sulaiman a.s. memohon kepada Allah suatu kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang manusia pun sesudahnya. Pengertian inilah yang terbaca dari makna lahiriah konteks ayat, dan pengertian ini pulalah yang disebutkan di dalam hadis-hadis sahih melalui berbagai jalur dari Rasulullah Saw.

Imam Bukhari sehubungan dengan tafsir ayat ini mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Rauh dan Muhammad ibnu Ja’far, dari Syu’bah, dari Muhammad ibnu Ziad, dari Abu Hurairah r.a, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Sesungguhnya pernah ada Ifrit dari jin yang menampakkan dirinya kepadaku tadi malam —atau ungkapan yang semisal— untuk memutuskan salat yang sedang kukerjakan. Maka Allah Swt. memberikan kekuasaan kepadaku terhadapnya, dan aku berniat akan mengikatnya di salah satu tiang masjid hingga pagi hari, lalu kalian semua dapat melihatnya. Tetapi aku teringat akan ucapan saudaraku Sulaiman a.s. yang telah mengatakan, “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang jua pun sesudahku.” ( Shad: 35). Rauh mengatakan bahwa lalu Nabi Saw. melepaskannya kembali dalam keadaan terhina.

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam Nasai melalui Syu’bah dengan sanad yang sama.

Imam Muslim mengatakan di dalam kitab sahihnya, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Salamah Al-Muradi, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Wahb, dari Mu’awiyah ibnu Saleh, telah menceritakan kepadaku Rabi’ah ibnu Yazid, dari Abu Idris Al-Khaulani, dari Abu Darda r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. berdiri mengerjakan salatnya, lalu kami dengar beliau mengucapkan: Aku berlindung kepada Allah dari godaanmu —kemudian beliau mengucapkan pula— aku laknat engkau dengan laknat Allah. sebanyak tiga kali seraya mengulurkan tangannya seakan-akan seperti seseorang yang akan menangkap sesuatu. Setelah selesai dari salatnya, kami bertanya “Wahai Rasulullah, kami mendengar engkau mengucapkan sesuatu dalam salatmu yang belum pernah kami dengar engkau mengucapkannya sebelum itu, dan kami lihat engkau mengulurkan tanganmu?” Maka Rasulullah Saw. menjawab: Sesungguhnya iblis musuh Allah, datang dengan membawa obor api yang akan dia sundutkan ke mukaku, maka aku berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari godaanmu,” sebanyak tiga kali. Kemudian kukatakan pula, “Aku laknat engkau dengan laknat Allah yang sempurna, ” sebanyak tiga kali pula, tetapi ia tidak mau mundur. Kemudian aku bermaksud untuk menangkapnya, tetapi demi Allah, seandainya tidak ada doa saudara kami Sulaiman, tentulah ia telah terikat di pagi harinya, dapat dijadikan main-mainan oleh anak-anak Madinah.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Maisarah ibnu Ma’bad, telah menceritakan kepada kami Abu Ubaid pengawal Sulaiman yang telah mengatakan bahwa ia melihat Ata ibnu Yazid Al-Laisi sedang berdiri mengerjakan salatnya lalu ia bermaksud untuk lewat di hadapannya, maka Ata menolakku. Seusai salatnya Ata mengatakan, telah menceritakan kepadanya Abu Sa’id Al-Khudri r.a. bahwa Rasulullah Saw. berdiri mengerjakan salat Subuh, sedangkan Abu Sa’id bermakmum di belakang beliau Saw. Dan Rasulullah Saw. membaca Al-Qur’an, lalu mengalami gangguan dalam bacaannya itu. Setelah usai dari salatnya, beliau. Saw. bersabda: Seandainya kalian melihatku dan iblis (tentulah kalian akan menyaksikan pemandangan yang hebat), aku serang dia dengan tanganku dan aku masih terus-menerus mencekik lehernya sehingga aku merasakan air liurnya yang sejuk mengenai kedua jariku ini —jari telunjuk dan jari penengah- Seandainya tidak ada doa dari saudaraku Sulaiman, tentulah sampai pagi hari ia dalam keadaan terikat di salah satu tiang masjid dan dapat dijadikan mainan oleh anak-anak Madinah. Maka barang siapa di antara kalian yang mampu agar jangan ada seorang pun yang menghalang-halangi antara dia dan arah kiblat, hendaklah ia melakukan (hal yang serupa).

Imam Abu Daud telah meriwayatkan sebagian darinya, yaitu:

Barang siapa di antara kalian yang mampu agar jangan ada seorang pun yang menghalang-halangi antara dia dan arah kiblat, hendaklah ia melakukannya.

Ia meriwayatkannya dari Ahmad ibnu Abu Sarih, dari Abu Ahmad Az-Zubairi dengan sanad yang sama.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mu’awiyah ibnu Amr, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Muhammad Al-Fazzari, telah menceritakan kepada kami Al-Auza’i, telah menceritakan kepadaku Rabi’ah ibnu Yazid ibnu Abdullah Ad-Dailami yang menceritakan bahwa ia masuk menemui Abdullah ibnu Amr r.a. yang saat itu sedang berada di sebuah kebun miliknya di Taif, yang dikenal dengan nama Al-Waht, dalam rangka mengepung (mengejar) seorang pemuda Quraisy yang telah berzina dan meminum khamr. Ia (Rabi’ah ibnu Yazid ibnu Abdullah Ad-Dailami) mengatakan kepada Abdullah ibnu Amr r.a. bahwa telah sampai kepadanya suatu hadis bersumber dari dia yang menyebutkan: Barang siapa yang meminum seteguh khamr, Allah tidak akan menerima tobatnya selama empat puluh hari. Dan sesungguhnya orang yang celaka itu telah ditakdirkan celaka sejak ia berada di dalam perut ibunya. Dan bahwa barang siapa yang menziarahi Baitul Maqdis dengan tujuan tiada lain kecuali hanya melakukan salat di dalamnya, terbebaslah ia dari kesalahannya seperti pada hari ia dilahirkan oleh ibunya. Ketika pemuda itu mendengar khamr disebut-sebut, maka ia menarik tangannya dari tangan Abdullah ibnu Amr (yang telah menangkapnya), lalu kabur. Dan Abdullah ibnu Amr r.a. mengatakan bahwa sesungguhnya ia tidak memperkenankan bagi seorang pun untuk mengatakan atas nama dirinya sesuatu yang belum pernah ia katakan, bahwa dirinya pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Barang siapa yang meminum seteguk khamr. salatnya tidak diterima selama empat puluh hari. Dan jika ia bertobat, Allah menerima tobatnya. Dan jika dia mengulangi perbuatannya, tidak diterima salatnya selama empat puluh hari. Dan jika ia bertobat, Allah menerima tobatnya. Perawi mengatakan bahwa ia tidak ingat lagi apakah Abdullah ibnu Amr mengatakan hal ini sebanyak tiga kali ataukah empat kali, lalu ia mengatakan: Dan jika ia kembali lagi kepada perbuatannya, maka sudah menjadi kepastian baginya, Allah Swt. akan memberinya minuman dari tinatul khabal (keringat ahli neraka) kelak di hari kiamat. Kemudian Abdullah ibnu Amr mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya Allah Swt menciptakan makhluk-Nya dalam kegelapan, kemudian melemparkan kepada mereka sebagian dari cahaya-Nya. Maka barang siapa yang terkena oleh cahaya-Nyapada hari itu, niscaya mendapat petunjuk. Dan barang siapa yang terlewatkan darinya, niscaya sesat. Karena itu aku katakan, “Qalam telah kering untuk mengimbangi ilmu Allah Swt.” Abdullah ibnu Amr mengatakan pula bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya Sulaiman a.s. pernah memohon kepada Allah Swt. tiga perkara, maka Allah memberinya dua perkara, dan kami berharap semoga yang ketiga itu diberikan kepada kami. Sulaiman memohon kepada Allah hukum yang sesuai dengan hukum Allah, maka Allah memberinya. Dan Sulaiman memohon kepada Allah sebuah kerajaan yang tidak patut dimiliki oleh seorang pun sesudahnya, maka Allah memberinya. Dan permintaan yang ketiga ialah Sulaiman memohon kepada Allah bahwa barang siapa yang keluar dari rumahnya dengan tujuan tiada lain kecuali melakukan salat di masjid ini (Masjidil Aqsa), maka bersihlah dia dari kesalahannya sebagaimana pada hari ia dilahirkan oleh ibunya. Dan kami berharap semoga Allah Swt. memberikan kepada kami permintaan yang ketiga ini.

Bagian yang terakhir dari hadis ini telah diriwayatkan pula oleh Imam Nasai dan Imam Ibnu Majah melalui berbagai jalur dari Abdullah ibnu Fairuz Ad-Dailami, dari Abdullah ibnu Amr r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

Sesunguhnya Sulaiman a.s. setelah membangun Baitul Maqdis memohon kepada Allah Swt. tiga perkara, (hingga akhir hadis)

Telah diriwayatkan pula melalui hadis Rafi’ ibnu Umair r.a. dengan sanad dan konteks yang kedua-duanya garib.

Imam Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Hasan ibnu Qutaibah Al-Asqalani, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ayyub ibnu Suwaid, telah menceritakan kepadaku ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Abu Ablah, dari Abuz Zahiriyah, dari Rafi’ ibnu Umair yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. menceritakan kisah berikut: Allah Swt. berfirman kepada Daud a.s, “Buatkanlah sebuah rumah (peribadatan) untuk-Ku di bumi. Maka Daud a.s. membangun sebuah rumah ibadah untuk dirinya sebelum membangun bait (rumah ibadah) yang di perintahkan agar ia membangunnya. Maka Allah menurunkan wahyu kepadanya, “Hai Daud, engkau telah bangun rumah peribadatan untukmu sebelum engkau bangun rumah peribadatan untuk-Ku.” Daud menjawab, “Wahai Tuhanku, memang ini menurut naluriku sebagai seorang raja yang egois.” Kemudian Daud membangun masjid yang dimaksud, dan setelah temboknya berdiri ambruk —hal ini terjadi tiga kali— akhirnya Daud mengadu kepada Allah Swt. Maka Allah Swt. berfirman, “Hai Daud, sesunguhnya kamu tidak layak untuk membangun rumah (peribadatan) untuk-Ku.” Daud bertanya’, “Mengapa, wahai Tuhanku?” Allah Swt. menjawab, Karena banyak darah yang dialirkan oleh kedua tanganmu.” Daud berkata, “Wahai Tuhanku, bukankah hal itu terjadi demi kecintaan dan kesukaanku kepada Engkau?” Allah Swt. berfirman, “Bukan begitu, tetapi mereka juga adalah hamba-hamba-Ku, Aku kasihan kepada mereka.” Maka hal tersebut memberatkan Daud, lalu Allah Swt. berfirman melalui wahyu-Nya, “Janganlah engkau bersedih hati, karena sesungguhnya Aku telah menetapkan pembangunannya di tangan anak laki-lakimu, yaitu Sulaiman.” Setelah Daud a.S. meninggal dunia, putranya (Sulaiman) membangun masjid tersebut. Setelah pembangunan masjid selesai, Sulaiman menghadiah­kan kurban dan menyembelih banyak hewan sembelihan, lalu ia mengumpulkan semua kaum Bani Israil. Maka Allah menurunkan wahyu-Nya kepada Sulaiman, “Aku telah melihat kegembiraanmu dengan selesainya perhbangunan bait-Ku, maka mintalah kepada-Ku, Aku akan memberimu.” Sulaiman berkata, “Aku memohon kepada-Mu tiga perkara, yaitu hukum yang sesuai dengan hukum-Mu, kerajaan yang tidak layak dimiliki oleh seorang pun sesudahku; dan barang siapa yang datang ke masjid ini dengan niat tiada lain kecuali melakukan salat di dalamnya, maka bersihlah ia dari dosa-dosanya sebagaimana pada hari ia dilahirkan oleh ibunya.” Maka Rasulullah Saw. bersabda: Adapun yang dua perkara Sulaiman telah diberinya; dan aku berharap semoga yang ketiga itu diberikan kepadaku.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdus Samad, telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Rasyid Al-Yamami, telah menceritakan kepada kami Iyas ibnu Salamah ibnul Akwa, dari ayahnya yang mengatakan bahwa tidak sekali-kali ia mendengar Rasulullah Saw. berdoa melainkan membukanya dengan bacaan: Mahasuci Allah, Tuhanku Yang Mahatinggi, Yang Maha Tertinggi lagi Maha Pemberi.

Abu Ubaidah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Sabit, dari Ja’far ibnu Barqan, dari Saleh ibnu Mismar yang menceritakan bahwa ketika Nabi Daud a.s. meninggal dunia, Allah menurunkan wahyu kepada putranya (Sulaiman a.s.), “Mintalah kepada-Ku keperluanmu.” Sulaiman menjawab, “Aku memohon kepada-Mu hendaklah Engkau jadikan kalbuku takut kepada Engkau sebagaimana kalbu ayahku. Dan hendaklah Engkau jadikan kalbuku mencintai-Mu sebagaimana kalbu ayahku mencintai-Mu.” Maka Allah Swt. berfirman, “Aku telah mengirimkan utusan kepada hamba-Ku untuk menanyakan keperluannya, dan ternyata keperluannya ialah hendaklah Aku menjadikan kalbunya takut kepada-Ku dan menjadikannya cinta kepada-Ku. Sungguh Aku benar-benar akan menganugerahkan kepadanya suatu kerajaan yang tidak layak dimiliki oleh seorang pun sesudahnya.” Allah Swt. berfirman: Kemudian Kami tundukkan kepadanya angin berembus dengan baik menurut perintahnya ke mana saja yang dikehendakinya. (Shad: 36) Dan ayat-ayat yang sesudahnya.

Saleh ibnu Mismar mengatakan bahwa lalu Allah memberi Sulaiman segala sesuatu yang Dia berikan kepadanya, sedangkan di akhirat tiada hisab atas diri Sulaiman terhadap semuanya itu.

Hal yang sama telah dikemukakan oleh Abul Qasim ibnu Asakir dalam autobiografi Sulaiman a.s. yang ada di dalam kitab berikutnya.

Sebagian ulama Salaf mengatakan bahwa ia pernah mendengar kisah yang menyebutkan bahwa Daud a.s. pernah berdoa, “Ya Tuhanku, jadikanlah bagi Sulaiman sebagaimana yang telah Engkau berikan kepadaku.” Lalu Allah menurunkan wahyu-Nya kepada Daud,” Katakanlah kepada Sulaiman, “Hendaknya dia menjadikan untuk-Ku sebagaimana yang telah engkau lakukan kepada-Ku, maka Aku akan menjadikannya sebagaimana apa yang telah Kulakukan bagimu.”

************

Firman Allah Swt.:

{فَسَخَّرْنَا لَهُ الرِّيحَ تَجْرِي بِأَمْرِهِ رُخَاءً حَيْثُ أَصَابَ}

Kemudian Kami tundukkan kepadanya angin berembus dengan baik menurut perintahnya ke mana saja yang dikehendakinya. (Shad: 36)

Al-Hasan Al-Basri rahimahullah mengatakan bahwa setelah Sulaiman menyembelih semua kuda miliknya karena marah demi Allah Swt, maka Allah menggantinya dengan sesuatu yang jauh lebih baik dan jauh lebih cepat daripada kuda-kuda itu. Yaitu angin yang perjalanannya di waktu pagi sama dengan perjalanan satu bulan, dan perjalanannya di waktu petang sama dengan perjalanan satu bulan.

menurut ke mana saja yang di kehendakinya. (Shad: 36)

We will be happy to hear your thoughts

Leave a reply

Amaliyah
Logo