Kedua anak sayidina Ali bin Abi Thalib jatuh sakit. Saat menjenguk bersama Rasulullah Saw, Umar
bin Khattab berkata kepada Ali Ra,
“Mengapa engkau tidak bernazar saja untuk kesembuhan anakmu, wahai Ali?” Atas pendapat itu Ali Ra terinspirasi. Ia pun bernazar yang diikuti oleh Fathimah istrinya.
Hasan dan Husein, anaknya dan Faddoh, pembantunya, Mereka semua bernazar puasa karena Allah Swt selama 3 hari bila diberi kesembuhan atas penyakit yang diderita Hasan dan Husein. Rupanya Allah Swt mengabulkan nazar mereka. Hasan dan Husein sembuh. Maka mereka sekeluarga pun berpuasa selama 3 hari untuk memenuhi nazar.
Pada hari pertama saat hendak ifthar (berbuka), tiada yang mereka siapkan untuk dimakan selain hanya sepotong roti untuk 5 orang. Hanya makanan itulah yang bisa didapat oleh Ali Ra sebagai kepala
keluarga. Namun saat mereka baru saja hendak melahapnya, maka tiba-tiba terdengar suara orang yang mengucapkan salam dari balik pintu. Ali menjawab salam kemudian bangkit untuk menemui orang
tersebut. Rupanya, ada seorang miskin yang menyatakan bahwa dirinya lapar. Tiada makanan yang ia konsumsi beberapa hari terakhir. Ia datang memohon kemurahan hati. Sebagai manusia, Ali Ra bimbang untuk memutuskan. Ia tahu bahwa keluarganya juga lapar karena telah berpuasa seharian, sementara manusia asing yang miskin ini mungkin lebih lapar dari mereka. Ali Ra pun masuk ke dalam. Ia sampaikan
kondisi dan penderitaan orang miskin tadi kepada keluarganya. Dengan hati lapang, mereka semua memberikan sepotong roti yang hendak mereka makan kepada orang miskin itu. Tinggallah mereka semua, hanya berbuka dengan beberapa teguk air putih saja, dan pada malamnya mereka semua kelaparan.
Pada hari kedua, juga pada saat berbuka, hanyalah sepotong roti yang tersedia bagi keluarga yang lapar itu. Roti itu baru saja hendak disorongkan ke mulut mereka. Lalu terdengarlah ucapan salam dari mulut seorang bocah di balik pintu rumah mereka. Ali Ra pun bangkit lalu pergi ke sumber suara. Di sana
ia menjumpai seorang bocah yang mengaku yatim dan berkata bahwa dirinya lapar karena ia tidak memiliki orang tua yang memberinya makan. Hati Ali Ra terenyuh mendengarnya, namun ia sadar bahwa
keluarganya pun lapar. Mungkin Allah Swt telah memberikan ketetapan hati pada keluarga itu. Roti yang hampir disorongkan ke mulut tadi, akhirnya pun diberikan kepada bocah yatim yang malang itu. Malam kedua, mereka pun merasakan rasa lapar yang bertambah berat. Hari terakhir berpuasa untuk memenuhi nazar pun mereka jalankan. Kondisi tubuh sudah semakin parah. Perut melilit dan sering kali terasa perih. Namun sedikit pun mereka tiada mengeluh, bahkan mereka berharap ganjaran pahala berlebih dari Allah Swt Yang tiada pernah terpejam.
Saat berbuka sudah dijelang, hanya sepotong roti yang hendak mereka santap berlima. Kali itu, pintu pun diketuk dan ucapan salam terdengar. Hati mereka was-was karena sudah begitu lapar. Sekali lagi Ali Ra bangkit dan pergi ke luar. Di sana ia temui, ada seorang tawanan yang baru saja dilepaskan. Seperti tawanan lainnya, ia selalu disiksa dan tidak diberi makan. Ia datang dengan perawakan
kurus kering, wajah lusuh dan hampir ambruk karena tidak bertenaga. Ali Ra pun merasakan penderitaannya. Sejurus ia pergi ke dalam, ia sampaikan kondisi manusia malang itu. Dengan sukarela mereka sekeluarga mengikhlaskan roti yang hendak mereka santap. Malam itu pun mereka lalui dengan rasa lapar yang menggila. Namun, mereka sekeluarga telah memenangkan perjuangan. Ya, perjuangan! Demi mendapatkan kecintaan dan keridhaan Allah Swt sehingga mereka semua dikenang dan diabadikan dalam kitab suci yang dibaca oleh milyaran manusia.
Dialah keluarga Ali Ra yang termaktub dalam surat Al Insan ayat 8-10 di atas. Itulah kisah keluarga yang mampu berinfak dari harta terbaik yang mereka miliki sehingga mengundang kekaguman Sang Khalik.
Kisah lain terjadi pada awal Desember 2005. Seorang pria siang itu hendak kembali ke Jakarta. Ia baru saja menyelesaikan urusannya di Bandung. Siang itu ia memilih lewat jalan tol Padalarang. Saat baru
saja masuk tol, perutnya terasa lapar. Terbayang di benaknya, bahwa ia akan mampir di sebuah restoran yang berada di tempat peristirahatan tol. Mobil itu diparkirkan. Ia masuk ke dalam.
Setelah memilih meja yang kosong, ia pun duduk di sana. Makanan yang enak baru saja ia pesan kepada salah seorang pelayan.
Sambil menunggu makanan yang dipesan, tiba-tiba datanglah seorang bocah menghampiri dan berkata, “Bang… apakah abang mau beli kue saya ini?!“ Tangan bocah itu masuk ke dalam bakul seolah hendak memperlihatkan apa yang ia jual.
Pria ini lalu menyusul dengan sebuah kalimat sebelum bocah itu memperlihatkan dagangannya,
“Dik…abang baru saja pesan makanan. Kalo abang makan kue adik, nanti makannya tidak lahap. Nanti saja ya, Dik!” Si bocah penjual kue itu tahu bahwa jualannya ditolak. Ia pun beringsut pergi.
Ia hampiri setiap orang yang ada di rumah makan itu. Dengan sopan, ia menawarkan jajaannya. Makanan sudah disantap dengan lahap oleh pria itu. Sebatang rokok tengah diisap mendalam, lalu kemudian ia kepulkan dengan kenikmatan yang tak tergambarkan.
Sejurus kemudian, sang bocah penjual kue datang menyapa, “Bang, enak ya makannya. Mungkin abang masih belum kenyang… silakan cicipi kue saya!” Kali ini si bocah menunjukkan dua kue terenak yang dimilikinya.
Dengan enteng pria ini menjawab dengan sopan, “Dik… abang sudah kenyang. Kayaknya udah nggak muat lagi nih perut. Maaf ya, Dik!” untuk kedua kalinya tawaran itu pun ditolak. Setelah puas menikmati rokok, pria itu bangkit. Ia pergi menuju kasir dan membayar semua apa yang ia
nikmati di restoran itu. Setelah itu, ia pun kembali ke mobilnya untuk melanjutkan perjalanan. Pintu mobil baru saja ditutup, pria itu menunduk untuk memasukkan kunci ke tempat starter. Belum lagi
mobil tersebut dioperasikan, kemudian terdengar suara…
Duk..duk..duk! kaca mobil rupanya ada yang mengetuk.
Pria itu kemudian menurunkan jendela. Rupanya bocah penjaja kue yang datang.
Bocah itu berkata, “Bang… kalo abang sudah kenyang, mungkin abang mau bawa oleh-oleh untuk keluarga di rumah. Kue saya ini enak lho, Bang!” Bocah itu mengatakannya dengan penuh semangat pantang surut.
Demi melihat kegigihan itu, pria tersebut lalu mengambil dompet yang terletak di antara dashboard mobilnya. Ia pun mengambil selembar uang dua puluh ribuan. Uang itu kemudian ia berikan sambil berkata, “Dik…. nih buat kamu. Abang dah kenyang dan gak perlu kue itu. Simpan ya… atau ditabung!” Setelah menerima uang itu, bocah tersebut mengucap terima kasih kemudian ia pun pergi.
Mobil berjalan mundur untuk keluar dari pelataran parkir. Pria itu membalikkan punggungnya. Ia tidak terlalu percaya kepada 3 spion yang ada dalam mobilnya. Saat kepala memutar ke arah belakang… dan ketika ia masih mengeluarkan mobilnya. Ujung matanya memperhatikan bocah penjaja kue itu menghampiri seorang pria buta yang duduk bersimpuh di depan pintu masuk restoran. Ujung mata itu masih tetap mengikuti, hingga akhirnya terbelalak sesaat ketika bocah itu memberikan lembaran uang dua puluh ribuan kepada pengemis buta tadi.
Demi melihat kejadian itu, mesin mobil pun dimatikan dan pria itu kemudian turun menghampiri bocah penjual kue. “Dik… kemari cepat!” pria itu menyuruh dengan nada agak meninggi.
Bocah penjaja kue pun dengan sigap menghampiri. “Ada apa, bang?” ia bertanya.
“Uang itu abang berikan untuk kamu. Kenapa kau berikan untuk orang lain?!” si pria bertanya keheranan atas sikap yang telah dilakukan bocah.
“Bang…. uang itu terlalu banyak untuk saya. Emak di rumah pasti bakal marah kalau dia tahu bahwa saya punya duit banyak sementara dagangan nggak laku… Dia pasti mengira kalau gak mencuri pasti saya mengemis. Emak ngasih tahu saya bahwa pantang kami mengemis…!” bocah itu menjelaskan.
“Nah…, karena saya tahu bahwa ada yang lebih membutuhkan dan gak bisa berbuat apa-apa, makanya uang itu saya berikan kepada pengemis itu, Bang…. pantang bagi saya untuk mengemis, Bang!” anak itu menyudahi penjelasannya.
Seolah diceramahi dan dipertontonkan dengan sebuah kebijaksanaan yang tinggi, sang pria kemudian merasa paham lalu berkata, “Hmmm…. kalo begitu berapa kuemu yang tersisa, Dik?!”
Anak itu kaget membelalakan mata kemudian berkata, “Emangnya abang mau beli kue saya?!” “Ya…abang mau beli semua! Hitung dan bungkus ya…!” pria itu menegaskan.
Dengan semangat ia hitung semua dagangannya. Kemudian setelah dibungkus, anak itu mengatakan, “Dua puluh tujuh ribu, bang! Saya korting jadi dua puluh lima ribu aja deh!” anak itu berkata
sambil tersenyum. Sang pria kemudian mengeluarkan uang sejumlah yang disebut. Kemudian memberikannya kepada anak itu sambil mengusapkan tangan di atas kepalanya. Pria itu kemudian masuk ke mobilnya. Ia hidupkan mesinnya sambil melempar senyum kepada bocah penjual kue
tadi. Sejurus kemudian hilanglah mobil itu dari pandangan.
Sementara si anak berdiri kegirangan karena seluruh dagangannya habis terjual. Ia dapatkan uang sejumlah Rp 25 ribu, karena sebelumnya ia berhasil memberikan uang dua puluh ribu kepada pengemis. Infak dari harta terbaik akan mendatangkan pertolongan Allah Yang Maha Pemurah!!!
Alkhori M
Alkhor Community, Qatar
diambil dari detikcom, dikirim oleh wahyuningrat
support by:
umroh-haji.net