Aku Rela Jalani Berbagai Profesi

Aku Rela Jalani Berbagai Profesi

Namaku Ruhiyat, 38 tahun. Aku berasal dari Cirebon dan mengembara ke kota Bandung untuk mengubah kehidupan keluargaku. Kendati harus menghadapi berbagai peIjuangan yang keras, ternyata aku justru menikmatinya. Sejak lulus PGA (1990), sebagai anak petani, aku bercita-cita untuk melanjutkan kuliah ke Lembaga llmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) di Jakarta. Aku ingin mendalami Bahasa Arab. Aku hanya mampu kuliah selama satu tahun saja. Selain kuliah, aku juga mengajar di sebuah madrasah di daerah Tomang, Jakarta. Pada saat itu kudengar Pertamina membuka lowongan kerja untuk putra daerah di kawasan Balongan, Indramayu. Aku segera mengirimkan lamaran dan aku pun diterima sebagai office boy.

Aku sempat berpikir, masak lulusan PGA hanya menjadi office boy. sehingga aku coba pindah di bidang elektrik tidak menjadi office boy lagi. Kujalani pekeIjaan itu dengan penuh keseriusan. Ternyata Allah berkehendak lain, aku ditakdirkan menikah dengan seorang karyawati di tempatku bekerja, yang kini menjadi isteriku pada tahun 1994. Aku merasa bahagia bisa berumah tangga. Setelah satu tahun, Allah mengamanahiku seorang anak pertama. Tapi ujian mulai datang dan aku diharuskan untuk dipindahkan kerja ke Bali. Aku turuti saja, namun aku mulai tidak kerasan meminta kembali bekeIja di Balongan. Setelah itu, semangat bekerjaku mulai kendor. Akhirnya aku memutuskan keluar pada tahun 1996.

Selepas itu, aku diterima di sebuah kantor advokat di Cirebon. Tapi karena orangtua tidak setuju, maka aku memutuskan keluar kembali. Bersamaan dengan itu, aku mendengar dari temanku Ustad Muhyidin ada program “Dai Pembangunan” yang digagas MUI Jawa Barat. Kupikir ini sebuah tantangan, makanya dengan sedikit keberanian, aku mencoba untuk mengikuti test pada Januari 1996. Aku lolos seleksi dan bulan Februari mengikuti pelatihan di Yogyakarta selama satu bulan. Dalam hati aku bertanya-tanya, mungkinkah aku bisa melakukan kegiatan itu yang harus kulalui selama 3 tahun? Apalagi aku punya isteri dan anak. Anakku saat itu berumur tujuh bulan Kupercayakan kepada isteriku kalau hal ini merupakan kesempatan untuk mengubah kehidupan keluargaku.

Tahun itu, bersama 8 orang dari Jawa Barat aku ditugaskan ke daerah Indragiri Hilir, Provinsi Riau. Perjalanan menunju tempat itu kulalui dalam waktu 3 hari 4 malam dan terasa cukup melelahkan. Sungguh tak terbayang olehku sebelumnya, ternyata daerah itu hutan dan tanah bergambut. Kudengar pula di sana sudah ada 17 KK yang berasal dari Desa Bedulan (Sura Menggala) Cirebon yang dikenal sebagai pelaku tindak kriminal seperti membunuh, merampok atau mencuri. Mulanya aku ciut, tetapi aku yakin Allah takkan membiarkan umatnya yang berjuang.

Sebagai “Dai Pembangunan” aku ditugaskan untuk berdakwah sesuai ajaran Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Ternyata di sana sudah ada paham Ahmadiyah dan LDII. Di sana aku juga harus menjadi penggerak pembangunan daerah tersebut. Dapat dibayangkan, aku harus bertani, membangun rumah dan juga memajukan masyarakat di sana. Selama seminggu aku berhasil menyediakan lahan setengah hektar untuk ditanami. Melihat hal itu, warga menjadi antusias. Kemudian aku pun dipercaya menjadi kepala madrasah di tempat itu. Gajiku sebagai “Dai Pembangunan” hanya 300.000 perbulan, tetapi aku mendapat tambahan dari Departemen Transmigrasi RI. Aku mulai betah di sana. Tetapi persoalannya, jika aku mendapatkan gaji atau kiriman dari Jakarta, maka aku hams melakukan peIjalanan melalui sungai dari usai shalat Shubuh sampai menjelang malam. Karena setelah menerima uang, aku langsung belanja untuk kebutuhan sebulan.

Ada pengalaman unik yang menurutku jauh dari pikiran. Aku diberi kekuatan untuk menundukkan hati orang-orang yang dianggap jahat yang ada di sana. Aku berhasil menyadarkan mereka, hingga mereka taat beragama. Bahkan, aku mampu menundukkan hati seorang perampok ninja yang berasal dari Malang. Selain itu, aku berhasil menyembuhkan orang yang terganggu ingatannya. Aneh tapi nyata. Warga di sana menyebutku orang sakti. “Semua itu teIjadi hanya Qudrat dan lradat Allah. Kalau aku mengaku sakti, aku takut jadi musyrik,” cetus hatiku.

Tak terasa tiga tahun sudah aku menjadi “Dai Pembangunan”. Berarti masa tugasku berakhir. Isteri dan kedua anakku pulang lebih dulu ke Indramayu. Selama seminggu, aku tidur di masjid. Warga di sana pun berusaha menahanku dengan cara mereka sendiri. Mereka benar-benar sedih karena merasa kehilangan. Mereka sudah menganggap aku sebagai saudaranya sendiri. Perpisahan pun akhirnya teIjadi dan kulihat warga dengan isak tangis melepas kepergianku sampai akhirnya aku kembali ke Indramayu.

Setibanya di Indramayu aku tak memiliki pekerjaan. Suatu malam aku sengaja datang ke Pasar Malam menemui temanku yang beIjualan poster. Saat itu kebetulan aku membawa beberapa spidol warna. Lalu iseng-iseng poster milik temanku itu dilukis dengan kaligrafi. Ternyata di Iuar dugaanku, poster sebanyak 16 Iembar yang kulukis dengan kaligrafi laku keras. Malam itu aku mendapat keuntungan dan menjadikan inspirasiku untuk bisa mencari uang untuk anak isteriku. Malam-malam selanjutnya kulakukan seperti itu dan Iumayan dapurku bisa ngebul.

Pekerjaan itu tentu tak bisa menjadi andalan buat masa depan keluargaku. Aku melamar sebagai buruh di PT Marga Jaya atas informasi saudaraku. Alhamdulillah aku diterima sebagai buruh di PT Marga Jaya di kawasan Jatayu, Kecamatan Cicendo, Bandung. Aku memboyong isteri dan anakku ke sana. Tadinya aku minta bekerja shift pagi, tetapi pimpinanku tak mengizinkzn. Hingga akhirnya aku harus bekerja shift malam dan itu telah aku lakoni selama 9 tahun. Bekerja di sana, aku bersyukur karena bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari keluargaku.

Di tengah perjalanan, aku berpikir mencari uang tambahan. Karena aku memiliki kepandaian kaligrafi, timbullah ide untuk menawarkan hasil karyaku ke sekolah-sekolah SD di Bandung. Aku menjual lukisan kaligrafi di poster itu seharga Rp 2500 per lembar. Alhamdulillah banyak yang memesan. Bahkan, ada satu sekolah yang memesan sebanyak 200 lembar. Sambil menawarkan lukisan kaligrafi itu, aku titipkan lamaran sebagai guru agama di SD LPPN, Rajawali Timur, Bandung. Karena tak ada jawaban saat itu, aku terus menjalani profesiku sebagai buruh pabrik dan pelukis kaligrafi. Kini aku mengontrak rumah di Jatayu ukuran 3 X 12 meter yang kubayar per bulan 200.000 ribu rupiah bersama isteri dan anakku. Anak pertamku duduk di kelas 1 SMPN 23 Bandung, nomor dua kelas VI SD Rajawali Bandung dan anak ketiga, satu¬satunya laki-Iaki kini berusia 1,5 tahun.

Pada 2003 aku tak pernah menduga, Iamaran yang kuberikan pada 2000 itu yang sudah kulupakan nyatanya berbuah hasil. AkU dipanggil sebagai guru agama honorer, karena guru agama di sekolah itu keluar. Aku digaji Rp 250.000 perbulan untuk 33 jam pelajaran. Aku bersyukur bisa mendapatkan hal itu. Dengan sendirinya aku menjalani tiga profesi sekaligus untuk memenuhi kebutuhan keluargaku. Bahkan setiap hari Ahad, usai olah raga aku menggelar Iukisan kaligrafi itu di kawasan Tegal Lega. Semuanya, Alhamdulillah bisa memberikan sesuatu yang berarti bagi keluargaku. Menjadi guru agama adalah pengabdianku dari ilmu yang didapatkan dari PGA dulu. Kegiatan mengajar kulakukan pagi hari sampai jam 12 siang. Setelah itu aku istirahat. Dari Ashar sampai Maghrib, kalau ada pesanan kaligrafi, aku mengerjakannya. Setelah itu aku bertugas seperti biasa, menjadi buruh di PT Marga Jaya dari pukul 20.00 sampai pukul 06.00 pagi berikutnya. Aku ikhlas menjalani segala profesiku dan alhamdulillah aku tak pernah sakit.
Seperti dituturkan Ruhiyat kepada Dendi Sholihin

Diambil dari Majalah Al-Mujtama

support by:

umroh-haji.net

We will be happy to hear your thoughts

Leave a reply

Amaliyah
Logo