Syekh Imam Al-Hafiz, Imaduddin Abul Fida Ismail ibnul Khatib Abu Hafs Umar ibnu Kasir —semoga Allah melimpahkan rahmat dan rida-Nya kepada dia— mengatakan, “Segala puji bagi Allah yang telah membuka kitab-Nya dengan firman-Nya:
‘Segala puji milik Allah Tuhan semesta alam, Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Yang menguasai hari pembalasan.’ (Al-Fatihah: 2-4).”
Allah Swt. berfirman:
Segala puji milik Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al-Kitab (Al-Qur’an) dan dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya, sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan akan siksaan yang pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik, mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya. Dan untuk memperingatkan kepada orang-orang yang berkata, “Allah mengambil seorang anak” Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah jeleknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta. (Al-Kahfi: 1-5)
Allah memulai penciptaan-Nya dengan pujian. Untuk itu, Dia berfirman:
Segala piiji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka. (Al-An’am: 1)
Allah mengakhiri penciptaan-Nya dengan pujian pula. Maka sesudah menceritakan tempat ahli surga dan tempat ahli neraka, Dia berfirman:
Dan kamu akan melihat malaikat-malaikat berlingkar di sekeliling Arsy bertasbih seraya memuji Tuhannya; dan diberi putusan di antara hamba-hamba Allah dengan adil dan diucapkan, “Segala puji milik Allah, Tuhan semesta alam. (Az-Zumar: 75)
Dan Dia-lah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, bagi-Nyalah segala puji di dunia dan di akhirat. dan bagi-Nyalah segala penentuan dan hanya kepada-Nyalah kamu sekalian dikembalikan. (Al-Qashash: 70)
Segala puji bagi Allah yang memiliki apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan bagi-Nya (pula) segala puji di akhirat. Dan Dia-lah Yang Maha bijaksana lagi Maha Mengetahui. (Saba: 1)
Hanya milik Allah-lah segala puji di dunia dan di akhirat, yakni dalam semua yang telah diciptakan-Nya dan yang sedang diciptakan-Nya. Dia-lah Yang Maha Terpuji dalam semua itu, sebagaimana yang telah dikatakan oleh seseorang dalam salatnya, yaitu:
Ya Allah, Tuhan kami, bagi-Mulah segala puji sepenuh langit, sepenuh bumi, dan sepenuh apa yang Engkau kehendaki sesudah bumi dan langit.
Oleh sebab itu, Dia mengilhamkan kepada penduduk surga untuk bertasbih dan bertahmid kepada-Nya, sebagaimana mereka diberi ilham untuk bernapas. Dengan kata lain, mereka bertasbih dan bertahmid kepada-Nya sebanyak bilangan napas mereka, karena mereka merasakan kebesaran nikmat Allah yang terlimpah kepada mereka, kesempurnaan kekuasaan-Nya, kebesaran pengaruh-Nya, dan anugerah-anugerah-Nya yang terus-menerus serta kebaikan-Nya yang kekal terlimpah kepada mereka. sebagaimana disebutkan di dalam firman-Nya:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka diberi petunjuk oleh Tuhan mereka karena keimanannya; di bawah mereka mengalir sungai-sungai di dalam surga yang penuh dengan kenikmatan. Doa mereka di dalamnya ialah.”Subhanakallahumma” (Mahasuci Engkau, ya Allah) dan salam penghormatan mereka ialah “Salam.” Dan penutup doa mereka ialah, “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” (Yunus: 9-10)
Segala puji bagi Allah yang mengutus rasul-rasul-Nya dengan membawa berita gembira dan memberi peringatan supaya tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah sesudah diutus-Nya rasul-rasul itu. (An-Nisa : 165)
Dia mengakhiri mereka (para rasul) dengan nabi yang ummi dari Arab, berasal dari Mekah, sebagai pemberi petunjuk ke jalan yang paling jelas. Allah telah mengutusnya kepada segenap makhluk-Nya dari kalangan umat manusia dan jin, mulai dari pengangkatannya sebagai rasul hingga hari kiamat nanti, seperti yang disitir oleh firman-Nya:
Katakanlah, “Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, yang menghidupkan dan mematikan. Maka berimanlah kamu sekalian kepada Allah dan Rasul-Nya. Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah, dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya); dan ikutilah dia supaya kalian mendapat petunjuk ” (Al-A’raf: 158)
Firman Allah Swt. dalam ayat lainnya:
agar dengan dia (Al-Qur’an) aku memberi peringatan kepada kalian dan kepada orang-orang yang sampai Al-Qur’an (kepadanya). (Al-An’am: 19)
Barang siapa yang sampai kepadanya Al-Qur’an, baik dia sebagai orang Arab ataupun orang Ajam, orang yang berkulit hitam ataupun merah, manusia ataupun jin. maka Al-Qur’an itu merupakan peringatan baginya. Karena itu, di dalam firman-Nya disebutkan:
Dan barang siapa di antara mereka dari kalangan golongan yang bersekutu kafir kepada Al-Quran, maka nerakalah tempat yang diancamkan baginya. (Hud: 17)
Barang siapa dari kalangan mereka yang telah kami sebut kafir (ingkar) kepada Al-Qur’an, maka neraka adalah tempat yang diancamkan baginya berdasarkan nas dari Allah Swt. Pengertiannya sama dengan firman lainnya, yaitu:
Maka serahkanlah kepada-Ku orang-orang yang mendustakan perkataan ini (Al-Qur’an). Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui. (Al-Qalam: 44)
Rasulullah Saw. bersabda:
Aku diutus kepada kulit merah dan kulit hitam.
Menurut Mujahid, makna yang dimaksud ialah umat manusia dan jin. Beliau diutus kepada dua jenis makhluk tersebut untuk menyampaikan kepada mereka apa yang telah diwahyukan oleh Allah kepadanya dari Kitab Al-Qur’an yang mulia ini, yang tidak datang kepadanya kebatilan —baik dari depan maupun dari belakangnya—, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha bijaksana lagi Maha Terpuji.
Nabi Saw. telah memberitahukan kepada mereka di dalam Al-Qur’an, bahwa Allah Swt. telah menganjurkan mereka untuk memahami Al-Qur’an melalui firman-Nya:
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an, Kalau kiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka menemukan banyak pertentangan di dalamnya. (An-Nisa: 82)
Allah Swt. berfirman:
Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran. (Shad: 29)
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an. ataukah hati mereka terkunci? (Muhammad: 24)
Kewajiban yang terpikul di pundak para ulama ialah menyelidiki makna-makna Kalamullah dan menafsirkannya, menggali dari sumber-sumbernya serta mempelajari hal tersebut dan mengajarkannya, sebagaimana yang disebutkan dalam firman-Nya:
Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu), “Hendaklah kamu sekalian menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu sekalian menyembunyikannya,” lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruknya tukaran yang mereka terima. (Ali Imran: 187)
Allah Swt. berfirman pula:
Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit. mereka itu tidak mendapat bagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak (pula) akan menyucikan mereka. Bagi mereka hanyalah azab yang pedih. (Ali Imran: 77)
Allah Swt. mencela sikap kaum ahli kitab sebelum kita, karena mereka berpaling dari Kitabullah yang diturunkan kepada mereka. mengejar keduniawian serta menghimpunnya, dan sibuk dengan semua hal yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan apa yang diperintahkan oleh Allah Swt. melalui kitab-Nya.
Maka sudah menjadi kewajiban bagi kita kaum muslim menghentikan semua perbuatan yang menyebabkan mereka (kaum ahli kitab) dicela oleh Allah Swt., dan kita wajib pula mengerjakan hal-hal yang diperintahkan oleh Allah Swt., yaitu mempelajari Kitabullah yang diturunkan kepada kita, mengajarkannya. memahaminya, dan memberikan pengertian tentangnya.
Allah Swt. berfirman:
Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepada-nya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka, lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik. Ketahuilah oleh kamu sekalian. bahwa sesungguhnya Allah menghidupkan bumi sesudah mati-nya. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan kepada kamu sekalian tanda-tanda kebesaran (Kami) supaya kalian memikirkannya. (Al-Hadid: 16-17)
Allah Swt. menyebutkan ayat terakhir ini sebelum ayat pertama, untuk mengingatkan bahwa sebagaimana Allah Swt. menghidupkan bumi sesudah matinya, demikian pula cara Dia melunakkan hati dengan iman dan hidayah sesudah keras dan kesat karena pengaruh dosa dan maksiat. Hanya kepada Allah-lah memohon harapan dan bimbingan, semoga Dia melakukan hal tersebut kepada kita; sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi Mahamulia.
Jika ada seseorang mengatakan, “Cara apakah yang paling baik untuk menafsirkan Al-Qur’an?” Jawabannya, cara yang paling sahih ialah menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an lagi. Dengan kata lain, sesuatu yang disebutkan secara global dalam satu tempat adakalanya diketengahkan pada tempat yang lain dengan pembahasan yang terinci. Jika mengalami kesulitan dalam menafsirkannya dari Al-Qur’an lagi, hendaklah merujuk kepada sunnah, karena sunnah itu berkedudukan sebagai penjelas dan penjabar Al-Qur’an. Bahkan Imam Abu Abdullah, Muhammad ibnu Idris Asy-Syafii rahimahullah berkata bahwa setiap hukum yang diputuskan oleh Rasulullah Saw. berasal dari apa yang dipahaminya dari Al-Qur’an.
Allah Swt. berfirman:
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tak bersalah) karena (membela) orang-orang yang khianat. (An-Nisa: 105)
Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (An-Nahl: 64)
Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (An-Nahl: 44)
Karena itulah Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Ingatlah, sesungguhnya aku telah diberi Al-Qur’an dan hal yang semisal bersamanya.
Makna yang dimaksud ialah sunnah.
Sunnah pun diturunkan kepada Nabi Saw. melalui wahyu seperti Al-Qur’an, hanya saja sunnah tidak dibaca sebagaimana Al-Qur’an dibaca. Imam Syafii dan lain-lainnya dari kalangan para imam menyimpulkan pendapat ini dari dalil yang cukup banyak, pembahasannya bukan dalam kitab ini.
Maksud pembahasan ini ialah, dalam menafsirkan Al-Qur’an kita dituntut mencarinya dari Al-Qur’an juga. Jika tidak menjumpainya, maka dari sunnah, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Rasulullah Saw. ketika Mu’az r.a. ke negeri Yaman. yaitu:
“Dengan apakah kamu memutuskan hukum?” Mu’az menjawab, “Memakai Kitabullah.” Beliau bertanya, “Jika kamu tidak menemukannya?” Mu’az menjawab, “Memakai sunnah Rasulullah.” Beliau bertanya lagi, “Jika kamu tidak menemukannya pula?” Mu’az menjawab, “Aku akan berijtihad dengan ra’yu-ku (pendapatku) sendiri.” Perawi melanjutkan kisahnya, “Maka Rasulullah Saw. mengelus dadanya seraya bersabda, ‘Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik kepada utusan Rasul-Nya untuk melakukan apa yang diridai oleh Rasulullah‘.”
Hadis ini terdapat di dalam kitab Musnad dan kitab Sunnah dengan sanad jayyid, seperti yang ditetapkan dalam pembahasannya.
Bermula dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa jika kita tidak menemukan tafsir di dalam Al-Qur’an, tidak pula di dalam sunnah, maka kita harus merujuk kepada pendapat para sahabat. Mereka lebih mengetahui hal tersebut karena mereka menyaksikan semua kejadian dan mengalami keadaan yang khusus bersama Nabi Saw. dengan bekal yang ada pada diri mereka, yaitu pemahaman yang sempurna, ilmu yang benar, dan amal yang saleh. Terlebih lagi para ulama dan para sahabat terkemuka, misalnya empat orang Khalifah Rasyidin dan para imam yang mendapat petunjuk serta dapat dijadikan sebagai rujukan, khususnya Abdullah ibnu Mas’ud r.a.
Imam Abu Ja’far ibnu Jarir mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, Jabir ibnu Nuh, dan Al-A’masy, dari Abud Duha, dari Masruq yang menceritakan bahwa Abdullah —yakni Ibnu Mas’ud— pernah mengatakan, “Demi Tuhan yang tidak ada Tuhan selain Dia, tidak sekali-kali ada suatu ayat dari Kitabullah diturunkan kecuali aku mengetahui berkenaan dengan siapa ayat tersebut diturunkan dan di mana diturunkan. Seandainya aku mengetahui ada seseorang yang lebih alim tentang Kitabullah daripada diriku yang tempatnya dapat terjangkau oleh unta kendaraan, niscaya aku akan mendatanginya.”
Al-A’masy meriwayatkan pula dari Abu Wail, dari Ibnu Mas’ud yang pernah mengatakan, “Apabila seseorang di antara kami (para sahabat) belajar menghafal sepuluh ayat, dia tidak berani melewatkannya sebelum mengetahui maknanya dan mengamalkannya.”
Abu Abdur Rahman As-Sulami mengatakan, telah menceritakan kepada kami orang-orang yang mengajarkan Al-Qur’an kepada kami, bahwa mereka belajar Al-Qur’an langsung dari Nabi Saw. Apabila mereka belajar sepuluh ayat, mereka tidak berani melewatkannya sebelum mengamalkan pengamalan yang terkandung di dalamnya. Karena itu, mereka belajar Al-Qur’an dan sekaligus mengamalkannya. Di antara mereka ialah Abdullah ibnu Abbas, saudara sepupu Rasulullah Saw., yang dijuluki sebagai juru terjemah Al-Qur’an berkat doa Rasulullah Saw. untuknya. Beliau Saw. pernah mendoakannya:
Ya Allah, berilah dia pengertian dalam agama dan ajarkanlah kepadanya takwil (Al-Qur’an).
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, Waki’, dan Sufyan, dari Al-A’masy, dari Muslim —demikian menurutnya— bahwa Abdullah ibnu Mas’ud mengatakan, “Sebaik-baik juru terjemah Al-Qur’an ialah Ibnu Abbas.”
Kemudian Jarir meriwayatkannya pula dari Yahya ibnu Daud, dari Ishaq Al-Azraq. dari Sufyan. dari Al-A’masy, dari Muslim ibnu Sabih. dari Abud Duha, dari Masruq, dari Ibnu Mas’ud r.a. yang mengatakan, “Sebaik-baik juru terjemah Al-Qur’an adalah Ibnu Abbas.”
Selanjutnya Ibnu Jarir meriwayatkannya pula dari Bandar, dari Ja’far ibnu Aun, dari Al-A’masy dengan teks yang sama. Sanad riwayat ini sampai kepada Ibnu Mas’ud berpredikat sahih, mengingat Ibnu Mas’ud sendiri yang mengatakan ungkapan ini dari Ibnu Abbas r.a. Ibnu Mas’ud r.a. wafat pada tahun 32 Hijriah, menurut pendapat yang sahih; sedangkan Ibnu Abbas r.a. masih hidup sesudahnya selama 36 tahun. Dengan demikian, dapat dibayangkan ilmu-ilmu yang diperolehnya sesudah Ibnu Mas’ud r.a. meninggal dunia.
Al-A’masy meriwayatkan dari Abu Wail, bahwa Khalifah Ali k.w. mengangkat Abdullah ibnu Abbas sebagai pejabat di musim haji, lalu Ibnu Abbas berkhotbah kepada para jamaah haji. Dalam khotbahnya ia membaca surat Al-Baqarah, tetapi menurut riwayat lain adalah surat An-Nur; lalu dia menafsirkannya dengan penafsiran yang seandainya terdengar oleh orang-orang Romawi. Turki. dan Dailam. niscaya mereka semuanya masuk Islam.
Karena itu, kebanyakan riwayat yang dikemukakan oleh Ismail ibnu Abdur Rahman As-Saddiyyul Kabir di dalam kitab Tafsir-nya bersumber dari kedua orang tersebut, yakni Ibnu Mas’ud r.a. dan Ibnu Abbas r.a. Tetapi adakalanya As-Sadiyyul Kabir menukil dari para sahabat hal yang mereka ceritakan dari kisah-kisah ahli kitab yang diperbolehkan oleh Rasulullah Saw., seperti yang diungkapkan melalui salah satu sabdanya:
Sampaikanlah dariku, sekalipun hanya satu ayat. Dan berceritalah kalian dari kaum Bani Israil, tidak ada dosa (bagi kalian). Barang siapa berdusta terhadapku dengan sengaja, hendaklah ia bersiap-siap mengambil tempat duduknya di neraka. (Riwayat Bukhari melalui Abdullah ibnu Amr)
Abdullah ibnu Amr r.a. pernah mendapat dua buah kitab dari kalangan kaum ahli kitab sebagai hasil ganimah dalam Perang Yarmuk, dan dia sering bercerita dari kedua kitab tersebut berdalilkan izin yang dia pahami dari hadis ini.
Akan tetapi, kisah israiliyat ini diceritakan hanya untuk kesaksian saja, bukan untuk dijadikan sandaran penguat hukum. Kisah israiliyat terdiri atas tiga bagian:
- Pertama, apa yang kita ketahui kesahihannya melalui kitab yang ada di tangan kita (Al-Qur’an), mengingat di dalam Al-Qur’an dipersaksikan bahwa hal itu benar. Maka kelompok ini dikatakan sahih.
- Kedua, apa yang kita ketahui kedustaannya melalui apa yang ada di tangan kita karena bertentangan dengannya.
- Ketiga. apa yang tidak disebutkan di dalam Al-Qur’an. Dengan kata lain, bukan termasuk kelompok pertama, bukan pula termasuk kelompok kedua. Terhadap kelompok ini kita tidak usah percaya, tidak usah pula mendustakannya; tetapi boleh diceritakan karena alasan yang disebutkan di atas tadi. Hanya, kelompok ini kebanyakan tidak memberikan faedah yang bersangkutan dengan masalah agama.
Karena itu, ulama ahli kitab banyak berselisih pendapat mengenai masalah yang termasuk kelompok ketiga ini, dan disebutkan bahwa adanya perselisihan pendapat dari kalangan ahli tafsir disebabkan oleh hal tersebut. Misalnya mengenai apa yang mereka ketengahkan dalam masalah yang menyangkut nama-nama ashabul kahfi, warna anjing mereka, bilangan mereka, tongkat Nabi Musa terbuat dari pohon apa, nama-nama burung yang dihidupkan oleh Allah untuk Nabi Ibrahim; sebagian dari mereka ada yang menentukan jenis sapi betina yang digunakan untuk memukul si terbunuh (agar hidup kembali, di zaman Nabi Musa), jenis pohon yang digunakan oleh Allah Swt. untuk berfirman kepada Nabi Musa, serta masalah-masalah lain yang tidak disebutkan dengan jelas di dalam Al-Qur’an karena tidak ada faedah dalam menentukan penyebutannya yang berkaitan dengan orang-orang mukallaf dalam urusan agama dan keduniawian mereka. Akan tetapi, menukil adanya perselisihan pendapat dari mereka hukumnya boleh. seperti yang diterangkan di dalam firman Allah Swt.:
Nanti (ada orang yang akan) mengatakan (jumlah mereka) adalah tiga orang, yang keempatnya adalah anjingnya. Dan (yang lain) mengatakan, “(Jumlah mereka) adalah lima orang, yang keenam adalah anjingnya,” sebagai terkaan terhadap barang yang gaib. Dan (yang lain lagi) mengatakan, “(Jumlah mereka) tujuh orang, yang kedelapan adalah anjingnya.” Katakanlah.”Tuhan kami lebih mengetahut jumlah mereka; tidak ada orang yang mengetahui (bilangan) mereka kecuali sedikit.” Karena itu, janganlah kamu (Muhammad) bertengkar tentang hal mereka kecuali pertengkaran lahir saja, dan jangan kamu menanyakan tentang mereka (pemuda-pemuda itu) kepada seorang pun di antara mereka. (Al-Kahfi: 22)
Ayat yang mulia ini mengandung etika dalam menanggapi masalah seperti ini dan mengajarkan kepada kita sikap yang sebaiknya dilakukan dalam menghadapinya. Allah Swt. menceritakan pendapat-pendapat mereka yang terdiri atas tiga pendapat; kedua pendapat pertama dianggap lemah, tetapi Dia tidak menanggapi pendapat yang ketiga. Hal ini menunjukkan bahwa pendapat yang ketiga ini benar; sebab seandainya batil, niscaya Allah menyangkalnya. sebagaimana yang Dia lakukan terhadap kedua pendapat sebelumnya. Kemudian Allah memberikan petunjuk bahwa tidak ada faedahnya mengetahui bilangan mereka (pemuda-pemuda yang tinggal di gua tersebut). Untuk menanggapi masalah seperti ini Allah Swt. berfirman:
Katakanlah, “Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka.” (Al-Kahfi: 22)
Sesungguhnya tidak ada yang mengetahui hal tersebut kecuali hanya sedikit, yaitu hanya orang-orang yang diperlihatkan oleh Allah Swt. hal tersebut. Maka ditegaskan oleh Allah Swt. melalui firman-Nya:
Karena itu, janganlah kamu (Muhammad) bertengkar tentang hal mereka kecuali pertengkaran lahir saja. (Al-Kahfi: 22)
Dengan kata lain, janganlah kamu menyusahkan dirimu untuk hal-hal yang tidak ada faedahnya; jangan pula kamu menanyakan kepada mereka masalah tersebut, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui hal itu melainkan hanya terkaan terhadap barang yang gaib (tidak kelihatan).
Hal ini merupakan metode yang paling baik untuk mengisahkan masalah yang diperselisihkan, yaitu hendaknya kita bersikap menampung semua pendapat yang dikemukakan dalam masalah yang dimaksud, tetapi hendaknya pula bersikap jeli dalam menilai pendapat yang sahih di antara semua pendapat yang dikemukakan. bersikap tegas terhadap pendapat yang batil, dan memperingatkan akibat dari perselisihan agar persengketaan tidak berkelanjutan dan tidak terjebak ke dalam perselisihan yang sama sekali tak berfaedah hingga banyak pekerjaan penting yang terbengkalai.
Orang yang menceritakan suatu masalah yang diperselisihkan tanpa menampung semua pendapat pihak yang bersangkutan di dalamnya, maka informasi yang dikemukakannya itu kurang lengkap, mengingat adakalanya pendapat yang benar berada pada pihak yang tidak disebutkannya. Atau dia menceritakan suatu perselisihan secara apa adanya tanpa menggarisbawahi pendapat yang benar di antara semua pendapat yang ada. maka informasi yang diajukannya terbilang kurang pula. Jika dia membenarkan pendapat yang keliru dengan sengaja, berarti dia melakukan suatu kedustaan secara sengaja. Atau jika dia tidak mengerti, berarti dia telah melakukan suatu kekeliruan. Demikian pula halnya orang yang melibatkan dirinya dalam suatu perselisihan tentang masalah yang sama sekali tidak berguna, atau dia menceritakan berbagai pendapat secara teks, padahal kesimpulan dari semua pendapat tersebut dapat diringkas menjadi satu atau dua pendapat, berarti dia menyia-nyiakan waktu yang berharga dan memperbanyak hal-hal yang tidak benar. Perihalnya sama dengan seseorang yang berdusta ditinjau dari sisi mana pun. Hanya kepada Allah jualah memohon taufik ke jalan yang benar.
Jika kita tidak menemukan tafsir di dalam Al-Qur’an, tidak pula di dalam sunnah serta riwayat dari kalangan para sahabat, hendaklah merujuk kepada pendapat para tabi’in, sebagaimana yang diajukan oleh kebanyakan para imam, antara lain Mujahid ibnu Jabar; karena sesungguhnya dia merupakan seorang pentolan dalam tafsir. menurut Muhammad ibnu Ishaq.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Aban ibnu Saleh, dari Mujahid yang pernah berkata, “Aku pernah memaparkan Al-Qur’an kepada Ibnu Abbas sebanyak tiga kali bacaan, mulai dari pembukaan hingga khatam. Aku menghentikan bacaanku pada tiap-tiap ayat dari Al-Qur’an, lalu bertanya kepadanya mengenai penafsirannya.”
Ibnu Jarir mengatakan bahwa telah bercerita kepada kami Abu Kuraib dan Talq ibnu Ganam, dari Usman Al-Makki, dari Ibnu Abu Mulaikah yang pernah mengatakan, “Aku pernah melihat Mujahid bertanya kepada Ibnu Abbas mengenai tafsir Al-Qur’an, sedangkan Muj’ahid memegang mushaf-nya.” lalu Ibnu Abbas berkata kepadanya, “Tulislah!”, hingga Mujahid menanyakan kepadanya tentang tafsir secara keseluruhan. Karena itu, Sufyan As-Sauri mengatakan, “Apabila datang kepadamu suatu tafsiran dari Mujahid, hal itu sudah cukup bagimu.”
Yang dapat dijadikan rujukan lagi ialah seperti Sa’id ibnu Jubair, ikrimah maula Ibnu Abbas, Ata ibnu Abu Rabah, Al-Hasan Al-Basri, Masruq ibnul Ajda’, Sa’id ibnul Musayyab, Abul Aliyah, Ar-Rabi’ ibnu Anas. Qatadah, Dahhak ibnu Muzahim. dan lain-lainnya dari kalangan para tabi’in dan para pengikut mereka.
Manakala kita menyebutkan pendapat-pendapat mereka dalam suatu ayat. tampak sekilas dalam ungkapan mereka perbedaan yang oleh orang yang tidak mengerti akan diduga sebagai suatu perselisihan, pada akhirnya dia menceritakannya dalam berbagai pendapat. Padahal kenyataannya tidaklah demikian, karena di antara mereka ada seseorang yang mengungkapkan sesuatu melalui hal-hal yang berkaitan dengannya atau persamaannya saja. Di antara mereka ada yang menanyakan sesuatu masalah seperti apa adanya, tetapi pada kebanyakan kasus sebenarnya pendapat mereka sama. Maka hal seperti ini harap diperhatikan oleh orang yang berakal cerdas. dan Allah-lah yang memberi petunjuk.
Syu’bah ibnul Hajjaj dan lain-lainnya pernah mengatakan bahwa pendapat para tabi’in dalam masalah furu’ (cabang) bukan merupakan suatu hujah, maka bagaimana pendapat mereka dalam tafsir dapat dijadikan sebagai hujah? Dengan kata lain, pendapat mereka tidak dapat dijadikan sebagai hujah terhadap selain mereka yang berpendapat berbeda, dan memang pendapat ini benar. Akan tetapi, jika mereka sepakat atas sesuatu hal, tidak diragukan lagi kesepakatan mereka itu merupakan suatu hujah. Jika mereka berselisih pendapat, maka pendapat sebagian dari mereka tidak dapat dijadikan sebagai hujah atas yang lainnya, tidak pula atas orang-orang sesudah mereka. Sebagai jalan keluarnya ialah merujuk kepada bahasa Al-Qur’an, atau sunnah, atau bahasa Arab secara umum, atau pendapat para sahabat.
Mengenai menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan rasio belaka, hukumnya haram menurut riwayat Muhammad ibnu Jarir. Dia mengatakan bahwa:
“telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, Yahya ibnu Sa’id, Sufyan; dan telah menceritakan kepadaku Abdul A’la, yaitu Ibnu Amir As-Sa’labi, dari Sa’id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, dari Nabi Saw. yang bersabda: Barang siapa yang menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapatnya sendiri atau dengan apa yang tidak ia ketahui, maka hendaklah ia bersiap-siap menempati tempat duduknya di neraka”.
Demikianlah menurut yang diketengahkan oleh Imam Turmuzi dan Imam Nasai melalui berbagai jalur dari Sufyan As-Sauri. Hadis yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Abu Daud, dari Musaddad, dari Abu Awanah, dari Abdul A’la secara marfu’. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir, dari Yahya ibnu Talhah Al-Yarbu’i, dari Syarik, dari Abdul A’la secara marfu’. Tetapi hadis ini diriwayatkan pula oleh Muhammad ibnu Hummad ibnu Humaid, dari Al-Hakam ibnu Basyir, dari Amr ibnu Qais Al-Malai, dari Abdul A’la, dari Sa’id, dari Ibnu Abbas secara mauquf. Juga dari Muhammad ibnu Humaid, dari Jarir, dari Lais, dari Bakr, dari Said ibnu Jubair, dari ibnu Abbas, dianggap sebagai perkataaan Ibnu Abbas sendiri (mauquf).
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Abbas ibnu Abdul Azim Al-Anbari, Hayyan ibnu Hilal. Sahl (saudara Hazm), dan Abu Imran Al-Juni, dari Jundub, bahwa Rasulullah Saw. bersabda: Barang siapa yang mengartikan Al-Qur’an dengan pendapatnya sendiri, sesungguhnya dia telah keliru.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Imam Nasai, dari hadis Sahl ibnu Abu Hazm Al-Qutai’i. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini berpredikat garib karena ada sebagian ahlul ‘ilmi membicarakan tentang diri Suhail. Menurut lafaz hadis lainnya —dari mereka juga— disebutkan seperti berikut:
Barang siapa yang mengartikan Kitabullah dengan pendapatnya sendiri dan ternyata benar, maka sesungguhnya dia keliru.
Dengan kata lain, dia telah memaksakan diri melakukan hal yang tiada pengetahuan baginya tentang hal itu, dan dia telah menempuh jalan selain dari apa yang diperintahkan kepadanya. Seandainya dia benar dalam mengupas makna sesuai dengan apa yang dimaksud, ia masih tetap tergolong keliru karena jalur yang dilaluinya bukan yang semestinya. Perihalnya sama dengan orang yang memutuskan hukum di antara manusia tanpa pengetahuan, maka dia masuk neraka, sekalipun hukum yang diputuskannya sesuai dengan kebenaran yang dimaksud, hanya saja dosanya lebih ringan daripada dosa orang yang keliru.
Allah Swt. menamakan orang-orang yang menuduh orang lain berbuat zina sebagai orang-orang pendusta, seperti yang disebutkan di dalam firman -Nya:
Mengingat mereka tidak mendatangkan saksi-saksi, maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang berdusta. (An-Nur: 13)
Orang yang menuduh berzina adalah pendusta, sekalipun dia menuduh orang yang benar-benar berbuat zina, karena dia telah menceritakan hal yang tidak dihalalkan baginya mengemukakannya, sekalipun dia memang menceritakan apa yang dia ketahui dengan mata kepala sendiri, mengingat dia memaksakan diri melakukan hal yang tiada pengetahuan baginya tentang hal itu.
Segolongan ulama Salaf merasa keberatan menafsirkan sesuatu yang tiada pengetahuan bagi mereka tentang hal itu. Sehubungan dengan hal ini Syu’bah telah meriwayatkan dari Sulaiman, dari Abdullah ibnu Murrah, dari Abu Ma-mar, bahwa Abu Bakar r.a. pernah mengatakan, “Bumi siapakah tempat aku berpijak, langit siapakah yang menaungiku jika aku mengatakan dalam Kitabullah hal-hal yang tidak aku ketahui?”
Abu Ubaid Al-Qasim ibnu Salam mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yazid, dari Al-Awwam ibnu Hausyah, dari Ibrahim At-Taimi, bahwa Abu Bakar r.a. pernah ditanya mengenai makna firman-Nya:
Dan buah-buahan serta rumput-rumputan. (Abasa: 31)
Abu Bakar menjawab, “Bumi siapakah tempat aku berpijak, langit siapakah yang menaungiku jika aku mengatakan dalam Kitabullah hal-hal yang tidak ku ketahui?” Asar ini berpredikat munqati’.
Abu Ubaid mengatakan pula bahwa telah menceritakan kepada kami Yazid, dari Humaid, dari Anas, bahwa Khalifah Umar r.a. pernah membacakan ayat berikut di atas mimbar: Dan buah-buahan serta rumput-rumputan. (Abasa: 31) Lalu ia mengatakan, “Kalau buah-buahan ini kami telah mengetahuinya, tetapi apakah yang dimaksud dengan al-ab ?” Kemudian Umar berkata kepada dirinya sendiri, “Hai Umar, sesungguhnya apa yang kamu lakukan itu benar-benar suatu perbuatan memaksakan diri.”
Muhammad ibnu Sa’d mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Harb, Hammad ibnu Zaid, dari Sabit, dari Anas yang mengatakan, “Suatu ketika kami berada di dekat Khalifah Umar r.a., dia memakai baju yang ada empat buah tambalan, lalu dia membacakan firman-Nya, ‘Dan buah-buahan serta rumput-rumputan’ (Abasa: 31). Lalu dia berkata, ‘Apakah al-ab itu?’ Dia menjawab sendiri pertanyaannya, ‘Ini hal yang dipaksakan, tiada dosa bagimu bila tidak mengetahuinya’.”
Semua riwayat di atas diinterpretasikan bahwa sesungguhnya kedua sahabat tersebut (Abu Bakar r.a. dan Umar r.a.) hanya ingin mengetahui rahasia yang terkandung di dalam al-ab ini, mengingat pengertian lahiriahnya yang menunjukkan bahwa al-ab adalah suatu jenis tumbuh-tumbuhan bumi sudah jelas dan tidak samar lagi, seperti dalam firman lainnya, yaitu:
Lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu dan anggur. (Abasa: 27)
Ibnu Jarir mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Ya’qub ibnu Ibrahim dan Ibnu Ulayyah, dari Ayyub, dari Ibnu Abu Mulaikah, bahwa Ibnu Abbas pernah ditanya mengenai makna suatu ayat ‘seandainya seseorang di antara kalian ditanya mengenainya, niscaya dia akan menjawabnya’. Akan tetapi, Ibnu Abbas menolak dan tidak mau menjawabnya. Asar ini berpredikat sahih.
Abu Ubaid mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ibrahim, dari Ayyub, dari Ibnu Abu Mulaikah yang menceritakan, “Seorang lelaki bertanya kepada Ibnu Abbas tentang pengertian suatu hari yang lamanya seribu tahun.” Tetapi Ibnu Abbas r.a. balik bertanya, “Apakah yang dimaksud dengan suatu hari yang lamanya lima puluh ribu tahun?” Lelaki tersebut berkata, “Sesungguhnya aku bertanya kepadamu agar kamu menceritakan jawabannya kepadaku.” Lalu Ibnu Abbas berkata, “Keduanya merupakan dua hari yang disebut oleh Allah di dalam Kitab-Nya. Allah lebih mengetahui tentang keduanya.” Ternyata Ibnu Abbas menolak untuk mengatakan sesuatu dalam Kitabullah hal-hal yang tidak ia ketahui.
Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa telah menceritakan kepadaku Ya’qub (yakni Ibnu Ibrahim), telah menceritakan kepada mereka Ibnu Ulayyah. dari Mahdi ibnu Maimun. dari Al-Walid ibnu Muslim yang menceritakan bahwa Talq ibnu Habib pernah datang kepada Jundub ibnu Abdullah, lalu bertanya kepadanya tentang makna sebuah ayat dari Al-Qur’an. Maka Jundub ibnu Abdullah berkata.”Aku merasa berdosa bila kamu mau mendengarkannya dariku dan tidak mau beranjak dariku.” Atau dia mengatakan, “Aku merasa berdosa bila kamu mau duduk denganku.”
Malik meriwayatkan dari Yahya ibnu Sa’id, dari Sa’id ibnul Musayyab, bahwa dia pernah ditanya mengenai tafsir suatu ayat Al-Qur-‘an, lalu dia menjawab.”Sesungguhnya kami tidak pernah mengatakan suatu pendapat pun dari diri kami sendiri dalam Al-Qur’an.”
Al-Lais meriwayatkan dari Yahya ibnu Sa’id, dari Sa’id ibnu Musayyab, bahwa dia tidak pernah berbicara mengenai Al-Qur’an kecuali hal-hal yang telah dimakluminya.
Syu’bah meriwayatkan dari Amr ibnu Murrah yang pernah bercerita bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada Sa’id ibnul Musayyab tentang makna suatu ayat dari Al-Qur’an. Maka Sa’id ibnul Musayyab menjawab, “Janganlah kamu bertanya kepadaku mengenai Al-Qur’an, tetapi bertanyalah kepada orang yang menduga bahwa baginya tiada sesuatu pun dari Al-Qur’an yang samar.” Yang dia maksudkan adalah Ikrimah.
Ibnu Syauzab mengatakan, telah menceritakan kepadaku Yazid ibnu Abu Yazid yang pernah mengatakan bahwa kami pernah bertanya kepada Sa’id ibnul Musayyab mengenai masalah halal dan haram, dia adalah orang yang paling alim mengenainya. Akan tetapi. bila kami bertanya kepadanya tentang tafsir suatu ayat dari Al-Qur’an, maka ia diam, seakan-akan tidak mendengar pertanyaan kami.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa telah menceritakan kepadaku Ahmad ibnu Abdah Ad-Dabbi, Hammad ibnu Zaid, Ubaidillah ibnu Umar yang pernah mengatakan, “Aku menjumpai para ahli fiqih kota Madinah, dan ternyata mereka menganggap dosa besar orang yang menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapatnya sendiri. Di antara mereka ialah Salim ibnu Abdullah, Al-Qasim ibnu Muhammad. Sa’id ibnul Musayyab, dan Nafi’.”
Abu Ubaid mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Saleh. dari Lais, dari Hisyam ibnu Urwah yang pernah mengatakan, “Aku belum pernah mendengar ayahku menakwilkan suatu ayat pun dari Kitabullah.”
Ayyub dan Ibnu Aun serta Hisyam Ad-Dustuwai telah meriwayatkan dari Muhammad ibnu Sirin yang pernah mengatakan bahwa dia pernah bertanya kepada Ubaidah (yakni As-Salmani) tentang makna suatu ayat dari Al-Qur’an, maka As-Salmani menjawab, “Orang-orang yang mengetahui latar belakang Al-Qur’an diturunkan telah tiada, maka bertakwalah kepada Allah dan tetaplah kamu pada jalan yang lurus.”
Abu Ubaid mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Mu’az, dari Ibnu Aun, dari Abdullah ibnu Muslim ibnu Yasar, dari ayahnya yang menceritakan,”Apabila kamu berbicara mengenai suatu Kalamullah, maka berhentilah sebelum kamu melihat pembicaraan yang sebelum dan sesudahnya.”
Telah menceritakan kepada kami Hasyim, dari Mugirah, dari Ibrahim yang pernah mengatakan, “Teman-teman kami selalu menghindari tafsir dan merasa takut terhadapnya.”
Syu’bah meriwayatkan dari Abdullah ibnu Abus Safar, bahwa Asy-Sya’bi pernah mengatakan, “Demi Allah, tiada suatu ayat pun melainkan aku pernah menanyakan tentang maknanya. Akan tetapi, jawabannya merupakan riwayat dari Allah Swt.”
Abu Ubaid pernah mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Hasyim. Amr ibnu Abu Zaidah. dari Asy-Sya’bi. dari Masruq yang telah berkata, “Hindarilah tafsir oleh kalian, karena sesungguhnya tafsir itu tiada lain merupakan riwayat dari Allah” (yakni dengan Al-Qur’an lagi).
Asar-asar yang sahih ini dan lainnya yang sejenis dari para imam ulama Salaf mengandung makna yang menyatakan bahwa mereka merasa keberatan berbicara tentang tafsir tanpa ada pengetahuan pada mereka. Adapun orang yang membicarakan tentang tafsir yang dia ketahui makna lugawi dan syar’i-nya, tidak ada dosa baginya. Telah diriwayatkan dari mereka dan yang lainnya berbagai pendapat mengenai tafsir, tetapi tidak ada pertentangan karena mereka berbicara tentang apa yang mereka ketahui, dan mereka diam tidak membicarakan hal-hal yang tidak mereka ketahui. Hal seperti inilah yang wajib dilakukan oleh setiap orang, sebagaimana diwajibkan atas seseorang untuk diam tidak membicarakan hal yang tidak ia ketahui, maka diwajibkan pula baginya menjawab pertanyaan apa yang dia ketahui, karena ada firman Allah Swt. yang mengatakan:
Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya. (Ali Imran: 187)
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan melalui berbagai jalur disebutkan:
Barang siapa ditanya mengenai suatu ilmu, lalu dia menyembunyikannya, niscaya mulutnya akan disumbat dengan kendali dari api di hari kiamat nanti.
Mengenai hadis yang diriwayatkan Abu Ja’far ibnu Jarir, bahwa:
“telah menceritakan kepada kami Abbas ibnu Abdul Azim, Muhammad ibnu Khalid ibnu Asamah, Abu Ja’far ibnu Muhammad Az-Zubairi, telah menceritakan kepadaku Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah yang mengatakan, “Nabi Saw. tidak pernah menafsirkan sesuatu dari Al-Qur’an kecuali hanya beberapa bilangan ayat saja yang pernah diajarkan oleh Malaikat Jibril kepadanya.”
Kemudian Abu Ja’far meriwayatkannya pula dari Abu Bakar Muhammad ibnu Yazid At-Tartusi, dari Ma’an ibnu Isa, dari Ja’far ibnu Khalid, dari Hisyam dengan lafaz yang sama. Maka kedua hadis tersebut berpredikat munkar lagi garib.
Ja’far yang disebutkan di atas adalah Ibnu Muhammad ibnu Khalid ibnuz Zubair ibnu Awwam Al-Qurasyi Az-Zubairi. Menurut Imam Bukhari, hadisnya itu tidak terpakai: sedangkan menurut penilaian Al-Hafiz Abul Fath Al-Azdi, hadisnya berpredikat munkar.
Akan tetapi, Al-Imam Abu Ja’far memberikan komentar yang kesimpulannya mengatakan bahwa ayat-ayat tersebut termasuk hal-hal yang tidak dapat diketahui kecuali berdasarkan pemberitahuan dari Allah Swt. yang disampaikan oleh Malaikat Jibril kepadanya. Pendapat ini merupakan takwil yang benar seandainya hadis yang dimaksud berpredikat sahih. Karena sesungguhnya ada sebagian dari Al-Qur’an yang maknanya hanya diketahui oleh Allah saja. sebagian hanya diketahui oleh ulama, sebagian dapat diketahui oleh orang Arab melalui bahasa mereka, dan sebagian tidak dimaafkan bagi seseorang bila tidak mengetahuinya, seperti yang telah dijelaskan oleh Ibnu Abbas dalam riwayat yang diketengahkan oleh Ibnu Jarir.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar. telah menceritakan kepada kami Muammal, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abuz Zanad, bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan, “Tafsir itu ada empat macam, yaitu tafsir yang diketahui oleh orang Arab melalui bahasanya, tafsir yang tidak dimaafkan bagi seseorang bila tidak mengetahuinya, tafsir yang hanya diketahui oleh ulama, dan tafsir yang tiada seorang pun mengetahui maknanya kecuali hanya Allah.”
Ibnu Jarir mengatakan, “Hadis seperti itu telah diriwayatkan pula, hanya di dalam sanadnya masih ada sesuatu yang perlu dipertimbangkan.” Hadis tersebut adalah seperti berikut:
Telah menceritakan kepadaku Yunus ibnu Abdul A’la As-Sadfi, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb. bahwa ia pernah mendengar Amr ibnul Hars menceri-akan sebuah hadis dari Al-Kalbi, dari Abu Saleh maula Ummu Hani’, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Al-Qur’an diturunkan terdiri atas empat kelompok, yaitu halal dan haram yang tidak dapat dimaafkan bagi seseorang bila tidak mengetahuinya, tafsir yang dapat diketahui oleh orang Arab. tafsir yang hanya diketahui oleh ulama, dan mutasyabih yang tidak diketahui kecuali hanya oleh Allah Swt. Barang siapa mengakui mengetahui yang mutasyabih —selain Allah—, dia adalah dusta.”
Pertimbangan yang diisyaratkan Ibnu Jarir sehubungan dengan sanadnya ialah dari segi Muhammad ibnus Saib Al-Kalbi, karena sesungguhnya dia adalah orang yang matruk (tidak terpakai) hadisnya. Akan tetapi, adakalanya dia memang matruk, hanya hadis ini diduga marfu, dan barangkali hadis ini adalah perkataan Ibnu Abbas sendiri, seperti yang telah disebutkan di atas tadi.