Kecerdasan Yang Hakiki

Kecerdasan Yang Hakiki

Dari Syaddad bin Aus ra., ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda: orang yang pandai itu adalah orang yang dapat menundukkan nafsunya dan berbuat untuk kehidupan setelah mati. Sedangkan orang yang lemah adalah orang yang memperturutkan nafsunya dan mengharap dari Allah agar angan-angannya terwujud.” (Diriwayatkan At-Tirmidzy, Ahmad, Al-Hakim dan Ibnu Majah).

Belakangan ini orang banyak membicarakan kecerdasan. Ada kecerdasan nalar (IQ), kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) atau campuran antara jenis-jenis kecerdasan itu. Apapun namanya, Islam ternyata sudah punya konsep sendiri tentang kecerdasan. Mungkin ada sisi-sisi yang mirip antara tema kecerdasan yang muncul di zaman modern itu dengan konsep kecedasan Islam yang sudah muncul sejak 1400 tahun lebih. Tapi secara umum, kecerdasan dipahami sebagai sebuah kemampuan
jiwa untuk mengetahui sesuatu yang lebih jauh atau lebih dalam dari
sesuatu yang sudah ada.

Cerdas yang Sebenarnya
Orang yang cerdas adalah orang yang akalnya mampu menangkap dan sesuatu di balik sesuatu, memahami sesuatu yang tidak tampak dari sesuatu yang tampak, melihat hikmah di balik realitas dan kejadian. Ketika orang kebanyakan melihat A hanya sebagai A, maka orang cerdas melihatnya juga
sebagai B sampai Z.
Pikirannya jauh menjangkau ke depan. Kekuatan nalarnya bisa melihat segala masalah lengkap dengan analisis tentang penyebab dan jalan keluarnya. Ia dapat memperhitungkan apa yang akan terjadi nanti. Ia memiliki kesadaran yang memelampaui batas kemampuan indranya. Makanya orang yang bisa meramal masa depan atau mengusir jin (sesuatu yang tidak tampak) kerap kali disebut ‘orang pintar’.

Begitulah pengertian umum tentang kecerdasan dan orang cerdas. Tapi kebanyakan orang menjadikan ruang lingkup obyek kecerdasan itu hanya pada hal-hal yang bersifat duniawi sehingga ukuran yang dipakai lebih banyak bersifat semu (palsu). Misalnya cerdas bermain catur, cerdas berbisnis, cerdas berpolitik, cerdas meraih gelar dan lain-lain. Konsep kecerdasan duniawi itu sesungguhnya lebih banyak menyesatkan, karena membuat orang yang mempercayai dan mengejar-ngejarnya lupa akan hal
yang paling hakiki dalam hidupnya.

Cerdas Akhirat
Berbeda dengan itu, ruang lingkup obyek kecerdasan dalam Islam diukur dengan sesuatu yang lebih jauh melampai kehidupan itu sendiri, karena Islam adalah satu-satunya agama yang sangat intensif membimbing dan menyadarkan manusia kepada hal-hal yang paling hakiki dalam kehidupan. Inilah pesan utama yang ditunjukkan hadits di atas.

Kebanyakan orang tidak sadar bahwa aktivitas hidupnya lebih banyak didominasi oleh hawa nafsu yang ditunggangi iblis dengan umpannya berupa berbagai kesenangan dunia. Wajar bila orang yang menyadari hal ini dan kemudian bisa mengendalikannya, oleh Rasulullah dijuluki sebagai orang cerdas karena di balik kesadarannya sendiri ia bisa memahami bahwa ada sesuatu yang mengendalikannya secara tak disadari
yaitu hawa nafsu tersebut.
Sebaliknya ia sadar betul bahwa segala kenikmatan dunia sangat sedikit dan sebentar enaknya (QS. 4: 77).
Obsesi terbesarnya hanya kenikmatan akhirat yang lebih dahsyat dan lebih abadi enaknya (QS. 17: 21).

Kebanyakan orang juga tak sadar bahwa sesungguhnya segala kehidupan ini akan berakhir dengan kematian. Maka orang yang betul-betul menyadari sesuatu yang pasti terjadi dan akan dialaminya ini pantas digelari orang cerdas (alkayyis) oleh Rasulullah karena ia bisa memahami sesuatu
di balik kehidupan yang ia jalani yakni kematian.

Ada hadits lain yang mempertegas ciri orang cerdas sebagai orang yang paling banyak mengingat mati. Ketika Rasulullah ditanya oleh salah seorang Sahabat, siapakah orang yang paling cerdas dan paling mulia (man akyasunnas wa akramunnas), beliau menjawab, yang paling banyak mengingat mati dan paling dahsyat persiapannya untuk menghadapi kematian itu (aktsaruhum dzikran lil maut wa asyadduhum isti’dadan lahu).

Kebalikan alkayyis adalah al’ajiz (lemah akal/ bodoh) adalah para budak nafsu yang salah satu cirinya adalah banyak mengkhayal yang tidak-tidak alias berpanjang angan (thulul amal) dan berharap seolah-olah khayalan itu nyata.*

Abu Alkayyisa Tayyara Tazkiya/ Hidayatullah

support by:

umroh-haji.net

We will be happy to hear your thoughts

Leave a reply

Amaliyah
Logo