Siklus Sakit

Siklus Sakit

Allah SWT tak pernah membeda-bedakan orang sakit. Tak ada doa khusus untuk orang sakit
kelas atas atau kelas bawah. Doanya sama yang itu-itu juga sebagaimana ajaran Nabi
yang matsurah. Penyakit pun tak pernah cari-cari mangsa secara diskriminatif, kendati
ada seloroh kalau wong cilik pada umumnya sakit gigi, sedangkan orang-orang ternama
sakit jantung dan sejenisnya.

Sakit, sebagaimana sehat, juga lahir, hidup, dan mati, merupakan siklus hidup manusia
yang niscaya. Tak ada orang yang selamanya sehat, bahkan bagi dokter sekalipun. Sakit
dan sehat adalah siklus alamiah bagi setiap anak manusia.

Kalau terjadi perbedaan perlakuan orang terhadap siapa yang sakit sepenuhnya
merupakan produk konstruksi sosial. Struktur dan situasi sosial sering kali memproduksi
ketimpangan atau perbedaan, lebih-lebih di negara sedang berkembang dan bercorak
patrimonial. Manakala orang-orang kecil sakit, tak ada publikasi, kecuali yang spesial
sakitnya.

Berbeda jika yang sakit orang ternama atau public figure. Setiap detik ada neraca
informasi perkembangan. Sakit menjadi isu publik yang meluas, tak jarang jadi konsumsi
dan isu politik. Para tokoh dan handai tolan saling bersegera untuk menjenguknya.

Dalam sakit orang ternama bahkan dapat dibaca sosiogram, yakni relasi-relasi personal
dan jarak sosial seberapa jauh derajat kedekatan dan hubungan antara yang dijenguk dan
yang menjenguk lebih dari sekadar melaksanakan pesan agama dan kemanusiaan.

Biarlah konstruksi sosial berubah seiring dengan perkembangan dan kedewasaan
masyarakat. Setiap orang selama menjadi manusia, akan terkena siklus sakit. Hewan dan
tumbuhan pun demikian. Tak ada yang istimewa dengan sakit, kendati yang sakit
diistimewakan banyak orang karena model perlakuan sosial.

Sakit punya siklus tertentu. Sakit akan selalu hadir bersama sehat dalam ritme yang tidak
selalu linier, bahkan sering kali zig-zag. Kadang dokter ahli penyakit tertentu, tak jarang
mengidap penyakit yang menjadi spesialisasinya. Itulah sakit sebagai bagian dari hidup,
bukan peristiwa yang istimewa.

Karena itu jangan bermain-main dan mempermainkan sakit, apalagimenjadikannya
sebagai komoditi dan siasat publik. Maka sungguh berani orang yang bermain-main
dengan sakit, apalagi menjadikannya sebagai kiat menghindari jeratan hukum
sebagaimana kecenderungan yang mulai dilakukan oleh para oknum pengacara di
republik ini guna melindungi kliennya. Satu dua kali bisa dilakukan, tetapi selebihnya
siapa yang kuasa melawan takdir atau siklus hidup yang niscaya seperti sakit?

Jangan pula berburuk sangka dengan orang sakit, bila perlu ikut mendoakan dan
menjenguk sebagaimana kewajiban agama. Jika ada orang mengaitkan sakit seseorang
dengan dosa dan kesalahannya, apalagi menganggapnya sebagai bala’ dalam konotasi
negatif, maka betapa semuci-nya orang itu.
Sikap semuci bukanlah watak orang beriman, bahkan boleh dikatakan memakai pakaian
kebesaran Allah Yang Mahasuci. Semuci adalah simbol arogansi keagamaan, sekaligus
kekerdilan mental. Orang zuhud dan wara’, tidak akan menampakkan kesalehan dan
kealimannya. Sikap semuci merupakan wujud ketakaburan.

Haedar Nashir

Sumber: Harian Republika(Minggu, 13 Januari 2008)

We will be happy to hear your thoughts

Leave a reply

Amaliyah
Logo