Mengenal Amil Zakat dalam Islam dan Fungsinya

Mengenal Amil Zakat dalam Islam dan Fungsinya

Mengenal Amil Zakat dalam Islam dan Fungsinya

zakat

Pengertian Amil Zakat

Amil zakat merupakan semua pihak yang bertindak mengerjakan yang berkaitan dengan pengumpulan, penyimpanan, penjagaan, pencatatan dan penyaluran atau distribusi harta zakat.

Mereka diangkat oleh pemerintah dan memperoleh izin darinya atau dipilih oleh instansi pemerintah yang berwenang atau oleh masyarakat Islam untuk memungut dan membagikan serta tugas lain yang berhubungan dengan zakat.

Hafidhuddin mengatakan bahwa amil zakat adalah

“mereka yang melaksanakan segala kegiatan yang berkaitan dengan urusan zakat, mulai dari proses penghimpunan, penjagaan, pemeliharaan, sampai proses pendistribusiannya, serta tugas pencatatan masuk dan keluarnya dana zakat tersebut.”

Abu Bakar al-Hushaini di dalam Kifayat al-Akhyar, mengatakan bahwa Amil Zakat adalah

“orang yang mendapatkan tugas dari negara,  organisasi, lembaga atau yayasan untuk mengurusi zakat. Atas kerjanya tersebut seorang amil zakat berhak mendapatkan jatah dari uang zakat. “Amil Zakat adalah orang yang ditugaskan pemimpin negara untuk mengambil zakat kemudian disalurkan kepada yang berhak, sebagaimana yang diperintahkan Allah.“ 

 Dasar  hak amil zakat dalam pembagian zakat adalah firman Allah :

إنَما الصّدقات للْفقراء والْمساكين والْعاملين عليْها والْمؤلفة قلوبهمْ وفي الرقاب والْغارمين وفي سبيل اللّه وابْن السّبيل فريضة من اللّه واللّه عليم حكيم

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. at-Taubah : 60).

Ayat ini dengan jelas menggunakan kata “innama” yang memberi makna hashr (pembatasan). Ini menunjukkan bahwa zakat hanya diberikan untuk delapan golongan tersebut, tidak untuk yang lainnya.

Yang dimaksudkan amil zakat di sini menurut tafsiran para ulama adalah

“orang yang bertugas mengurus zakat dan ia mendapat bagian dari zakat tersebut dan tidak boleh amil zakat ini berasal dari kerabat (keluarga) Rasulullah SAW yang tidak diperkenankan menerima sadaqah.”

Namun sebenarnya tidak sesederhana seperti yang diterangkan di atas. Amil zakat harus memenuhi beberapa syarat sebagaimana keterangan para ulama di bawah ini.

Para Ulama Berbicara Tentang Amil Zakat diantaranya Sayyid Sabiq  mengatakan,

“Amil zakat adalah orang-orang yang diangkat oleh penguasa atau wakil penguasa untuk bekerja mengumpulkan zakat dari orang-orang kaya. Termasuk amil zakat adalah “orang yang bertugas menjaga harta zakat, penggembala hewan ternak zakat dan juru tulis yang bekerja di kantor amil zakat.”

‘Adil bin Yusuf Al ‘Azazi berkata,

“Yang dimaksud dengan amil zakat adalah “para petugas yang dikirim oleh penguasa untuk mengumpulkan zakat dari orang-orang yang berkewajiban membayar zakat. Demikian pula termasuk amil adalah orang-orang yang menjaga harta zakat serta orang-orang yang membagi dan mendistribusikan zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Mereka itulah yang berhak diberi zakat meski sebenarnya mereka adalah orang-orang yang kaya.”

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin mengatakan,

“Amil zakat adalah “orang-orang yang diangkat oleh penguasa untuk mengambil zakat dari orang-orang yang berkewajiban untuk menunaikannya lalu menjaga dan mendistribusikannya. Mereka diberi zakat sesuai dengan kadar kerja mereka meski mereka sebenarnya adalah orang-orang kaya.”

Sedangkan orang biasa yang menjadi wakil orang yang berzakat untuk mendistribusikan zakatnya bukanlah termasuk amil zakat. Sehingga mereka tidak berhak mendapatkan harta zakat sedikitpun disebabkan status mereka sebagai wakil.

Akan tetapi jika mereka dengan penuh kerelaan hati mendistribusikan zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya dengan penuh amanah dan kesungguhan maka mereka turut mendapatkan pahala.

Namun jika mereka meminta upah karena telah mendistribusikan zakat maka orang yang berzakat berkewajiban memberinya upah dari hartanya yang lain bukan dari zakat.

Dengan demikian, orang yang diberi zakat dan diminta untuk membagikan kepada yang berhak menerimanya, ia tidak disebut ‘amil. Bahkan statusnya hanyalah sebagai wakil atau orang yang diberi upah.

Perbedaan antara amil dan wakil begitu jelas.

Jika harta zakat itu rusak di tangan amil, maka si muzakki (orang yang menunaikan zakat) gugur kewajibannya. Sedangkan jika harta zakat rusak di tangan wakil yang bertugas membagi zakat (tanpa kecerobohannya), maka si muzakki belum gugur kewajibannya.”

Syarat Amil Zakat

(1) diangkat dan (2) diberi otoritas (kuasa) oleh penguasa muslim untuk mengambil zakat dan mendistribusikannya. Sehingga panitia-panitia zakat yang ada di berbagai masjid serta orang-orang yang mengangkat dirinya sebagai amil bukanlah amil secara syar’i.

Hal ini sesuai dengan istilah amil karena yang disebut amil adalah pekerja yang dipekerjakan oleh pihak tertentu serta Memiliki otoritas untuk mengambil dan mengumpulkan zakat adalah sebuah keniscayaan bagi amil karena amil memiliki kewajiban untuk mengambil zakat secara paksa dari orang-orang yang menolak untuk membayar zakat.

Namun demikian, tidaklah tepat menyatakan takmir (pengurus) masjid sebagai amil zakat, yang tepat mereka adalah wakil dari muzakki sebagaimana keterangan para ulama di atas.

Sehingga mereka tidak boleh seenaknya memotong atau mengambil bagian dari zakat dari para muzakki. Jika mereka memotongnya, itu sama saja memakan harta orang dengan cara yang batil.

Jadi hanya sekedar menyalurkan dan pekerjaan mereka bersifat sosial. Untuk itu, perlu diberikan upah, tidak diambil dari harta zakat namun dari dana lainnya.

Fungsi Amil Zakat

Sesuai dengan namanya, profesi utama amil zakat adalah berfungsi sebagai pengurus zakat. Jika dia memiliki pekerjaan lain, maka dianggap pekerjaan sampingan atau sambilan yang tidak boleh mengalahkan pekerjaan utamanya yaitu amil zakat.

Karena waktu dan potensi, serta tenaganya dicurahkan untuk mengurusi zakat tersebut, maka dia berhak mendapatkan bagian dari zakat.

Adapun jika dia mempunyai profesi tertentu, seperti dokter, guru, direktur perusahaan, pengacara, pedagang, yang sehari-harinya bekerja dengan profesi tersebut, kemudian jika ada waktu, dia ikut membantu mengurusi zakat, maka orang seperti ini tidak dinamakan amil zakat, kecuali jika dia telah mendapatkan tugas secara resmi dari Negara atau lembaga untuk mengurusi zakat sesuai dengan aturan yang berlaku.

“Bahkan jika ada gubernur, bupati, camat, lurah yang ditugaskan oleh pemimpin Negara untuk mengurusi zakat, diapun tidak berhak mengambil bagian dari zakat, karena dia sudah mendapatkan gaji dari kas Negara sesuai dengan jabatannya.”

Dasar pengangkatan amil zakat ini adalah hadits Abu Humaid as-Sa’idi :

Dari Abu Humaid as-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu berkata : Nabi shallallahu a’laihi wasallam memperkerjakan seorang laki-laki dari suku al-Azdi yang bernama Ibnu Lutbiah sebagai pemungut zakat. Ketika datang dari tugasnya, dia berkata: “Ini untuk kalian sebagai zakat dan ini dihadiahkan untukku”.

Beliau bersabda : “Cobalah dia duduk saja di rumah ayahnya atau ibunya, dan menunggu apakah akan ada yang memberikan kepadanya hadiah?

Dan demi Dzat yag jiwaku di tangan-Nya, tidak seorangpun yang mengambil sesuatu dari zakat ini, kecuali dia akan datang pada hari qiyamat dengan dipikulkan di atas lehernya berupa unta yang berteriak, atau sapi yang melembuh atau kambing yang mengembik”.

Kemudian beliau mengangkat tangan-nya,  sehingga terlihat oleh kami ketiak beliau yang putih dan (berkata,): “Ya Allah bukan kah aku sudah sampaikan, bukankah aku sudah sampaikan”, sebanyak tiga kali.

Berdasarkan hadist di atas, amil zakat ini harus diangkat secara resmi oleh Negara,  organisasi, lembaga, yayasan. Tidak boleh sembarang bekerja secara serabutan dan tanpa pengawasan.

Didin Hafidhudhin dalam bukunya menyebutkan tugas amil sebagai berikut :

  • Membuat rencana kerja
  • Melaksanakan operasional pengelolaan zakat sesuai rencana kerja yang telah disahkan dan sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan.
  • Menyusun laporan tahunan
  • Menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada pemerintah
  • Bertindak dan bertanggungjawab atas nama Badan Amil Zakat.

Salah satu tugas penting lain dari lembaga pengelola zakat adalah melakukan sosialisasi tentang zakat kepada masyarakat secara terus-menerus dan berkesinambungan, melalui berbagai forum dan media, seperti khutbah jum’at, majelis tak’lim, seminar, diskusi dan lokakarya, melalui media surat kabar, majalah, radio, internet maupun televisi.

Dengan sosialisasi yang baik dan optimal, diharapkan masyarakat muzakki akan semakin sadar untuk membayar zakat melalui lembaga zakat yang kuat, amanah dan terpercaya.

Perolehan Hak Amil Zakat

Tugas seorang amil zakat yaitu melakukan sensus terhadap orang-orang wajib zakat dari macam-macam harta yang mereka miliki, dan mengambil sebagain dari ketentuan besarnya harta yang wajib dizakati. Kemudian menagihnya lalu menyimpan dan menjaganya, untuk kemudian diserahkan kepada pengurus pembagi zakat.

Dalam menyalurkan zakat, amil memilih cara yang paling baik untuk mengetahui para mustahiq zakat, kemudian melaksanakan klarifikasi terhadap mereka dan menyatakan hak-hak mereka.

Juga menghitung jumlah kebutuhan mereke dan jumlah biaya yang cukup untuk mereka. Akhirnya meletakkan dasar-dasar yang sehat dalam pembagian zakat tersebut, sesuai dengan jumlah dan kondisi sosialnya.

Menurut Yusuf Qardawi, sebagaimana di kutip oleh Hafidhuddin, seseorang yang ditunjuk sebagai amil zakat atau pengelola zakat harus memiliki beberapa persyaratan sebagai berikut yaitu :

  1. Beragama Islam
  2. Mukallaf
  3. Memiliki sifat amanah atau jujur
  4. Mengerti dan memahami hukum-hukum zakat
  5. Memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas
  6. Kesungguhan amil zakat dalam melaksanakan tugas.”
  7. Amil zakat disyaratkan laki-laki (untuk tugas kepemimpinan) 

Oleh karena itu, dalam pembagian zakat Al-Ahnaf dan Sufyan as-Saury berpendapat bahwa “si pemilik harta lebih berhak memilih ashnaf mana yang akan diberikan zakat.”

Sementara Imam Syafi’i berpendapat bahwa “kedelapan asnaf itu berserikat dalam harta, karena itu masing-masing mempunyai hak yang sama, tidak boleh ada yang tertinggal.”

Jika kita mengambil pemahaman dari kedua pendapat itu, jelas bahwa dalam hal kedudukan lembaga amil zakat dalam Islam, para ulama memiliki pandangan-pandangan yang berbeda.

Al-Ahnaf dan Sufyan as-Saury menerangkan bahwa “zakat lebih baik disalurkan oleh muzaki sehingga pemilihan ashnaf menjadi hak bagi si muzaki. Sementara pendapat Syafi’i, semua ashnaf tidak boleh satu pun tertinggal.

Dengan kata lain, dikarenakan dalam ashnaf terdapat amilin, zakat mesti dihimpun dan diurus oleh amilin sehingga bagian amilin menjadi tersalurkan.”

Terjadinya permasalahan seperti ini lantaran secara nash sendiri tidak ada ayat atau hadits yang secara eksplisit menyatakan harus, tidak boleh atau sunatnya hukum mengadakan amil dalam zakat. 

Pada zaman Rasulallah shallallahu ‘alaihi wasallam, zakat merupakan “harta yang dianjurkan untuk diambil oleh para shahabat yang diutusnya. Rasulallah  SAW mengutus para wakilnya untuk mengumpulkan zakat dari orang kaya dan membagikannya kepada para mustahiq.

Pada zaman Abu Bakar dan Umar Bin Khattab pun demikian, harta zakat, baik itu yang sifatnya dzahir (tanaman, buah-buahan, dan ternak) maupun harta bathin (harta emas, perak, perniagaan dan harta galian), semuanya mesti dihimpun dan dibagikan oleh amilin.

Baru pada zaman khalifah Utsman, meskipun awalnya mengikuti jejak orang-orang sebelumnya, dikarenakan melimpahnya harta bathin ketimbang harta dzahir disamping banyaknya kaum muslimin yang gelisah dikala diadakan pemeriksaan serta pengawasan terhadap hartanya, keputusan untuk menyerahkan wewenang pelaksanaan zakat dari harta bathin kepada para muzaki pun diberlakukan.

Dari semenjak ini tumbuhlah berbagai pemahaman dan pandangan mengenai keharusan zakat dikelola oleh amilin atau individu atau sebagian harta oleh individu dan sebagiannya harus oleh amilin

Berdasarkan hal tersebut, kita dapat menilai kalau dalam penetapan masalah amilin terdapat lahan bagi para fuqaha juga cendikiawan Islam untuk berijtihad seperti yang telah dilakukan oleh shahabat dan Khulafa ar-Rasyidin, Utsman Bin Affan.

Jika ibadah yang kita lakukan merasa lebih baik untuk disalurkan langsung oleh kita kepada mustahiqnya, dikarenakan situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan atau terancamnya keamanan ibadah zakat, maka hal itu diperbolehkan.

Namun, zakat lebih utama apabila disalurkan melalui amil. Sementara dalam teknis penghitungan jumlah harta serta zakatnya sendiri, banyak kebijakan dari para lembaga amilin yang memperbolehkan muzaki menyalurkan sendiri zakatnya.

Sebagian kalangan mengatakan bahwa amil zakat mendapatkan seperdelapan dari jumlah seluruh zakat yang terkumpul. Mereka beralasan bahwa orang-orang yang berhak mendapatkan zakat jumlahnya delapan golongan,

amil zakat adalah salah satu golongan, sehingga jatah yang didapatkan adalah seperdelapan dari zakat yang terkumpul.

Tetapi pendapat ini kurang tepat, karena delapan golongan yang berhak mendapatkan zakat tidak selalu lengkap dan ada, seperti golongan “fi ar-riqab“ (budak) hari ini tidak didapatkan atau jarang didapatkan, walaupun sebagian kalangan memperluas cakupannya seperti orang yang dipenjara.

Seandainya semua golongan itu ada, tetap saja jumlahnya tidak sama dengan lainnya, sehingga kalau dipaksakan masing-masing golongan mendapatkan seperdelapan, maka akan terjadi ketidakseimbangan dan mendalimi golongan-golongan lain yang mungkin jumlahnya sangat banyak, seperti golongan fakir miskin.

Adapun pendapat yang lebih benar bahwa amil zakat mendapatkan bagian zakat sesuai dengan kebijaksanaan Negara, organisasi, lembaga yang menaunginya. Kebijaksanaan tersebut  harus berdasarkan kemaslahatan umum, yang meliputi kemaslahatan golongan-golongan lainnya seperti fakir, miskin, orang yang terlilit hutang, dan lain-lainnya termasuk kemaslahatan amil zakat itu sendiri.

Amil zakat tidak harus dari orang yang fakir atau miskin, tetapi dibolehkan juga dari orang yang kaya dan mampu.

Dia mendapatkan bagian zakat, bukan karena fakir atau miskin, tetapi karena kedudukannya sebagai amil zakat. Segala sesuatu dalam agama ini perlu didasari oleh ilmu dan perlu pengkajian secara mendalam.

Sebagian kita kadang beramal asal-asalan. Sebagian orang berprinsip tanpa didasari ilmu lantas langsung berbuat. Inilah salah satu yang lagi merebak saat ini, banyaknya orang yang mengangkat diri sebagai amil zakat.

Padahal tidak sembarang orang bisa seenaknya mengangkat dirinya sebagai amil zakat, ada syarat yang mesti dipenuhi.

Amaliyah
Logo