Berguru Pada Bilal

Berguru Pada Bilal

Suatu malam jauh setelah Rasulullah wafat, Bilal bin Rabah bermimpi. Dalam tidurnya ia bertemu
Rasulullah.
Bilal, sudah lama kita berpisah, aku rindu sekali padamu,” ujar Rasulullah dalam mimpi Bilal.

Ya Rasulullah, aku pun sudah teramat rindu ingin bertemu. Aku ingin mencium aroma tubuhmu,” kata Bilal masih dalam mimpinya.
Setelah itu, mimpi tersebut berakhir begitu saja. Bilal pun bangun dari tidurnya dengan hati gulana. Ia dirundung rindu. Kerinduannya ingin bertemu Rasulullah saw, membuncah dalam gemuruh di dadanya.

Keesokan harinya, ia menceritakan mimpi tersebut pada salah seorang sahabatnya. Seperti udara, kisah mimpi Bilal segera memenuhi ruangan kosong di hampir seluruh penjuru Madinah. Tak menunggu senja, hampir seluruh penduduk Madinah tahu, semalam Bilal bermimpi bertemu junjungannya.
Hari itu, Madinah benar-benar terbungkus haru. Kenangan semasa Rasulullah saw hidup, kembali menyapa. Sepertinya, baru kemarin Rasulullah tiada. Para sahabat sibuk sendiri dengan kenangannya masing-masing. Bilal pun seperti mereka, diharu biru oleh kenangan dengan Nabi tercinta.

Menjelang matahari tenggelam, penduduk Madinah seolah sepakat meminta Bilal mengumandangkan adzan Maghrib. Padahal, Bilal sudah cukup lama tak menjadi muadzin sejak Rasulullah tiada. Seolah, penduduk Madinah ingin menggenapkan kenangannya hari itu dengan mendengar adzan yang dikumandangkan Bilal. Muadzin Rasulullah saw.

Semula Bilal menolak. Setelah diminta dengan sedikit memaksa, Bilal pun akhirnya bersedia menjadi muadzin kali itu. Senja datang mengantar malam, dan Bilal pun mengumandangkan adzan.
Tatkala suara Bilal menggema, seketika Madinah tercekat oleh berjuta memori. Tak terasa hampir seluruh penduduk Madinah meneteskan air mata. “Marhaban, ya Rasulullah,” bisik seorang dari mereka.

Di atas, adalah sepenggal kisah tentang Bilal, salah seorang sahabat dekat Rasulullah, seorang keturunan Afrika, Habasyah tepatnya yang kini dikenal dengan Ethiopia. Semula ia budak Bani Jumah. Ibunya bernama Humamah (Sirah Ibnu Hisyam 2/159).

Seperti penampilan orang Afrika pada umumnya, hitam, tinggi dan besar, begitulah Bilal. Mulanya, ia adalah budak seorang bangsawan Makkah, Umayyah bin Khalaf. Meski Bilal seorang lelaki berkulit hitam pekat, namun hatinya, seputih kapas tak ternoda. Itulah sebabnya, ia sangat mudah menerima hidayah saat Rasulullah berdakwah.

Meski demikian, ternyata termasuk salah seorang dari sekian banyak sahabat Rasulullah yang berjuang mempertahankan hidayahnya antara hidup dan mati. Ketika suatu saat keislamannya diketahui sang majikan, Bilal disiksa dengan berbagai cara. Derita Bilal bukan kepalang.

Umayyah bin Khalaf, sang majikan, tak berhenti hanya dengan menyiksanya. Setelah puas, Umayyah menyerahkan Bilal pada para pemuda kafir berandalan. Bilal diarak berkeliling kota dengan berbagai siksaan sepanjang jalan. Ketika sebuah batu besar menindihnya, ia hanya mampu berucap tegar, “Ahad Ahad Ahad.” Penderitaan Bilal berakhir. Allah mengutus Abu Balmr untuk membebaskannya dengan sejumlah uang tebusan.

Bisa dikata, di antara para sahabat, Bilal bin Rabah termasuk orang yang pilih tanding dalam mempertahankan agamanya. Zirr bin Hu-baisy, seorang tabiin, suatu ketika berkata, “Orang yang pertama kali menampakkan keislamannya adalah Rasulullah. Setelah beliau, ada Abu Bakar, Ammar bin Yasir dan keluarganya, Shuhaib, Bilal dan Miqdad.” (Siyar A’lamin an-Nubala’, adzDzahabi, 1/347).

Teramat banyak keteladan yang diberikan Bilal bin Rabah kepada kita. Ketika berbicara tentang ‘bersegera dalam kebaikan’, maka Bilal termasuk di dalamnya. Saat berbincang tentang keistiqamahan dalam kebenaran, Bilal tak bisa dilepaskan. Ketika bertutur seputar ketegaran dalam keimanan, Bilallah orangnya. Tak mengherankan jika dengan segala keutamaannya itu, Bilal termasuk orang yang ‘dipastikan’ masuk surga.

Wahai Bilal, aku mendengar gemerisik langkahmu di depanku di surga. Setiap malam aku mendengar gemerisikmu,” ujar Rasulullah saw kepada Bilal suatu ketika.

Dengan wajah tersipu tapi tak bisa menyembunyikan raut bahagia, Bilal menjawab. “Ya Rasulullah, setiap kali aku berhadats, aku langsung berwudhu dan shalat sunnah dua rakaat.”
Ya, dengan itu kamu mendahului aku,” kata Rasulullah membenarkan. Subhanallah, demikian tinggi derajat Bilal bin Rabah di sisi Allah.

Meski demikian, hal itu tak menjadikan Bilal tinggi hati dan merasa lebih suci ketimbang yang lain. Dalam lubuk hati kecilnya, Bilal masih menganggap, ia adalah budak belian dari Habasyah, Ethiopia. Tak kurang dan tak lebih.
Bilal tak hanya seorang muadzin yang selama ini kita pahami. Betapa sempit wawasan kita kalau semata meneladani Bilal dari sisi bahwa ia seorang muadzin. Bahkan, ‘profes muadzin Rasulullah saw’ yang selama ini kita lekatkan pada Bilal, hanya terjadi ketika Nabi saw masih hidup. Setelah itu, tidak. Bilal menjadi mujahid yang menghabiskan usianya di medan perang.

Saat itu, Bilal sengaja datang menemui Abu Bakar yang terpilih menggantikan Rasulullah saw.
Wahai Abu Bakar, saya pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, ‘Sebaik-baik amal seorang Mukmin adalah berjihad di jalan Allah’,” ujar Bilal.
Apa maksudmu, wahai Bilal?” tanya Abu Bakar penuh heran.
Saya ingin berjuang di jalan Allah,” jawab Bilal.
Lalu, siapa yang akan menjadi muadzin?” tanya Abu Bakar.
Dengan air mata berlinang Bilal menjawab, “Saya takkan menjadi Muadzin lagi bagi siapa pun setelah Rasulullah saw wafat.
Tidak!” jawab Abu Bakar.
Tetaplah di sini dan menjadi muadzin kami.
Jika dulu engkau membebaskanku untuk kepentinganmu, maka aku akan mengumandangkan adzan. Tapi jika engkau membebaskanku karena Allah, maka biarkan aku menentukan pilihan,” Bilal bertekad.
Hanya demi Allah aku membebaskanmu Bilal,” kata Abu Bakar.
Kalau begitu, biarkan aku memilih,” pinta Bilal.

Mengenai kelanjutan kisah itu. terjadi perbedaan pendapat. Ada yang menyebutkan, Bilal langsung berangkat ke Syiria dan terjun ke medan jihad. Namun, ada juga yang berpendapat, Bilal menetap di Madinah. Baru setelah Abu Bakar meninggal dan Umar diangkat menjadi khalifah, Bilal berangkat ke Syiria (Karakteristik Perihidup Enam Puluh Shahabat Rasulullah: Khalid Muhammad Khalid 115-116).
Begitu sempit pemahaman kita kalau menjadikan Bilal semata ikon bagi para muadzin. Tanpa bermaksud meremehkan peran seorang muadzin, tapi Bilal bukan semata muadzin. Ia ikon dalam ketegaran. keistiqamahan, kesabaran, pejuang sejati, dan termasuk sahabat terbaik Rasulullah saw yang mendahuluinya ke surga.
Meski siksa begitu rupa mendera, Bilal tetap tabah menahan derita. Meski dalam kondisi demikian sebagaimana dilakukan Ammar bin Yasir seseorang ‘boleh’ menyembunyikan keimanannya dalam hati. tapi tidak dengan Bilal. Ia setegar karang menampakkan ketauhidannya.
Bilal adalah guru yang mengajarkan banyak sisi kehidupan ini.
Oleh Hepi Andi Bustoni dari majalah Al-Mujtama’

support by:

umroh-haji.net

1 Comment
  1. sangat mengharukan kisah bilal bin rabah ini dan patut untuk dijadikan pelajaran

Leave a reply

Amaliyah
Logo