Berkhidmat pada suami sudah dianggap kuno. Padahal, di situlah letak kemuliaan seorang wanita.
Alangkah bahagia perasaan suami jika pulang sehabis bekerja mendapat sambutan hangat dari sang istri berupa senyum manisnya. Apalagi jika ditambahkan dengan hidangan secangkir teh hangat dan sepiring panganan kecil buatan sang istri.
Namun, rupanya itu hanyalah menjadi impian bagi sebagian suami. Karena kenyataan yang dihadapi, mereka harus terbiasa pulang ke rumah dalam keadaan kosong dan rumah berantakan. Tak jarang akhirnya mereka ikut mengerjakan pekerjaan rumah yang belum beres tersebut.
Sedang sang istri dengan santainya ngobrol di rumah tetangga, dengan dalih bukan zamannya lagi istri harus menyambut kedatangan suami pulang dari kerja dan mengurus semua pekerjaan rumah tangga. lronisnya, kita bisa perhatikan di sekeliling kita ada fenomena suami berada di rumah menggantikan peran sang istri, sedang sang istri yang mencari nafkah di luar.
Salah satu sikap istri shalihah yang menandakan bagusnya interaksi dengan suami adalah berkhidmat pada suami sebatas yang ia mampu. Ia tak akan membiarkan suaminya yang lelah baru pulang kerja unttik mengurus keperluannya sendiri. Apalagi harus ikut-ikutan membereskan pekerjaan rumah tangga sedangkan dirinya masih mampu untuk mengerjakannya.
Berkhidmat di sini tidak hanya bersifat lahir saja, semisal segala sesuatu yang berkait dengan pekerjaan rumah tangga, tapi juga bersifat batin dan psikologis suami. Tapi, karena keterbatasan halaman ini kita fokuskan pada urusan pekerjaan rumah tangga yang sekarang mulai dilihat sebelah mata oleh sebagian kaum Wanita. Maka tak heran bahwa istri yang shalihah akan menyibukkan dirinya untuk melayani keperluan suami dan rumah tangganya dengan penuh keikhlasan sebagai salah satu wujud pengabdian.
Harapannya, ia akan mendapat pahala kebaikan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) atas pengabdiannya. Bukanlah suatu kehinaan bagi seorang wanita yang sudah berkeluarga untuk melayani kebutuhan suami dan anak anaknya. Karena setiap gerak dan aktivitas Muslimah yang diniatkan karena Allah SWT akan dinilai sebagai ibadah.
Bagi kaum feminis, ketaatan pada suami untuk berbagi tugas mengurus rumah tangga adalah kesia-siaan belaka. Bahkan, mereka mengatakan bahwa itu bentuk pengekangan dan merendahkan derajat kaum wanita.
Paham kapitalis dan materialistis telah membuat kaum feminis memandang segala sesuatu dari sudut ekonomi. Karena peran domestik tidak menghasilkan uang, maka mereka anggap sebagai bentuk kemubaziran potensi kaum wanita. Padahal kalau kita mau jujur, justru peran kaum wanita di rumah membuat keuangan keluarga menjadi kokoh. Kalau ingin hitung-hitungan, berapa besar uang yang dikeluarkan membeli makanan di warung kalau istri tidak memasak? Belum lagi jika menggaji jasa pembersih rumah, dan pengasuh anak bila istri meninggalkan tugas mulia tersebut.
Suatu Kemuliaan
Berkhidmat kepada suami telah dilakukan oleh wanita-wanita utama lagi mulia dari kalangan shahabiyyah, seperti yang dilakukan Asma’ bintu Abi Bakar ash-Shiddiq Radhiallahu ‘anhuma (RA) yang berkhidmat kepada Az-Zubair ibnul Awwam RA, suaminya. Ia mengurusi hewan tunggangan suaminya, memberi makan dan minum kudanya, menjahit dan menambal embernya, serta mengadon tepung untuk membuat kue. Ia juga yang menjinjing biji-bijian dari tanah milik suaminya, sementara jarak tempat tinggalnya dengan tanah tersebut sekitar 2/3 farsakh. (Riwayat Bukhari Muslim).
Demikian pula khidmatnya Fathimah binti Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) di rumah suaminya, Ali bin Abi Thalib RA, sampai-sampai kedua gandum. Ketika Fathimah datang ke tempat ayahnya untuk meminta seorang pembantu, sang ayah yang mulia memberikan bimbingan kepadanya.
”Maukah aku tunjukkan kepada kalian berdua apa yang lebih baik bagi kalian daripada seorang pembantu? Apabila kalian mendatangi tempat tidur kalian atau ingin berbaring, bacalah Allahu Akbar 34 kali, Subhanallah 33 kali, dan Alhamdulillah 33 kali. Ini lebih baik bagi kalian daripada seorang pembantu.” (Riwayat al-Bukhari Muslim).
Kemuliaan wanita-wanita utama ini tidak berkurang dengan pengabdiannya pada suami. Malah di situlah letak kemuliaan seorang Muslimah. Setiap tetes keringat, goresan luka, dan lecetnya tangan karena pengabdiannya membuat para malaikat mendoakan sehingga Allah Ta’ala berkenan mencurahkan kebahagian yang hakiki dalam rumah tangga mereka.
Suami yang Baik
Namun di sisi lain, suami yang baik tentunya tidak membebani istrinya dengan pekerjaan yang tidak mampu dipikulnya. Bahkan ia melihat dan memperhatikan keberadaan istrinya kapan sekiranya ia membutuhkan bantuan.
Adalah Rasulullah SAW gambaran suami yang terbaik. Di tengah kesibukan mengurusi umat dan dakwah dijalan Allah swr, beliau menyempatkan membantu keluarganya. Selain itu, beliau mengerjakan apa yang bisa beliau kerjakan untuk dirinya sendiri tanpa membebankan kepada istrinya, sebagaimana diberitakan istri beliau, Aisyah RA menyebutkan pekerjaan yang di lakukan oleh Rasulullah SAW di rumahnya:
“Beliau mengerjakan apa yang biasa dikerjakan salah seorang kalian di rumahnya. Beliau menambal sandalnya, menambal bajunya, dan menjahitnya.” (Riwayat al-Bukhari)
“Beliau manusia biasa. Beliau menambal pakaiannya dan memeras susu kambingnya”. (Riwayat al-Bukhari)
Betapa mulia akhlak Rasulullah SAW terhadap keluarganya. Maka, tidaklah patut para suami untuk berlaku semena-mena terhadap sang istri dengan membiarkan istri kelelahan mengerjakan pekerjaan rumah tangga, sementara suami mampu untuk membantu tugas sang istri. Kerjasama indah yang dilakukan keluarga mulia Rasulullah SAW ini bisa mehjadi tauladan bagi keluarga Muslim.
“Ingatlah, sebaik baik kalian ialah orang yang paling baik memperlakukan istri-istrinya. Dan akulah orang yang paling baik memberi perlakuan kepada istri istriku.” (Riwayat Ibnu Majah).
Wallahu a’lam bishshawab.*Sri Lestari lbu rumah tangga
support by:
umroh-haji.net