Mencium Hajar Aswad dalam Pandangan Islam
Setelah thawaf dilakukan 7 kali secara sempuma, maka seorang haji dianjurkan untuk mencium Hajar Aswad dengan syarat tidak menimbulkan gangguan Terhadap siapa pun di sekelilingnya.
Hajar Aswad adalah batu berbentuk telur berwarna hitam kemerah-merahan. Lingkarannya sekitar 30 (tiga puluh) cm, dan garis tengahnya sekitar 10 (sepuluh) cm. Kini, pada batu itu terdapat bintik-bintik merah dan kuning bekas pecahan, dan sekarang, diikat dengan pita perak. la diletakkan di sudut sebelah timur bangunan Ka’bah.
Menurut sahabat Nabi, Umar bin Khaththab, batu itu tidak bertuah. Katanya: “Aku mengetahui bahwa engkau adalah batu yang tidak dapat memberi manfaat atau mudarat. Seandainya aku tidak melihat Rasul menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu.”
Benar, batunya sendiri tidak mampu memberi manfaat dan mudarat. Tetapi menciumnya dengan memahami maknanya akan memberi manfaat. Karena kalau tidak demikian, mana mungkin Rasul SAW, ¬rnenciumnya dan menganjurkan kita menciumnya? Begitu sanggah khalifah keempat Amirul Mukminin Ali Bin Abi Thalib, mengomentari ucapan Umar bi Khaththab di atas.
Hajar Aswad adalah lambang “tangan Tuhan”.
Lazimnya seseorang yang mengikat perjanjian dengan pihak lain, yang berjabat tangan dengan mitranya. la mencium tangan mitranya jika ia mengagungkannya. Demikianlah seseorang yang selesai berthawaf, mengikat janji dengan Tuhan, untuk selalu berusaha berada dalam lingkungan Ilahi, melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Jadi, kesimpulannya adalah : perbuatan mencium Hajar Aswad terkategori ke dalam ibadat dan dilakukan semata-mata karena mengikuti sunnah. Rasulullah SAW telah menciumnya dan, oleh karenanya, semua umatnya yang melaksanakan ibadah haji menciumnya tanpa tanya dan debat.
Sumber : Buku Haji & Umrah, oleh Drs. Ir. Nogarsyah Moede Gayo