Tiga Hal Yang Menghancurkan

Tiga Hal Yang Menghancurkan

Rasulullah saw bersabda, “Tiga hal menyelamatkan dan tiga hal lainnya menghancurkan. Tiga hal yang menyelamatkan adalah: takwa kepada Allah dalam kondisi rahasia dan terang-terangan, perkataan kebenaran dalam keadaan ridha atau benci, sederhana dalam keadaan kaya dan miskin. Adapun yang menghancurkan adalah mengikuti hawa nafsu, kekikiran yang dituruti, orang yang mengagumi dirinya sendiri dan itu paling berat, ” (HR Al-Baihaqi dihasankan oleh Nashiruddin al-Albani).

Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah di atas, Rasulullah saw menegaskan enam hal: tiga hal yang bisa menghancurkan dan tiga hal lainnya yang menyelamatkan. Pada tulisan ini, kita akan membahas tiga hal yang bisa menghancurkan. Yaitu:
Pertama, mengikuti hawa nafsu. Penyebab seseorang melakukan satu perbuatan maksiat yang dilarang oleh Allah adalah karena mengikuti hawa nafsunya. Karenanya dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. pernah mengatakan, “Tidak beriman seorang di antara kalian hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa,” (RR Ibnu Baththah).

Dalam Al-Qur’an, Allah memberikan perumpamaan yang amat hina bagi orang yang mengikuti hawa nafsunya: seperti anjing. (QSAl-A’raf: 176).
Mengikuti hawa nafsu ini dapat menjadikan seseorang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram. Ini kebalikan dari pesan yang tersurat dari hadits di atas. Karenanya, salah satu bentuk “menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram” adalah dengan membuang jauh-jauh hawa nafsu yang cenderung mengajak pada kemaksiatan pada Allah. Hal ini akan dapat menjadikan kita termasuk calon penghuni surga.

Kedua, kikir yang dituruti. Kikir dan bakhil adalah sifat yang dibenci Allah. Sifat ini muncul jika manusia telah terbius harta dunia yang selalu menggodanya, sehingga kecintaan terhadap harta melebihi kecintaannya terhadap Allah. Pada dasarnya, sifat kikir adalah watak umum manusia.

Allah berfirman, “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir,” (QS al-Ma’arij: 19-21).

Begitu pentingnya umat Islam menghindari sifat bakhil ini, karena ia bisa melahirkan karakter buruk lainnya. Sifat kikir akan melahirkan sikap egois, tidak peduli kepada orang lain dan bisa berujung pada sifat sombong. Bakhil merupakan buah dan akibat dari cinta dunia. Bagian dari sifat yang ternoda dan akhlak yang tercela. Ketercelaan sifat bakhil disebutkan dalam firman Allah, “(yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka,” (QS An-Nisa’: 36).

Ketiga, bangga diri atau ‘ujub.
Imam Al-Qurtubi mengatakan, ”’Ujub adalah jika seseorang merasa dirinya sempurna dan lupa itu sebagai nikmat Allah. Jika disertai dengan meremehkan orang lain atau karya orang lain, maka itu kesombongan.”

Karenanya, ada perbedaan antara sombong dan ‘ujub. Sombong dilakukan di hadapan manusia dan ‘ujub membanggakan ibadah dan kebaikan yang sudah dilakukan. Hal ini diharamkan karena tidak punya kesopanan terhadap Allah. Seorang hamba tidak layak membanggakan dan menganggap kebaikan yang dia lakukan lebih besar jika dibandingkan dengan kebesaran Allah. Karenanya, ‘ujub merupakan dosa besar. Ibnu Qayyim al-Jauziyah menyatakan, “‘Ujub bisa menimbulkan kesombongan.”

Hadits di atas menegaskan, bangga diri paling berbahaya untuk membinasakan manusia. Menghancurkan amalnya, menghancurkan nasib di dunia dan masa depannya di akhirat.

Rasulullah bersabda, “Suatu hari ada seorang lelaki yang berjalan dengan pakaian mewah dan rambut sombong sambil berbangga diri, maka Allah menenggelamkan dia ke bumi hingga hari kiamat,” (HR Muttafaq Alaih). Yang dimaksud laki-Iaki ini adalah Qarun.

Bahkan, Allah pernah memberikan kekalahan kepada kaum Muslimin di Perang Hunain karena mereka bangga diri dengan jumlah pasukan. “Dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah (mu), Maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun,” (At-Taubah: 25).

Jika generasi terbaik umat ini saja pernah ditegur langsung oleh Allah, maka generasi setelah mereka lebih layak untuk lebih berhati-hati dari penyakit ‘ujub ini. Jika mereka dalam kondisi berjamaah (komunitas) saja sebagian mereka tergelincir, maka secara personal orang lebih rentan terkena penyakit rohani yang satu ini.

Ibnu Mas’ud mengatakan, “Kehancuran itu di dua hal; putus asa dan bangga diri”. Dua hal ini dihimpun sebagai faktor yang membinasakan karena kebahagiaan tidak mungkin terwujud kecuali dengan usaha dan kesungguhan. Orang yang putus asa tidak pernah berusaha. Sementara orang yang bangga diri menganggap bahwa dirinya sudah bahagia dengan capaiannya sehingga ia tidak berusaha. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya (mann) dan menyakiti (perasaan si penerima),” (QS al-Baqarah: 264).

Tidak sedikit orang tergelincir dari kebenaran karena kekuasaan, harta, ilmu, kecerdasan. Dengan kekuasaan, ilmu dan kekayaannya, Fir’aun dan Qarun terjerumus menjadi manusia paling merugi karena sifat ‘ujub dan takaburnya. Bahkan dengan ilmunya, Nabi Musa as. pernah ‘ujub kemudian ditegur oleh Allah. Ini berarti, penyakit ‘ujub menjangkiti siapapun, mukmin atau kafir.

Seseorang harus memiliki kepekaan tinggi terhadap dirinya. Sebab ‘ujub sangat halus menyelinap dalam diri seseorang. Ia harus menjaga hatinya dengan makrifatullah, wara’ dan takwa, meminta nasihat, membersihkan niat, banyak bersyukur, melihat kebaikan orang lain.

Biasanya orang mampu istiqamah dalam tawadhu dalam kondisi normal. Namun terkadang keberuntungan dan kesuksesan mendadak bisa menjadi jebakan baginya. Pada saat seseorang tidak pernah mendapat pujian, ia bisa tawadhu. Tapi ketika sukses menghampirinya, di sinilah ujian itu bermula. Pada saat pujian menghujaninya, itulah ujian terberat.

Tak sedikit orang tergelincir dan hanyut dengan pujian dan sanjungan orang. Jika tidak hati-hati ia akan terjangkit penyakit ‘ujub. Kita patut bersyukur dengan kesuksesan tiba-tiba. Pada saat sarna kita meski peka dan hati-hati karena terkadang membuat orang lupa diri. Jika sanjungan menghujani, sambutlah dengan pujian kepada Allah.

Karenanya, Rasulullah saw bersabda, “Jika kalian lihat orang yang suka memuji dan menyanjung, maka tuangkan di wajahnya dengan tanah,” (HR Ahmad dan Muslim).
Sebab pujian itu bisa menggelincirkan dan melalaikan diri. Namun jika memang dibutuhkan, maka pujian itu disandarkan kepada Allah.

Dalam sebuah hadits disebutkan: seorang lelaki memuji lelaki lain di sisi Rasulullah. Beliau bersabda, “Celakalah kamu, engkau telah memutus leher sahabatmu.” Diulang tiga kali. Beliau menambahkan, ” Barang siapa yang harus memuji saudaranya hendaklah ia mengatakan, “Menurut saya dia begini-begini dan Allah yang Maha Menghisab dan dia tidak mensucikan seseorang atas Allah,” (HR Bukhari dan Muslim).

support by:

umroh-haji.net

We will be happy to hear your thoughts

Leave a reply

Amaliyah
Logo