Pengertian Sa’i Untuk Ibadah Haji dan Umrah
Pengertian Sa’i Untuk Ibadah Haji dan Umrah
Ibadah ini sebagai napak tilas perjuangan Siti Hajar, ibunda Ismail yang menangis kehausan ditengah padang pasir yang gersang dan panas. Tempat yang tiada tanda air ini tidak meluluhkan semangat Siti Hajar untuk berusaha mencari air. Siti Hajar percaya akan Kasih dan Kebesaran Allah SWT. Doa Siti Hajar terkabul dengan memancarnya air Zamzam yang membuat mereka dapat bertahan hidup.
Hikmah dari kejadian ini adalah bahwa kehidupan merupakan perjuangan. Permasalahan dalam kehidupan merupakan hal wajar, sehingga kita sebagai manusia perlu berusaha dan bertawakkal kepada Allah SWT. Sikap tidak mudah putus asa dalam ruang dan waktu, dan menjalani kehidupan dengan sabar dan ikhlas disertai sikap optimis merupakan hikmah ritual ini. Karena pada akhirnya, Allah SWT yang menentukan hasil dari jerih payah kita. Dibalik kesulitan ada kemudahan. Kita juga harus mengingat akan firman Allah SWT.
Yang dimasud dengan sa’i adalah berjalan atau berlari kecil, dimulai dari bukit Shafa ke bukit Marwah dan, sebaliknya, dari bukit Marwah ke bukit Shafa.
Perjalanan dari Shafa ke Marwah dihitung satu kali dan, sebaliknya, dari Marwah ke Shafa dihitung sekali pula. Perjalanan bolak-balik itu seluruhnya harus berjumlah 7 kali.
Kedua bukit yang satu sama lainnya berjarak sekitar 1/2 km sekarang sudah dihubungkan oleh bangunan panjang berlantai dua. Dengan lebar 20 meter, jalur sa’i tersebut dibagi atas 4 jalur, masing¬masing 2 jalur untuk pejalan kaki dan dua jalur untuk orang-orang sakit yang harus didorong dengan kursi roda.
Perjalanan sa’i ini tidaklah terlalu melelahkan karena adanya fasilitas AC dan kipas angin yang terus menerus menghembuskan angin dingin. Seandainya tidak kuat Anda dapat beristirahat sebentar di pinggir jalur, sambiI minum air Zam-zam yang tersedia banyak tempat di sepanjang jalur sa’ i.
Pada tempat-tempat yang ditandai pilar hijau (neon hijau), jama’ ah laki-Iaki disunatkan berlari-Iari kecil, sedangkan wanita berjalan cepat. Sa’i boleh dilakukan dalam keadaan tidak berwuduk. Juga oleh wanita yang lagi datang haid atau nifas.
Jarak perjalan Sa’i untuk satu kali jalan adalah 405 meter. Jadi 7 kali perjalanan antara kedua bukit ini adalah 7 x 405 m = 2.835 meter.
Karena perjalanan ibadah Sa’i merupakan ibadah yang menapak tilas penderitaan Siti Hajar, maka untuk lebih khidmat dan khusuknya pelaksanaannya, maka para jema’ah dianjurkan membayangkan derita dan kesulitan yang dialami oleh Siti Hajar ketika mencarikan air untuk anaknya Ismail AS yang ditinggal sang ayah Nabi Ibrahim AS yang mendapat perintah dari Allah.
Hukum Sa’i – Pengertian Sa’i
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum sa’i :
a. Ibnu ‘Umar, Jabir, Aisyah RA, Malik dan al-Syafi’i serta Ahmad (menurut salah satu dari dua peNdapatnya) menjelaskan bahwa sa’i adalah rukun haji. Karena itu, menurut mereka, siapa yang meninggalkannya, maka batallah hajinya dan tidak bisa ditutup dengan dam (denda) atau lainnya.
b. Ibnu Abbas, Anas, Ibnu al-Zubair, Ibnu Sirin dan riwayat yang lain lagi mengemukakan bahwa sa’i itu sunat saja.
c. Abu Hanifah, al-Tsauri dan Hasan berpendapat bahwa sa ‘i itu wajib haji, bukan rukun haji. Karena itu tidaklah batal hajinya atau umrah apabila seseorang meninggalkannya, tetapi diwajibkan membayar denda.
Syarat Sa’i – Pengertian Sa’i
a. Melakukan perjalanan sa’i secara keseluruhan dan tidak boleh ada yang tersisa. Kaki hendaknya menempel pada bukit, baik Shafa maupun Marwah, karena Rasul Allah SAW mengerjakannya begitu.
b. Memulai dari Shafa dan berakhir di bukit Marwah. Jikalau dibalik maka sa’i tersebut tidak sah.
c. Melakukan sa’i sesudah thawaf yang sah dan baik.
d. Melakukan sa’i 7 kali perjalanan sa’i.
Sa’i dilakukan di mas’a (tempat berlari) yaitu jalan yang terbentang antara Shafa dan Marwah yang telah disediakan untuk itu.
Ada beberapa sunat Sa’i
a. Berdoa antara Shafa dan Marwah.
b. Melaksanakannya dalam keadaan suci dan menutup aurat.
c. Laki-laki berlari-lari keeil di antara dua tonggak hijau yang terdapat di dalam mas’a.
d. Melaksanakannya dalam kondisi tidak berdesak-desakan. Jika memang terpaksa berdesak-desakan hendaknya diupayakan agar tidak mengganggu orang lain.
e. Melaksanakannya dengan berjalan kaki. Jika tidak kuat, dapat melaksanakannya dengan kendaraan atau ditandu
f. Melaksanakannya dengan berturut-turut, tidak terpotong-potong, kecuali apabila pada waktu sedang sa’i itu dilakukan salat jenazah.
Dalam keadaan semacam itu, sa’i dibolehkan dipotong untuk mengikuti salat jenazah tersebut sudah selesai maka sa’i dapat dilanjutkan dengan menambahi saja yang masih kurang.
Sumber : Buku Haji dan Umrah, oleh Drs. Ir. Nogarsyah Moede Gayo