Hukum Mewakilkan Haji. Bolehkah Dilakukan?

Hukum Mewakilkan Haji. Bolehkah Dilakukan?

Hukum Mewakilkan Haji. Bolehkah Dilakukan?

umrah dan haji

Hukum Mewakilkan Haji. Bolehkah Dilakukan?

Seseorang yang mampu melaksanakan ibadah haji dari segi biaya, tetapi kesehatannya tidak mengizinkan misalnya sakit yang sulit diharapkan sembuhnya tidak mengizinkan, atau karena usia tua, wajiblah orang lain menghajikannya dengan biaya dari orang itu tadi.
Dalil untuk itu adalah:

“Diriwayatkan dari ‘Abdullah Ibnu ‘Abbas: sesungguhnya seorang perempuan dari Khats’am berkata :
Wahai Rasul Allah, ayah saya sudah wajib haji tetapi sudah tua, tidak mampu duduk di atas kendaraan. Nabi menjawab : Berhajilah engkau untuknya”.

Imam Syafei berpendapat apabila orang sakit tersebut sembuh maka ia tetap mengatakan tidak wajib haji lagi atas orang tersebut, sebab bila wajib maka ia berarti dua kali wajib haji. Adapun syarat bagi yang menghajikan (yang menerima wakil) adalah bahwa ia sendiri telah melaksanakan haji fardhu untuk dirinya.

Seperti diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas :
“Rasul Allah SAW mendengar seseorang berkata: Inila aku yaAllah, untuk Syubrumah. Lalu Nabi bertanya: Apakah engkau sudah berhaji untuk dirimu sendiri ? Ia menjawab : Tidak. Nabi berkata : Berhajilah dulu untuk dirimu sendiri sesudah itu berhajilah untu Syubrumah”.

Kesimpulan – Hukum Mewakilkan Haji. Bolehkah Dilakukan?

Jadi haji dengan mewakilkan bisa dilakukan karena bersangkutan sakit tidak kuat dalam kendaraan, dan jarak antara tempat tinggalnya dengan Mekah kurang lebih dua marhalah (81 km) tetapi, ada ulama yang tidak mensyaratkan jarak dua marhalah tersebut dan orang yang menghajikan. Sebab, melaksanakan ibadah haji memerlukan niat dari yang mewakilkan dan diwakilkan.

Perwakilan ini dapat juga dilakukan untuk orang yang meninggal, asalkan ia memang sudah terbeban wajib haji, tetapi belum sempat melaksanakannya. Atau orang yang meninggal tersebut telah bernazar akan melaksanakan ibadah haji dan tidak murtad sampai dengan meninggalnya, maka ia dapat dihajikan oleh orang lain.
Dalil untuk ini adalah:

”ATAN NABIYYU SAW. RAJULUN FAQAALA : INNA ABII MAATA WA ‘ALAIHI HAJJATUL ISLAAMI AFA-A HUJJU ‘ANHU? QAALA: ARA AITA LAU ANNA ABAAKA TARAKA DAINAN ’ALAIHII AQADHAITAHU ‘ANHU? QAALA: NA’AM, QAALA” FAJUJ ‘ANHU”.

Artinya:

”Seorang laki-laki mendatangi Nabi SA W dan berkata:
Ayah saya sudah meninggal dan ia mempunyai kewajiban haji, apakah aku boleh menghajikannya? Nabi SA W, menjawab : bagaimana pendapatmu apabila ayahmu meninggalkan hutang, apakah engkau wajib membayarnya? Orang itu menjawab: Ya. Nabi berkata: Berhajilah engkau untuk ayahmu”. (HR. al-Daru¬quthni, aI-Nasa’I, Ibnu Majah dan aI-Syafe’i dari Ibnu ‘Abbas).

“AQDHUULLAAHA FALLAAHU AHAQQU BILWA FAA-I”.

Artinya:

“Seorang perempuan dari Juhainah datang kepada Nabi SAW lalu berkata : Ibu saya telah meninggal da ia bernazar akan melaksanakan hajiJ tetapi ia belum melaksanakannya sampai wafatnya. Apakah aku boleh berhaji untuknya? Nabi menjawab : Ya berhajilah_ untuknya. Sekiranya ibumu mempunyai hutang, apakah engkau akan membayarnya? Bayarlah Allah, sebab Allah lebih berhak untuk dibayarkan (Kewajiban kepadanya). (HR. al-Bukhari dari Ibnu ‘Abbas).

Sumber : Buku Haji dan Umrah, oleh Drs. Ir. Nogarsyah Moede Gayo

Amaliyah
Logo