Makna Ibadah Haji dan Umrah

Makna Ibadah Haji dan Umrah

Allah Swt telah menjadikan ibadah Haji sebagai salah satu kewajiban ibadah yang paling mulia dan merupakan bagian dari Rukun Islam yang dengannya Islam tegak di muka bumi ini hingga akhir jaman.

Nabi SAW bersabda

“Islam ditegakkan di atas lima perkara, persaksian bahwasanya tiada Ilah yang sebenarnya selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah Rasul utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, mengerjakan ibadah haji ke Baitullah dan berpuasa di bulan Ramadhan.” ( HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah bagi orang yang mampu baik dari sisi fisik maupun materi untuk bekal perjalanan dan untuk keluarga yang ditinggalkan. Mampu tidak berarti harus kaya raya karena banyak orang yang kaya namun belum berhaji, sementara banyak orang yang tidak kaya malah mampu melaksanakan Haji.

Ibadah Haji adalah puncak pencapaian spiritual seorang Muslim yang kegiatannya paling lengkap. Di dalamnya terdapat kegiatan fisik, lisan, dan rohani serta pengorbanan jiwa, waktu dan harta.

Kegiatan fisik berupa Perjalanan dari tanah air ke Saudi Arabia yang menempuh jarak yang jauh dan biaya tidak sedikit serta kegiatan ibadah haji yang melelahkan karena harus bergerak dari satu tempat ke tempat lain dalam waktu yang singkat. Kegiatan lisan berupa lidah yang senantiasa mengumandangkan senandung talbiyah, takbir, dzikir, dan doa untuk menempatkan Allah di atas puncak kebesaran-Nya serta mengecilkan keinginan terhadap harta, wanita dan tahta yang kerap memalingkan kita dari nur Illahi.

Kegiatan rohani berupa penjagaan hati agar selalu bersih, ikhlas dan lurus dalam upaya mencapai haji Mabrur serta penyerahan diri dalam rangka mencari ridho Allah.

Ibadah Haji dan Umrah adalah perjalanan suci yang dipenuhi ritual dan simbol yang memberikan pelajaran dan cermin bagi pelakunya dengan cara napak tilas penegakan tauhid yang dilakukan oleh para Nabi dan Rasul terdahulu.

Pelajaran tersebut dikemas dalam pertunjukan kolosal yang menampilkan benang merah ajaran Monotheisme dari generasi ke generasi. Jamaah haji akan bertindak sebagai aktor dengan memerankan Nabi Adam pada satu kesempatan, dan menjadi Nabi Ibrahim, Hajar, dan Nabi Ismail pada kesempatan lain.

Agar peran tersebut bermakna diperlukan penghayatan agar ibadah haji tidak hanya sekedar menjalankan ritual, perjalanan wisata dan rekreasi mental. Diperlukan kewaspadaan dan kehati-hatian agar kita tidak terjebak dalam simbol dan ritual semata tanpa melihat makna haji sebenarnya sehingga pesan yang terkandung dalam ibadah haji tidak sampai pada pelakunya.

Hakikat ritual haji diuraikan secara provokatif oleh cendekiawan Iran, alm Dr. Ali Syariati dalam bukunya berjudul Makna Haji. Ali Syariati menunjukkan kepada kita bahwa haji bukanlah sekadar prosesi lahiriah formal belaka, melainkan sebuah momen revolusi lahir dan batin untuk mencapai kesejatian diri sebagai manusia.

Menurut beliau, makna Haji yang pertama adalah mengingatkan kembali hakikat kita sebagai manusia. Melalui thawaf, Allah mendemonstrasikan cara kerja alam semesta. Bagaimana bumi, dan planet-planet di jagat raya ini berotasi dan mengelilingi orbitnya masing-masing sesuai Sunnatullah agar selamat.

Dengan thawaf, manusia diajarkan untuk tidak diam di pinggiran, melainkan harus meleburkan diri dalam pusaran kafilah manusia yang akan membawanya menuju Allah.

Makna Kedua mengingatkan kita agar waspada terhadap godaan iblis yang tidak pernah berhenti menipu dengan wajah yang selalu berubah. Melalui jumrah, kita ditunjukkan kepada Iblis yang dapat menjelma menjadi tiga wajah dalam bentuk triumphirat/trinitas atau trimurti, yakni : Fir’aun (lambang kekuasaan), Karun (lambang harta), dan Bal’am (lambang intelektualitas).

Melalui Wukuf, kita diingatkan kepada kisah iblis yang melakukan tipu daya kepada Adam sehingga harus turun dari surga serta terpisah dengan Hawa. Melalui perjuangan tak kenal lelah, akhirnya Allah menerima taubatnya dan dipertemukan kembali dengan Hawa di Jabal Rahmah.

Melalui mabit di Mina, kita akan dibawa kepada keteladanan perjuangan Ibrahim yang berhasil mengatasi berbagai ujian keimanan dan mengatasi bujuk rayu syetan dengan memberikan pengorbanan Terbesar dalam sejarah manusia yaitu Ismail as. Ibrahim lulus dari ujian tersebut hingga diangkat menjadi Kekasih Allah, imam dan panutan bagi seluruh ummat manusia.

Saat berhaji, Pastikan jiwa mana yang kita bawa. Jiwa yang hendak bertekuk lutut dan mengakui kehinaan di hadapan Tuhan, ataukah jiwa yang hendak ‘memperalat’ Tuhan demi status baru? Ataukah sekadar memperpanjang gelar yang disandang?

Orang yang sudah berhaji haruslah menjadi manusia yang “tampil beda” (lebih lurus hidupnya) dibanding sebelumnya. Jika tidak, sesungguhnya kita tidak lebih dari hanya sekedar wisatawan yang berlibur ke tanah suci di musim haji.

Rasulullah SAW mengingatkan dalam sabdanya: “Kelak di akhir jaman, manusia pergi haji terdiri dari beberapa kelompok: Para penguasa pergi haji untuk berwisata, para hartawan untuk berdagang, para fakir miskin untuk meminta-minta dan alim ulama untuk mendapatkan nama dan pujian” (Hadits).

Haji adalah Tamu Allah Dengan melaksanakan haji, kita akan menjadi Tamu yang dimuliakan oleh Allah Swt., dan sebagai Tuan Rumah maka Allah berjanji akan memuliakan tamunya serta mengabulkan apapun yang diminta tamunya tersebut. Keutamaan Ibadah Haji disetarakan dengan keutamaan jihad, karena keduanya adalah orang-orang yang menjawab panggilan ketika Allah memanggil.

Sabda Rasulullah saw: “Orang yang berperang di jalan Allah, orang yang berhaji dan berumrah adalah tamu Allah. Allah memanggil mereka dan mereka menjawab panggilan itu. Karena itu ketika mereka meminta KepadaNya maka Allah mengabulkannya” (Al Hadits)

“Wahai Rasulullah bukankah jihad itu adalah amal yang paling utama? Jawab Rasul: “Jihad yang paling utama adalah Haji mabrur” (HR Bukhari).

Karunia terbesar bagi orang yang berhaji adalah janji Allah untuk menghapuskan seluruh dosa tamunya yang bertumpuk sejak dilahirkan hingga selesainya melaksanakan Haji. Termasuk didalamnya dosa-dosa besar yang hanya dapat dihilangkan melalui pelaksanaan wukuf di Arafah.

Hal ini terungkap dalam hadits Qudsi berikut:

“Allah berkata kepada para Malaikat: ’Lihatlah hamba-hambaKu! Mereka datang kepadaKu dengan rambut kusut dan berdebu karena berharap rahmatKu. Aku bersaksi kepadamu bahwa Aku telah mengampuni mereka’” (HR Ahmad) ”Diantara berbagai dosa, ada dosa yang tidak akan tertebus kecuali dengan wukuf di Arafah” (al Hadits).

We will be happy to hear your thoughts

Leave a reply

Amaliyah
Logo