Shalat Qashar: Apa itu dan Bagaimana Melakukannya
Kebolehan atau kesunnahan shalat qashar selalu dikaitkan dengan safar. Karena itu berbagai perbedaan pendapat mengenai shalat qashar berawal dari pengertian safar. Karena itu perlu ditegaskan di sini pengertian safar.
Definisi safar adalah apa kondisi yang biasa dianggap orang itu safar, tidak bisa dibatasi oleh jarak tertentu atau waktu tertentu. Hal itu karena tidak ditemukan adanya batasan dari Nabi. Selama seseorang itu terpisah dari tempat tinggalnya dan menurut ukuran orang itu sudah dinggap safar, maka berarti dia dalam kondisi safar.
Untuk mempertegas pengertian safar, perlu diperhatikan dua istilah yang terkait; yaitu muqim dan muwathin. Isitilah muqim telah disebut dalam definisi di atas yang berarti kebalikan dari musafir. Orang yang bertempat tinggal pada daerah tertentu dan dia bukan dari penduduk asli maka dia disebut muqim, namun bila dia adalah penduduk asli maka disebut muwathin. Sementara yang berada pada tempat bukan tempat tinggalnya, bukan muqim dan bukan pula muwathin, maka disebut musafir.
Dengan demikian, apabila safar adalah syarat dibolehkannya qashar, maka selama seseorang itu bepergian pada jarak yang menurut kebiasaan masyarakat sudah dianggap safar dan tidak bermaksud muqim meskipun dalam waktu yang lama, maka dia berhak melakukan qashar.
Itulah pendapat pertama dari para ulama yang lebih condong bahwa safar itu mutlaq tidak terbatas oleh jrak dan waktu. Sedangkan pendapat kedua adalah pendapat yang mengakui adanya batas minimal dan waktu maksimal dibolehkannya qashar bagi seorang musafir.
Rasulullah saw pernah meng-qashar shalat ketika perjalanannya kira-kira tiga mil atau tiga farsakh dan enam mil Arab. Dan ini merupakan batas minimal jarak Nabi melakukan qashar
“Saya pernah shalat dhuhur bersama Rasulullah saw di Madinah empat raka’at, tetapi saya shalat ashar bersamanya di Dzil Hulaifah dua raka’at”. (HR Bukhari Muslim)
Jarak dari Madinah ke Dzil Hulaifah kira-kira enam mil Arab.
“Apabila Rasulullah saw keluar dalam perjalanan tiga mil (atau tiga farsakh), beliau sembahyang dua raka’at”. (HR Muslim)
Rasulullah saw pernah meng-qashar shalat selama sembilan belas hari. Dan ini bisa dikadikan dalil batas waktu maksimal nabi melakukan qashar.
Tatkala Rasulullah saw menakhlukkan kota Makkah, beliau berada disana sembilan belas hari dengan shalat (qashar) dua raka’at. (HR Ahmad)
Kesimpulannya; tidak ada ketetapan yang meyakinkan mengenai batas jarak dan batas waktu dibolehkannya qashar bagi seorang musafir. Karena itu, ketika seseorang telah keluar dari rumahnya pergi ke tempat lain dan tidak bermaksud untuk bermukim di sana, berapapun jarak dan waktunya, maka dia diberi keringanan untuk mengqashar shalat.
Cara Shalat Qashar
Pelaksanaan shalat qashar sama seperti shalat biasa, hanya saja, shalat yang semestinya empat roka’at yaitu dhuhur, ashar, dan isya’, di ringkas menjadi dua roka’at dengan niat qashar pada waktu takbirotul ihram.
Contoh lafadz niat qashar :
Usholli fardlozh-zhuhri rok’ataini qoshron lillahi ta’ala.
saya niat shalat dhuhur dengan diqashar dua roka’at karena Allah.
Para ulama berbeda pendapat mengenai berapa lama seorang musafir masih diperbolehkan melakukan qashar ketika transit di satu tempat. Mayoritas ulama dan mazhab empat kecuali Hanafi mengatakan maksimum transit yang diperbolehkan melakukan qashar adalah tiga hari. Kalau seorang musafir menetap di satu tempat telah melebihi tiga hari maka ia tidak boleh lagi melakukan qashar dan harus menyempurnakan shalat. Pendapat kedua diikuti imam Hanafi dan Sofyan al-Tsauri mengatakan maksimum waktu transit yang dipernolehkan jama’ adalah 15 hari. Pendapat ketiga diikuti sebagian ulama Hanbali dan Dawud mengatakan maksimum 4 hari.
Shalat di atas Kendaraan
Pelaksanaan shalat di atas kendaraan pesawat, sama seperti shalat ditempat lainnya. Jika dimungkinkan berdiri, maka harus dilakukan dengan berdiri, ruku’ dan sujud dilakukan seperti biasa dengan menghadap qiblat. Namun jika tidak bisa dilakukan dengan berdiri, maka boleh shalat dengan duduk dan isyarat untuk shalat sunnah. Sedangkan untuk shalat fardhu maka ruku-rukun shalat seperti ruku’ dan sujud, mutlak tidak boleh ditinggalkan. Shalat fardhu yang dilaksanakan di atas kendaraan sah manakala memungkinkan melakukan sujud dan ruku’ serta rukun-rukun lainnya. Itu dapat dilakukan di atas pesawat atau kapal api yang mempunyai ruangan atau tempat yang memungkinkan melakukan shalatg secara sempurna. Apabila tidak memungkinkan melakukan itu, maka shalat fardhu sambil duduk dan isyarat bagi orang yang sehat tidak sah dan harus diulang. Demikian pendapat mayoritas ulama. Pendapat ini dilandaskan kepada hadist-hadist berikut:
Dalam hadist riwayat Bukhari dari Ibnu Umar r.a. berkata:”Rasulullah s.a.w. melakukan shalat malam dalam bepergian di atas kendaraan dengan menghadap sesuai arah kendaraan, beliau berisayarat (ketika ruku’ dan sujud), kecuali shalat-shalat fardhu. Beliau juga melakukan shalat witir di atas kendaraan.
Hadist Bukhari yang lain dari Salim bin Abdullah bin Umar r.a. berkata:”Abdullah bin Umar pernah shalat malam di atas kendaraannya dalam bepergian, beliau tidak peduli dengan arah kemana menghadap. Ibnu Umar berkata:”Rasulullah s.a.w. juga melakukan shalat di atas kendaraan dan menghadap kemana kendaraan berjalan, beliau juga melakukan shalat witir, hanya saja itu tidak pernah dilakukannya untuk shalat fardhu”.
Bagaimana melaksanakan shalat fardhu di atas kendaraan yang tidak memungkinkan memenuhi rukun-rukun shalat? yaitu dengan melakukan shalat untuk menghormati waktu (lihurmatil wakti) dengan sebisanya, misalnya sambil duduk dan isyarat. Shalat seperti ini wajib diulang (I’adah), setelah menemukan sarana dan prasarana melaksanakan shalat fardhu secara sempurna. Cara melakukan shalat lihurmatil waqti, sama seperti melakukan shalat biasa, hanya saja, bagi yang sedang berhadats besar, seperti junub, dicukupkan dengan hanya membaca bacaan yang wajib-wajib saja.
Antara Wudhu dan Tayammum
Saat bepergian atau di atas kendaraan, untuk melaksanakan shalat terkadang mengalami kendala sulitnya mencari air. Maka pada saat tidak menemukan air untuk berwudhu, atau ada air, namun oleh pemilik air tidak diperbolehkan digunakan berwudhu’, seperti ketika berada didalam pesawat, oleh petugas tidak diperbolehkan menggunakan air untuk berwudhu’, karena dikhawatirkan dapat mengganggu sistem pesawat, sehingga dikhawatirkan membahayakan keselamatan para penumpang. Maka dalam kondisi ini diperbolehkan tayammum, yaitu bersuci dengan debu. Pada saat dimana juga tidak terdapat sarana untuk bertayamum, seperti debu, maka shalatnya dapat dilakukan dengan cara di atas.
Qadla Shalat yang Tertinggal
Apabila kita bepergian dan karena satu dan lain hal kita terpaksa meninggalkan shalat atau tidak mungkin melakukan shalat, maka kita wajib melakukan qadla atas shalat yang kita tinggalkan tersebut. Qadla artinya melakukan shalat di luar waktu seharusnya.
Untuk shalat yang ditinggalkan saat bepergian jauh, qadla juga dapat dilaksanakan dengan qashar sesuai ketentuan qashar di atas, asalkan masih dalam kondisi bepergian dan belum sampai di tempat tujuan atau tempat bermukim, atau telah kembali di rumah. Maka apabila kita ingin melakukan qadla shalat yang tertinggal dalam bepergian, hendaknya melakukannya pada saat masih dalam perjalanan dan sebelum sampai di rumah, sehingga kita masih mendapatkan dispensasi melakukan qashar.
Apabila kita melakukan qadla shalat yang tertinggal di perjalanan tadi telah sampai di tempat tujuan untuk bermukim lebih dari tiga hari, atau setelah kita sampai di rumah, maka kita tidak lagi mendapatkan dispensasi qashar dan harus melaksanakannya dengan sempurna. Alasannya adalah karena keringanan qashar diberikan saat bepergian dan saat itu kita bukan lagi musafir maka wajib melaksanakan shalat secara sempurna.
Baca artikel terkait: