“Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu menumbuhkan ketentraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At-Taubah: 103)
Ayat inilah yang sering kali digunakan sebagai landasan untuk menarik atau menagih (bukan menerima)
zakat dari orang-orang yang dianggap memiliki kelebihan harta. Ada banyak alasan mengapa orang merasa terpanggil untuk menagih zakat orang lain.
Sementara Al-Qur’an juga menyertakan bahwa para pengumpul zakat memang meemiliki hak untuk
menggunakan dan mendapatkan bagian dari mereka yang berhasil ditarik zakatnya. Dengan demikian dapat dipahami bila agen-agen pengumpul dan penyalur zakat mendadak bermunculan bagaikan jamur di musim hujan.
Mengapakah demikian? Karena zakat adalah jenis ibadah yang berhubungan dengan materi secara langsung, membicarakan ibadah yang bernama zakat tentu secara otomatis sedang membincangkan harta yang dianggap lebih. Artinya ibadah ini melibatkan harta yang butuh dikelola oleh pihak lain.
Hal ini menjadi wajar manakala, kebanyakan orang yang sedang diperbincangkan dalam lingkup zakat maal adalah orang-orang kaya yang tidak memiliki banyak (bahkan hampir-hampir sama sekali) waktu untuk mengurus hartaanya yang telah dizakatkan. Kebanyakan mereka adalah orang-orang yang telah disibukkan untuk mengurus harta pokoknya.
Oleh karena itu, dana yang terkumpul dari zakat, sebenarnya juga sangat rawan penyelewengan. Apabila tidak berhati-hati mempercayakan kepengurusan dana zakat maka penyelahgunaan dana yang dikeluarkan atas nama Tuhan ini pun menjadi kurang berguna untuk kepentingan dakwah dan kepentingan Islam.
Salah-salah justru dana tersebut disalahgunakan oleh beberapa gelintir orang yang ingin memanfaatkan kelengahan para muzakki. Karenanya, tiada salahnya kita berhati-hati dalam menyalurkan harta zakat.
Bukankah tetap saja lebih baik jika kita pun memberikan harta tersebut secara langsung kepada
orang-orang yang kita rasa membutuhkan? Tentu saja akan sangat membahagiakan jika kita mengelola
harta tersebut dalam sebentuk pengorganisasian yang dapat kita kontrol atau dapat kita ketahui.
Dari kebutuhan akan pengetahuan dan kemanfaatan harta zakat dari seseorang inilah, maka semestinya agennagen penerima dan penyalur zakat (amil zakat) dapat memenuhi prinsip transparansi dan akuntabilitas publik agar para penyalur zakat dapat merasa nyaman dan memiliki kepuasan telah
menyalurkan zakat kepada salah satu amil zakat yang dapat dipercayainya.
Kebutuhan akan kepercayaan kepada para amil zakat ini bahkan telah dirasakan sejak zaman Rasulullah SAW masih hidup di dunia. Salah satu indikasi bahwa Rasulullah telah memberi perhatian mengenai arti penting kepercayaan masyarakat kepada para penarik atau penagih zakat adalah sabda Rasulullah SAW kepada sahabat Muadz bin Jabal.
Tatkala Rasulullah SAW mengutus sahabat Muadz ke Yaman untuk mengumpulkan zakat dari penduduk muslim di sana, maka Beliau SAW bersabda, “Ajarilah mereka bahwa Allah menetapkan fardhunya shadaqah (zakat) atas mereka. Dengan diambil dari orang kaya dan disalurkan kepada orang-orang fakir di antara mereka” (HR. Bukhari-Muslim).
Hadits ini mengindikasikan kepada kita bahwa para amil harus benar-benar merupakan orang-orang yang dapat dipercaya untuk menyalurkan zakat. Sementara kepada para pemberi zakat, apabila tidak dapat mengelola sendiri sedekah wajibnya, maka hendaknya memilih amil yang dapat dipercayai akuntabilitas dan transparansinya.
Pertanyaannya, sudahkah kita mempercayakan penyaluran zakat kita kepada amil zakat, penyalur zakat atau agen pengumpul yang mempunyai akuntabilitas tinggi dan memegang teguh prinsip transparansi ataukah kita sudah cukup nyaman dan puas dengan sekedar mengeluarkan kewajiban membayar zakat saja?
Jawabannya kembali kepada diri kita masing-masing.
—oOo—