Pada hari ke-7 Zulhiijah, imam atau wakilnya berkhutbah sesudah salat zuhur di Ka’bah.
Ini adalah khutbah pertama dari 4 khutbah haji, yaitu : a. Di Mekah pada hari ke-7, b. Pada hari Arafah, c. Pada hari nahar di Mina dan. d. Pada hari nafar pertama.
Semuanya satu kali khutbah dan dilakukan sebelum salat Zuhur. Hanya Khutbah Arafah saja dua kali dan dilakukan sebelum salat Zuhur. Di dalam khutbah di Mekah, imam menyampaikan seruan agar para jemaah bersiap-siap untuk besok paginya berangkat ke Mina.
Imam juga menyerukan kepada mereka yang melakukan haji tamattu” untuk melakukan umrah, sedang warga Mekah yang hendak melakukan haji ifrad atau qiran tetap dalam keadaan ihram.
Pada hari ke-8 yaitu hari tarwiyah (tanggal 9 adalah hari Arafah, tanggal 10 adalah hari nahar, tanggal 11 adalah hari Qar atau Qir, sebab hari itu orang menetap di Mina dan tanggal 12 adalah hari nafar pertama, sedang tanggal13 adalah hari nafar (kedua), jamaah keluar dari Mekah sesudah salat subuh dan nantinya salat Zuhur di Mina.
Nabi SAW. mendirikan salat Zuhur, Asar, Magrib dan Isya di Mina. Demikian pula salat Subuh keesokan harinya. Semuanya dilaksanakan secara berjemaah.
Untuk jemaah haji Indonesia ditetapkan bahwa jamaah diberangkatkan langsung ke Arafah. Pelaksanaan semacam ini dibenarkan.
Jika matahari sudah terbit, tanggal 9 Zulhijjah. jamaah berangkat menuju Arafah dan menurut sunnah Rasulullah hendaknya tiba di sana sesudah tergelincir matahari. Dalam perjalanan tersebut dianjurkan agar selalu membaca doa dan bertalbiyah serta hati hendaknya selalu mengingat Allah swt.
Wuquf di Arafah
Karena wuquf di Arafah merupakan rukun haji terbesar maka barangsiapa yang tidak melaksanakannya, hajinya tidak sah.
Mengenai hal itu Nabi SAW bersabda: “ALHAJJU’ARAFATUN MAN JAA-ALAlLA JAM’! QABLA THULUU’IL FAJRI FAQAD ADRAKAL HAJJA”
Artinya: Haji itu adalah Arafah. Barangsiapa yang datang pada malam “mabit” di Muzdali{ah sebelum fajar menyingsing, ia sudah mendapatkan haji (HR.Abu Dawud).
Yang dimaksud dengan malam jam’i dalam hadis itu adalah malam berkumpul di Muzdalifah. yaitu tanggal 9 malam 10 Zulhijjah. Dan yang dimaksud dengan wukuf di Arafah adalah kehadiran seseorang di padang Arafah, baik dalam keadaan suci maupun dalam keadaan tidak suci, misalnya dalam waktu nifas, haids atau junub.
Melakukan wuquf haruslah menghadap kiblat, memperbanyak istighfar dan doa baik untuk dirinya maupun untuk orang lain, baik untuk mendapatkan kebaikan dunia maupun untuk memperoleh kemenangan di akhirat.
Istighfar dan doa itu hendaklah dilakukan dengan kekhususan dan keyakinan yang penuh serta dalam keadaan ingat kepada Allah swt. dalam berdoa itu hendaknya disertai dengan mengangkat kedua belah tangan.
Doa Nabi SAW ketika di hari Arafah adalah : “LAA ILAHA ILLA ALLAAH WAHDAHULA SYARIIKA LAHUL MULKU WA LAHUL HAMDU BIYADIHIL. KHAIRU WAHUWA -ALA KULLI SYAI-IN QADIIR”
Artinya: Tidak ada Tuhan kecuali Allah, yang Esa, tiada sekutu baginya, milik-Nya pula segala sanjungan. Di tangan¬Nya-lah segala kebajikan dan Ia Mahakuasa atas segala-galanya. (DR. Ahmad)
Sebelum wuquf di Arafah di sunatkan mandi terlebih dahulu. Hal ini sudah dilakukan oleh Ibnu Umar. Dan Umar sendiri mandi di Arafah dalam keadaan masih ihram. Tetapi mereka yang wukuf itu tidak disunatkan berpuasa.
Salat di Arafah, sesuai dengan amalan Nabi, dijama’kan Zuhur dengan Asar.
Berangkat Dari Arafah Dan Mabit Di Muzdalifah
Para jama’ah di sunatkan berangkat dari Arafah setelah matahari terbenam menuju Muzdalifah. Dalam perjalanan itu dianjurkan memperbanyak talbiah. Perjalan tersebut hendaknya dilakukan dengan tenang, mantap dan tidak tergesa-gesa. Setelah tiba di Muzdalifah maka salat Maghrib dijama’kan dengan Isya (Jama’ takhir) dengan satu azan dan dua iqamah.
Di Muzdalifah para jemaah hendaklah bermalam (mabit), meskipun hanya sebentar, misalnya duduk berdiri atau berjalan. Yang penting ialah bahwa malam itu ada di Muzdalifah. Jika pada malam itu parajemaah tidak berada di sana maka mereka terkena denda.
Salat Subuh didirikan pada awal waktunya. Kemudian para jema’ah berdiri di Masy’arilharam sampai matahari mulai memperlihatkan sinarnya. Artinya, sesudah agak terang sedikit, para jema’ah berangkat menuju Mina, sehingga sebelum matahari terbit mereka sudah berada di sana. Sejak berdiri di Masy’arilharam, dalam perjalanan dan pada waktu di Mina hendaklah masing-masing jama’ah memperbanyak dzikir dan doa.
Ketika bermalam di Muzdalifah itu para jema’ah mengumpulkan batu-batu kerikil sebanyak 7 butir untuk melempar jumrah ‘Aqabah pada bari nahar (tanggal 10 Dzulhijjah) dan 3 x 21 (semuanya menjadi 70) batu untuk melempar tiga jumrah selama 3 kali. Batu tersebut dapat diambil dari tempat meja atau dari Wadi Muhassir (sebuah tempat di dekat Muzdalifah).
Karena wuquf di Arafah merupakan rukun haji terbesar maka barangsiapa yang tidak melaksanakannya, hajinya tidak sah.
Mengenai hal itu Nabi SAW bersabda:
“ALHAJJU’ARAFATUN MAN JAA-ALAlLA JAM’! QABLA THULUU’IL FAJRI FAQAD ADRAKAL HAJJA”
Artinya:
Haji itu adalah Arafah. Barangsiapa yang datang pada malam “mabit” di Muzdali{ah sebelum fajar menyingsing, ia sudah mendapatkan haji (HR.Abu Dawud).
Yang dimaksud dengan malam jam’i dalam hadis itu adalah malam berkumpul di Muzdalifah. yaitu tanggal 9 malam 10 Zulhijjah. Dan yang dimaksud dengan wukuf di Arafah adalah kehadiran seseorang di padang Arafah, baik dalam keadaan suci maupun dalam keadaan tidak suci, misalnya dalam waktu nifas, haids atau junub.
Melakukan wuquf haruslah menghadap kiblat, memperbanyak istighfar dan doa baik untuk dirinya maupun untuk orang lain, baik untuk mendapatkan kebaikan dunia maupun untuk memperoleh kemenangan di akhirat.
Istighfar dan doa itu hendaklah dilakukan dengan kekhususan dan keyakinan yang penuh serta dalam keadaan ingat kepada Allah swt. dalam berdoa itu hendaknya disertai dengan mengangkat kedua belah tangan.
Doa Nabi SAW ketika di hari Arafah adalah :
“LAA ILAHA ILLA ALLAAH WAHDAHULA SYARIIKA LAHUL MULKU WA LAHUL HAMDU BIYADIHIL. KHAIRU WAHUWA -ALA KULLI SYAI-IN QADIIR”
Artinya:
Tidak ada Tuhan kecuali Allah, yang Esa, tiada sekutu baginya, milik-Nya pula segala sanjungan. Di tangan¬Nya-lah segala kebajikan dan Ia Mahakuasa atas segala-galanya. (DR. Ahmad)
Sebelum wuquf di Arafah di sunatkan mandi terlebih dahulu. Hal ini sudah dilakukan oleh Ibnu Umar. Dan Umar sendiri mandi di Arafah dalam keadaan masih ihram. Tetapi mereka yang wukuf itu tidak disunatkan berpuasa.
Sumber : Buku Haji & Umrah, oleh Drs. Ir. Nogarsyah Moede Gayo
Pada hari ke-7 Zulhiijah, imam atau wakilnya berkhutbah sesudah salat zuhur di Ka’bah.
Ini adalah khutbah pertama dari 4 khutbah haji, yaitu :
a. Di Mekah pada hari ke-7,
b. Pada hari Arafah,
c. Pada hari nahar di Mina dan.
d. Pada hari nafar pertama.
Semuanya satu kali khutbah dan dilakukan sebelum salat Zuhur. Hanya Khutbah Arafah saja dua kali dan dilakukan sebelum salat Zuhur. Di dalam khutbah di Mekah, imam menyampaikan seruan agar para jemaah bersiap-siap untuk besok paginya berangkat ke Mina.
Imam juga menyerukan kepada mereka yang melakukan haji tamattu” untuk melakukan umrah, sedang warga Mekah yang hendak melakukan haji ifrad atau qiran tetap dalam keadaan ihram.
Pada hari ke-8 yaitu hari tarwiyah (tanggal 9 adalah hari Arafah, tanggal 10 adalah hari nahar, tanggal 11 adalah hari Qar atau Qir, sebab hari itu orang menetap di Mina dan tanggal 12 adalah hari nafar pertama, sedang tanggal13 adalah hari nafar (kedua), jamaah keluar dari Mekah sesudah salat subuh dan nantinya salat Zuhur di Mina.
Nabi SAW. mendirikan salat Zuhur, Asar, Magrib dan Isya di Mina. Demikian pula salat Subuh keesokan harinya. Semuanya dilaksanakan secara berjemaah.
Untuk jemaah haji Indonesia ditetapkan bahwa jamaah diberangkatkan langsung ke Arafah. Pelaksanaan semacam ini dibenarkan.
Jika matahari sudah terbit, tanggal 9 Zulhijjah. jamaah berangkat menuju Arafah dan menurut sunnah Rasulullah hendaknya tiba di sana sesudah tergelincir matahari. Dalam perjalanan tersebut dianjurkan agar selalu membaca doa dan bertalbiyah serta hati hendaknya selalu mengingat Allah swt.
Wuquf di Arafah
Karena wuquf di Arafah merupakan rukun haji terbesar maka barangsiapa yang tidak melaksanakannya, hajinya tidak sah.
Mengenai hal itu Nabi SAW bersabda:
“ALHAJJU’ARAFATUN MAN JAA-ALAlLA JAM’! QABLA THULUU’IL FAJRI FAQAD ADRAKAL HAJJA”
Artinya:
Haji itu adalah Arafah. Barangsiapa yang datang pada malam “mabit” di Muzdali{ah sebelum fajar menyingsing, ia sudah mendapatkan haji (HR.Abu Dawud).
Yang dimaksud dengan malam jam’i dalam hadis itu adalah malam berkumpul di Muzdalifah. yaitu tanggal 9 malam 10 Zulhijjah. Dan yang dimaksud dengan wukuf di Arafah adalah kehadiran seseorang di padang Arafah, baik dalam keadaan suci maupun dalam keadaan tidak suci, misalnya dalam waktu nifas, haids atau junub.
Melakukan wuquf haruslah menghadap kiblat, memperbanyak istighfar dan doa baik untuk dirinya maupun untuk orang lain, baik untuk mendapatkan kebaikan dunia maupun untuk memperoleh kemenangan di akhirat.
Istighfar dan doa itu hendaklah dilakukan dengan kekhususan dan keyakinan yang penuh serta dalam keadaan ingat kepada Allah swt. dalam berdoa itu hendaknya disertai dengan mengangkat kedua belah tangan.
Doa Nabi SAW ketika di hari Arafah adalah :
“LAA ILAHA ILLA ALLAAH WAHDAHULA SYARIIKA LAHUL MULKU WA LAHUL HAMDU BIYADIHIL. KHAIRU WAHUWA -ALA KULLI SYAI-IN QADIIR”
Artinya:
Tidak ada Tuhan kecuali Allah, yang Esa, tiada sekutu baginya, milik-Nya pula segala sanjungan. Di tangan¬Nya-lah segala kebajikan dan Ia Mahakuasa atas segala-galanya. (DR. Ahmad)
Sebelum wuquf di Arafah di sunatkan mandi terlebih dahulu. Hal ini sudah dilakukan oleh Ibnu Umar. Dan Umar sendiri mandi di Arafah dalam keadaan masih ihram. Tetapi mereka yang wukuf itu tidak disunatkan berpuasa.
Salat di Arafah, sesuai dengan amalan Nabi, dijama’kan Zuhur dengan Asar.
Berangkat Dari Arafah Dan Mabit Di Muzdalifah
Para jama’ah di sunatkan berangkat dari Arafah setelah matahari terbenam menuju Muzdalifah. Dalam perjalanan itu dianjurkan memperbanyak talbiah. Perjalan tersebut hendaknya dilakukan dengan tenang, mantap dan tidak tergesa-gesa. Setelah tiba di Muzdalifah maka salat Maghrib dijama’kan dengan Isya (Jama’ takhir) dengan satu azan dan dua iqamah.
Di Muzdalifah para jemaah hendaklah bermalam (mabit), meskipun hanya sebentar, misalnya duduk berdiri atau berjalan. Yang penting ialah bahwa malam itu ada di Muzdalifah. Jika pada malam itu parajemaah tidak berada di sana maka mereka terkena denda.
Salat Subuh didirikan pada awal waktunya.
Kemudian para jema’ah berdiri di Masy’arilharam sampai matahari mulai memperlihatkan sinarnya. Artinya, sesudah agak terang sedikit, para jema’ah berangkat menuju Mina, sehingga sebelum matahari terbit mereka sudah berada di sana. Sejak berdiri di Masy’arilharam, dalam perjalanan dan pada waktu di Mina hendaklah masing-masing jama’ah memperbanyak dzikir dan doa.
Ketika bermalam di Muzdalifah itu para jema’ah mengumpulkan batu-batu kerikil sebanyak 7 butir untuk melempar jumrah ‘Aqabah pada bari nahar (tanggal 10 Dzulhijjah) dan 3 x 21 (semuanya menjadi 70) batu untuk melempar tiga jumrah selama 3 kali. Batu tersebut dapat diambil dari tempat meja atau dari Wadi Muhassir (sebuah tempat di dekat Muzdalifah).
Sumber : Buku Haji & Umrah, oleh Drs. Ir. Nogarsyah Moede Gayo