Panduan Shalat Berjamaah Lengkap Menurut Islam
Hukum Shalat Berjama’ah
Shalat yang disunahkan agar dilakukan secara berjamaah ialah:
- Shalat fardhu lima waktu
- Shalat dua hari raya. (Idul Fitri dan Idul Adha)
- Shalat tarawih dan witir di bulan Ramadhan.
- Shalat meminta hujan
- Shalat khusufain (gerhana matahari dan bulan).
- Shalat Jenazah.
Shalat berjamaah lebih utama dilaksanakan di masjid atau di musola. Namun, bisa juga dilaksanakan di rumah atau kantor. Bagi para suami dilarang menghalangi istri dan anak perempuan untuk shalat berjamaah di masjid.
Fardhu `ain
Fardhu `ain adalah wajib, dalam shalat berjamaah, yang memiliki pendapat fardhu `ain ini adalah Atha` bin Abi Rabah, Al Auza`i, Abu Tsaur, Ibnu Khuzaymah, Ibnu Hibban, umumnya ulama Al Hanafiyah dan mazhab Hanabilah. Atha` berkata bahwa kewajiban yang harus dilakukan dan tidak halal selain itu, yaitu ketika seseorang mendengar azan, haruslah dia mendatanginya untuk shalat.
Ada hadits yang mengatakan bahwa jika seorang mendengar azan, kemudian tidak shalat berjamaah maka orang itu tidak menginginkan kebaikan maka kebaikan itu sendiri tidak menginginkannya pula. Dengan demikian bila seorang muslim meninggalkan shalat jamaah tanpa uzur, dia berdoa namun shalatnya tetap syah. Kemudian ada hadits yang menjelaskan jika ada orang yang tidak shalat berjamaah, maka nabi akan membakar rumah-rumah orang yang tidak menghadiri shalat berjamaah.
Fardhu kifayah
Yang mengatakan fardhu kifayah adalah Al Imam Asy Syafi`i dan Abu Hanifah sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Habirah dalam kitab Al Ifshah jilid 1 halaman 142. Demikian juga dengan jumhur (mayoritas) ulama baik yang lampau (mutaqaddimin) maupun yang berikutnya (mutaakhkhirin). Termasuk juga pendapat kebanyakan ulama dari kalangan mazhab Al Hanafiyah dan Al Malikiyah.
Dikatakan sebagai fardhu kifayah maksudnya adalah bila sudah ada yang menjalankannya, maka gugurlah kewajiban yang lain untuk melakukannya. Sebaliknya, bila tidak ada satu pun yang menjalankan shalat jamaah, maka berdosalah semua orang yang ada di situ. Hal itu karena shalat jamaah itu adalah bagian dari syiar agama Islam.
Sunnah muakkadah
Sunnah muakkadah adalah sunnah yang sangat ditekankan untuk dilaksanakan, dan sangat dianjurkan agar tidak ditinggalkan. Pendapat ini didukung oleh mazhab Al Hanafiyah dan Al Malikiyah sebagaimana disebutkan oleh Imam As-Syaukani dalam kitabnya Nailul Authar jilid 3 halaman 146. Ia berkata bahwa pendapat yang paling tengah dalam masalah hukum shalat berjamaah adalah sunnah muakkadah. Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa hukumnya fardhu `ain, fardhu kifayah atau syarat syahnya shalat, tentu tidak bisa diterima.
Al Karkhi dari ulama Al Hanafiyah berkata bahwa shalat berjamaah itu hukumnya sunnah, namun tidak disunnahkan untuk tidak mengikutinya kecuali karena uzur. Dalam hal ini pengertian kalangan mazhab Al Hanafiyah tentang sunnah muakkadah sama dengan wajib bagi orang lain. Artinya, sunnah muakkadah itu sama dengan wajib.
Keutamaan Shalat Berjamaah
Shalat berjamaah mempunyai keutamaan dan pahala yang sangat besar, banyak sekali hadits-hadits yang menerangkan hal tersebut. Adapun keutamaan shalat berjamaah dapat diuraikan sebagai berikut:
Shalat berjamaah lebih utama daripada shalat sendirian, dengan pahala 27 derajat.
“Shalat berjamaah itu lebih utama dari shalat sendirian dengan 27 derajat.” (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim no. 650 dan no. 249). Al Khatthabi dalam kitab Ma`alimus Sunan jilid 1 halaman 160 berkata bahwa kebanyakan ulama As Syafi`i mengatakan bahwa shalat berjamaah itu hukumnya fardhu kifayah bukan fardhu `ain dengan berdasarkan hadits ini.
Setiap langkahnya diangkat kedudukannya 1 derajat dan dihapuskan baginya satu dosa.
“Shalatnya seorang lelaki dengan berjamaah itu melebihi shalatnya di pasar atau rumahnya (secara sendirian atau munfarid) dengan dua puluh lebih (tiga sampai sembilan tingkat derajatnya). Yang sedemikian itu ialah karena apabila seorang itu berwudhu dan memperbaguskan cara wudhunya, kemudian mendatangi masjid, tidak menghendaki ke masjid itu melainkan hendak bershalat, tidak pula ada yang menggerakkan kepergiannya ke masjid itu kecuali hendak shalat, maka tidaklah ia melangkahkan kakinya selangkah kecuali ia dinaikkan tingkatnya sederajat dan karena itu pula dileburlah satu kesalahan daripadanya (yakni tiap langkah tadi) sehingga ia masuk masjid.
Apabila ia telah masuk ke dalam masjid, maka ia memperoleh pahala seperti dalam keadaan shalat, selama memang shalat itu yang menyebabkan ia bertahan di dalam masjid tadi, juga para malaikat mendoakan untuk mendapatkan kerahmatan Tuhan pada seorang dari engkau semua, selama masih berada di tempat yang ia bershalat disitu. Para malaikat itu berkata: “Ya Allah, kasihanilah orang ini, wahai Allah, ampunilah ia, ya Allah, terimalah taubatnya.”
Hal sedemikian ini selama orang tersebut tidak berbuat buruk (berkata-kata soal keduniaan, mengumpat orang lain, memukul dan lain-lain) dan juga selama ia tidak berhadats (tidak batal wudhunya).” (Muttafaq’alaih, Riyadush Shalihin Bab 1. Keikhlasan dan Menghadirkan Niat dalam Segala Perbuatan, Ucapan dan Keadaan yang Nyata dan yang Samar – Hadits No.10)
Didoakan oleh para malaikat. Rasul bersabda:
“Sesungguhnya malaikat mendoakan orang yang berada di tempat duduknya (untuk menunggu datangnya shalat berjamaah) selama belum berhadats (batal wudhunya) dan malaikat berdoa: “Ya Allah, ampunilah segala dosanya ya Allah, sayangilah dia”.” (Hadits riwayat Muslim no. 469)
“Sesungguhnya Allah bersama malaikat mendoakan kepada orang-orang yang shalat di shaf (barisan) pertama.” (Hadits riwayat Abu Dawud)
Terbebas dari pengaruh (penguasaan) setan. .Dari Abu Darda` bahwa rasulullah bersabda,
“Tidaklah 3 orang yang tinggal di suatu kampung atau pelosok tapi tidak melakukan shalat jamaah, kecuali syetan telah menguasai mereka. Hendaklah kalian berjamaah, sebab srigala itu memakan domba yang lepas dari kawanannya.”
Memancarkan cahaya yang sempurna di hari kiamat. Rasulullah bersabda:
“Berikanlah khabar gembira orang-orang yang rajin berjalan ke masjid dengan cahaya yang sempurna di hari kiamat.” (Hadits riwayat Abu Daud, Turmudzi dan Hakim)
Mendapatkan balasan yang berlipat ganda.
“Barangsiapa yang salat Isya dengan berjama’ah maka seakan-akan ia mengerjakan shalat setengah malam, dan barangsiapa yang mengerjakan shalat shubuh berjama’ah maka seolah-olah ia mengerjakan shalat semalam penuh. (Hadits riwayat Muslim dan Turmudzi dari Utsman)
Sarana penyatuan hati dan fisik, saling mengenal dan saling mendukung satu sama lain.
Rasulullah terbiasa menghadap ke ma’mum begitu selesai shalat dan menanyakan mereka-mereka yang tidak hadir dalam shalat berjama’ah, para sahabat juga terbiasa untuk sekadar berbicara setelah selesai shalat sebelum pulang kerumah. Dari Jabir bin Sumrah berkata: “Rasulullah baru berdiri meninggalkan tempat shalatnya diwaktu shubuh ketika matahari telah terbit.
Apabila matahari sudah terbit, barulah dia berdiri untuk pulang. Sementara itu di dalam masjid orang-orang membincangkan peristiwa-peristiwa yang mereka kerjakan pada masa jahiliyah. Kadang-kadang mereka tertawa bersama dan nabi pun ikut tersenyum.” (Hadits riwayat Muslim)
Membiasakan kehidupan yang teratur dan disiplin.
Pembiasaan ini dilatih dengan mematuhi tata tertib hubungan antara imam dan ma’mum, misalnya tidak boleh menyamai apalagi mendahului gerakan imam dan menjaga kesempurnaan shaf-shaf shalat(
“Imam itu diadakan agar diikuti, maka jangan sekali-kali kamu menyalahinya! Jika ia takbir maka takbirlah kalian, jika ia ruku’ maka ruku’lah kalian, jika ia mengucapkan ‘sami’allaahu liman hamidah’ katakanlah ‘Allahumma rabbana lakal Hamdu’, Jika ia sujud maka sujud pulalah kalian. Bahkan apabila ia shalat sambil duduk, shalatlah kalian sambil duduk pula!” (Hadits riwayat Bukhori dan Muslim, shahih)
“Kami shalat bersama nabi. Maka diwaktu dia membaca ‘sami’alLaahu liman hamidah’ tidak seorang pun dari kami yang berani membungkukkan punggungnya sebelum nabi meletakkan dahinya ke lantai. (Jama’ah)
Merupakan pantulan kebaikan dan ketaqwaan.
“Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, serta tetap mendirikan shalat.” (At-Tawbah 9:18)
Pelaksanaan Shalat Berjamaah
Adapun beberapa syarat-syarat shalat berjamaah diantarannya sebagai berikut
- Makmum menyengaja (niat) untuk mengikuti imam.
- Makmum hendaknya mengikuti imam dalam segala pekerjaan shalat.
- Sebelum shalat berjamaah dimulai hendaknya imam menganjurkan agar barisan dirapatkan dan diluruskan.
- Makmum mengetahui segala gerak-gerik perbuatan imam.
- Antara imam dan makmum berada pada satu tempat, dimana makmum dapat mengetahui pergantian gerak-gerik imam yang terkait dengan shalat, baik dengan suara, atau melihat pergerakan makmum yang lain. Masjid bertingkat terhitung satu tempat selama ada tangga atau lubang yang menghubungkan imam dan makmum.
- Jangan mendahului imam dalam takbir dan jangan mendahului atau melambatkan diri sampai melibihi dua rukun utama shalat.
- Tempat berdiri makmum jangan melibihi tempat berdiri imam.
- Susunan barisan makmum adalah : Laki-laki dewasa berada tepat di belakang imam, disusul dengan shaf remaja dan laki-laki, kemudian baru shaf perempuan. Jika masjid berlantai lebih dari satu, maka shaf laki-laki sebaiknya sati ruang dengan imam (lantai satu), sedangkan shaf perempuan di lantai lain.
- Barisan shaf hendaknya di rapatkan, tidak ada kerengganngan, tetapi jangan terlalu sempit sehingga membuat gerakan shalat menjadi sulit. ukuran rapat tersebut bukan berdasarkan kerapatan kaki-kaki antar makmum namun mengacu pada kerapatan tubuh (bahu) anatar makmum. adapun lebar kaki mengikuti lebar tubuh para makmum.
- Imam jangan sampai mengikuti atau terpengaruh oleh makmum.
- Shalat makmum harus bersesuaian dengan shalat imam, baik jenis atau peraturannya, misalnya sama-sama mengerjakan shalat Zuhur, mengqasar, atau menjamak shalat, dan sebagainnya.
- Makmum hendaknya memperhatikan dengan tenang bacaan imam.
- Perempuan tidak boleh menjadi imam bagi kaum laki-laki,
- Selesai shalat berjamaah hendaknya imam menghadap ke arah makmum atau ke arah kanan saat berzikir, maka tidak mengapa imam menghadap kiblat kembali.Makmum Diam Saja di Belakang Imam atau Ikut Membaca?
Makmum Diam Saja di Belakang Imam atau Ikut Membaca?
Kalau kita merujuk kepada dalil-dalil syar’iyah di dalam kitab-kitab hadits, kita akan menemukan banyak hadits yang menjawab apa yang Anda tanyakan. Namun sayangnya, masing-masing hadits itu satu sama lain tidak saling menguatkan, bahkan sebagiannya terkesan saling bertentangan atau berbeda.
Kemungkinan yang terjadi adalah bahwa Rasulullah SAW memang memberikan jawaban yang berbeda, karena memang sifat ibadah dalam Islam itu sangat luas dan variatif. Atau boleh jadi ada sebagian hadits yang lebih kuat riwayatnya dan yang lain agak lemah.
Di antara hadits-hadits itu antara lain sebagai berikut:
Tidak ada shalat kecuali dengan membaca Al-Fatihah
Dari Malik dari Abi Hurairah ra. bahwa Rasulullah SAW selesai dari shalat yang beliau mengerakan bacaannya. Lalu beliau bertanya, Adakah di antara kami yang ikut membaca juga tadi? Seorang menjawab, Ya, saya ya Rasulullah SAW. Beliau menjawab, Aku berkata mengapa aku harus melawan Al-Quran? Maka orang-orang berhenti dari membaca bacaan shalat bila Rasulullah SAW mengeraskan bacaan shalatnya . .
Dari ‘Ubadah bin Shamit ra. bahwa Rasulullah SAW shalat mengimami kami siang hari, maka bacaannya terasa berat baginya. Ketika selesai beliau berkata, Aku melihat kalian membaca di belakang imam. Kami menjawab, Ya. Beliau berkata, Jangan baca apa-apa kecuali Al-Fatihah saja. .
Dari Jabir dari Rasulullah SAW berkata, Siapa shalat di belakang imam, maka bacaannya adalah bacaan imam.
Apabila imam membaca maka diamlah.
Walhasil, kalau kita rinci pendapat para ulama dengan latar belakang perbedaan cara menilai hadits-hadits di atas, bisa kita rinci sebagai berikut:
1. Mazhab Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah
Menurut Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah bahwa makmum harus membaca bacaan shalat di belakang imam pada shalat sirriyah yaitu shalat zhuhur dan Ashar. Sedangkan pada shalat jahriyah , makmum tidak membaca bacaan shalat.
Namun bila pada shalat jahriyah itu makmum tidak dapat mendengar suara bacaan imam, maka makmum wajib membaca bacaan shalat.
2. Mazhab Al-Hanafiyah
Sedangkan Al-Hanafiyah menyebutkan bahwa seorang makmum tidak perlu membaca apa-apa bila shalat di belakang imam, baik pada shalat jahriyah maupun shalat sirriyah.
3. Mazhab As-Syafi’iyyah
Dan As-Syafi`iyah mengatakan bahwa pada shalat sirriyah, makmum membaca semua bacaan shalatnya, sedangkan pada shalat jahriyah makmum membaca Al-Fatihah saja.
Bila dilihat dari masing-masing dalil itu, nampaknya masing-masing sama kuat walaupun hasilnya tidak sama. Dan hal ini tidak menjadi masalah manakala memang sudah menjadi hasil ijtihad.
Namun kalau boleh memilih, nampaknya apa yang disebutkan oleh kalangan Asy-Syafi`iyah bahwa makmum membaca Al-Fatihah sendiri setelah selesai mendengarkan imam membaca al-fatihah, merupakan penggabungan dari beragam dalil itu. Ini sebuah kompromi dari dalil yang berbeda. Karena ada dalil yang memerintahkan untuk membaca al-Fatihah saja tanpa yang lainnya. Tapi ada juga yang memerintahkan untuk mendengarkan bacaan imam. Karena itu bacaan al-Fatihah khusus makmum bisa dilakukan pada sedikit jeda antara amin dan bacaan surat. Dalam hal ini, seorang imam yang bijak tidak langsung memulai bacaan ayat alquran setelah amien. Tapi memberi kesempatan waktu untuk makmum membaca al-Fatihahnya sendiri.
Kriteria pemilihan imam dalam shalat jamaah
Seorang imam dalam shalat jamaah berurutan dipiih berdasarkan:
- Banyaknya hafalan Al-Qur’an dan yang suarannya lebih baik;
- Paling mengetahui suna-sunah Rasulullah;
- Diutamakan yang lebih tua usia;
- Warga kampun orang setempat lebih berhak menjadi imam dibandingkan seorang musafir, begitu pula seorang tuan rumah lebih utama menjadi imam dibandingkan dari tamunya.
- Janganlah dijadikan imam seorang yang diketahui batal shalatnya, dan yang diketahui sebagai ahli berbuat dosa.
- Seorang imam bukanlah orang yang dibenci oleh kebanyakan makmum dengan alasan keagamaan.
Tergambar dalam hadits Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Abu Mas’ud Al-Badri:
“Yang boleh mengimami kaum itu adalah orang yang paling pandai di antara mereka dalam memahami kitab Allah (Al Qur’an) dan yang paling banyak bacaannya di antara mereka. Jika pemahaman mereka terhadap Al-Qur’an sama, maka yang paling dahulu di antara mereka hijrahnya ( yang paling dahulu taatnya kepada agama). Jika hijrah (ketaatan) mereka sama, maka yang paling tua umurnya di antara mereka”.(22)
Posisi shalat jamaah
Sebuah infografik mengenai posisi shalat jamaah sesuai sunnah dari Nabi Muhammad. Posisi bahu, sikut, dan kaki yang saling merapat, dan diusahakan tidak ada celah.
Dalam shalat jamaah Muslim diharuskan mengikuti apa yang telah Nabi Muhammad ajarkan, yaitu dengan merapatkan barisan, antara bahu, lutut dan tumit saling bertemu,dilarang saling renggang (berjauhan) antara yang lain.
Dari Abu Qosim Al-Jadali berkata, “Saya mendengar Nu’man bin Basyir berkata, ‘Rasulallah menghadapkan wajahnya kepada manusia dan bersabda, ‘Luruskan shaf-shaf kalian! Luruskan shaf-shaf kalian! Luruskan shaf-shaf kalian! Demi Allah benar-benar kalian meluruskan shaf-shaf kalian atau Allah akan menjadikan hati kalian berselisih.’ Nu’man berkata, ‘Maka saya melihat seseorang melekatkan bahunya dengan bahu kawannya, lututnya dengan lutut kawannya, mata kaki dengan mata kaki kawannya.’’” (Hadits riwayat Abu Dawud 662, Ibnu Hibban 396, Ahmad 4272. Dishahihkan Syaikh Al-Albany dalam As-Shahihah no.32)
Rasulallah bersabda, “Luruskan shaf-shaf kalian, karena meluruskan shaf termasuk kesempurnaan shalat.” (Hadits riwayat Bukhari, dalam Fath al-Bari’ No.723)
Rasulallah bersabda, “Benar-benarlah kalian meluruskan shaf-shaf kalian atau Allah akan membuat berselisih di antara wajah-wajah kalian.” (Hadits riwayat Bukhari 717, Imam Muslim 127, Lafadz ini dari Imam Muslim). Berkata Al-Imam An-Nawawi, “Makna hadits ini adalah akan terjadi di antara kalian permusuhan, kebencian dan perselisihan di hati.”
Rasulallah bersabda, “Luruskan shaf kalian, jadikan setentang di antara bahu-bahu, dan tutuplah celah-celah yang kosong, lunaklah terhadap tangan saudara kalian dan jangan kalian meninggalkan celah-celah bagi setan. Barangsiapa menyambung shaf maka Allah menyambungkannya dan barangsiapa yang memutuskannya maka Allah akan memutuskannya.” (Hadits riwayat Bukhari, Abu Dawud 666. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Shahih Sunan Abu Dawud)
Rasul bersabda: “Sesungguhnya Allah dan malaikatNya mendoakan orang-orang yang merapatkan barisan shalat. Barangsiapa yang menutup (merapatkan) barisan yang renggang, maka Allah akan mengangkat derajatnya.” (Hadits riwayat Ibnu Majah)
Berikut adalah keterangan bagaimana shalat jamaah, sesuai beberapa dalil hadits-hadits yang shahih, beserta infografik yang terdapat pada sebelah kanan:
- Dua orang pria, posisi imam sejajar dengan makmum
Hadits Ibnu Abbas, “Saya shalat jamaah bersama nabi disuatu malam, saya berdiri di samping kirinya, lalu nabi memegang bagian belakang kepala saya dan menempatkan saya di sebelah kanannya.” (Hadits riwayat Bukhari)
- Tiga orang pria atau lebih, imam paling depan dan makmum berjajar dibelakang imam.
Hadits Jabir, “Nabi berdiri shalat magrib, lalu saya datang dan berdiri disamping kirinya. Maka dia menarik diri saya dan dijadikan disamping kanannya/ Tiba-tiba sahabat saya datang (untuk shalat), lalu kami berbaris dibelakang dia, dan shlat bersama rasulallah.” (Hadits riwayat Ahmad)
- Satu orang pria dan satu wanita, imam paling depan, makmum wanita persis dibelakangnya.
Hadits Anas bin Malik, “Bahwa dia shalaat di belakang rasulallah bersama seorang yatim sedangkan Ummu Sulaim berada di belakang mereka.” (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim)
- Dua orang pria dan satu wanita atau lebih, imam sejajar dengan makmum pria, sedangkan makmum wanita dibelakang tengah antara imam dan makmum pria.
- Dua orang wanita, posisi imam wanita sejajar dengan makmum.
- Tiga orang wanita atau lebih, imam wanita ditengah shaf sejajar dengan makmum wanita
Hadits Aisyah, “Bahwa Aisyah shalat menjadi imam bagi kaum wanita dan dia berdiri ditengah shaf.” (Hadits riwayat Baihaqi, Hakim, Daruquthni dan Ibnu Abi Syaibah)
- Beberapa pria dan wanita, imam paling depan, shaf kedua makmum pria dan shaf ketiga makmum wanita
Hadits Abu Hurayrah, “Sebaik-baiknya shaf pria adalah yang pertama, dan seburuk-buruknya adalah yang terakhir, dan sebaik-baiknya shaf wanita adalah yang paling akhir, dan seburuk-buruknya adalah yang pertama.” (Hadits riwayat Muslim)
- Bila ada anak-anak, maka mereka ditempatkan ditengah antara shaf makmum pria dan shaf makmum wanita.
Hadits Abu Malik Al-Asy’ari, “Bahwa nabi menjadikan (shaf) pria didepan anak-anak, anak-anak dibelakang mereka sedangkan kaum wanita dibelakang anak-anak. (Hadits riwayat Ahmad)
Jamaah wanita di dalam masjid
Wanita diperbolehkan hadir berjama’ah di masjid dengan syarat harus menjauhi segala sesuatu yang menyebabkan timbulnya syahwat ataupun fitnah. Baik karena perhiasan atau harum-haruman yang dipakainya.
- Kaum wanita dilarang menggunakan parfum atau wewangian
Rasulullah bersabda: “Janganlah kamu larang wanita-wanita itu pergi ke masjid-masjid Allah, tetapi hendaklah mereka itu keluar tanpa memakai harum-haruman.” (Hadits riwayat Ahmad dan Abu Daud dari Abu Huraira)
“Siapa-siapa di antara wanita yang memakai harum-haruman, janganlah ia turut salat Isya bersama kami.” (Hadits riwayat Muslim, Abu Daud dan Nasa’i dari Abu Huraira, isnad hasan)
- Shalat dirumah lebih utama bagi kaum wanita
dari Ummu Humaid As-Saayidiyyah bahwa Ia datang kepada rasulullah dan mengatakan: “Ya rasulullah, saya senang sekali shalat di belakang Anda.” Diapun menanggapi: “Saya tahu akan hal itu, tetapi shalatmu di rumahmu adalah lebih baik dari shalatmu di masjid kaummu, dan shalatmu di masjid kaummu lebih baik dari shalatmu di masjid Umum.” (Hadits riwayat Ahmad dan Thabrani)
- Para pria dilarang untuk melarang para wanita yang ingin shalat di masjid.
Rasulullah bersabda: “Janganlah kalian melarang para wanita untuk pergi ke masjid, tetapi (shalat) di rumah adalah lebih baik untuk mereka.” (Hadits riwayat Ahmad dan Abu Daud dari Ibnu Umar)
Keutamaan dalam shalat berjamaah
- MELURUSKAN DAN MERAPATKAN SHAF DALAM Shalat BERJAMAAH
Di antara syari’at yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada umatnya adalah meluruskan dan merapatkan shaf dalam shalat berjamaah. Barangsiapa yang melaksanakan syari’at, petunjuk dan ajaran-ajarannya dalam meluruskan dan merapatkan shaf, sungguh dia telah menunjukkan ittiba’ nya (mengikuti) dan kecintaannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
“Apakah kalian tidak
berbaris sebagaimana berbarisnya para malaikat di sisi Rabb mereka ?” Maka
kami berkata: “Wahai Rasulullah , bagaimana berbarisnya malaikat di sisi
Rabb mereka ?” Beliau menjawab : “Mereka menyempurnakan
barisan-barisan (shaf-shaf), yang pertama kemudian (shaf) yang berikutnya, dan
mereka merapatkan barisan”
(HR. Muslim, An Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah).
- Keutamaan shaf pertama bagi laki-laki.
Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang paling depan, dan sejelek-jelek shaf laki-laki adalah yang laing belakang, sebaik-baik shaf perempuan adalah yang paling belakang, dan sejelek-jelek shaf perempuan adlaah yang paling depan. (H.R. Muslim).
Kalaulah manusia mengetahui apa
yang terdapat di azan dan shaf pertama (dari besarnya pahala-pent) kemudian
mereka tidak mendapatkan kecuali dengan diundi, maka pastilah mereka telah
mengadakan undian, dan kalaulah mereka mengetahui apa yang terdapat di sikap
selalu didepan, pastilah mereka telah mendahuluinya, dan kalaulah mereka mereka
mengetahui apa yang terdapat di shalat isya dan shalat subuh (dari keuntungan)
maka pastilah mereka mendatangi keduanya walaupun dengan merayab.
(Bukhari dan Muslim.)
- Keutamaan mendapat takbiratul ihram bersama imam
Barangsiapa talah melakukan shalat karena Allah selama 40 hari berjama’ah, ia mendapatkan takbir pertama (takbiratul ihram dengan imam –pent), maka dicatatlah baginya dua kebebasan ; kebebasan dari api neraka dan kebebasan dari kemunafikan. (H.R. Tirmidzi dari Anas, dihasankan oleh Syeikh Al Albani di kitab shahih Al Jami’ II/1089).
Makmum yang Terlambat Datang (Masbuq)
Makmum Masbuq adalah makmum yang sudah ketinggalan dari shalat imamnya, tidak sempat membaca surat Al-Fatihah beserta imam pada rakaat pertama.
- Jika makmum terlambat datang ke masjid dan imam sudah dalam posisi rukuk, sujud, atau julus (duduk tasyahud), maka ia harus melakukan takbiratul ihram (dengan berdiri) untuk mulai shalat, lalu mengucapkan takbir (Allahu Akbar) lagi untuk kemudian mengikuti posisi imam. Jika imam masih membaca surat Al-Fatihah atau surat pendek, maka hanya takbiratul ihram saja.
- Setelah
imam selesai melakukan salam dan mengakhiri shalat, ia tidak boleh melakukan
salam, tetapi langsung berdiri untuk menambah rakaat yang telah terlewat.
- Bila ia baru bisa mengikuti 2 rakaat terakhir shalat dzuhur, ashar, dan isya, maka ia harus menambah 2 rakaat (tanpa duduk tasyahud) setelah imam melakukan salam. Bila ia baru bisa mengikuti satu rakaat terakhir shalat dzuhur, ashar, dan isya, maka ketika imam melakukan salam ia harus berdiri dan shalat satu rakaat (dengan Al-Fatihah dan membaca surat pendek), duduk tasyahud, berdiri lagi untuk rakaat kedua (dengan Al-Fatihah dan membaca surat pendek), lalu diteruskan berdiri lagi untuk rakaat ketiga (hanya Al-Fatihah).
- Jika ia baru bisa mengikuti rakaat ke-2 dan ke-3 shalat maghrib, maka ia harus berdiri dan menambah satu rakaat setelah imam melakukan salam.
- Jika ia baru bisa mengikuti satu rakaat terakhir shalat maghrib, ia harus berdiri setelah imam melakukan salam, shalat satu rakaat, lalu duduk untuk membaca tasyahud, kemudian berdiri lagi untuk melakukan rakaat ke-3, setelah itu duduk untuk tasyahud akhir dan melakukan salam.
- Bila makmum bergabung shalat jamaah ketika posisi rukuk, maka ia dianggap telah mengikuti rakaat tersebut. Jika ia bergabung ketika imam sudah berdiri dari rukuk atau ketika sujud, ia dianggap telah terlambat mengikuti rakaat tersebut dan harus melakukannya lagi.
Duduknya Makmum Masbuk Ketika Imam Tasyahud Akhir
Yang ditegaskan oleh para ulama fikih, jika seorang makmum shalat bersama imam yang jumlah raka’atnya 4 atau 3, imam telah mendahuluinya dalam sebagian raka’at, maka makmum duduk tasyahud akhir bersama imam dalam keadaan tawarruk, bukan iftirasy. Alasan mengikuti imam dalam rangka menjaga agar tidak terjadi perselisihan, berdasarkan hadits,
“Imam itu diangkat untuk ditaati, maka janganlah kalian menyelisihinya”
Dikatakan dalam Al-Iqna’ dan syarahnya Kasyful Qina’: “Makmum masbuk duduk tawarruk bersama imam ketika imam tawarruk. Karena bagi imam, itu merupakan akhir dari shalat, walaupun bagi si makmum, itu bukan akhir shalat. Dalam kondisi ini si masbuk duduk tawarruknya sebagaimana ketika ia sedang tasyahud kedua. Maka, seandainya makmum mendapatkan 2 raka’at dari ruba’iyyah (shalat yang jumlahnya 4 raka’at), duduklah bersama imam dalam keadaan tawarruk, dalam rangka mengikuti imam, ketika ia (makmum) tasyahud awal. Kemudian duduk tawarruk lagi setelah menyelesaikan sisa 2 raka’at lainnya, karena itu duduk tasyahud yang diakhiri salam”.
Disebutkan dalam Al-Muntaha dan syarahnya: “Makmum masbuk duduk tawarruk bersama imam pada saat tasyahud akhir dalam shalat yang jumlah raka’atnya 4 dan shalat maghrib”. Shalat jamaah.
Disebutkan dalam Mathalib Ulin Nuhaa fi Syarhi Ghayatil Muntaha: “Makmum masbuk duduk tawarruk bersama imam dalam duduk tasyahud yang ia dapatkan bersama imam disebabkan karena itu akhir shalat bagi si imam, walaupun bukan bagi si makum. Sebagaimana ia juga duduk tawarruk pada tasyahud ke-2 yang setelah ia menyelesaikan rakaat sisanya. Maka, seandainya makmum mendapatkan 2 raka’at dari ruba’iyyah (shalat yang jumlahnya 4 raka’at), duduklah bersama imam dalam keadaan tawarruk, dalam rangka mengikuti imam, ketika ia (makmum) tasyahud awal. Kemudian duduk tawarruk lagi setelah menyelesaikan sisa 2 raka’at lainnya, karena itu duduk tasyahud yang diakhiri salam”. Shalat jamaah.
Posisi Makmum Masbuk Jika Jamaah 2 Orang
Apabila shalat jamaah hanya 2 orang sejajar dengan imam lalu datang makmum masbuk, Bagi makmum yang berdiri sendirian di samping imam dan dia mengetahui bahwa ada makmum masbuk, maka ia harus mundur, karena sesuai dengan tuntunan bahwa, apabila makmum terdiri dari dua orang atau lebih, maka posisinya adalah di belakang imam, sebagaimana hadits Jabir bin Abdullah :
“Saya datang dan berdiri di samping kiri Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam-, kemudian memutarkan dan memposisikanku di samping kanannya lalu datang Jabbar bin Shakhr kemudian berwudhu dan berdiri di samping kiri Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam-, maka beliau -Shollallahu alaihi wa sallam-memegang kedua tangan kami semua dan mendorong kami sampai berdiri di belakang beliau n”.(HR. Muslim). Lihat Shalatul Mu’min, Dr. Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qahtani : 1/561). Wallahu a’lam.
Mengulang Shalat Berjamaah
Shalat jamaah adalah ibadah yang sangat utama. Karena begitu besar keutamaan shalat jamaah, maka bagi orang yang mendapati shalat jamaah di masjid dianjurkan untuk mengikuti shalat jamaah meskipun dia sudah melakukan shalat sebelumnya. Jadi tentang shalat jamaah diriwayatkan
Dari Abu Sa’id,
bahwasanya seorang laki-laki masuk masjid sedangkan Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam sudah selesai shalat, maka beliaupun bersabda, ”Siapa yang mau bershadaqah untuk orang ini, menemaninya shalat?” Lalu berdirilah salah seorang dari mereka kemudian ia shalat berjamaah bersamanya. (HR. Ahmad, Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
Dalam riwayat Ahmad yang lain :
Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam telah selesai shalat dhuhur bersama para sahabatnya, lalu seorang laki-laki masuk” Kemudian dikemukakan hadits tadi.
Dari Mihjan bin Al-Adra’, ia menuturkan,
”Aku menemui Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam, saat itu beliau sedang di masjid, lalu tibalah waktu pelaksanaan shalat, maka beliaupun shalat, tapi aku tidak ikut shalat. Beliau berkata kepadaku, ’Mengapa engkau tidak ikut shalat?’ Aku jawab, ’Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tadi sudah shalat di rumah, lalu aku datang kepadamu,’ Beliau bersabda, ’Bilau engkau datang, maka shalatlah bersama mereka, dan jadikanlah itu sebagai shalat sunnah’” (HR. Jamaah).
Dari Sulaiman, mantan budak Maimunah, ia menuturkan,
”Aku menemui Ibnu Umar, ia sedang di lantai sementara orang-orang sedang shalat di masjid. Maka aku berkata, ’Apa yang menghalangimu untuk shalat bersama orang-orang?’ Ia menjawab, ’Sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda, ”Janganlah kalian melakukan satu shalat dua kali dalam satu hari’” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Nasa’i)
Makna sabda Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam (Janganlah kalian melakukan satu shalat dua kali dalam satu hari) adalah, seseorang telah melaksanakan suatu shalat fardhu, setelah selesai, ia mengulanginya lagi juga sebagai shalat fardhu. Adapun orang yang meniatkan shalat keduanya bersama jamaah sebagai shalat sunnah, sesuai dengan tuntunan dan perintah Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam, maka ini tidak termasuk mengulangi suatu shalat dua kali dalam hari yang sama. Karena shalat pertama diniatkan sebbagai shalat fardhu, sedangkan yang kedua kalinya diniatkan sebagai shalat sunnah, sehingga dengan begitu tidak terjadi pengulangan.
Dari Ibnu Umar RA, dia berkata :
“Barangsiapa telah shalat Maghrib dan shalat shubuh, kemudian menjumpai keduanya bersama imam, maka janganlah ia mengulangi keduanya”.
Larangan mengulangi shalat Maghrib dan shalat Shubuh dengan berjamaah ini, karena seandainya seseorang mengulanginya niscaya shalat tersebut jatuhnya sunnat baginya, sedangkan tiga rekaat tidak boleh dijadikan shalat sunnat. Seandainya ia mengulangi shalat Shubuh, niscaya ia melakukan shalat sunnat sesudah fajar, sedangkan tidak ada shalat sunnat sesudahnya selain dari dua rekaat sebelumnya.
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Bulughul Maram mengutip hadits dari Yazid Ibnu al-Aswad
bahwa dia pernah shalat Shubuh bersama Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam Ketika Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam telah usai shalat beliau bertemu dengan dua orang laki-laki yang tidak ikut shalat. Beliau memanggil kedua orang itu, lalu keduanya dihadapkan dengan tubuh gemetaran. Beliau bertanya pada mereka: “Apa yang menghalangimu sehingga tidak ikut shalat bersama kami?” Mereka menjawab: Kami telah shalat di rumah kami. Beliau bersabda: “Jangan berbuat demikian, bila kamu berdua telah shalat di rumahmu kemudian kamu melihat imam belum shalat, maka shalatlah kamu berdua bersamanya karena hal itu menjadi sunat bagimu.” Riwayat Imam Tiga dan Ahmad dengan lafadz menurut riwayat Ahmad. Hadits shahih menuru Ibnu Hibban dan Tirmidzi.
Konsensus dalam mengharuskan dan mengulangi shalat secara umum, berdasarkan pada hadits Bisyr bin Muhammad dari ayahnya :
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda kepada Bisyr bin Muhammad ketika ia memasuki masjid dan tidak ikut shalat jamaah bersama beliau, “Ada halangan apa Anda tidak ikut kami shalat jamaah? Tidakkah kamu seorang muslim?” Lalu jawabnya, ”Benar, saya Muslim wahai Rasulullah. Tetapi aku sudah menjalankan shalat di rumahku” Jawab Nabi selanjutnya, ”Apabila kamu datang (ke Masjid), maka kerjakanlah shalat jamaah bersama orang-orang, meskipun kamu sudah shalat” (HR. Nasa’i dan Malik)
Bermakmum pada Makmum Masbuk /shalat sendirian
Masalah bermakmum pada seorang yang masbuk atau yang shalat sendirian sering terjadi, tetapi memang jarang mendapat porsi pembahasan memadahi, apalagi dengan memberikan rujukan kepada dalil. Masalah ini dapat dijelaskan dengan merujuk kepada hadis-hadis tentang penetapan Rasulullah s.a.w atas perilaku sahabat, bukan perilaku Nabi sendiri, sebab tentu beliau selalu menjadi imam dan tidak menjadi makmum, apalagi masbuk. Dan pula tentu tidak ada riwayat Nabi bermakmum kepada seseorang yang tadinya makmum masbuk.
Riwayat Ibnu Abbas, di mana beliau menceritakan: ”Aku menginap di rumah bibiku Maimunah (istri Rasulullah), maka Rasulullah s.a.w bangun pada malam hari. Beliau berwudhu kemudian mengerjakan shalat. Maka aku bangun dan berwudu sebagaimana beliau berwudu, lalu aku datang dan berdiri di samping kirinya, maka Rasulullah memegang tangan kananku dan menggeserku di belakangnya kemudian menempatkanku di samping kanannya, lalu aku shalat bersamanya”. (HR. Bukhari : 658 dan Muslim : 1279)
Hadis riwayat Anas Ibn Malik yang menyatakan bahwa Rasulullah s.a.w melakukan shalat pada bulan Ramadan, ia berkata: ”Maka aku datang dan berdiri di sampingnya, kemudian datang orang lain, lalu berdiri di samping saya, hingga kami jadi satu kelompok. Tatkala Nabi menyadari keberadaan kami, beliau mempercepat shalatnya”. (HR. Muslim : 1848)
Hadis riwayat ‘Aisyah r.a: ”Bahwasanya Rasulullah s.a.w shalat di rumahnya, sedangkan dinding kamar itu pendek, maka orang-orang melihat diri Rasulullah s.a.w. Kemudian orang-orang melaksanakan shalat mengikuti shalat Rasulullah. Pagi harinya mereka saling membicarakan. Kemudian Rasulullah shalat pada malam yang kedua, maka orang-orang shalat mengikuti shalat beliau. (HR. Bukhari : 687)
Hadis riwayat Abu Sa’id al-Khudri: ”Bahwasanya Rasulullah s.a.w melihat seseorang shalat sendirian, maka beliau bersabda: ”Tidakkah ada seseorang yang bersedekah untuk orang ini, dengan shalat mengikutinya?” (HR. Ahmad, Abu Dawud, al-Turmudhi)
Dengan mencermati keempat hadis tersebut, jelas semuanya menunjukkan atas sahnya shalat jamaah orang yang bernakmum kepada orang lain, walaupun tanpa disadari oleh orang yang dijadikan imam itu.
Pada hadis pertama, Nabi pada awalnya shalat sendiri, kemudian diikuti Ibn Abbas. Dan pada hadis terakhir, jelas tawaran dan motivasi Rasulullah s.a.w itu, pada saat si laki-laki itu telah memulai shalat. Tentu semua gambaran hadis di atas adalah shalat yang sah. Kesimpulannya perubahan status seseorang di tengah-tengah shalat, dari sendiri (munfarid) menjadi imam, adalah sesuatu yang dibenarkan oleh Rasulullah s.a.w. Bila kesimpulan tersebut kita terapkan kepada masalah bermakmum kepada makmum masbuk yang melanjutkan shalat setelah imam selesai shalat, maka hukumnya boleh dan sah juga.
Sebabnya adalah pertama; tidak adanya perbedaan antara orang yang shalat sendirian dari dari awal dengan makmum masbuk yang sedang meneruskan shalat itu, karena orang kedua ini telah terlepas ikatan dari mengikuti imam sejak imam selesai. Hingga dengan demikian ia dapat dijadikan imam sebagaimana orang yang shalat sendirian sejak awal, sebagaimana tercontohkan dalam hadis-hadis di atas. Kedua; tidak ada syarat sah jadi imam bahwa ia mengetahui diangkat oleh makmum dan tidak ada syarat sah menjadi makmum diketahui oleh imam.
Alasan kedua ini juga sekaligus menjawab pertanyaan tentang cara yang afdhal tatkala kita hendak bermakmum kepada orang yang tadinya shalat sendirian. Bagi orang yang hendak bermakmum, cukup berdiri pada posisi yang tepat, yaitu di samping kanan orang yang dijadikan imam tersebut, sebagaimana posisi Ibnu Abbas pada hadis pertama. Dan bila banyak, maka berada di belakangnya, tanpa ada keharusan memberikan isyarat dengan cara menepuk atau yang lainnya. Sebab, tidak ada riwayat yang menyatakan sahabat menepuk Nabi atau menggunakan isyarat lain (menepuk tangan bila wanita), saat ingin bermakmum dengan beliau pada shalat lail itu. Walaupun memberi isyarat itu tidak dapat dikatakan mengurangi afdaliah itu.
Baca artikel berikut: