Shalat Malam: Shalat Tarawih, Shalat Witir, dan Shalat Tahajud

Shalat Malam: Shalat Tarawih, Shalat Witir, dan Shalat Tahajud

Shalat Malam: Shalat Tarawih, Shalat Witir, dan Shalat Tahajud

shalat

Bangun malam (qiyamul lail) untuk menunaikan shalat malam merupakan satu-satunya shalat sunnah yang diperintahkan langsung dari al-Qur’an dan merupakan shalat yang terbaik sesudah shalat wajib. Shalat malam disebut shalat tahajud, karena sebelumnya didahului dengan tidur.

Disebut Tarawih karena ditunaikan pada malam bulan Ramadhan dan disebut witir karena jumlah rakaatnya ganjil, kesemuanya dilakukan pada malam hari. Dasarnya sebagai berikut:

Dan pada sebagian malam hari bertahajudlah kamu sebagai tambahan ibadah bagimu, mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji. (QS. Al-Isra’/17: 79).

Adapun keutamaanya digambarkan dalam hadis yang diriwayatkan Thobrani dan  Abu Darda’ berikut ini:

 “Tiga golongan manusia yang dicintai oleh Allah serta disambut dengan tertawa dan gembira, yaitu: (1) Seseorang yang dalam peperangan dan ketika barisan di depannya telah kocar-kacir, ia terus maju mempertahankan jiwanya semata-mata untuk Allah, baik ia terbunuh atau dimenangkan oleh Allah SWT. Allah berfirman: “Lihatlah hamba-Ku, betapa ia bersabar mempertaruhkan jiwanya untuk-Ku.” (2) Seseorang yang mempunyai istri yang cantik serta tempat tidur yang lunak, lalu ia bangun bershalat malam. Allah berfirman pula: “orang itu meninggalkan syahwatnya semata-mata untuk berdzikir kepada-Ku, padahal andaikata ia suka, dapat saja meneruskan tidurnya, (3) Seseorang dalam berpergian bersama orang banyak di saat malam tiba dan orang-orang itu berjagan kemudian tidur semuanya, ia pun bangun di waktu sahar, baik dalam keadaan susah atau menang.” Jalaludin As-Suyuti, (Jâmi’u al-Hadîth: 11300)

Adapun alasan shalat lail boleh dikerjakan secara berjama’ah disandarkan pada hadis dari Aisyah berikut:

Aisyah berkata, bahwa Nabi saw. pernah shalat di masjid, maka orang-orang ramai turut bersamanya. Ia shalat lagi pada malam kedua, kemudian orang-orang berkumpul pada malam ketiga, tetapi beliau tidak keluar dari rumah. Keesokan harinya beliau bersabda. “Saya tahu yang kalian lakukan tadi malam dan saya tak berhalangan apa-apa untuk keluar dari rumah, hanya saya khawatir kalau-kalau shalat itu difardhukan atasmu nanti.” (HR. Jama’ah)

Perbedaan shalat tahajud / Tarawih / Witir

1. Shalat Tarawih

Pendapat yang populer dalam jumlah rakaat shalat malam yang dilakukan  boleh berbeda-beda sebagai berikut:

Shalat 4 raka’at, 4 raka’at, lalu witir 3 raka’at (4-4-3)

Berdasarkan hadits dari Abu Salamah bin ‘Abdurrahman:

“Bahwa ia pernah bertanya kepada ‘Aisyah tentang shalat (malam) Rasulullah saw dalam bulan Ramadhan, Aisyah menjelaskan;”Pada bulan ramadhan maupun pada bulan lainnya Rasulullah tidak pernah mengerjakan lebih dari sebelas raka’at. Beliau kerjakan empat raka’at, jangan engkau tanyakan eloknya dan lamanya. Kemudian beliau kerjakan lagi empat raka’at. Jangan engkau tanyakan lamanya. Lalu beliau kerjakan tiga raka’at”. Kemudian ‘Aisyah berkata, aku bertanya,”ya Rasulullah, apakah engkau tidur terlebih dahulu sebelum melaksanakan witir (shalat lail ?”. Rasulullah menjawab,”wahai ‘Aisyah sesungguhnya kedua mataku tidur, tetapi hatiku tidak tidur”. HR. Bukhari (Al-Jumu’ah: 1079), (Shalat al-Tarawih: 1874), dan (Al-Manâqib: 3304),  Muslim (Shalât al-Musafir wa Qashruha: 1219, dan (Al-Shalât: 403)  

Shalat 2 raka’at, 2 raka’at, 2 raka’at, 2 raka’at, lalu witir 3 raka’at (2-2-2-2-3). Berdasar pada hadis dari Ibnu ‘Umar:

“Bahwa seorang lelaki bangkit berdiri lalu bertanya; “bagimana cara shalat malam wahai Rasulullah?”. Rasulullah menjawab: “Shalat malam itu dua raka’at dua raka’at. Jika engkau terkejar shubuh, hendaklah engkau kerjakan witir satu raka’at saja (untuk mengganjilkan shalat-shalat yang telah dikerjakan)”. HR. Bukhari (Al-Jumu’ah: 936), Muslim (Shalât al-Musafir wa Qashruha: 1239, 1240)

Sahalat 2 raka’at, 2 raka’at, 2 raka’at, 2 raka’at, 2 raka’ lalu witir 1 raka’at (2-2-2-2-2-)

Berdasarkan hadis dari Zaed bin Khalid al Juhani:          

“Benar-benar aku mengamati shalat Rasulullah malam itu. Lalu (aku lihat) dia shalat dua raka’at singkat-singkat (shalat iftitah) kemudian dua raka’at panjang-panjang, kemudian ia shalat dua raka’at kurang panjang dari yang sebelumnya lalu shalat dua raka’at yang kurang lagi panjangnya dari yang sebelumnya, kemudian ia shalat lagi dua raka’at yang kurang lagi panjangnya dari yang sebelumnya, lalu shalat lagi dua raka’at yang kurang lagi panjangnya dari yang sebelumnya, kemudian ia shalat witir (satu raka’at). Maka jadilah seluruhnya tiga belas raka’at”. HR. Muslim (Shalât al-Musafir wa Qashruha: 1284)

Shalat 8 raka’at dengan tidak duduk kecuali pada raka’at yang kedelapan, 2 raka’at lalu 1 raka’at (8-2-1). Berdasarkan hadits t riwayat Qatadah:

“Nabi shalat delapan rakaat dengan tidak duduk (tahiyyat) kecuali pada raka’at yang kedelapan. Dalam duduk itu membaca dzikir dan doa kemudian membaca salam dengan salam yang terdengar sampai kepada kami; lalu shalat dua raka’at sambil duduk, setelah beliau membaca salam kemudian beliau shalat lagi satu raka’at. Itulah sebelas raka’at semuanya, hai anakku.”  HR. Abu Dawud (Al-Shalât: 1144)

Shalat 8 raka’at dengan tidak duduk kecuali pada raka’at yang kedelapan, lalu 3 raka’at (8-3).

Berdasarkan hadis riwayat ‘Abdullah bin Abu Qais:

“Aku pernah bertanya kepada ‘Aisyah, “Berapa raka’at Rasulullah saw. shalat witir?. Ia menjawab, “Beliau kerjakan witir empat lalu tiga, atau enam lalu tiga, atau delapan lalu tiga, atau sepuluh lalu tiga. Beliau tidak pernah witir kurang dari tujuh raka’at dan tidak pernah lebih dari tiga belas raka’at”. HR. Abu Dawud (Al-Shalât: 1155). Bahwa shalat 13 rakaat yang dimaksud di sini sudah termasuk shalat 2 rakaat khofifatain, dua rakaat yang ringan (iftitah).

Shalat 9 raka’at, tidak duduk tahiyyat kecuali pada rakaa’at ke 8 dan 9, lalu 2 raka’at (9-2).

Berdasarkan hadis  riwayat Zurrah bin Aufa’:

“Aisyah pernah ditanya tentang shalat Rasulullah saw. di tengah malam, lalu ia mengatakan, “Beliau kerjakan shalat Isya’ dengan berjama’ah. Kemudian beliau kembali kepada keluarganya, lalu shalat empat raka’at. Kemudian beliau pergi keperaduannya, lalu tidur –diarah kepalanya terletak tempat air wudhu yang ditutupi dan sikat gigi- sampai beliau dibangunkan Allah. Saat dibangunkan pada tengah malam itu, beliau lalu menggosok giginya dan berwudhu dengan sempurna kemudian pergi ke tempat shalat, lalu beliau shalat delapan raka’at. Dalam raka’at-raka’at itu membaca fatihah dan surat al Qur’an serta ayat–ayat lainnya. Beliau tidak duduk (untuk tahiyyat awwal) selama itu kecuali pada raka’at kedelapan dan menutupnya dengan salam. Pada raka’at yang kesembilan beliau membaca seperti sebelumnya lalu duduk tahiyyat akhir membaca doa dengan macam-macam doa, dan mohon kepada Allah serta menyatakan keinginannya, kemudian beliau membaca salam sekali dengan suara keras yang hampir membangunkan isi rumah kartena nyaringnya. Kemudian beliau shalat sambil duduk dengan membaca fatihah dan ruku’ sambil duduk. Lalu beliau kerjakan raka’at kedua serta ruku’ dan sujud sambil duduk. Kemudian membaca doa sepuas hati. Dan akhirnya menutup dengan salam dan lalu bangkit pergi. Demikianlah selalu shalat Rasulullah sampai akhirnya bertambah berat badannya, maka lalu yang sembilan raka’at itu dikurangi dua sehingga menjadi enam dan tujuh ditambah dua raka’at yang dikerjakan sambil dukduk. Demikinlah dikerjakan sampai Nabi wafat”. HR. Abu Dawud (Al-Shalât: 1145)

Shalat 10 rakaat witir 1 rakaat (10-1).

Berdasarkan pada hadis dari Qasim bin Muhammad:

Saya mendengar dari ‘Aisyah ra. berkata: “Rasulullah saw. shalat malam sebanyak sepuluh rakaat dan witir satu rakaat. (HR. Muslim)

Dalam kondisi-kondisi tertentu Shalat Lail (Tahajjud/Qiyamul Lail/Taraweh/Shalat Witir boleh dikerjakan kurang dari 11 raka’at, sebagai berikut:

Shalat 7 raka’at: dikerjakan terus-menerus dengan hanya duduk tasyahud pada raka’at ke-6 dan ke-7.

Berdasarkan hadits Sa’ad bin Hisyam:

“Maka setelah beliau bertambah berat badannya karena usia lanjut, beliau kerjakan witir tujuh raka‘at dengan hanya duduk antara yang keenam dan ketujuh untuk hanya membaca salam pada raka’at yang ketujuh”. HR. Abu Dawud (Al-Shalât: 1145)

Shalat 9 raka’at dengan duduk tasyahud pada raka’at ke-8 dan ke-9.

Berdasarkan hadits riwayat Zurrah bin Aufa’:

“Aisyah pernah ditanya tentang shalat Rasulullah saw. di tengah malam, lalu ia mengatakan,”Beliau kerjakan shalat Isya’ dengan berjama’ah. Kemudian beliau kembali kepada keluarganya, lalu shalat empat raka’at. Kemudian beliau pergi keperaduannya, lalu tidur –diarah kepalanya terletak tempat air wudhu yang ditutupi dan sikat gigi- sampai beliau dibangunkan Allah. Saat dibangunkan pada tengah malam itu, beliau lalu menggosok giginya dan berwudhu dengan sempurna kemudian pergi ke tempat shalat, lalu beliau shalat delapan raka’at. Dalam raka’at-raka’at itu membaca fatihah dan surat al-Qur’an serta ayat –ayat lainnya. Beliau tidak duduk (untuk tahiyyat awwal) selama itu kecuali pada raka’at kedelapan dan menutupnya dengan salam. Pada raka’at yang kesembilan beliau membaca seperti sebelumnya lalu duduk tahiyyat akhir membaca doa dengan macam-macam doa, dan mohon kepada Allah serta menyatakan keinginannya, kemudian beliau membaca salam sekali dengan suara keras yang hampir membangunkan isi rumah kartena nyaringnya”. HR. Abu Dawud (Al-Shalât: 1145)

Khusus untuk bulan Ramadhan Rasulullah pernah shalat berjamaah bersama sahabat, kemudian hari berikutnya beliau tidak lagi melakukan hal yang sama, ketika ditanya alasannya, beliau menjawab karena khawatir diwajibkan. Kemudian pada masa Umar bin Khattab, karena orang berbeda-beda, sebagian ada yang shalat dan ada yang tidak shalat, maka Umar ingin agar umat Islam nampak seragam, lalu disuruhlah agar umat Islam berjamaah di masjid dengan shalat berjamah dengan imam Ubay bin Ka’b. Itulah yang kemudian populer dengan sebutan shalat tarawih, artinya istirahat, karena mereka melakukan istirahat setiap selasai melakukan shalat 4 rakaat.

Kebanyakan masyarakat Indonesia yang mayoritas bermadzhab Syafi’i melaksanakan shalat Tarawih 20 rakaat atau 11 rakaat, termasuk witir. Kedua cara ini sama-sama mempunyai landasan dalil yang kuat.

Shalat tarawih bisa juga disebut shalat qiyamullail, yaitu shalat yang tujuannya menghidupkan malam bulan Ramadhan. Penamaan shalat tarawih tersebut belum muncul pada zaman Rasulullah Saw.

2. Shalat Tahajud

Shalat tahajud itu artinya shalat malam setelah tidur sejenak. Tahajud berasal dari bahasa Arab “tahajjud”, dari kata dasar “hajada” yang berarti “tidur” dan juga berarti “shalat di malam hari”. Orang yang melakukan shalat malam disebut “haajid”. Jadi bertahajud artinya melakukan shalat sunat di malam hari, setelah tidur. Semua shalat sunat yang dikerjakan di malam hari setelah tidur, dengan demikian, disebut shalat tahajud atau shalat malam (shalatullail).

Shalat tahajud hukumnya sunnah muakkadah bagi umat Islam. Bagi Rasulullah hukumnya sunnah. Dalam riwayat Muslim dikatakan “Sebaik-baik shalat setelah shalat fardhu, adalah shalat pada malam hari”. Jenisnya macam-macam, bisa shalat hajat, shalat witir, shalat tasbih, dan sunat mutlak, atau mungkin juga shalat tarawih.

Setelah itu silahkan melakukan shalat sepuasnya, sekuatnya. Boleh berupa shalat hajat (shalat hajat ini boleh juga dilakukan di siang hari), shalat tasbih, atau shalat sunat mutlak (sunat mutlak ini maksudnya asal shalat saja dua rekaat, niatnya shalat sunat). Semua shalat dilakukan dua rekaat-dua rekaat. Kecuali shalat witir yang boleh disambung menjadi 3 rekaat, disertai tahiyat awal pada rekaat kedua (sebelum berdiri menuju rekaat ketiga).

Shalat tahajud hendaknya diakhiri dengan shalat witir. Jadi urutannya, witir dilaksanakan paling akhir, sekiranya setelah itu tidak melakukan shalat lagi.

3. Shalat Witir

Diantara madzhab-madzhab fikih, hanya Abu Hanifah yang berpendapat wajibnya shalat witir. Sementara yang lain hanya menganggapnya sebagai sunnat muakkad (kesunaatan yang benar-benar dianjurkan). Bahkan kedua murid Abu Hanifah sebagai pemegang otoritas utama madzhab Hanafiyah juga beranggapan sama, yakni hanya sunnat muakkad.

Shalat witir adalah “shalat ganjil”, yang didasarkan pada hadits Nabi Muhammad:

“Sesungguhnya Allah adalah witr (ganjil) dan mincintai witr (HR. Abu Daud).

Shalat ini dimaksudkan sebagai pemungkas waktu malam untuk “mengganjili” shalat-shalat yang genap. Karena itu, dianjurkan untuk menjadikannya akhir shalat malam. Apabila seseorang berkehendak untuk shalat tahajjud pada malam hari, maka sebaiknya ia tidak menunaikan shalat witir menjelang tidur, tapi melaksanakannya setelah shalat tahajjud. Namun jika ia tidak bermaksud demikian, maka sebelum tidur, ia dianjurkan untuk menunaikannya. Walhasil, shalat witir adalah shalat yang dilaksanakan paling akhir diantara shalat-shalat malam.

Nabi Muhammad SAW mengatakan:

“Jadikanlah witir akhir shalat kalian di waktu malam”. (HR. Bukhari).

“Barang siapa takut tidak bangun di akhir malam, maka witirlah pada awal malam, dan barang siapa berkeinginan untuk bangun di akhir malam, maka witirlah di akhir malam, karena sesungguhnya shalat pada akhir malam masyhudah (“disaksikan”) (HR. Muslim).

Adapun waktunya adalah setelah shalat ‘Isya hingga fajar. Kata Nabi Muhammad SAW:

“Sesungguhnya Allâh telah membantu kalian dengan shalat yang lebih baik daripada kekayaan rajakaya, yaitu shalat witir. Maka kemudian Allâh menjadikannya untuk kalian (agar dilaksanakan) mulai dari ‘Isya hingga terbit fajar”. (HR. lima sunan selain Annasâiy)

Shalat witir boleh dilaksanakan tiga rakaat langsung dengan sekali salam, atau dua rakaat salam kemudian dilanjutkan dengan satu rakaat.

Cara Mengerjakan shalat Tahajud/Tarawih/Witir

Berikut ini beberapa penjelasan tentang tata cara shalat tahajud atau tarawih:

Sebelum mengerjakan shalat malam (tahajud atau tarawih), sebaiknya didahului dengan shalat ringan dua rakaat (Khafifatain).

Berdasarkan hadits  dari Abu Hurairah berikut:

 “Bahwa Rasulullah saw bersabda:”Jika seorang diantaramu shalat di waktu malam, maka hendaklah ia kerjakan pendahuluan dengan shalat dua raka’at singkat”. HR. Muslim (Shalâtul Musafir wa Qashruha: 1287), Abu Dawud (Al-Shalât: 1128)

Adapun caranya sebagai berikut:

Setelah takbirratul ihram pertama tidak membaca iftitah melainkan membaca doa:

“Subhaanallaahi dzil malakuuti wal jabaruuti, wal kibriyaa’i wal ‘adzamahi” sebagaimana hadis riwayat Hudzaifah bin al-Yaman”

 “Aku pernah mendatangi Nabi saw., pada suatu malam, beliau mengambil wudhu kemudian shalat, aku menghampiri di sebelah kirinya, lalu aku ditempatkan disebelah kanannya. Lalu bertakbir dan membaca: “Subhaanallaahi dzil malakuuti wal jabaruut, wal kibriyaa’i wal ‘adzamah”. HR. Thabrani dalam Mu’jamul Ausath Juz VI, hlm. 26. 

  • Lalu membaca al-Fatihah
  • Pada rakaat kedua hanya membaca al-Fatihah
  • Untuk bacaan lainnya sama seperti shalat pada umumnya.
  • Setelah itu baru mengerjakan shalat tahajud/tarawih/witir sebanyak  rakaat yang dipilih (misal 11 rakaat).

Pelaksanaannya sama dengan shalat biasa pada umumnya Disesuaikan dengan formasi yang dipilih seperti dijelaskan sebelumnya. Sebaiknya selalu diakhiri dengan shalat witir.

  • Setelah selesai shalat malam lalu berdoa:

سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ

“Maha Suci Allah Yang Merajai dan Yang maha Suci”.

Dibaca sebanyak tiga kali, yang ketiga dibaca dengan suara yang nyaring. Kemudian diteruskan:

رَبُّ اْلمَلاَئِكَةِ وَالرُّوْحِ

“Yang Menguasai Malaikat dan Jibril”.

Berdasarkan hadits  dari Ubay bin Ka’ab:

“Bahwa Rasulullah saw., dalam witirnya membaca Sabbihisma rabbikal a’laa, Qul yaa ayyuhal kaafiruun dan Qul huwallaahu ahad, dan apabila telah mengucapkan salam beliau membaca Subhaanal malikil qudduus 3x dengan memanjangkan suara pada bacaan yang terakhir, lalu membaca Rabbil malaaikati warruuh”. HR. At-Thabrani dalam Mu’jamul Ausath 

Baca artikel terkait:

Amaliyah
Logo